Family

“Papi! Papa!”

Arga membuka mata saat suara Danu dari luar kamar menggema. Ia lalu menoleh, mendapati Deva masih tertidur pulas di sisinya.

Mengecup kening Deva sejenak, Arga kemudian bangkit sebelum menghampiri sumber suara. Arga sedikit heran, sebab Danu justru terbangun di pagi buta. Seperti sekarang, dimana jarum jam masih menunjuk ke angka lima pagi. Bahkan Deva yang biasanya bangun lebih awal saja masih setia berlabuh di alam mimpi.

Usai membuka pintu kamarnya, Arga pun mendapati sang anak berdiri di hadapannya. Danu mengenakan setelan kaos merah dengan celana pendek sambil membawa topi baseball khaki.

“Danu kok bangun jam segini?” tanya Arga lalu berjongkok di depan Danu, “Ada yang sakit?”

Danu menggeleng, “Nggak, Papi.”

“Terus?”

“Kan kemarin Papi bilang kalau pagi ini kita tuh mau main bulu tangkis sama Papa,” sahut Danu,

“Papi lupa lagi ya?” timpalnya sambil melipat lengan di dada.

Menghela napas pelan, Arga lalu menggendong Danu. Semalam, ia dan Deva memang sepakat untuk bermain bulu tangkis di pagi hari sambil mengajak Danu. Pasalnya, sejak mengenalkan olahraga itu pada sang buah hati pekan lalu—saat mereka liburan di Bogor—Danu terlihat amat menyukainya.

“Papi nggak lupa, tapi sekarang masih jam lima subuh.” katanya. “Main bulu tangkis itu bagusnya jam tujuh pagi, biar lebih sehat.”

“Tapi kan Papi sama Papa harus kerja,” Danu menatap wajah sang Papi dengan tatapan khawatir.

Mengecup pipi kanan dan kiri Danu sejenak, Arga kemudian memandangi putranya lamat. Meski Danu terkadang meminta waktu agar Papa dan Papinya di rumah saja secara tiba-tiba hingga menangis saat dia dan Deva akan berangkat ke kantor, namun tidak jarang pula Danu begitu perhatian seperti saat ini.

“Hari ini Papa sama Papi kerja di rumah, soalnya kantor Papi lagi dibersihin dulu dari virus.” jelas Arga, “Kemarin itu ada yang sakit gara-gara di tubuhnya ada virus.”

“Makanya Papi sama Papa bisa main bulu tangkis sama Danu hari ini di rumah,” timpalnya.

Alis Danu mengernyit prihatin, “Kasian ya, Papi? Pasti yang sakit itu enggak suka makan sayur.”

“Mm, makanya Danu rajin makan sayur sama buah ya?” balas Arga.

“Oke, Papi!” Dani berseru riang.

“Ssh…” Arga meletakkan telunjuk di depan bibirnya sejenak, “Danu ngomongnya pelan-pelan dong. Kasian Papa masih tidur di sana.”

Danu mengangguk kecil sebelum menurunkan pandangannya ke arah tubuh sang Alpha, “Papi.”

“Apa?” tanya Arga sambil berjalan ke arah ranjang dengan Danu yang berada di gendongannya.

“Kok Papi gak pakai baju?” bisik Danu, “Emang Papi gak dingin?”

“Semalem Papi ketiduran pas Papa mijitin punggung Papi,” jawab Arga, “Jadi enggak pake baju sampai Danu dateng tadi.”

“Papi gak dingin kok, soalnya diselimutin sama Papa sambil dipeluk.” Arga tersenyum lalu menurunkan Danu di ranjang.

“Papi,” Danu yang duduk di sisi kanan Deva menekankan sedikit suaranya, “Papi itu udah besaar, nggak boleh dipeluk Papa terus.”

“Siapa yang bilang gak boleh?”

“Danu,” jawab si kecil enteng.

Arga pun nyaris menyemburkan tawa, “Kenapa Danu mikir kalau orang besar gak boleh dipeluk?”

“Karena orang besar gak minta susu lagi kalau nangis, Papi. Jadi nggak usah dipeluk,” kata Danu.

Mata Arga memicing, “Tapi Papa minta susu tuh kalau nangis, jadi boleh dong Papi peluk-peluk?”

“Jangaaan,” protes Danu.

“Jangan meluk Papa?” tanya Arga. “Kasian dong kalau Papa nangis?”

“Papi jangan bikin Papa nangis, biar Papa nggak minta susu lagi kayak Danu. Papa udah besar,” jelas Danu, “Papi udah paham?”

Arga terkekeh mendengar Danu berceloteh. Apalagi saat anaknya itu menirukan caranya bertanya setelah memberitahu sesuatu pada Danu. Like father like son.

“Iya, Papi paham. Papi gak bakal bikin Papa nangis,” tutur Arga. “Tapi Papi mau meluk Papa ah, soalnya Papi sayang sama Papa.”

“Iiih, Papi. Gak boleh,” ujar Danu sembari menghadang Arga yang hendak memeluk Deva, “No! No!

“Curang banget,” protes Arga saat Danu ikut berbaring di sisi Deva lalu memeluk erat tubuh Papanya yang masih tidur itu dari samping, “Papi juga mau.”

“Papi kan udah,” sela Danu. “Papi nggak boleh serakah ya. Paham?”

Menyipitkan mata, Arga lantas beranjak ke sisi lain sebelum ikut berbaring di samping Deva. Arga lalu memeluk sang Omega, sama seperti yang dilakukan anaknya.

“Iiih, Papi curaaang.” suara Danu masih pelan, takut Deva bangun.

Arga pun hanya tersenyum usil sebelum mengecup pipi Deva. Membuat Danu yang melihatnya seketika bangkit dari posisinya lalu ikut menghujani wajah sang Papa dengan kecupan ringannya.

Sampai ketika Deva tiba-tiba melenguh, Arga juga Danu saling berbagi tatapan sejenak dengan bola mata yang membesar kaget. Deva kemudian membuka mata, tersentak mendapati sang anak duduk di sisi kanannya. Sedang sang suami di sisi berlawanan.

“Loh, Sayang?”

“Danu bangunin Papa ya?” Danu mencebik sesal, “Maaf ya, Papa.”

“Gak kok, Sayang. Tapi kenapa Danu ada di sini?” tanya Deva seraya mengusap pipi Danu.

“Danu mau main bulu tangkis,” jawab anak lelaki itu. “Tapi kata Papi, kita mainnya jam tujuh.”

“Terus ini yang pakein Danu baju kek gini siapa?” tanya Deva lagi.

“Danu sendiri, Papa.”

“Pintarnyaa,” Deva membingkai wajah Danu lalu memberi kecup sayang di pipinya. “Anak Papa sama Papi semangat banget ya?”

“Iya, Papa.” senyum Danu kian cerah, “Danu mau kalahin Papi.”

“Papa, nanti bantuin Danu yaaa?” Danu berbisik, “Kita lawan Papi.”

“Nanti Danu juga mau telepon Om Nua kalau Papi kalah,” timpal Danu lalu tergelak meledek Arga.

“Berani ya kamu ngelawan Papi, hm?” tantang Arga lalu memberi satu kecupan di pipi kanan Deva.

Tak ingin kalah, Danu seketika naik ke atas perut Papanya. Ia lantas tengkurap di sana sambil memeluk erat leher Deva. Danu lalu mencium pipi kiri Papanya.

“Heh! Heh! Heh!” Arga berdecak, “Kok Danu naik ke perut Papa?”

“Emang perut Papa kenapa?” Danu memandangi Deva serius.

Deva menggeleng pelan, “Perut Papa gak apa-apa kok, Sayang.”

“Yang boleh di atas Papa itu cuma Papi, Danu gak boleh.”

“Mas,” Deva mengedipkan mata memperingati pada suaminya. Takut Arga kelepasan berkata jorok di depan putra mereka.

“Kenapa Papi mau di atas Papa?” Danu menatap sang Papi aneh, “Papi kan berat, gak kayak Danu.”

“Udah, udah,” Deva menengahi diikuti kekehan ringan, “Danu udah minum susu gak, Sayang?”

“Belum, Papa.”

“Ya udah, Papa bikinin dulu. Mau ikut ke dapur gak?” tanya Deva.

Danu mengangguk, “Mauuu, tapi Danu digendong boleh ya, Papa?”

“Sini, biar Papi yang gendong.” tawar Arga pada putranya itu.

“Nggak mau,” balas Danu, “Danu mau digendong Papa. Kan sama Papi udah tadi. Papi gimana sih?”

Deva tidak bisa menahan senyum ketika melihat Danu dan Arga berceloteh seperti sekarang. Ia merasa kehidupan pernikahan antara dirinya dan Arga semakin berwarna semenjak kehadiran Danu. Namun, hal itu kian terasa saat anaknya sudah amat lancar berbicara hingga kerap mengajak Papinya bercanda hingga bertikai kecil; mengusili satu sama lain.

Time flies so fast.

Tak pernah sekali pun terbayang oleh Deva bahwa bahtera rumah tangganya dan Arga bisa sampai ke titik ini. Bahkan, ia yang dulu sempat skeptis menerima Arga sebagai suami kini justru benar-benar bersyukur karena takdir mereka saling terikat seperti ini.

Sebab, Deva tidak tau apa jadinya dia apabila bukan Arga di sisinya. Arga yang selalu setia menemani di saat senang juga susah hingga pada titik dimana mereka paham naik turunnya menjadi orang tua.

Semua kesialan yang dulu selalu Deva keluhkan seperti terbayar ketika menemukan cinta dalam dirinya untuk Arga. Setiap tangis yang pernah Deva lewati kini telah menjadi kenangan dan berganti menjadi tawa bahagia.

“Sayang?”

Lamunan singkat Deva buyar kala Arga mengusap pipi kirinya. Saat itu pula ia tersadar jika sang anak juga suaminya telah duduk di atas tempat tidur; menunggu.

“Katanya mau ke dapur. Yuk.”

“Ayo, Mas.” ucap Deva sebelum bangkit dari ranjang, “Sayang, sini. Katanya mau digendong.”

Danu pun berseru, “Oke, Papa!”