Rest
“Deva…”
“Sayang…”
Deva terbangun dari tidurnya saat mendengar suara Arga. Ia kemudian membuka mata lalu menoleh ke sang suami yang berbaring di sisi kanannya.
Meski saat ini kamar mereka hanya diterangi dengan lampu tidur yang remang, namun Deva masih bisa melihat Arga sedang membalut tubuhnya dengan selimut. Deva pun heran kenapa sang Alpha tiba-tiba terbangun.
“Iya, Mas?”
“Bisa minta tolong kecilin AC?” Pinta Arga, “Aku kedinginan.”
Deva sejujurnya kaget. Pasalnya, suhu AC di kamar tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Namun, kali ini suaminya justru merasa kedinginan. Jelas kalau ada yang gak beres, pikir Deva.
Terlebih, sudah beberapa hari terakhir Arga mengeluh merasa tidak enak badan. Suaminya itu pun mengaku amat kelelahan.
“Bentar ya, Mas.”
Deva buru-buru bangkit sebelum meraih remote AC di atas nakas. Ia kemudian menaikkan suhu AC beberapa derajat dan menunggu sebentar lalu menoleh ke Arga.
“Segini udah cukup?”
“Mm,” gumam Arga, “Makasih ya.”
Sang Alpha lalu menepuk pelan sisi kosong dimana Deva tidur tadi, “Kamu balik bobo lagi sini.”
“Peluk aku,” titah Arga.
Mengangguk patuh, Deva lantas menyanggupi keinginan Arga. Ia ikut berbaring menyamping di sisi Arga lalu mendekap tubuh kekar nan berotot suaminya.
Namun, hanya persekian sekon berselang, Deva dibuat terkejut saat merasakan betapa panas suhu tubuh Arga. Deva lantas mendongak, menatap wajah si pujaan hati sambil meletakkan satu tangannya di kening Arga.
“Ya ampun, Mas.” Deva semakin terkejut, “Kamu demam tinggi.”
“Aku mau nyalain lampu bentar, boleh ya, Mas?” tanya si Omega.
“Kamu mau ngapain?” Arga lalu melirik jam digital di atas nakas, “Sekarang masih jam dua pagi.”
“Aku mau ngambil termometer,” sahut Deva, “Sekalian ngambilin kamu air minum. Boleh ya, Mas?”
“Gak usah,” Arga lantas menahan lengan Omeganya, “Kamu tidur lagi aja. Paling besok udah reda.”
“Aku gak bisa tidur kalau badan kamu panas kayak gini, Mas…”
Raut wajah Deva amat khawatir. Sesekali ia mengusap pipi Arga.
“Badan kamu ada yang sakit gak, Mas?” tanya Deva, “Aku ambilin paracetamol ya? Jadi kalau besok pagi demam kamu gak reda, aku bisa langsung telepon Dokter.”
Arga menghela napasnya sambil menahan senyum, “Kamu kalau mau nanya, satu-satu dong. Ck!”
“Aku khawatir, Mas.”
“Aku cuma kedinginan,” Arga mencoba menenangkan Deva.
“Badan aku agak nyeri sih, tapi masih bisa aku tahan kok. Sakit kepala aku yang semalem juga udah mendingan,” jelas si Alpha.
“Dari kemarin aku udah bilang, kita ke dokter aja buat meriksa kondisi kamu.” lirih Deva, “Kalau udah kayak gini gimana? Bisa-bisa kamu tuh musti diopname.”
“Kamu kok ngomelin aku?” balas Arga, “Aku lagi sakit. Bukannya disayang-sayang, ini aku malah diomelin. Kamu ini gimana sih?”
“Ya abisnya, Mas Arga gak mau dibilangin.” cebik Deva, “Kamu malah nunggu sampai kamu gak bisa lagi nahan sakitnya. Terus kalau udah parah gimana, Mas?”
“Kamu bawel banget deh,” Arga mencubit gemas hidung Deva.
“Aku bawel karena aku sayang sama kamu,” balas Deva lirih.
Arga tersenyum, “Iya, aku tau.”
Menghela napas, Deva kemudian meraih satu tangan Arga. Ia lalu menciumi punggung tangan si Alpha sejenak sebelum bersuara.
“Aku ambilin kamu paracetamol dulu ya, Mas? Sama termometer.”
Arga memberi respon anggukan, membuat Deva tersenyum lega. Tapi tetap, bukan Arga namanya kalau gak ingin bermanja-manja.
Atau lebih tepatnya sih ngambil kesempatan dalam kesempitan.
“Tapi jangan lama ya, Sayang?”
“Iya,” Deva tersenyum maklum.
Senyum kemenangan terpatri dengan jelas di bibir Arga ketika Deva bangkit, menyalakan lampu utama kamar dengan remot lalu menyempatkan dirinya untuk menciumi pipi sang Alpha sesaat.
“Mas merem aja dulu,” kata Deva sambil menarik selimut hingga menutupi tubuh Arga sebatas leher, “Aku ke bawah dulu ya.”
“Sepuluh menit,” seringai Arga, “Kalau kamu baliknya lewat dari sepuluh menit, kamu aku cium.”
Deva pasrah, “Iya, Mas.”
Pandangan Arga pun tak pernah lepas dari Deva yang kini berjalan dan hendak keluar dari kamar. Bahkan sampai saat Omeganya itu telah hilang dari pandangan, Arga masih saja memandangi objek yang sama; pintu. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun ketika Deva kembali nanti.
Lantas, apa Arga masangin timer untuk ngitung sepuluh menit itu?
Tentu tidak. Arga hanya senang melihat raut wajah pasrah Deva. Sama seperti ketika Omega itu takluk di bawahnya saat mereka bercinta. Ia amat menikmatinya.
Tidak lama berselang, Deva pun kembali. Deva membawa nampan yang di atasnya ada mangkuk, paracetamol dan termometer.