The Answer

Biru yang sedari tadi rebahan di atas ranjang di dalam kamarnya sambil membalas pesan Jeva pun refleks mendengus pelan. Gawai dilempar sembarangan, matanya lantas dia pejamkan. Bodo amat dengan Jeva yang nyatanya telah ada di depan rumah. Kalau capek juga bakal pergi sendiri, pikirnya.

Namun, pikiran Biru terpatahkan ketika dia mendengar derit pagar dari bawah sana. Biru buru-buru bangkit lalu berlari ke arah pintu yang jadi penghubung ke balkon.

Di sana pula Biru melihat bahwa sang adik lah yang membukakan pintu pagar untuk Jeva. Alhasil, Biru kemudian bergegas turun dari kamarnya yang berada di lantai dua rumah menuju pagar.

“Dara!”

Biru seketika memanggil adiknya sesaat setelah sampai di halaman depan rumah. Dara pun terkejut.

Tatapan Biru kemudian bergulir ke Jeva yang kini justru senyam- senyum. Biru pun membalasnya dengan death glare sebelum dia kembali memandangi Dara kesal.

“Masuk,” titah Biru.

“Tapi, Kak—”

“Nggak ada tapi-tapian.”

Biru lantas memotong perkataan Dara sambil meraih pergelangan tangannya. Dia lalu menyeretnya untuk kembali masuk ke rumah.

“Kak, dengerin gue dulu.”

“Lo mau ngomong apa lagi sih?” sela Biru sesampainya di teras, “Lo mau balikan sama dia? Iya?”

“Lo udah gak inget gimana lo dibikin nangis sama dia, Dar?”

Dara menggeleng lemah, “Kak…Apa yang terjadi dua minggu lalu itu udah berlalu. I’m doing fine.”

“Lo juga gak harus bersikap kek gini sama Kak Jeva, dia temen lo.” jelas Dara, “Kan yang putus juga cuma hubungan gue sama dia, kita berdua masih baik-baik aja.”

Biru menatap si adik perempuan dengan tampang tidak percaya.

“Dar… Lo tau enggak sih gimana kecewanya gue sama dia karena udah bikin lo nangis?” kata Biru.

“Orang yang udah gue percaya bakalan jagain lo justru bikin lo sedih,” timpalnya, “Lo pikir gue enggak sedih juga mikirin elo?”

“Lo tau kan kalau gue nggak suka ngeliat lo nangis karena orang lain? Apalagi karena temen gue yang jelas juga udah tau gimana sayangnya gue sama lo,” jelasnya.

“Kak Jeva udah jagain gue selama ini, the way you did,” balas Dara.

“Tapi emang hubungan gue sama dia udah gak bisa dipertahanin…” lirih yang lebih muda, “Wajar kan kalau gue sedih sampai nangis?Apalagi dengan banyak kenangan manis sama dia, gak cuma pahit.”

“Lo sendiri yang selalu bilang ke gue supaya gue gak memendam kesedihan, that’s why.” kata Dara.

“Dan gue pisah sama dia juga for our own good, Kak.” tambahnya.

“Banyak perbedaan di antara kita berdua yang justru bikin kita ada keinginan buat ngubah pasangan seperti apa yang kita mau,” tutur Dara, “Dan itu udah nggak sehat.”

“Gue sedih karena belum bisa jadi pacar yang baik, gitu juga sama dia.” Dara meraih kedua tangan kakaknya, “Jadi maafin Kak Jeva ya, Kak? He is not the only one to blame here, but me.”

“Justru gue lebih sedih lagi kalau ngeliat pertemanan kalian rusak gara-gara gue, so please? Yaaa?”

Pinta Dara membuat Biru lantas menghela napasnya panjang lalu menoleh ke arah pagar. Di sana masih ada Jeva yang berdiri tepat di samping mobilnya; menunggu.

“Lo masuk duluan,” titah Biru. “Gue mau ngomong sama dia.”

“Tapi baikan ya?” Dara memelas.

Biru hanya memutar bola mata sebelum mendorong pelan sang adik agar segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu, dia lantas berjalan amat malas ke arah Jeva.

“Ngapain lo masih di sini?”

“Kan gue belum ngasih jurnal ini ke lo,” Jeva cengar-cengir, “Tadi lo juga bilang ke Dara kalau mau ngomong sama gue kan? Ayo!”

Biru menahan dada bidang Jeva yang hendak menerobos begitu saja untuk masuk ke rumahnya. Mata Biru pun memicing murka.

Temennya itu emang gak tau diri.

“Bi…” bahu Jeva jatuh, “Kayaknya gue gak perlu ngulangin ucapan Dara. She explained everything.”

Biru membuang muka.

“Bi, stase pertama kita pas koas nanti di Psikiatri loh.” Jeva tidak diam saja, “Kalau lo masih marah gini sama gue, kayaknya gue deh yang bakalan jadi pasien pertama lo. Udah tekanan batin nih gue.”

“Ya kan elo emang udah gila dari sononya,” cibir Biru lalu meraih map berisi jurnal yang dipegang oleh Jeva, “Udah gue ambil kan?”

Jeva pun tersenyum sumringah.

“Jadi kita udah baikan kan, Bi?”

Biru tidak menjawab. Dia justru berbalik, hendak masuk ke dalam rumah guna meninggalkan Jeva.

Sebab sampai kapan pun, Jeva gak akan pernah bisa untuk gak ngoceh saat bersamanya. Biru aja kadang sampai pusing dibuatnya.

Sifat extrovert Jeva amat kontras dengan sifat introvert miliknya. Biru hanya selalu ingin diam dan tenang, but there’s Jeva; yang jadi pemecah ketentraman hidupnya.

“Bi, tungguin.”

“Gue nggak bilang kalau lo boleh masuk, Jeva.” Biru mendesis saat Jeva justru hendak mengikutinya.

“Pulang sana,” titahnya.

“Ya udah,” Jeva pasrah, “Tapi lo tunggu di sini bentar, gue lupa ngasih lo sesuatu selain jurnal.”

Apa lagi sih maunya ni bocah?

Biru menggerutu dalam hatinya sambil memerhatikan Jeva yang berlari ke mobilnya. Nampak Jeva mengambil sesuatu—tepatnya sih kantong kresek—yang bikin Biru langsung memikirkan satu hal.

“Lu kalo bawa mixue lagi—”

“Udah, buruan diminum. Noh, ice cream di atasnya udah meleleh.” potong Jeva diikuti tawa ringan.

Ya, nggak cuma soal kepribadian. Bahkan selera minuman mereka yang berbeda pun membuat Jeva senang menggoda temannya itu.

“Gue pulang dulu ya, ice bear!”

Biru hanya menghela napasnya sambil memandangi Jeva hingga masuk ke dalam mobilnya. Biru pun sudah maklum ketika Jeva mengeluarkan satu tangannya di jendela mobil untuk membentuk pola hati kecil dengan jemarinya.

Jeva is such a tease.