Having Dinner With Him

Jeva duduk di salah satu kursi yang tidak jauh dari gerobak tukang nasi goreng. Di sana pula Jeva bisa sesekali melirik ke arah jalan di depan warung makan itu untuk memastikan apakah Biru sudah datang atau belum.

Sampai tidak lama berselang, sebuah mobil Ayla berwarna putih terparkir di depan warung. Jeva pun sedikit memicing, sebab mobil itu nampak tidak asing. Namun, Jeva belum bisa mengingat pasti di mana dia pernah melihatnya.

Persekian sekon kemudian, sosok yang sedari tadi Jeva tunggu keluar dari mobil itu. Biru nampak tersenyum ramah sebelum kendaraan roda empat yang mengantarnya tadi meninggalkan jalan di depan warung makan.

“Bi!”

Pandangan Biru seketika tertuju ke Jeva yang meneriakinya. Biru kemudian geleng-geleng kepala lalu menghampiri temannya itu.

“Kenapa pake teriak-teriak segala sih?” kata Biru bersamaan dengan bokongnya yang telah mendarat di kursi tepat di samping Jeva, “Ganggu orang yang lagi makan tau.”

“Enggak,” Jeva mengedarkan pandangan ke meja lain sejenak, “Tuh, mereka diem-diem aja.”

Biru hanya mendengus, sebab seorang pelayan warung telah mendatangi mereka. Jeva pun mulai memberitahu pesanannya diikuti Biru yang juga memesan menu serupa; nasi goreng ayam. Usai sang pelayan melenggang pergi, Jeva lantas kembali bersuara.

“Yang nganterin lo tadi siapa sih, Bi?” tanyanya, “Kayaknya gue pernah liat mobil itu deh.”

Biru berdeham, terlihat ragu untuk memberitahu Jeva. Namun, tatapan menuntut temannya itu entah kenapa tidak bisa membuat Biru menutupinya. Biru yakin akan lebih banyak pertanyaan dari Jeva jika dia tidak mengatakan yang sesungguhnya.

“Itu Kak Maudy, residen yang bantuin kita pas di poli RSJ kemaren.”

“Nah, bener kan. Berarti gue liat mobilnya di parkiran RSJ,” mata Jeva kemudian menyipit, “Kok lo bisa ke sini bareng dia?”

“Gue ketemu sama dia di luar tadi,” Biru mengambil tisu lalu mengelap meja di hadapannya yang sedikit basah, “Terus dia sekalian mau ke daerah sini, jadi ya udah, dia ngasih gue tebengan.”

“Oh, jadi yang lo bilang ada urusan di luar tuh buat ketemu sama dia?” tanya Jeva dengan nada meledek, “Lo deket sama dia ya gue liat-liat.”

Biru hanya diam. Dia menyibukkan dirinya dengan mengecek notifikasi dari Dara di gawainya.

“Lo lagi PDKT sama dia, Bi?”

Seperti biasa, Jeva tidak akan bisa diam begitu saja. Seolah tak ada kepuasan atas jawaban Biru.

“Jadi tipe lo cewek yang lebih tua nih?” timpalnya.

Helaan napas panjang Biru bebaskan, diikuti tatapan kesalnya kepada Jeva.

“Jangan mulai deh, Jev.” Katanya, “Gue ke sini mau makan sama lo, gak usah bikin badmood.”

“Yang harusnya badmood itu gue,” decak Jeva.

Celetukan Jeva membuat alis Biru bertaut, “Maksud lo?”

“Lo gak bilang kalau mau nge-date,” cebik Jeva, “Tau gini gue gak usah bawain barang lo ke kos-an, biar gebetan lo aja noh yang bantuin. Masa dia gak ada usaha nunjukin perhatian ke lo?”

“Jadi lo bawain barang gue ke kos-an buat nunjukin perhatian lo?” balas Biru.

Jeva melipatan lengannya, “Masih perlu gue jawab?”

“Kenapa?” tanya Biru, “Lo kan bukan gebetan gue?”

“Tapi gue lagi nge-gebet lo,” jawab Jeva.

Tubuh Biru mendadak beku seperti es saat mendengar penuturan Jeva. Dia pun seketika menyesal bertanya seperti tadi.

“Sekali lagi lo bilang gitu, gue pergi.” Biru membuang muka.

Jeva tersenyum, mendekatkan wajahnya ke telinga Biru lalu berbisik. “Gue nge-gebet lo, Bi.”

Menghela napas berat, Biru kemudian berdiri dari kursinya. Namun sebelum kakinya terangkat guna berpura-pura hendak meninggalkan tempat itu, pergelangan tangan Biru sudah lebih dulu dijegal oleh Jeva. Pemilik lesung pipi itu tertawa sambil menarik Biru agar kembali duduk di sampingnya.

“Mau ke mana sih, Bi? Abangnya udah bikin nasi goreng buat kita.”

Biru hanya memberi death glare, namun Jeva kembali tertawa.

“Masih mau nanya ‘kenapa’ ke gue gak? Hm?” ledek Jeva.

“Gak,” jawab Biru singkat.

Jeva lantas menahan tawanya. Dia mengulum bibir sambil menoyor pelan kepala Biru.

“Kan kemaren gue udah bilang, gue bakalan berhenti jagain lo, termasuk ngasih lo perhatian kayak gini, kalau udah ada yang gantiin posisi gue.” jelas Jeva.

“Jadi kalau lo punya gebetan, bilang sama gue.” timpalnya.

“Biar gue liat usaha dia gimana. Dia bisa jagain lo dan merhatiin lo apa gak kalau udah pacaran sama lo nanti,” Jeva tersenyum.

“Gue nggak bakalan ngasih restu kalau gebetan lo gak ada inisiatif buat merhatiin dan jagain lo, Bi.”

“Terus kalau lo gak ngasih restu, gue bakal peduli gitu?” cibir Biru.

“Lo mungkin gak peduli, tapi gue bakal terus gangguin lo ampe lo peduli.” Jeva menjulurkan lidah.

Biru mendengus, “Whatever.”

Jeva tersenyum lembut, sedang matanya menatap Biru lamat.

“Jadi lo beneran lagi PDKT sama Kak Maudy, Bi?” tanya Jeva.

“Enggak,” decak Biru. “Dibilang tadi cuma ketemu. Lo aja yang mikirnya malah ke mana-mana.”

“Ya lo gak nge-jawab sih tadi,” kata Jeva, “Diem berarti iya.”

“Mending lo yang diem deh, Jev.” decak Biru, “Gue tuh makin laper dengerin lo ngoceh tau nggak?”

Jeva melakukan gerakan menarik resleting ke samping di depan bibirnya. Dia tersenyum sambil menopang kepalanya dengan tangan di atas meja sebelum menatap wajah Biru lekat-lekat.

Biru yang semula memandangi layar gawai karena membalas pesan Dara tidak menyadari jika Jeva sedang memusatkan atensi padanya. Sampai saat dia melirik ke arah temannya itu, Biru ikut terjebak ke dalam permainan adu pandang yang Jeva ciptakan.

“Kenapa lo senyam-senyum?”

“Lo juga senyam-senyum,” balas Jeva diikuti kekehan. “Kenapa?”

Biru mengulum bibir, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang entah sejak kapan terlukis di sana. Dia lalu meletakkan telapak tangannya di atas wajah Jeva agar temannya itu berhenti memandanginya. Namun, Jeva justru tiba-tiba saja meraih pergelangan tangan Biru. Jeva kemudian mengendus wangi segar yang menguar dari sana.

“Lo abis ganti parfum, Bi?”

“Mm. Enak kan wanginya?”

Jeva mengangguk, “Bagi dong.”

“Ogah,” Biru menarik tangannya yang masih digenggam Jeva hingga terlepas, “Entar gue malah dikira abis pelukan sama lo kalo wangi parfum kita sama.”

“Lo baru aja ngasih gue ide supaya gue meluk lo abis ini, Bi.”

“Peluk aja kalau lo berani.”

Biru lalu mengepalkan tinju di depan wajah Jeva, tapi temannya itu justru tertawa. Jeva nampak puas mengusilinya, sedang Biru hanya geleng-geleng kepala.

Pelayan pun membawakan es teh dan es jeruk—yang tadi dipesan Jeva dan Biru—lebih dulu. Hal itu juga menjadi sebuah pertanda pula kalau sebentar lagi nasi goreng mereka akan menyusul.

“Abis makan lo mau langsung pulang?” Jeva lalu membasahi tenggorokannya dengan satu tenggak es teh tawar yang ia pesan. Matanya menatap Biru.

Biru menggeleng pelan, “Gue mau nemenin lo di kos-an.”

Jawaban Biru sontak membuat Jeva terbatuk. Beruntung Jeva sampai tidak menyembur Biru yang saat ini menatapnya kaget sambil menepuk punggungnya.

“Pelan-pelan,” gumam Biru.

Sementara itu, Jeva seketika menatap Biru tidak percaya.

“Tadi lo bilang mau nemenin gue di kos-an?” Jeva menelan ludah, “Lo mau nginep di kamar gue?”

“Ya enggak lah, kan gue punya kamar sendiri.” jawab Biru.

“Tadi gue juga udah minta tolong sama si Julian supaya naroh satu kunci kamar buat gue di kos-an.”

Mata Biru kemudian memicing, “Kenapa lo keliatan kaget gitu? Lo takut gue tidur di kamar lo?”

“Enggak,” jawab Jeva cepat.

Biru masih menatap Jeva dengan raut mengintimidasi, “Jev, lo lagi nyembunyiin apa di kamar lo?”

“Gak ada, Bi.”

“Jangan-jangan lo bawa cewek?”

“Enggak,” Jeva mendesis frustasi.

“Gue cuma kaget aja gara-gara lo mau nginep gak bilang-bilang.” jelasnya, “Lo baik-baik aja kan? Atau lagi ada masalah di rumah?”

“Gak ada,” Biru mendengus.

“Dibilang gue mau nemenin lo di kos-an,” lanjut Biru bergumam.

“Tapi kenapa?”

Biru tersenyum mendengar pertanyaan Jeva barusan.

“Sekarang elo yang nanya ‘kenapa’ ke gue,” ledeknya.

Jeva menghela napas pasrah.

“Kena gue.”

Biru tertawa ringan, bersamaan dengan pelayan yang membawa pesanan mereka tadi. Namun, sebelum melahap nasi goreng ayamnya, Biru lantas bersuara.

“Abis makan temenin gue cari angin bentar ya, Jev?” pintanya.

Jeva terdiam untuk sesaat, sebab sangat jarang Biru mengajaknya untuk sekedar mencari angin di luar. Biasanya, Jeva lah yang lebih dulu harus membujuk Biru. Jeva pun tidak bisa menampik rasa heran sekaligus khawatirnya.

“Bi, lo beneran baik-baik aja?”

Alis Biru berkerut, “Emang gue keliatan lagi gak baik-baik aja?”

“Tingkah lo dari tadi agak beda dari biasanya tau, Bi.” kata Jeva.

“Beda gimana?”

“Gak biasanya lo mau keluar rumah kalau gak ada urusan penting,” jelas Jeva, “Terus lo juga jarang banget pengen ditemenin nyari angin. Jujur sama gue, Bi.”

Sejenak Biru menatap wajah Jeva sebelum membuang muka. Biru lalu beralih mengaduk-aduk nasi goreng ayamnya bersama asap yang masih mengepul dari sana.

“Gue baik-baik aja.”

Biru melirik Jeva sekilas sebelum kembali memusatkan atensinya ke nasi goreng di hadapannya.

“Kalau pun gue gak baik-baik aja kan ada lo di samping gue.” kata Biru, “Lo bilang bakal jagain gue sampai ada yang gantiin lo kan?”

Kepala Jeva mengangguk pelan. Dia lantas mati-matian menahan senyum agar tidak dilihat Biru.

“Gue udah boleh makan kan?”

“Mm, boleh.”

Jeva lalu mengacak-acak rambut Biru, “Makan yang banyak ya, Bi.”