Keep The Secret

Biru kembali ke ruang istirahat bagi Koas setelah mengantarkan obat yang diminta oleh Residen. Namun, sesampainya dia di sana, alis Biru seketika bertautan kala mendapati Jeva duduk di depan meja dengan dua kantong plastik di hadapanya; bisa Biru tebak jika itu adalah makan siang mereka.

Jeva emang batu banget, pikirnya.

“Bi!” Jeva melambai-lambaikan tangannya, “Duduk sini, buruan.”

“Kan gue udah bilang, lo duluan aja makannya.” Biru menghela napas sesaat sebelum ikut duduk di samping Jeva, “Gak laper apa?”

“Laper. Makanya gue nyuruh elo cepetan duduk. Biar bisa makan.”

Biru cuma geleng-geleng kepala sebelum membuka plastik berisi soto dalam paper bowl yang dia yakini telah dingin. Pun Jeva yang tadi memesan nasi campur.

“Enak gak sotonya?”

“Gue belum makan,” decak Biru.

Jeva terkekeh pelan melihat raut kesal bercampur lelah di wajah Biru. Satu tangan Jeva kemudian bergerak lalu mengusap lembut puncak kepala Biru, membuat si empu menoleh ke temannya itu.

Biru sempat ingin protes, namun entah kenapa usapan-usapan yang diberikan Jeva membuatnya merasa lebih tenang. Seperti ada obat yang meredakan penatnya.

“Capek ya, Bi?” tanya Jeva masih sambil mengusap kepala Biru.

“Emang muka gue belum bisa ngejelasin jawabannya ya, Jev?”

Jeva tersenyum lembut, “Mama gue selalu ngusap kepala gue kek gini kalau ngeliat gue lagi capek.”

Biru terdiam. Tatapan lamat Biru pun lantas larut ke dalam netra madu Jeva. Pun pikirannya yang kembali pada potongan kejadian dimana Jeva menolongnya saat nyaris ditonjok oleh pasien tadi.

Jeva dengan sigap memeluknya erat hingga dialah yang dipukuli. Bahkan Jeva harus rela mendapat omelan dari Konsulen setelahnya karena dia memilih menolongnya lebih dahulu ketimbang si pasien.

Biru sadar, selama ini Jeva selalu menolongnya dan hadir di saat- saat susahnya. Namun, baru kali ini Biru mengakui mantan pacar Dara itu memang begitu tulus.

“Makasih ya, Jev.”

Jeva nampak terkejut mendengar penuturan Biru. Namun, setelah itu, Jeva justru mengacak-acak pelan rambut hitam milik Biru.

“Iyaaa, ice bear.” kekeh Jeva

“Eh?”

Baik itu Jeva maupun Biru lantas menoleh ke arah pintu; dimana gumaman yang baru saja mereka dengarkan berasal. Saat itu pula Jeva dan Biru mendapati Julian bersama Rayhan berdiri di sana.

Sorry ganggu,” seringai Julian.

Sadar kalau tangan Jeva masih di atas kepalanya, buru-buru Biru menepisnya. Dia lalu berdeham sebelum memusatkan atensinya ke soto yang ada di hadapannya.

“Ganggu apaan?” balas Jeva lalu tersenyum ramah, “Lo pada udah free? Gue baru mau makan nih.”

“Makan, Jev.” kata Rayhan sambil berjalan ke arah Jeva dan Biru, “Sebelum pasien lo datang lagi.”

“Nggak usah ngomong macem-macem deh lo, Ray. Mules gue.”

Rayhan ikut duduk di seberang Biru, sementara Julian di sisinya. Dia kemudian memandangi Biru.

“Gimana, Bi? Lo masih kuat jaga sampe besok kan?” kata Rayhan.

Biru yang baru menyantap satu sendok sotonya itu mengangguk. Sementara itu, Julian yang sedari tadi memilih untuk diam justru tidak henti-hentinya tersenyum dengan raut meledek pada Jeva.

“Kenapa lo, Jul? Senyam-senyum sendiri,” mata Jeva memicing.

“Gak apa-apa, Jev. Makan aja.”

Julian menahan tawa sebelum menyikut pelan lengan Rayhan. Sang pacar yang sudah paham pun hanya mengulum bibirnya.

Ya, Jeva dan Biru mencurigakan.


“Bi, lo mau ke mana?”

Biru mendesis pelan lalu melirik Jeva yang nyatanya ikut berjalan di sampingnya. Sekarang sudah malam, jadwal jaga mereka pun terus berlanjut hingga esok pagi.

Alhasil, Jeva dan Biru yang juga menjadi partner jaga lantas tidak pernah berjauhan satu sama lain terlalu lama. Apalagi dengan Jeva yang dikit-dikit ngekorin si Biru.

“Gue mau ke toilet,” jawab Biru. “Udah, lo balik ke meja sana, Jev.”

“Gue juga mau ke toilet,” balas Jeva santai, tampangnya tengil.

Biru pun pasrah. Energinya udah cukup kekuras karena pasiennya yang sejak pagi tadi amat banyak.

Dan Jeva adalah definisi manusia yang bisa bikin energinya habis.

“Bi, lo takut sama hantu gak?”

“Jev, lo bisa diem bentar aja gak?” Biru menghela napas, terlebih saat Jeva justru tiba-tiba berjalan mundur tepat di hadapannya.

“Daripada kita berantem karena lo bikin gue kesel pas capek gini,” lanjut Biru, “Gue cuma pengen tenang, sebentaaaar aja. Please?”

“Okee,” kata Jeva lalu melakukan gerakan seperti menarik sebuah resleting tepat di depan bibirnya.

Setelahnya, Jeva lantas kembali berjalan normal. Kini dia yang memimpin jalan menuju toilet.

Namun, baru saja Jeva masuk ke toilet—dimana sebuah wastafel berada tepat di depan empat bilik berbeda—dia seketika menghentikan langkah. Pasalnya, Jeva tidak sengaja melihat Julian dan Rayhan—yang entah sejak kapan—ada di sudut kiri wastafel.

Jeva melihat kedua teman Koas-nya itu berciuman amat intens.

Alhasil, buru-buru Jeva berbalik lalu menahan langkah Biru. Dia mencengkeram pundak Biru lalu mendorong pelan temannya itu agar tidak masuk ke dalam toilet.

Biru yang bingung akan tingkah Jeva saat ini pun berakhir kesal. Ditepisnya tangan Jeva bersama raut kesal. Biru udah gak tahan.

“Mau lo apa sih, Jev?” suara Biru meninggi, membuat Jeva kaget.

Tidak ingin Biru curiga, Jeva pun cengengesan sebelum bersuara.

“Gak,” katanya, “Gue cuma mau becandain lo, Bi. Biar ga tegang.”

“Gak lucu tau gak?” kata Biru lalu mendorong pelan tubuh bongsor Jeva sebelum masuk ke toilet itu. Jeva pun kembali mengekorinya.

Di dalam sana, Biru mendapati Julian dan Rayhan berdiri tepat di depan wastafel. Kedua teman kelompoknya itu sama-sama sedang mencuci tangan mereka.

“Eh, Bi. Mau pake wastafel ya?” tanya Rayhan sambil mencuri-curi pandang ke arah Jeva yang sedang berdiri di belakang Biru.

“Nggak, gue mau pake toilet.”

Biru hanya menjawab singkat sebelum masuk ke dalam bilik toilet. Sementara Jeva juga Julian dan Rayhan yang diserang rasa canggung hanya saling berbagi pandang sesaat. Jeva kemudian menepuk pelan pundak Rayhan sebelum ikut masuk ke bilik lain.