DISKORIA
Konser telah usai, penonton pun mulai berhamburan untuk keluar dari venue. Tidak terkecuali Nata yang sedari tadi enggan melepas netranya dari figur sosok Kafin Byantara. Lelaki yang diam-diam telah Nata sukai sejak masih di bangku SMA hingga sekarang.
Namun niat Nata sudah bulat. Ia akan mencoba untuk melepaskan perasaannya itu malam ini. Nata ingin menuntaskan penyesalan yang ia simpan sepuluh tahun lamanya karena dahulu ia tidak pernah berani mengungkapkan isi hati terdalamnya pada Kafin.
Nata ingin agar konser Diskoria malam hari ini menjadi konser terakhir yang membuatnya menangis ketika grup musik kecintaannya itu melantunkan tembang C.H.R.I.S.Y.E di stage.
Alhasil, tepat setelah Nata juga Kafin dan kawanannya keluar dari venue, ia menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan keberaniannya lalu berteriak.
“Kafin!”
Sang empu nama yang berjalan tidak jauh di depan Nata lantas menoleh lalu berbalik badan. Kafin menatap lurus tepat di netra legam Nata yang juga memandanginya lekat-lekat.
Nata pun paham, Kafin mungkin kaget. Sebab jelas jika Kafin sama sekali tidak mengenalinya ketika mereka bertemu pandang sekilas saat masih di dalam venue tadi, pikir Nata. Tidak ada ekspresi yang berarti dari Kafin sebelum pandangannya kembali ke stage.
Namun hal itu juga sangat wajar bagi Nata. Semasa SMA dulu, ia tipikal siswa yang pasif saat di sekolah. Bahkan sebelum dekat dengan Idan dan Tito pun, Nata lebih sering menyendiri di kelas atau perpustakaan. Sedang Kafin sebaliknya, ia siswa yang sangat aktif dan cukup tenar di sekolah.
Dan perlu dicatat, sudah tujuh tahun sejak mereka lulus SMA.
Jadi Nata tidak akan heran jika Kafin tidak ingat dengan wajah, apalagi sampai tau namanya.
“Kaf, gue boleh ngomong bentar gak sama lo?” Nata lalu melirik sekilas ke arah dua orang pria di samping kiri dan kanan Kafin.
“Kalian tunggu gue di mobil aja,” kata Kafin pada dua kawannya.
“Yakin lu?” Salah satu di antara keduanya menyahut dan dibalas anggukan mantap oleh Kafin.
Ludah lantas ditelan Nata sekuat tenaga ketika dua laki-laki yang bersama Kafin tadi melenggang pergi. Terlebih saat Kafin beralih mengambil tiga langkah kecil ke depan hingga jarak mereka tipis.
Satu tarikan napas panjang Nata ambil, “Gue tau lo mungkin gak inget wajah gue dan gak tau gue siapa, Kaf. Tapi waktu SMA dulu, kita satu angkatan dan jurusan.”
“Dulu, pas masa orientasi siswa baru, lo yang nolongin gue waktu gue hampir digebukin sama tiga orang senior di toilet sekolah.”
Nata tersenyum simpul, “Sekali lagi makasih ya udah datang di waktu yang tepat waktu itu, Kaf.”
Kafin masih terdiam, sementara Nata melanjutkan penuturannya.
“Jujur aja, sejak saat itu gue jadi sering merhatiin lo diem-diem dari jauh. Gue tuh ngerasa punya hutang budi sama lo,” jelas Nata.
“Tapi lambat laun, rasa kalau gue punya hutang budi itu perlahan berubah. Gue ngerasa lo punya energi yang bisa memotivasi gue dari hal-hal kecil sampai besar.”
“Gue yang awalnya ogah-ogahan dateng ke sekolah jadi rajin cuma karena gue pengen liat lo lewat di depan kelas gue tiap pagi.”
“Gue yang males ikut upacara tiap hari Senin jadi gak mau skip upacara karena gue bisa liat lo berdiri di barisan paling depan.”
“Dan gue yang bodo amat sama nilai akademik pun tiba-tiba jadi ambis banget pas gue tau lo mau lanjut kuliah di UI,” Nata tertawa kecil, “Gue pengen ketemu lagi sama lo, gue seneng banget tau pas lulus di sana. Tapi ternyata lo akhirnya milih kuliah di Jogja.”
“But still, thanks…”
“Thanks for everything, Kafin.”
Nata bisa melihat raut terkejut di wajah Kafin. Nata pun yakin jika Kafin mungkin menyebutnya si crazy little weirdo setelah ini.
Tapi tekad Nata udah bulat. Ini adalah waktu yang sangat tepat.
“Kaf,” Nata mengepalkan tangan di samping pahanya, “Selama ini gue udah nyimpan perasaan gue sendirian. Sampai-sampai gue dihantui rasa penyesalan karena gak pernah ngomong sama lo sebelum lulus dari SMA dulu.”
“Dan sekarang… Gue gak mau nyesel lagi,” katanya, “Gue mau ngelepas semua yang ada di dada gue sepuluh tahun terakhir ini.”
Nata mengulum bibir sejenak. Ada kegugupan yang ia tahan.
“Gue suka sama lo,” ucap Nata, “Dan lo gak perlu kok ngasih gue jawaban, Kaf. Gue cuma pengen lo tau aja kalau hidup seseorang yang awalnya abu-abu berubah jadi terang benderang karena lo.”
“Sekali lagi makasih banyak ya?” mata Nata berkaca-kaca, “Gue udah lega banget sekarang, Kaf.”
Gawai di saku Nata tiba-tiba berdering, ia pun bergerak cepat meraihnya, mendapati bahwa Idan yang sedang menelponnya. Pasti Idan sama Tito udah ada di parkiran, pikir Nata lalu kembali menatap Kafin yang masih diam.
“Maaf nih gue jadi buang-buang waktu lo di sini,” tutur Nata gak enak, “Gue seneng bisa ketemu sama lo lagi, Kaf. Tapi sekarang lo boleh pergi kok, kasian temen lo tadi pasti udah pada nunggu.”
“Gue cabut ya. Jemputan gue juga udah dateng,” pamit Nata sebelum berbalik. Helaan napas panjang pun Nata hembuskan bersama dengan tangis yang ia tahan. Jangan, Nata. Nggak lagi.
Kaki Nata pun melangkah pelan, ia meninggalkan Kafin dengan sejumput harap bahwa setelah ini perasaannya terhadap sang teman SMA segera lenyap bagai ditiup angin. Ia harus move on.
“Nata Arsenio!”
Tubuh Nata mendadak beku saat ia mendengar Kafin meneriakkan nama lengkapnya. Setelahnya, ia balik badan bersama napas yang tertahan, sebab kini Kafin sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Mulut Nata setengah terbuka. Ia sudah siap untuk bertanya Kafin mengetahui namanya dari mana. Tapi Kafin justru merebut gawai di tangannya dengan amat tiba-tiba. Nata pun hanya diam saja melihat Kafin mengetik sesuatu di sana. Setelahnya, Nata lantas mendengar suara deringan dari arah saku Kafin. Itu gawai Kafin.
“Ini nomor gue,” kata Kafin lalu mengembalikan gawai Nata, “Entar gue kabarin lo ya, Nat.”
“Oke,” jawab Nata kikuk, “Kalau gitu gue cabut duluan ya, Kaf.”
“Hati-hati, Nata.”