Expecting
Arga bergegas turun dari mobil tepat setelah laju kendaraan roda empat yang dikemudikan oleh Pak Agus itu berhenti di halaman depan rumah. Ia berjalan tergesa masuk ke kediamannya. Bahkan Arga meninggalkan tas juga sushi dan salad yang dibawanya untuk Deva. Pikiran Arga tidak karuan mengingat kabar dari Mama tadi.
Sesampainya di ruang keluarga, tatapan mata Arga pun tertuju ke arah Deva yang sedang duduk di sofa. Bu Ririn berada di sisi kiri Deva dengan bahunya sebagai sandaran sang menantu. Sedang Bi Yati melantai di samping kaki kanannya; memijat Deva telaten.
Deva terlihat amat lemas. Kedua matanya terpejam rapat. Nampak kekhawatiran di wajah Arga, tak sekali pun pandangannya lepas dari Deva sampai ia mendatangi sofa dimana suaminya berada. Membuat Deva membuka mata lalu tersenyum pada suaminya.
“Mas,” Deva seketika sumringah menyambut kedatangan Arga.
Sang Alpha mengusap puncak kepala Deva, “Masih mual gak?”
“Gak, Mas. Tapi kepala aku masih agak pusing,” jawab Deva pelan.
Mengangguk, Arga lalu melirik Bi Yati. “Bi, tolong bantu Pak Agus ngangkat bawaan saya di mobil.”
“Baik, Mas Arga.”
Bi Yati pun berlalu, sedang Arga yang kini masih berdiri di depan Deva menghela napas pelan lalu duduk di samping kanan Deva.
“Kok Deva bisa muntah-muntah sih, Ma? Emang abis makan apa selama aku keluar rumah?” Arga beralih menginterogasi Bu Ririn.
“Deva cuma makan soto betawi kok tadi, Ga. Katanya Deva lagi kepengen banget, jadi dibikinin sama Bi Yati.” jelas si paruh baya.
“Nah di kamar tadi, pas Deva nemenin Bi Yati packing baju kalian, dia pusing terus mual sampai muntah.” timpal Bu Ririn, “Mama mau langsung bawa Deva ke rumah sakit, tapi Deva pengen nunggu kamu pulang dulu aja.”
Di tengah percakapan Arga dan Bu Ririn, Deva tiba-tiba menutup mulutnya sambil menahan mual. Membuat Arga yang menyadari hal itu seketika kaget dan panik.
“Kamu mau muntah lagi?” Arga memijat tengkuk sang Omega.
Deva menggeleng, “Bau parfum kamu nggak enak banget, Mas.”
“Sembarangan kamu,” sela Arga, “Kan kamu yang beliin parfum ini buat aku. Kamu ini gimana sih?”
“Ga, udah deh kamu minggir aja dulu. Mandi terus ganti baju gih cepetan, abis ini kita langsung bawa Deva ke rumah sakit.” usul Bu Ririn sambil memijat pundak Deva, “Kasian Deva mual mulu.”
“Ya udah,” Arga pasrah. Ia berdiri sambil menatap Deva lekat-lekat, “Sushi sama salad yang aku beli dimakan. Biar perut kamu nggak kosong sebelum kita ke RS nanti.”
“Maaf ya, Mas. Hidung aku lagi sensitif banget sekarang,” sesal Deva, sedang Arga menggeleng.
“Gak apa-apa,” Arga mengecup kilat puncak kepala Deva, takut jika si Omega kembali terganggu akan wangi parfumnya, “Aku mau mandi dulu. Enggak bakal lama.”
“Kalau abis mandi, jangan pakai parfum ya, Mas?” pinta Deva.
“Iya,” decak Arga sebelum pergi dari ruang keluarga. Menyisakan Deva yang menatap sang suami kasihan, sedang Bu Ririn justru tersenyum melihat kepasrahan Arga guna menuruti titah Deva.
“Ga, giliran kita.” kata Bu Ririn saat nama Deva dipanggil oleh perawat agar segera masuk ke ruang pemeriksaan Dokter.
Arga pun mengangguk sebelum menuntun Deva memasuki ruang kerja Dokter yang bernama Sean dengan Bu Ririn yang mengekor. Mereka lantas disambut ramah lalu dipersilakan untuk duduk. Bokong Deva dan Arga mendarat tepat di hadapan si pria berjas putih, sedang Bu Ririn duduk di kursi tunggu; di sisi kanan spot dimana Deva dan Arga berada.
“Malam, Mas Deva. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang Dokter.
Arga lalu mendengus, “Dokter ini gimana sih? Anda ini kan Dokter, terus suami saya sakit. Ya anda bantu obatin dong, pake nanya.”
“Mas…” desis Deva lalu menatap tidak enak kepada Dokter Sean. “Maafin suami saya ya, Dokter.”
“Kok malah minta maaf sih? Aku cuma pengen Dokter Sean buat meriksa keadaan kamu, Dev. Gak kelamaan basa-basi,” tutur Arga.
Deva menyikut lengan suaminya, “Sabar dong, Mas. Tenang dulu.”
Tak jauh berbeda dengan Deva, Bu Ririn yang mendengar ucap anaknya tadi menggeleng pelan. Beruntung ada Deva di sisi Arga yang amat sigap menenangkan. Sementara sang Dokter hanya tersenyum kikuk lalu menaruh atensi kepada Deva. Arga lantas mengamati mereka lekat-lekat.
“Boleh saya tau keluhannya apa aja?” Dokter Sean to the point.
“Beberapa hari terakhir saya tuh gampang ngerasa capek. Hari ini saya nggak banyak aktivitas, tapi badan saya lemes.” sahut Deva.
“Saya juga mual sampai muntah,” lanjut Deva, “Penciuman saya jadi sensitif sama wewangian, Dok.”
“Mas Deva makannya teratur gak?” tanya sang Dokter lagi.
“Teratur kok, Dok.”
Dokter Sean mengangguk kecil lalu kembali bertanya, “Mualnya muncul biasanya kapan ya, Mas? Kalau abis makan atau gimana?”
“Tadi langsung muncul gitu aja pas saya nyium bau pengharum lemari, Dok.” keluh Deva, “Saya juga sempet pusing terus mual waktu nyium parfum suami saya. Padahal biasanya saya suka kok.”
“Pas mual tadi perutnya kram?”
“Gak, Dok.” jawab Sean.
Dokter Sean menipiskan bibirnya sejenak sambil memandangi hasil pemeriksaan fisik Deva. Nampak semuanya dalam kondisi normal.
“Kalau gitu, saya USG perut Mas Deva dulu ya. Silakan rebahan di ranjang sebelah sana, Mas.” kata Dokter Sean lalu mempersiapkan peralatannya. Sementara Arga menuntun Deva untuk berbaring. Ia pun setia berdiri di sisi ranjang sambil memerhatikan Deva yang kini mendapat pemeriksaan USG.
“Lambung normal,” kata Dokter Sean lalu menggeser transducer ke sisi lain di perut Deva sambil mengamati layar monitor, “Hati sama ginjal juga normal ya, Mas.”
Dokter Sean bergumam sebelum gerak tangannya terhenti di satu spot. Saat itu pula eskpresi wajah Dokter Sean nampak kaget. Deva pun menyadarinya, tapi si dokter tidak mengatakan apa-apa. Deva lantas panik, apalagi kala Dokter Sean justru memintanya duduk kembali di kursi seperti semula.
Gue sebenernya kenapa? Batin Deva resah. Ia bahkan gelisah.
“Jadi suami saya kenapa?” tanya Arga tanpa basa-basi ketika sang dokter duduk di hadapannya dan Deva. Bu Ririn yang mengamati sedari tadi pun ikut menunggu jawaban dengan raut cemasnya.
Berdeham, Dokter Sean menatap Deva bersama eskpresi ragu di wajahnya. “Mas Deva, saya boleh nanya hal yang personal nggak?”
“Ngawur ya, anda?” protes Arga, “Deva udah punya suami, punya saya. Ngapain anda mau nanya hal personal ke dia? Gak ben—”
“Mas,” Deva menghentikan Arga yang mulai mengomel, “Dengerin Dokter Sean dulu bisa kan, Mas?” tuturnya lembut ke sang Alpha.
“Bener kata Deva, Ga.” Bu Ririn menimpali, “Kalau kamu gak bisa diem, mending kamu keluar gih. Biar Mama yang nemenin Deva.”
Deva menghela napas, kembali memusatkan atensi ke Dokter Sean. “Boleh, Dok. Ada apa ya?”
“Apa Mas Deva pernah menjalani operasi kelamin sebelumnya?” Dokter Sean bertanya hati-hati.
Arga memukul meja lalu berdiri sambil memandangi Dokter Sean dengan kilatan mata yang kesal.
“Jangan karena anda lihat suami saya cantik terus anda pikir kalau dia separuh laki ya!” protes Arga, “Sembarangan kalau ngomong.”
“Arga!” Bu Ririn menegur, “Kamu keluar sana! Ribut mulu di sini.”
“Gak,” Arga meraih tangan Deva. “Ayo, Dev. Kita ke dokter lain aja.”
“Saya hanya ingin memastikan,” Dokter Sean menengahi. Kembali menatap Deva yang jelas kaget akan pertanyaan tiba-tibanya.
“Saya sama sekali gak bermaksud menyinggung Mas Deva dan Pak Arga. Saya minta maaf,” ucapnya.
Deva mengangguk paham. Ia lalu mendongak, menatap Arga yang berdiri di sisinya. “Mas, duduk.”
“Tapi, Sayang—”
“Mas...” Deva memelas, “Aku mau dengerin Dokter Sean. Boleh ya?”
Arga pasrah. Melihat bagaimana Omeganya memohon membuat hatinya melemah. Alhasil, ia pun kembali duduk di kursi sambil menatap datar ke Dokter Sean.
Mendapati Arga kembali duduk memicu senyum lembut di bibir Deva. Ia mengusap jemari Arga yang masih setia menggenggam miliknya sebelum menoleh ke arah Dokter Sean di depannya.
“Saya udah kayak gini sejak lahir, Dok. Gak pernah operasi,” Deva mendesis pelan. “Kenapa, Dok?”
“Saya ingin memastikan karena saya menemukan ada rahim di perut Mas Deva saat USG tadi.” Dokter Sean pun menelan ludah, terlebih saat ia melihat ekspresi kaget Deva, Arga juga Bu Ririn.
“Andai Mas Deva pernah operasi, ini pastinya bukan hal yang akan bikin Mas Deva, Pak Arga dan Ibu kaget.” Lanjut Dokter Sean, “Tapi karena ternyata Mas Deva lahir sebagai pria dan memiliki rahim seperti wanita, saya harus jelasin kalau kondisi yang dialami sama Mas Deva ini dalam dunia medis dikenal dengan istilah PMDS.”
“Kejadian kayak gini langka, tapi bukan berarti gak bisa terjadi. Di Indonesia, Mas Deva jadi orang pertama yang ngalamin. Tapi di negara lain, udah ada pria yang mengalami PMDS sebelumnya.”
“Di Amerika, ada pria yang hamil, tapi dia memilih untuk operasi kelamin menjadi wanita. Karena sejak kecil dia sadar sisi feminim dalam dirinya lebih besar,” lanjut Dokter Sean. “Sementara itu, di Inggris, ada pria penderita PMDS yang justru memilih mengangkat rahimnya. Karena dia nggak bisa menerima dirinya sendiri sebagai pria tulen kalau dia bisa hamil.”
“Jadi maksud Dokter,” suara Deva agak bergetar. “Saya bisa hamil?”
Dokter Sean mengangguk, “Dari hasil USG tadi, saya ngeliat kalau Mas Deva sedang dalam kondisi hamil. Tapi saya gak bisa mastiin usia kandungan Mas berapa, itu udah ranah Dokter kandungan.”
“Pusing, mual dan muntah yang Mas Deva alami kemungkinan besar gejala morning sickness.” tutur Dokter Sean lebih lanjut, “Biasanya gejala ini terjadi sejak tiga Minggu sampai tiga bulan pertama kehamilan,” final-nya.
Deva mengeratkan genggaman tangannya dengan Arga, sedang sang Alpha yang menyadari jika suaminya tengah gugup bahkan takut lantas menahan napasnya.
“Kondisi yang suami saya alami ini kira-kira bisa membahayakan nyawanya gak, Dok?” tanya Arga.
“Untuk secara langsung, enggak. Tapi kalau testis Mas Deva udah gak turun, itu bisa merosot atau mengembangkan kanker. Pak. Jadi akan diperlukan operasi.”
Arga mendengus, “Testis suami saya normal-normal aja. Baru dua hari yang lalu saya emut—”
“Mas!” decak Deva kesal sambil menahan malu melihat Dokter Sean sibuk menahan tawanya.
“Jadi langkah yang harus saya ambil gimana ya, Dok?” tanya Deva sekaligus mengalihkan pembicaraan kotor Arga tadi.
Dokter Sean tersenyum lembut, ia sadar betul akan kekhawatiran Deva. “Semuanya kembali lagi ke Mas Deva kok. Mau milih hidup dengan rahim kayak penderita di Amerika yang saya ceritain tadi, atau justru memilih buat angkat rahim seperti orang di Inggris.”
“Karena yang paling penting dari efek PMDS ini bukan hanya soal kemungkinan penyakit penyerta, tapi tentang mental si penderita.” jelas Dokter itu, “Jangan sampai Mas Deva merasa berbeda terus tertekan, gak nerima diri sendiri.”
Berpikir sejenak, Deva kemudian melirik Arga. Sang suami tidak henti menatapnya. Setelahnya, ia kembali menoleh ke dokter Sean.
“Saya memilih buat nggak hidup seperti keduanya, Dok. Saya mau tetap jadi pria seperti sekarang, tapi saya nggak mau mengangkat rahim saya.” tegas Deva, “Hamil enggak bikin saya ngerasa kalau saya bukan pria seutuhnya kok.”
Dokter Sean kembali tersenyum, sedang Deva melanjutkan. “Saya hidup sebagai laki-laki sejak lahir dan bersikap selayaknya laki-laki sampai saat ini. Punya rahim itu bukan hal yang harus bikin saya malu, justru saya merasa spesial.”
“Saya juga yakin, orang tua dan suami saya bisa nerima kondisi saya sekarang.” timpal Deva lalu menoleh ke Arga, “Iya kan, Mas?”
Mata Arga berkaca-kaca. Ia pun mengangguk sebelum menciumi punggung tangan sang Omega. Setelahnya, Deva lantas melirik Bu Ririn. Nampak sang mertua masih kaget, tapi ia tersenyum haru diikuti anggukan mantap.
“Kalau gitu, saya akan alihkan Mas Deva ke Dokter kandungan ya?” Dokter Sean mencatat di kertas berisi rekam medis Deva.
Deva mengangguk, “Iya, Dok.”
“Selamat atas kehamilannya,” si Dokter menjulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Deva.
“Makasih, Dokter Sean.”
“Terima kasih kembali,” balasnya. “Suatu kehormatan karena saya bisa menangangani Mas Deva, apalagi dengan kondisi langka. Saya juga merasa spesial, Mas.”
“Kenapa anda malah ikut-ikutan ngerasa spesial sih?” decak Arga, “Jadi gimana? Saya sama suami saya udah boleh keluar nggak?”
“Boleh, Pak. Silakan,” sahut sang Dokter, “Nanti Mas Deva sama Pak Arga akan diantar perawat.”
“Oke,” kata Arga, “Makasih ya.”
Arga kemudian menuntun Deva yang telah berpamitan dengan Dokter Sean untuk berdiri lalu keluar dari ruang pemeriksaan. Sambil menunggu perawat yang akan mengantarkan mereka ke Dokter spesialis Obgyn, Arga pun membawa sang suami ke bangku panjang; masih dengan Bu Ririn.
“Kamu sama Mama duduk di sini dulu,” titah Arga yang disanggupi oleh Deva juga si paruh baya.
Tepat setelah Bu Ririn dan Deva menyamankan posisi di bangku, Arga lantas tersenyum saat sang Mama tiba-tiba membelai pipi Deva. Bu Ririn bahkan menciumi wajah suaminya itu bertubi-tubi.
Mendapat perlakuan demikian, Deva pun hanya terkekeh geli. Setelahnya, ia tersenyum ketika Bu Ririn menangkup wajahnya.
“Sebelum hari ini datang, Mama selalu berpikir kalau Mama siap mati kapan aja kalau Tuhan mau ngambil nyawa Mama.” lirih si paruh baya, “Mama tuh ngerasa kebahagiaan Mama udah lengkap semenjak kamu jadi suami Arga.”
“Ngeliat Arga bahagia dan selalu berusaha buat bahagiain kamu juga bikin Mama ngerasa tenang banget, Dev.” katanya, “Mama gak takut ninggalin Arga sama kamu.”
“Tapi pas Mama tau kalau kamu sekarang lagi hamil, Mama gak mau mati dulu sebelum liat cucu Mama lahir.” lanjut Bu Ririn lalu mengusap kepala Deva dengan mata yang berkaca-kaca, “Kamu sama bayi kamu sehat-sehat ya.”
Deva menggeleng, “Maaa, jangan ngomong gitu. Mama juga harus sehat-sehat sampai cucu Mama gede. Jangan mikir gitu lagi ya?”
“Iya, sayang.” air mata Bu Ririn menetes, Deva pun menyekanya.
“Mama kok nangis?” kekeh Deva agar tak berakhir ikut menangis.
“Mama seneng, terharu juga.”
Mengangguk paham, Deva lalu mendongak kepada sang suami yang berdiri di hadapannya. Arga menatap matanya begitu dalam.
“Kamu gak duduk, Mas?”
Arga menipiskan bibir sebelum duduk dengan posisi berlutut di depan kaki Deva, membuat sang Omega juga Bu Ririn tersentak. Persekian sekon berikutnya, Arga mengusap pelan perut Deva lalu mendaratkan kecupan di sana.
“Entar si adek bayi yang ada di sini cemburu kalau cuma kamu yang dicium-cium,” tutur Arga sambil mendongak, menatap wajah rupawan sang Omega.
Deva tersenyum, sedang jemari lentiknya membelai pipi Arga.
“Tapi Mas Arga belum nyium aku sejak pulang ke rumah tadi,” kata Deva dengan nada candaannya.
Arga tersenyum, menyejajarkan wajahnya dengan Deva hingga suaminya itu panik. Sedang Bu Ririn yang melihat tingkahnya lantas geleng-geleng kepala.
“Kamu mau aku cium di sini?”
“Mas Arga, ish!” Deva mendesis, “Aku bercanda. Jangan di sini.”
Arga tidak peduli. Ia mengecup singkat bibir tipis Deva sebelum mendekap tubuh sang Omega; wajahnya Arga tenggelamkan di perut Deva. Pasrah bukan lagi sebuah pilihan bagi Deva. Pun Bu Ririn yang menjadi saksi bisunya.