Dream

“Ma, Deva sama Mas Arga duluan ke kantor ya.” pamit Deva kepada sang mertua yang dengan sigap memberinya dekapan hangat.

“Iya, sayang. Kalian hati-hati ya.”

Arga dan Deva mengangguk lalu melenggang menuju mobil sang CEO yang terparkir di halaman depan rumah. Namun sesekali Deva mengucek-ngucek mata, sebab meski tertidur cukup larut semalam, ia tetap terbangun di pagi buta seperti biasa. Alhasil, kini Deva dilanda rasa kantuk.

“Mata kamu kelilipan lagi?” tanya sang CEO sambil membuka pintu mobil di sisi kanan untuk Deva.

“Gak kok, Mas. Aku cuma rada ngantuk aja,” jelas Deva sebelum masuk ke dalam mobil yang kemudian diikuti oleh suaminya.

“Kamu tidur lagi aja dulu,” titah Arga lalu memasangkan seat belt untuk Deva. Tak lupa mengatur posisi jok ke belakang agar Deva bisa tidur sedikit lebih nyaman.

“Entar saya bangunin kalau udah nyampe di kantor,” timpal Arga.

Deva tersenyum, “Emang Mas Arga gak ngantuk?” tanyanya, “Semalem kamu nemenin aku begadang, Mas. Kalau aku tidur, yang mastiin kamu juga gak ikut tidur siapa? Entar malah nabrak.”

“Ck!” Decak Arga, “Gak lah, saya udah biasa. Udah minum kopi juga tadi. Kamu gak usah mikir yang enggak-enggak deh. Tidur.”

Perlahan mobil Arga pun melaju, meninggalkan halaman rumah hingga berakhir membelah jalan raya Ibukota. Sementara Deva yang belum berlabuh ke alam mimpi lantas menoleh ke Arga.

“Pas bangun tadi, aku kaget tau.”

“Kenapa?” mata Arga masih fokus pada jalanan di depan mereka.

Deva terkekeh, “Soalnya aku liat kamu udah ada di kamar, Mas.”

“Mana kamu nutupin wajah kamu pake selimut, yang kelihatan tuh cuma kaki kamu doang,” katanya.

“Kamu pindah ke kamar jam berapa sih, Mas?” tanya Deva.

“Jam dua kayaknya,” Arga lantas mendelik, “Kamu sih, ketiduran duluan sebelum bales chat saya.”

“Chat yang mana, Mas?”

“Ck! Chat yang mana, chat yang mana,” omel Arga, “Yang pas saya nanya kamu udah ngunci pintu balkon apa belum. Saya kan jadi lari ke kamar buat mastiin lagi.”

“Kekunci kok,” sahut Deva santai.

“Ya iya emang kekunci, tapi kalau aja semalem kamu ternyata lupa ngunci gimana?” Arga mendesis, “Gak ada yang tau tiba-tiba ada maling atau rampok masuk terus ngapa-ngapain kamu,” lanjutnya.

Deva mengulum senyumnya. Ia lalu memejamkan mata sembari menyamankan posisi kepalanya.

Arga pun hanya menghela napas saat melihat suaminya itu telah terlelap tepat setelah mendengar omelannya. Sejenak Arga beralih mengacak-acak rambut Deva masih dengan satu tangan yang mengendalikan stir mobilnya.

Deva begitu pulas. Bahkan saat Arga akhirnya telah sampai di basement gedung Hardiyata Group dan memarkirkan mobil, Deva masih juga tidak terusik.

Arga mematikan mesin mobilnya setelah terparkir rapi, membuka seat belt-nya, lalu menoleh ke arah Deva. Namun baru saja Arga hendak membangunkan Deva, ia justru dibuat heran. Kening Deva dibanjiri peluh, padahal AC mobil menyala sedari tadi. Sampai tak lama berselang, kepala suaminya itu tiba-tiba bergerak gelisah.

“Deva,” Arga mengusap pipi Deva.

Mata Deva masih tertutup, tapi bibirnya lantas bergumam lirih.

“Mas…”

“Deva, bangun.”

“Mas Arga…”

Arga menggoyang-goyangkan tubuh Deva, “Saya di sini, Deva. Buka mata kamu dulu,” katanya.

“Mas Arga! Jangan!”

“Deva, bangun.”

“Mas!”

“Deva!”

Mata Deva akhirnya terbuka lebar bersama dengan napas yang tersengal-sengal. Ludah ditelan sekuat tenaga oleh Deva kala ia menoleh, mendapati Arga tengah memandanginya lamat sambil mencengkeram bahunya.

“Mas,” panggil Deva lirih.

“Kamu mimpi apa sih sampai teriak-teriak gitu?” tanya Arga sambil membuka seat belt Deva.

Bukannya menjawab tanya sang suami, Deva seketika memeluk Arga saat seat belt-nya terbuka. Arga pun refleks terdiam, sebab ia bisa merasakan bahwa tubuh Deva bergetar hebat. Jelas bahwa Deva sedang ketakutan sekarang.

Satu tangan Arga lalu mengusap lembut punggung Deva sambil membiarkannya mengatur deru napas. Ketika Arga merasa Deva sudah sedikit lebih tenang, Arga menarik dirinya dari dekap Deva.

“Saya ambilin air dulu.”

Deva mengangguk, sedang Arga bergegas membuka tutup botol tumbler. Setelahnya, Arga pun menyodorkannya kepada Deva. Sang Omega lalu menenggak air minum itu seperti orang yang baru selesai mengikuti maraton.

“Pelan-pelan,” kata Arga sambil mengusap peluh di kening dan pelipis Deva dengan sapu tangan.

Dahaga Deva telah hilang, ia pun menyodorkan tumbler kepada Arga yang amat sigap menutup lalu menyimpannya di tempat semula. Saat itu juga Arga lantas memusatkan atensi pada Deva.

“Mas,” Deva meraih tangan Arga, menggenggamnya erat, “Mimpi aku tadi nyeremin. Aku takut.”

“Emang kamu mimpi apa?”

Deva menatap wajah Arga lamat, “Aku mimpi kamu motong leher orang lain pakai pedang, Mas.”