Aster
Meriahnya acara peringatan hari ulang tahun Hardiyata Group ditutup dengan hiburan sambil menikmati jamuan makan siang. Namun, Arga dan Deva—yang notabenenya sang bintang utama dalam perhelatan tahunan itu—justru sibuk memandangi tamu yang berlalu lalang di dalam aula. Jelas mereka mencari seseorang.
“Eren ke mana sih?” gumam Arga kesal, “Tadi dia bilang kembaran si Nua ada di lobi. Kok lama? Ck!”
“Sabar, Mas. Bentar lagi paling.”
Deva yang duduk di samping kiri suaminya pun mengusap lembut lengan Arga. Deva amat paham dengan apa yang dirasakan Arga saat ini. Pasalnya, semenjak tahu bahwa sosok Aster yang sering Eren ceritakan padanya ternyata serupa dengan Nua, Deva lantas memberitahu Arga. Membuatnya dan sang Alpha tidak sabar untuk bertemu Aster saat di Indonesia.
Persekian menit berselang, Eren pun kembali ke aula. Ia berjalan beriringan dengan Aster, sesekali berbincang lalu berbagi senyum.
“Mas,” Deva menarik-narik pelan lengan Arga, “Eren udah balik.”
Mengikuti pandangan Deva, sang CEO Hardiyata Group seketika terdiam—pun Deva. Pasangan itu seolah kompak menahan napas karena mendapati jika Aster dan Nua benar-benar sangat mirip.
Sesampainya Eren di meja sang atasan, ia pun tersenyum cerah. Arga dan Deva kemudian berdiri.
“Aster, kenalin ini Pak Arga sama suaminya, Mas Deva.” tutur Eren.
Aster mengulas senyum ramah, menjulurkan satu tangan ke arah Arga guna berjabat tangan. “Pagi, Pak Arga. Senang bisa bertemu dengan anda hari ini. Saya Aster.”
Melihat gelagat Aster membuat Deva menatap lelaki itu sendu. Entah Aster adalah wujud lain dari Nua—sama sepertinya juga Arga—yang lahir kembali dari masa lalu dan tidak mengingat apa-apa, atau justru sosok Aster hanya memiliki kemiripan wajah dengan Nua. Sebab nampak jika Aster bersikap formal pada Arga. Aster terlihat tidak tau apa-apa tentang ia dan Arga, pikir Deva.
“Arga,” balas Arga singkat sambil meraih jabatan tangan Aster tadi.
Setelah bersalaman dengan Arga, Aster pun beralih meraih tangan Deva. “Halo, Mas. Salam kenal.”
“Salam kenal,” Deva tersenyum miring, “Panggil saya Deva aja.”
Aster mengangguk paham sambil tersenyum sebelum melepaskan tautan tangannya dengan Deva.
“Silakan dinikmati ya jamuannya,” Deva mempersilakan, “Ren, ajak Aster makan gih. Sekarang udah masuk jamnya makan siang loh.”
“Oke,” Eren lantas memandangi Aster penuh cinta, “Yuk, Ster.”
Aster mengangguk lalu kembali menatap pasangan di depannya bergantian, “Selamat ulang tahun untuk Hardiyata Group ya, Pak Arga. Semoga kedepannya makin sukses, kerja sama dengan grup keluarga saya juga makin lancar.”
“Terima kasih,” ucap Arga.
“Saya permisi sebentar, Pak.”
Arga mengangguk, “Silakan.”
Sepeninggal Aster, sang Alpha lantas beralih mengusap kepala Deva. Arga paham, suaminya itu amat merindukan Nua. Namun, sosok Aster yang mereka kira Nua terlihat tidak mengenali mereka berdua sebelumnya.
“Kamu sedih?” tanya Arga.
Deva menoleh, tersenyum tipis pada suaminya lalu menggeleng. “Gak kok, Mas. Aku cuma mikir aja, apa Aster sama kayak kita ya? Dia lahir kembali terus gak inget apa-apa soal kejadian masa lalu.”
“Mungkin aja di masa lalu itu dia Nua yang kita kenal,” timpalnya.
Arga menarik napasnya sejenak, “Mm, gak ada yang gak mungkin. Kan kata Nua dulu, nggak semua hal harus bisa masuk di akal kita.”
“Sekarang kita emang harus bisa menerima kepergian Nua,” jelas Arga, “Kalau pun ternyata Aster itu wujud lain Nua, good for him. Akhirnya dia udah banyak uang.”
“Jadi gak bakal minta makan lagi sama aku,” katanya lalu terkekeh.
Deva ikut terkekeh, “Iya, Mas. Kalau Aster itu wujud lain Nua, berarti sekarang dia juga udah ketemu sama titik bahagianya.”
“Mhm,” Arga bergumam setuju, “Kita makan sekarang yuk. Aku udah laper banget nih daritadi.”
Deva tersenyum, “Iya, Mas.”
Waktu pulang kantor sudah lewat beberapa jam yang lalu, namun Arga dan Deva baru bisa keluar dari gedung Hardiyata Group kala langit telah kelam. Pasalnya, mereka harus hadir dalam meeting dadakan dengan para jajaran eksekutif di kantor.
“Danu udah nanya mulu sama Mba Ais katanya, Mas.” gumam Deva setelah membaca pesan dari pengasuh anaknya. Ia lalu memasukkan gawai ke dalam saku jas sebelum memeluk erat lengan sang suami yang berjalan di sampingnya menuju basemen.
“Pasti entar kita diinterogasi lagi sama dia gara-gara pulang telat,” decak Arga lalu geleng-geleng.
“Kalau Danu ngambek gimana ya, Mas?” Deva cemas, “Apalagi aku udah janji bakal masakin pasta.”
“Ya kamu masakin aja entar,” kata Arga lalu membuka pintu mobil, “Yang penting kamu tepat janji. Sekalian nanti kita bujukin lagi.”
Deva mengangguk lalu masuk lebih dulu ke dalam kendaraan roda empat itu. Disusul oleh Arga yang duduk di balik kemudi.
Namun, bukannya menyalakan mesin mobil, sang Alpha justru mencium lembut pipi kanan Deva. Membuat Deva menoleh lalu menatap wajah Arga heran.
“Kamu kenapa, Mas?”
Arga memelas, “Seharian ini kita gak pernah ciuman di kantor, ck.”
“Aku juga tiba-tiba lemes banget sekarang, Dev.” timpal Arga, “Aku telpon Pak Agus aja kali ya buat jemput kita? Aku mau dipeluk.”
Deva menahan senyum. Entah kenapa, tiap kali jadwal rut sang Alpha kian dekat, Arga seketika menjadi sangat clingy padanya.
Menarik tengkuk sang suami, Deva kemudian menciumi bibir Arga. Ia melumat lembut titik candunya itu sejenak sebelum mendekap erat tubuh suaminya.
“Masih lemes gak, Mas?”
Membalas pelukan si Omega tak kalah erat, Arga lantas berbisik. “Satu ronde di mobil mau gak?”
“Ish!” Deva menarik dirinya dari pelukan Arga, “Katanya lemes, kok malah minta satu ronde sih?”
“Kebelet, Sayang.” rengek Arga.
Deva menggeleng, “Entar ada yang liat, Mas. Di rumah aja.”
“Ck! Liat aja,” gumam Arga lalu mengecup bibir Deva singkat.
“Kamu gak bakal tidur malam ini,” timpalnya diikuti seringai.
Arga kemudian berbalik badan ke arah stir, namun persekian detik berikutnya, ia seketika berteriak. Begitu pula Deva yang terkejut.
Seperti De Javu, Arga dan Deva mendapati seseorang sedang merayap di kap mobil. Namun ketika sadar jika sosok itu mirip dengan Nua, keduanya terdiam.
Bahkan saat si laki-laki berambut hitam turun dari kap mobil Arga sambil tertawa lalu membuka pintu di jok belakang, Arga dan Deva masih mencoba mencerna apa yang saat ini sedang terjadi.
“Kok kalian malah diem sih?”
Tak ada jawaban. Arga dan Deva masih diam dalam keterkejutan sambil menoleh pada sosok yang kini telah duduk di jok belakang.
“Ga, Dev. Ini gue, Nua.” katanya.
Mata Deva berkedip, “Terus yang siang tadi datang sama Eren itu?”
“Iya, itu gue!” Nua tertawa.
Namun, tawa Nua seketika hilang kala melihat tatapan datar Arga. Sementara Deva berkaca-kaca.
“Terus kenapa kamu pura-pura jadi Aster tadi?” Arga mengomel, “Kamu pikir lucu pas kamu pura-pura gak kenal saya sama Deva?”
“Suami saya kangen sama kamu. Deva udah berharap kamu bakal ngenalin dia. Tapi kamu malah—”
“Mas…” Deva pun menghentikan Arga, “Udah, Mas. Tenang dong.”
“Ya abisnya dia ngeselin sih!”
“Dengerin Nua dulu, Mas. Ya?” Deva mengusap lengan Arga.
Nua yang sedari tadi menahan napas seketika menelan ludah. Ia kemudian cengar-cengir melihat Arga masih menatapnya tajam.
“Iya, gue minta maaf.” sesal Nua, “Gue emang mau bikin surprise buat kalian pas ketemu hari ini, eh tapi malah bikin kalian kesel.”
“Gue juga udah kangeeen banget sama kalian berdua. Bahkan tiga bulan terakhir, gue nahan-nahan buat enggak nekat minta kontak kalian biar orang lain gak curiga gue tau kalian berdua dari mana.”
“Sampai akhirnya, kemarin Mami gue ngasih izin kalau gue boleh pulang ke Indonesia,” jelas Nua, “Gue beneran seneng banget bisa ketemu sama kalian lagi.”
Bibir Nua mencebik, sementara jemarinya bertautan di atas paha.
“Siang tadi, gue mau nyamperin kalian lagi tau, buat bilang kalau gue ini Nua.” timpalnya, “Tapi si Eren ngintilin gue mulu pas mau ngobrol sama lo berdua di aula.”
“Abis acara kalian juga sibuk lagi, jadi gue mikirnya mau ngomong pas pulang kantor aja.” jelas Nua.
“Dan gue enggak pura-pura jadi Aster kok, Ga. Di Singapore, gue dipanggil Aster. Nama lengkap gue itu, Nua Aster Hara Malik.”
“Sebenarnya ada apa sih, Nu?” heran Deva, “Kenapa lu ngilang tiga tahun lalu dan baru balik?”
Nua menghela napas, “Ceritanya panjang, Dev. Mending gue cerita sambil Arga nyetir, buat efisiensi waktu.” katanya lalu memelas, “Gue udah nggak sabar banget mau ketemu si bapao soalnya.”
“Saya kok malah kayak jadi supir kamu sih? Ck!” decak Arga, “Saya juga gak bilang ngizinin kamu ke rumah saya ya. Enak aja kamu.”
“Mas,” panggil Deva amat lembut, “Udah yuk, kita pulang sekarang. Danu udah nungguin di rumah.”
Memicingkan mata ke arah Nua sejenak, Arga kemudian berbalik lalu menyalakan mesin mobilnya. Sementara atensi Deva kembali tertuju pada Nua di jok belakang.
“Jadi gimana ceritanya, Nu?” tanya Deva bersamaan dengan mobil Arga yang telah melaju.
“Gue sampe bingung mau cerita darimana tau gak?” pundak Nua jatuh, “Yang jelas… Tubuh sama jiwa gue udah terpisah sebelum gue ketemu sama kalian berdua.”
“Hah?”
“Hah?”
Arga dan Deva kompak membeo.
“Nua yang dulu selalu tau pikiran kalian itu jiwa gue,” timpal Nua. “Sedangkan tubuh gue ada di RS Singapore dalam keadaan koma.”
“Kamu koma karena apa?” Kali ini Arga yang bertanya pada Nua.
Nua tersenyum miring, “Karena gue selalu nolak kodrat gue buat ngawasin Alpha dan Omega yang harus bersatu lagi di kehidupan sekarang. Gue gak mau percaya kalau bayangan yang selalu gue anggap halusinasi itu bagian dari tugas gue sebagai watcher.”
“Watcher?” alis Deva berkerut.
Nua mengangguk, “Kalau kalian pernah baca kisah werewolf, gue ini termasuk watcher. Manusia biasa yang dipercaya sama kaum werewolf buat urusan mereka di dunia manusia. Watcher ini tau segala sesuatu tentang werewolf.”
“Bedanya, watcher di werewolf itu jadi asisten kaum werewolf. Kalo gue, ya, jadi asisten Alpha dan Omega yang kena karma dari masa lalu; kalian berdua.”
Nua menipiskan bibirnya sejenak dengan sorot mata sesal, “Gue tuh udah tau kalau gue ini ‘beda’ sejak kecil. Gue sering ngeliat bayangan yang gak pengen gue liat, sampai-sampai gue sempet ke psikiater karena gue pikir kalau gue ini udah gila,” tuturnya.
“Tapi tetap aja, bayangan soal lu berdua selalu datang. Bahkan ada suara yang udah mulai bilang ke gue kalau gue harus ngawasin lu berdua secepatnya,” jelas Nua.
“Sampai suatu waktu, gue ngeliat bayangan gimana Deva ketiban sial mulu. Mulai dari dilecehin, dipecat, sampai nabrak gerobak.” lanjut Nua, “Gue juga liat Arga disuruh nikah sama Bu Ririn.”
“Gue bener-bener udah capek sampai gue mikir buat bunuh diri,” jujur Nua. “Jadi gue ngide ke pantai, terus nenggelamin diri gue sendiri. Dengan pikiran kalo gue mati, ‘kegilaan’ gue berakhir.”
“Tapi ternyata enggak,” kata Nua. “Justru gue bangun dalam wujud dimana gue bisa liat tubuh gue sendiri terbaring di rumah sakit.”
“Mami gue, Daddy gue, gak ada yang bisa ngeliat gue saat itu.” Nua menghela napas, “Dan gue pun akhirnya sadar, kalau mati itu ternyata bukan sebuah jalan buat mengakhiri hal yang kita anggap masalah dalam hidup.”
“Jadi, setelah wujud gue berubah, gue mutusin buat ketemu kalian.” Nua tersenyum, “Gue nyamperin kalian ke Indonesia deh abis itu, karena kalian yang bisa liat gue.”
“Jadi… Pas tugas lu udah selesai waktu itu, jiwa lu udah balik lagi ke tubuh lu di Singapura, Nu?”
Nua mengangguk, “Iya, Dev. Gue masih dikasih kesempatan buat hidup. Tapi, pas gue bangun saat itu, gue udah gak inget apa-apa soal kalian. Hal terakhir yang gue ingat itu cuma pas tenggelam.”
“Bahkan ingatan soal bayangan Alpha dan Omega yang pernah gue liat dulu juga gak gue inget lagi tau.” jelas jika Nua pun heran.
“Semua tweet, sampai chat kita di WhatsApp juga udah lenyap pas gue sadar dari koma dulu.”
“Terus kenapa sekarang kamu bisa inget saya sama Deva?” Arga melirik Nua dari spion tengah.
“Eren. Dia yang bikin ingatan gue soal kalian balik lagi tiga bulan lalu,” Nua lantas mendesis tak yakin, “Kayaknya ada sesuatu antara gue sama si Eren deh di kehidupan gue sebelumnya, Ga.”
“Soalnya, pas dia sama Bu Ririn datang ke kantor Mami gue, dia tuh tiba-tiba narik lengan gue.” Nua bercerita, “Pas tangannya nyentuh gue, di detik itu juga gue langsung inget semuanya.”
“Bahkan gue juga inget gimana si Eren bisa ngeliat wujud jiwa gue pas acara tujuh bulanan baby Pao terus ngejar gue,” Nua bergidik. “Gue inget banget kalau waktu itu gue panik sekaligus heran.”
“Bentar,” Arga menginterupsi. “Kayaknya saya inget deh yang pas Eren cerita kalau dia salah orang, terus Eren ngira kalau orang yang dia liat itu orang yang juga pernah gangguin dia.”
“Emang kamu pernah gangguin Eren sebelumnya?” tanya Arga.
“Gak pernah, Ga.” sahut Nua, “Makanya gue heran pas dia ngeliat gue terus ngejar gue sampai di depan rumah lo.”
“Terus tau gak sih?” lanjut Nua, “Pas Eren narik tangan gue di kantor Mami, dia tuh sempet nanya gue ini sebenarnya siapa.”
“Berarti dia emang pernah liat lu sebelumnya, Nu.” kata Deva.
“Apa mungkin Eren itu pasangan lu di masa lalu juga—kayak gue sama Mas Arga ya?” tambahnya.
Nua menggeleng, “Gue juga gak tau, Dev. Makanya sejak ketemu si Eren gue selalu ngobrol sama dia buat tau sejak kapan dia bisa ngeliat wujud jiwa gue dulu.”
“Tapi, sampai hari ini, gue belum dapat informasi apa-apa. Si Eren ngakunya juga cuma salah orang pas narik tangan gue,” katanya.
Deva menipiskan bibirnya, “Eren kayaknya nyembunyiin sesuatu.”
“Dia juga nggak pernah cerita ke gue loh, Nu.” sambungnya heran.
Nua mengangguk setuju, “Bener.”
“Nanti biar saya yang ngomong sama Eren,” usul Arga. Nua juga Deva yang mendengarnya lantas tersenyum lalu mengangguk.
“Oh iya, Nu.” Deva penasaran akan sesuatu, “Jadi sekarang lu masih bisa tau pikiran gue sama Mas Arga, apa udah nggak sih?”
“Gue udah gak bisa,” jawab Nua. “Semua bayangan itu udah ilang.”
“Bagus deh,” celetuk Arga, “Saya sama Deva jadi punya privasi. Enggak berasa dipantau mulu sama kamu kayak waktu itu.”
Lagi, Nua tergelak. Namun, Deva justru mengerutkan keningnya.
“Terus kenapa tadi elu bisa tau kalau gue sama Mas Arga ada di basemen, Nu?” Deva penasaran.
“Gue tau dari Eren kalau kalian masih di kantor,” pundak Nua terangkat sejenak, “Jadi ya udah, gue nungguin kalian di basemen. Eh, gak lama, lo berdua dateng.”
Nua kemudian senyam-senyum dengan mata memicing, “Terus karena kalian sibuk ciuman, gue ngide ngagetin kalian kek dulu.”
“Coba aja tadi kita lanjut ngewe di mobil, Sayang. Kayaknya yang kaget bukan kita, tapi dia.” ujar Arga santai, sedang Deva dan Nua seketika terdiam sejenak sebelum kompak memekik.
“Mas Arga!”
“Arga!”