Gone
“Si bapao nennya mau sambil rebahan apa duduk, Sayang?”
Arga bertanya pada Deva tepat setelah mereka masuk ke kamar. Ruangan yang telah dilengkapi dengan box bayi itu akhirnya akan mereka tempati lagi setelah ditinggal lima hari. Sebab, Deva harus dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi caesar.
“Duduk aja, Mas. Biar nanti lebih gampang mindahin ke box bayi,” jawab Deva yang menggendong baby Pao, sedang Arga seketika bergegas mengambil dua bantal.
Setelahnya, Deva duduk di tepi ranjang—dengan punggung yang bersandar di headboard—diikuti Arga yang meletakkan bantal di atas paha Omeganya. Deva pun merebahkan baby Pao di atas bantal tadi. Dengan posisi itu pula si buah hati bisa dengan mudah menemukan putingnya. Dan Deva tidak akan merasakan sakit di bekas sayatan operasinya karena tak perlu membungkuk.
Arga kemudian menyamankan posisi di hadapan Deva. Ia lalu membuka tiga kancing teratas piyama yang dipakai Deva hingga si bayi menyusu pada Papanya.
“Makasih ya, Mas.”
Alis Arga bertautan, “Buat apa?”
“Karena kamu udah ngurusin aku sejak lahiran, Mas.” jawab Deva, “Bahkan untuk hal kecil sekali pun, kamu selalu ada buat aku.”
“Itu kan emang udah tugas aku sebagai suami kamu.” decak Arga.
“Masa aku tega sih ngeliat kamu yang perutnya abis dibelah, yang sakitnya pasti bukan main, harus ngelakuin apa-apa sendiri, Dev?”
“Tapi tetep aja, Mas.” sahut Deva, “Aku bersyukur banget tau nggak punya suami kayak kamu, yang perhatian sama aku, sama baby.”
“Mama bilang ke aku tadi, kalau semalem kamu yang ngasih baby susu pas kebangun. Kamu juga puk-pukin baby ampe bobo lagi.”
“Aku terharu banget dengernya,” katanya diikuti senyum, “Kenapa kamu nggak bangunin aku, Mas?”
Arga menghela napas, “Semalem kamu tidurnya lelap banget. Aku tau, kamu pasti lagi capek, Dev.”
“Mana si bapao juga dikit-dikit kebangun buat minta nen, tidur kamu jadi gak cukup. Gak baik.” jelas Arga, “Aku pengen kamu sama si baby tetep sehat. Jadi kalau aku bisa bantu kamu biar nggak kecapean, ya, why not?”
Senyum manis Deva pun kembali merekah di bibirnya, “Tapi kamu juga harus sehat-sehat ya, Mas?”
“Kamu pengen aku sehat?”
Deva mengangguk kecil, “Mm.”
“Aku bakal sehat kalau dicium.”
Tutur Arga lantas membuat si Omega menahan senyumnya, sementara Arga menyeringai. Ketika wajah Arga mulai condong ke arahnya, Deva pun berpasrah untuk menerima ciuman dari suaminya. He’s so ready for that.
Sayangnya, sebelum bibir kedua anak manusia itu berpadu dalam kecup mesra, baby Pao tiba-tiba bergumam. Bayi berpipi gembul itu seolah berbicara, tapi masih sambil menyusu pada Papanya. Arga dan Deva lantas bersitatap.
“Si baby ngelarang kamu nyium aku,” Deva menggoda Arga lalu terkekeh, “Dia ngomel loh, Mas.”
Menghela napasnya, Arga lantas menatap baby Pao lalu menekan-nekan pipi kiri anaknya dengan telunjuk. Ia kemudian mendesis.
“Kamu nih, masih segede pentil Papi, tapi udah posesif gini. Ck!”
“Ya posesifnya nurun dari siapa coba?” canda Deva diikuti tawa.
“Tapi kan aku posesifnya karena pengen jagain kamu,” sela Arga lalu kembali menatap baby Pao.
“Ya udah, kalau Papi gak boleh nyium Papa, biar baby aja yang dicium.” Arga pun membungkuk, mencium gemas pipi kiri si bayi.
“Mhm, wangi banget anak Papi.” gumam sang Alpha lalu memberi kecupan lain di kening anaknya sebelum kembali menatap wajah baby Pao, “Sekarang baby tidur ya? Biar Papa juga bisa istirahat.”
Melihat bagaimana Arga selalu mencoba berbicara dengan si buah hati memicu kesejukan di dalam benak Deva. Padahal, saat anak mereka baru lahir lima hari lalu, Arga terlihat masih bingung bahkan kaku ketika berhadapan dengan anaknya di rumah sakit.
“Bobo juga si bapao,” bisik Arga lalu kembali duduk tegak saat mendapati jika anaknya telah menutup mata dengan damai.
“Kamu bersih-bersih gih, Mas. Di jalan pulang tadi katanya gerah.”
Arga menggeleng, “Entaran aja.”
Deva mengangguk paham lalu memandangi wajah baby Pao. Ia ingin menunggu hingga si buah hati semakin lelap sebelum nanti dipindahkan ke box bayi yang tidak jauh dari ranjang. Namun saat Deva melirik sekilas ke arah suaminya, ia justru mendapati Arga menatap wajahnya lamat.
“Kamu kenapa liatin aku kayak gitu, Mas?” Deva salah tingkah.
Sang Alpha tidak menjawab. Arga justru mengecup pipi kanan dan kiri Omeganya itu bergantian sebelum kembali menatap Deva.
“Kamu abis lahiran kok makin cantik aja sih?” Arga akhirnya buka suara, “Nyebelin banget.”
Deva tersentak, “Kok nyebelin?”
“Ya karena aku gak bisa nyentuh kamu sembarangan, ck!” wajah Arga tertekuk, “Aku mau meluk kamu aja musti hati-hati banget biar bekas operasinya gak sakit.”
“Padahal aku tuh pengen meluk kamu kenceeeng banget sambil cium-cium pipi kamu,” keluhnya.
“Mana kita nggak boleh ngewe dua bulanan lebih lagi,” katanya. “Tetek kamu semenjak diisep si bapao juga makin berisi, kan—”
“Ish, Mas Arga!” Deva memotong ucapan suaminya dengan suara pelan, “Jangan ngomong jorok di depan baby,” ia memperingati.
Melihat wajah kesal Omeganya membuat perut Arga tergelitik. Sementara Deva geleng-geleng kepala lalu ikut tersenyum tipis.
Detik berlalu, dua pasang mata yang saling beradu itu perlahan mengikuti naluri untuk membuat bibir mereka bertemu. Arga pun memulainya dengan mengecup bibir Deva sebelum melumatnya.
Diterimanya ciuman sang Alpha dengan senang hati oleh Deva. Ia membuka mulutnya, memberi akses lebih untuk Arga agar kian leluasa menyesap isi mulutnya.
Dengan kondisi dimana baby Pao masih menyusu padanya, sedang sang suami aktif memagut habis bibirnya memicu lenguhan Deva. Sensasi hisapan Arga di bibirnya, juga hisapan baby Pao di puting berisinya amat memabukannya.
Cukup lama saling berbagi saliva, Arga pun mendaratkan kecupan lembut di bibir Deva; sekaligus menjadi akhir ciuman mereka. Ya, setidaknya untuk saat ini saja.
“Si bapao udah anteng kayaknya,” suara Arga amat pelan, “Biar aku pindahin ke box bayi. Kamu bobo juga, sebelum baby bangun lagi.”
Deva berpikir sejenak. “Aku mau buka kado dari Nua dulu, Mas.”
“Ya udah, abis mindahin si baby, aku ambilin.” ujar Arga sebelum bangkit, meraih baby Pao dari pangkuan Deva amat hati-hati.
Deva tak melepas pandangannya dari Arga yang berjalan ke arah box bayi. Suaminya itu kemudian merebahkan si buah hati di sana.
Arga pun tak lupa memerhatikan wajah baby Pao sejenak sebelum kembali berdiri di sisi ranjang. Ia mengusap puncak kepala Deva.
“Kado Nua ada di mana, Sayang?”
“Aku taroh di laci meja rias yang di walk in closet, Mas.” kata Deva.
Mengangguk paham, Arga lantas melenggang ke tempat dimana kado itu berada. Sementara itu, Deva mulai meremas jemarinya. Ia tiba-tiba gugup memikirkan Nua yang telah hilang kontak.
“Ini kan, Dev?”
Deva menoleh ketika Arga telah kembali dari walk in closet dalam kamar mereka. Ia mengangguk.
Arga pun duduk di sisi Deva lalu meletakkan kado Nua di atas paha sang Omega. Deva lantas membukanya dengan hati-hati.
Tepat setelah kotak berwarna pink pemberian Nua itu terbuka, Deva mendapati sepucuk surat di atas tumpukan guntingan kertas kraft putih. Dengan sigap Deva meraih lalu membacanya, pun Arga yang setia menemaninya.
Dev, kalau lo udah baca surat ini, berarti lo abis lahiran. Dan artinya lo sama Arga juga udah resmi jadi orang tua Baby Pao.
Selamat ya buat kalian. Baby Pao akhirnya brojol. Pasti si bapao gemesin banget yaa? Cubit pipinya buat gue please!
Deva, maaf ya karena gue gak ada di tengah-tengah lo sama Arga pas lo lahiran. Beberapa hari terakhir, tubuh gue jadi lemah banget. Dan gue yakin kondisi gue bakal makin buruk pas lo mau lahiran. Makanya gue nulis surat ini, sekalian buat pamitan sama kalian.
Walaupun gue gak ada di sisi lo, tapi gue bisa ngerasain kok detik-detik pas baby Pao bakal lahir. Karena pada saat itu juga wujud gue yang sekarang akan perlahan hilang, sekaligus jadi tanda kalau tugas gue buat ngawasin kalian udah selesai.
Pasti lo sama si Arga pengen nanya lagi kan apa hubungan tugas gue sama kelahiran Baby Pao? Gue udah hapal wkwkw!
Jawabannya ada di ucapan gue dalam mimpi Arga waktu itu. Tugas gue cuma ngawasin lo berdua sampai kalian terikat kembali. Dan Baby Pao yang bisa bikin lo sama Arga terikat.
Eksistensi anak gak cuma buat lengkapin kebahagiaan orang tua, tapi juga sebagai pengikat. Karena sejatinya, anak itu tuh hasil dari dua orang yang udah tau hati mereka gimana; yang saling mencintai. Anak adalah wujud nyata dari hati kalian yang dititipin sama Tuhan, jadi harus kalian jaga sama-sama.
Makanya orang modern juga ngasih istilah ‘buah hati’ buat anak dari sebuah hubungan, bukan buah ngewe. Mana tau si Arga udah siap-siap protes.
Jadi, secara gak langsung, gue bisa ngeliat gimana lo lahiran. Berarti gue udah nepatin janji gue kan? Hehe. Gue udah liat lo lahiran sebelum pergi, Dev.
Oh iya! Gue ada kado buat lo sama si Baby Pao nih, Dev.
Kado dari gue buat baby Pao gak seberapa, tapi tolong lo simpen baik-baik ya? Pakein kalau dia udah gedean dikit. Biar gue bisa tetep deket sama si bapao meskipun wujud gue udah ga ada di antara kalian.
Terus, kado gue buat lo, cuma lo sih yang bisa pake. Tapi gue yakin, Arga bakal ikut seneng kalau ngeliat lo pake kado dari gue ini. Jadi imbang kan? Satu kado buat lo berdua hahaha!
Deva, Arga, di kehidupan yang sekarang, mungkin kita emang gak bakal bisa ketemu lagi. Ini kesempatan terakhir gue buat bilang makasih karena udah menganggap gue bagian dari kisah kalian. Tapi gue janji kok, di kehidupan berikutnya, gue bakal nyari kalian berdua lagi. Gue bakal jadi sahabat kalian lagi. Tunggu gue ya, Dev? Ga?
It’s not a goodbye, it’s a see you later. So please, be happy.
With love, Nua
Air mata Deva menetes, sedang Arga dengan sigap merangkul bahu Omeganya. Sesekali Arga memberi usapan juga kecupan di puncak kepala Deva. Mata sang Alpha berkaca-kaca, namun ia mencoba menguatkan dirinya untuk Deva agar tak menangis.
“Nua beneran udah pergi, Mas.”
“Mhm,” gumam Arga. “Tapi aku yakin Nua pergi dengan bahagia, karena tugas dia udah selesai.”
Anggukan lemah menjadi respon Deva sebelum ia meraih kado pemberian Nua dibalik kertas kraft putih. Saat itu pula Deva mendapati kotak kecil berwarna hitam lalu membukanya. Deva kemudian tersenyum tipis kala melihat isi kotak itu ternyata kalung berbentuk kepala koala.
“Ini pasti buat si Bapao ya, Mas.” Deva meraih kalung itu sembari mengusapnya, “Lucu banget.”
“Iya,” Arga mendengus. “Tapi kok bentuk koala sih, bukan bapao?”
“Mungkin Nua punya alasannya sendiri, Mas.” Deva meletakkan kalung itu kembali ke kotaknya.
Setelahnya, Deva lantas meraih sesuatu yang dibungkus dengan kertas doorslag putih. Perlahan Deva membukanya hingga ia dan Arga melihat dengan jelas bahwa kado dari Nua untuknya adalah satu set sex toy berisi bando kucing, chocker, tali dan ekor.
“Kamu tau nggak itu buat apa?” Arga memastikan, sebab Deva diam sambil menatap kado itu.
Ya, Deva kehabisan kata sesaat.
“Tau, Mas.” Deva menyeka jejak air matanya lalu melirik Arga, “Kita emang gak pernah nyoba pake ini ya kalau lagi ngewe? Si Nua tau banget,” Ia tersenyum.
Arga ikut tersenyum, “Tapi aku harus nunggu dua bulanan lagi buat liat kamu pake kado Nua.”
“Si Nua kayaknya sengaja deh mau nguji kesabaran aku,” kata Arga lalu menghela napas gusar.
“Bukan mau nguji, tapi melatih.” ledek Deva lalu meletakkan kado Nua untuknya di tempat semula.
Sejenak Arga dan Deva terdiam sambil memandangi kotak pink pemberian Nua. Persekian sekon berikutnya, Deva pun menoleh pada suaminya sambil meraih jemari Arga; menggenggamnya.
“Mas, aku udah ada ide, saran nama yang bagus buat si baby.”
“Apa?” Arga penasaran.
“Danu,” jawab Deva, “Singkatan dari inisial nama aku, kamu sama Nua. Dengan gitu juga kita bisa selalu ingat sama Nua. Gimana?”
Menipiskan bibirnya, Arga lalu membelai pipi Deva. “Kalau kamu suka dan menurut kamu itu baik, aku setuju. Danu sounds good.”
“Btw kamu masih pengen nangis gak?” timpal Arga dengan tanya.
Deva menggeleng, “Nggak, Mas. Kamu bener, Nua pasti pergi dengan bahagia. Jadi aku sama kamu juga harus bahagia kan?”
“Pinter,” Arga mengecup kening Deva. “Sekarang kamu bobo ya? Entar aku bangunin kalau Bi Yati udah selesai masaknya,” katanya.
“Iya, Mas.”