Heart
“Ahh! Mas! Ngh!”
Deva mencengkeram kuat sprei di bawah tangannya ketika Arga yang kini masih mengejar puncak kenikmatan duniawi tidak henti menubruk titik terdalam dirinya; membabi buta. Kedua kaki Deva sudah amat lemas, mengingat ia telah orgasme dua kali, terhitung saat mereka berhubungan intim di dapur lalu berlanjut di kamar seperti sekarang ini. Melelahkan, tapi Deva justru menikmatinya.
“Deva, i’m coming.”
“Mas Arga... Ahh... Hhh!”
“Aaaahh!”
Deva dan Arga lantas berdesah ketika sang Alpha telah sampai pada orgasme keduanya. Deva pun bisa merasakan bagaimana hangatnya air mani Arga yang kembali memenuhi lubangnya. Namun karena keluar terlalu banyak, Arga seketika bergegas mengeluarkan kelaminnya dari anal Deva. Arga lalu merangkak, berdiri dengan lututnya tepat di depan wajah sang Omega sambil mengurut kejantanannya di sana.
Deva yang telah paham maksud suaminya pun menjulurkan lidah. Ia dengan senang hati menerima sisa-sisa mani yang mengucur dari sana sebelum menelannya. Sama seperti yang Arga lakukan ketika ia orgasme duluan tadi.
“Is it good?” Arga menyapu setitik cairan yang mengenai pipi Deva dengan ibu jari diikuti senyum.
Deva ikut tersenyum, “Asin.”
Terkekeh pelan, Arga kemudian membungkuk, melumat lembut bibir tipis suaminya. Keduanya berbagi ciuman sesaat sambil menetralkan degupan hebat di jantung, begitupun napas yang memburu akibat aktivitas panas.
Setelah cukup puas berbagi cium dan kecup mesra, Arga berguling ke sisi kanan Deva. Ia berbaring dengan posisi menyamping. Satu tangan ia luruskan, sedang yang lainnya bergerak guna menuntun kepala Deva agar menjadikannya bantal. Sementara Deva refleks memeluk erat pinggang Arga.
Kini sang Omega berakhir dalam dekapan Arga yang tak hentinya menatap lamat wajahnya. Mata Deva terpejam dengan nyaman, apalagi saat suaminya membelai lembut pipi kirinya dengan satu tangan yang terbebas sebelum diakhiri dengan kecup di kening.
“Saya sayang kamu,” bisik Arga.
Tutur sang Alpha membuat mata Deva yang semula terpejam pun seketika terbelalak. Ia kemudian menatap suaminya tak percaya. Terlebih saat Deva mengingat Bu Ririn pernah berkata bahwa Arga tidak pernah mengucapkan kata sayang bahkan kepada Mamanya.
Sementara itu, sang Alpha justru nampak begitu tenang. Tatapan teduhnya tenggelam di dalam netra kelam yang amat ia puja.
“Sejak pertama kita ketemu dulu, atensi saya selalu tertuju sama kamu.” timpal sang Alpha tanpa menunggu respon Deva, “Entah kenapa saya pengen jagain kamu dan ada buat kamu mulu, Deva.”
“Saya takut kamu dijahatin sama orang sampai-sampai saya ingin di samping kamu setiap waktu,” tuturnya lembut, “Saya gak mau kalau aja kamu berakhir disakiti.”
“Tapi kemarin, saya yang justru ngerasa udah jahatin kamu...” mata Arga berkaca-kaca, “Hati saya sakit pas ngeliat kamu sedih bahkan nangis karena ulah saya.”
Satu tangan Deva pun bergerak, mengusap punggung suaminya. Tidak berniat untuk memotong ucapan Arga yang begitu dalam.
“Gak ada kamu di samping saya rasanya hampa,” katanya. “Kayak ada yang hilang dari diri saya.”
“Sebaliknya, tiap ada kamu di sisi saya apalagi ngeliat kamu seneng sampai senyum tuh saya bahagia banget, Dev.” tutur Arga. “Natap wajah kamu kayak sekarang aja, saya selalu ngerasa lebih baik.”
“Mungkin ini yang kamu dan orang-orang sebut cinta. Saya gak tau,” sang Alpha tersenyum hambar, “Karena sejak kecil dulu, apa yang saya pikir cinta justru bikin saya dan Mama hancur.”
“Papa yang selalu nunjukin kalau perasaannya ke Mama itu cinta justru jadi orang yang bikin saya gak bisa percaya lagi sama cinta.”
Deva menahan napas. Lidahnya kelu hingga ia lantas bungkam saat tau alasan sesungguhnya kenapa Arga tak percaya cinta.
“Tapi saya tau kok kalau hati saya udah jatuh,” katanya, “Saya sadar betul cuma kamu yang bikin saya ngerasa kayak gini selama hidup.”
“I’m down bad for you,” jelas Arga, sedang Deva menyimak. “Kamu menangin hati saya sedari awal.”
“Saya hanya gak mau ketakutan saya soal cinta justru ngeganggu perasaan saya ke kamu,” jujurnya.
“Saya takut ketika saya percaya kalau perasaan saya ke kamu ini cinta, bayangan soal Papa saya datang lalu merusak semuanya.”
“Jadi yang selama ini saya lakuin cuma berusaha nyenengin kamu dan ngasih yang terbaik sebagai suami,” lirih Arga, “Saya pengen pernikahan kita baik-baik aja.”
Sang Alpha kemudian meraih jemari Deva. Menggenggamnya, lalu menciumi punggung tangan Omeganya itu beberapa detik.
“Tapi saya akan nyoba, Dev. Saya akan nyoba untuk percaya kalau cinta yang saya pikir cuma bikin hati saya terluka gak sejahat itu.”
Mata Deva lantas berkaca-kaca.
“Karena saya percaya kamu,” kata Arga, “Saya selalu percaya kamu.”
Arga kemudian menyampirkan rambut yang mengganggu mata Deva sejenak sebelum menghela napas. Ia kembali memandangi Deva lekat-lekat lalu bersuara.
“Soal Luna, hubungan saya sama dia tiga tahun lalu gak se-dalam itu.” sang Alpha bercerita, “Saya macarin dia juga tanpa perasaan apa-apa. Tapi karena dia selalu bersikeras pengen bikin saya percaya cinta, saya nerima dia.”
Jujur saja Deva kaget mendengar fakta itu, tapi ia tetap menyimak.
Arga menghela napas, “Saya liat usaha dia buat meluluhkan hati saya, meskipun saya gak pernah ngasih atensi dan afeksi ke dia.”
“Sampai pada akhirnya saya mau mencoba untuk menerima dia sambil mulai berusaha percaya kalau cinta itu ada,” lanjutnya.
“Waktu itu saya bahkan berani ambil keputusan mau ngelamar dia, karena saya pikir dia orang yang benar-benar tulus. Mama juga sayang sama dia,” jelas Arga.
“Beruntungnya, tepat di malam saya mau ngelamar Luna, saya ngeliat dia having sex sama CEO Techindo. Namanya Damian, dia mau kerjasama dengan Hardiyata Group juga karena usaha Luna.”
“Dan sebelum itu Mama emang udah bilang, Luna bakal dikasih promosi jabatan kalau kerjasama bareng Techindo ini berhasil.” katanya, “Mama bener-bener pengen berterima kasih sama Luna karena udah bantuin saya yang waktu itu masih CEO baru.”
“Ditambah lagi, sejak Luna jadi sekertaris saya, dia gigih dan rela ngelakuin apa aja supaya saya gak diremehin sama orang-orang yang meragukan saya.” Arga pun menghela napas, “Tapi ternyata dia ngelakuin itu ada tujuannya.”
Arga mencubit pelan dagu Deva.
“Sekarang kamu udah paham kan kenapa saya bilang kalau si Luna cuma manfaatin saya?” tanyanya dan dibalas anggukan oleh Deva.
“Malam itu, saya akhirnya sadar kalau Luna bukan orang yang tepat buat jadi istri saya. Dia gak setulus yang saya dan Mama pikirkan selama ini,” lanjut Arga.
“Saya bersyukur karena saya tau sifat busuk Luna sebelum saya ngelamar dia. Tapi sialnya, saya justru teringat sama perbuatan Papa pas ngeliat dia selingkuh.”
Deva mengulum bibirnya sesaat ketika mendengar suara Arga bergetar, nampak suaminya itu sedang menahan isak tangisnya.
“Bayangan gimana Papa tidur sama wanita lain di depan mata saya nyakitin saya,” tenggorokan Arga sakit, “Hati saya hancur banget kalau ingat kejadian itu.”
“Andai aja saya gak punya masa kecil yang pahit, kebencian saya sama Luna gak akan bikin saya sensi mulu ke dia seperti yang kamu bilang tiga hari lalu, Dev.”
“Saya cuma bakal gak suka sama kepribadian Luna yang bermuka dua dan manfaatin saya doang.” tuturnya. “Saya sama sekali gak menyimpan amarah dan belum move on dari rasa sakit gara-gara diselingkuhin dia. Karena sedari awal, saya gak menaruh hati atau pun memuja Luna sebagai pacar.”
“Tapi saya sakit karena dia bikin luka yang pengen saya sembuhin justru tambah parah.” lirih Arga, “Tiap kali ngeliat Luna, saya akan teringat sama Papa. Karena bagi saya, mereka orang yang sama. Mereka sama-sama selingkuh.”
“Dan saya gak akan pernah bisa menolerir orang-orang sejenis Papa.” katanya, “Saya bahkan gak mau berurusan sama mereka.”
“Makanya saya selalu menolak eskistensi Luna,” jelas sang Alpha, “Karena saya gak mau sakit lagi. Saya nggak mau ingat Papa lagi.”
Arga menarik napasnya sejenak lalu mendongak guna menahan laju air mata agar tak terbebas. Masih dengan Deva yang berada dalam dekapannya. Setelahnya, Arga kembali menatap si Omega.
“Saya minta maaf ya kalau kamu ngerasa saya ngebiarin masalah saya sama Luna tetap ada.” ucap Arga, “Sampai kamu mungkin mikir kalau saya masih terjebak di dalam bayang-bayang Luna.”
“Kamu benar, saya gak berdamai sama sakit dari luka masa lalu…” tutur Arga, “Tapi luka itu asalnya bukan dari Luna, karena sakit ini datang dari Papa saya sendiri.”
Arga menipiskan bibir sejenak,
“Saya nggak tau luka saya sejak kecil ini bisa sembuh atau gak,” ada kepasrahan dalam suaranya, “Rasanya sakit banget, Dev. Saya kalau denger kata selingkuh aja suka ketakutan sampai sesak.”
“Tapi kayak yang kamu bilang… Saya gak bakal bisa berbagi rasa sakit sama kamu kalau saya juga gak bisa menerima rasa sakit itu.”
Arga tersenyum meski wajahnya sedu, “Jadi saya akan nyoba buat menerima rasa sakit itu, Deva.”
“Bantuin saya ya? Temenin saya.” pinta Arga kepada sang Omega, “Saya gak bisa ngelewatin semua ini sendiri tanpa kamu,” katanya.
Anggukan menjadi awal respon Deva. Ia kemudian mengecup tulang selangka suaminya lalu berpindah ke rahang Arga dan berakhir di bibir. Sementara satu tangannya membelai pipi Arga.
“Aku ngerti, Mas. Gak mudah ada di posisi kamu. Pelan-pelan aja,” ia berusaha menenangkan Arga, “Sembuh itu juga butuh proses.”
Deva mengusap pipi Arga, “Kamu tuh laki-laki paling hebat yang pernah aku kenal tau gak, Mas?”
“Dibalik luka yang kamu simpan selama ini, kamu selalu berusaha buat nyenengin aku dan mikirin pernikahan kita. Padahal kamu sendiri lagi nggak baik-baik aja.” katanya, “Kamu kuat banget.”
“Tapi, Mas…” Deva melanjutkan ucapannya, “Kamu nggak harus selalu kuat di depan aku. Ya?”
Arga lantas meneteskan air mata.
“Kalau kamu lagi nggak baik-baik aja, ada bahu aku yang bisa kamu jadiin tempat bersandar.” timpal Deva, “Atau kalau kamu pengen nangis, ada lengan aku nih yang terbuka lebar buat meluk kamu.”
Deva menghela napas panjang.
“Aku mungkin emang nggak bisa nyembuhin luka kamu, Mas. Tapi aku bisa nemenin kamu melewati masa-masa sakit itu,” tegas Deva.
“Kamu punya aku, Mas. Kamu gak sendiri,” kata Deva lembut, “Aku mau kok jalanin susah dan senang sama kamu,” final-nya.
Arga tak mengatakan apa-apa, ia hanya tersenyum haru sebelum memeluk erat tubuh suaminya. Deva pun membalas dekap Arga tak kalah erat sambil menghirup wangi si Alpha yang ia rindukan.
“Mas Arga,” gumam Deva.
“Mm?”
“Makasih ya, udah sayang sama aku.” ucapnya, “Aku juga seneng kamu mau cerita gini sama aku.”
Arga mengangguk kecil sebelum mengecup puncak kepala Deva. Ada ruang di balik dadanya yang terasa sejuk setelah ia berbicara dengan Deva tentang isi hatinya; juga ketakutannya. Pun saat Arga mendengar respon Omeganya.
Cukup lama saling berpelukan, Deva yang tiba-tiba merasa jika tenggorokannya kering kembali bergumam, “Mas, aku haus deh.”
Arga terkekeh pelan lalu beralih memandangi wajah sang Omega, “Haus banget abis teriak-teriak pas kontol saya duet maut sama vibrator di lubang kamu tadi ya?”
“Ish! Mas Arga,” Deva tertawa sambil memukul pelan lengan suaminya, “Apaan, duet maut.”
Mengecup kening Deva sesaat, Arga kemudian bangkit. Menoleh ke arah nakas hingga mendapati bahwa botol air mereka kosong.
“Kamu udah haus banget?”
“Gak sih, Mas.” jawab Deva.
“Kalau gitu kita mandi dulu ya?” usul Arga, “Abis itu saya ke dapur ngambilin air, sekalian mungutin baju kita yang masih ada di sana.”
“Beneran mandi?” Deva skeptis, “Apa masih mau nambah lagi?”
Menahan senyumnya, Arga lalu bangkit dari ranjang sebelum menggendong Deva brydal. Arga tak mengatakan apa-apa sambil terus berjalan ke kamar mandi. Membuat Deva lantas merengek.
“Mas Arga, jawab aku. Beneran mandi apa masih mau nambah?”
“Emang kenapa kalau saya masih mau nambah?” ledek Arga, “Udah capek teriak pas saya ewe? Hm?”
Senyum Deva tertahan, “Nggak.”
“Terus?”
Mata Arga memicing kala melihat wajah Deva memerah. Persekian sekon berselang, Deva bersuara.
“Kalau kamu pengen nambah, aku mau digendong lagi, Mas. Kalau boleh,” cicitnya di akhir.
Arga tersenyum, “Kamu suka?”
“Mm,” gumam Deva malu-malu. “Tapi kalau Mas Arga capek, gak usah. Entar aja kapan-kapan.”
“Kita mau ngewe sampai besok pagi juga saya gak bakal capek.”
Netra legam Deva pun berbinar mendengarnya, “Jadi boleh, Mas?
“Iya, sayang.”
Detak jantung di balik dada Deva seakan berhenti saat sang Alpha memanggilnya sayang. Ia yakin telinganya tak salah menangkap.
Tapi kenapa tiba-tiba sih?
Deva salah tingkah, alhasil ia pun terdiam sambil menyembunyikan wajah di ceruk leher sang Alpha. Sementara itu, Arga yang sadar akan tingkah menggemaskan Deva hanya tersenyum sampai mereka tiba di kamar mandi.