Figure It Out

Biru yang baru saja meletakkan tas di kursi penumpang samping kemudi juga jas koasnya yang dia sampirkan di jok lantas terkejut saat mendegar klason dari arah luar pagar rumahnya. Perasaan Biru seketika gak enak, dia sudah memiliki satu nama di kepalanya.

Menghela napas pelan, Biru lalu turun dari mobilnya sebelum menghampiri sumber suara tadi. Dan benar saja, mobil Jeva telah terpakir tepat di depan pagar.

Sementara itu, Jeva yang melihat Biru menghampiri mobilnya pun keluar dari kendaraan miliknya. Kini Jeva lantas berakhir berdiri di hadapan Biru lalu tersenyum.

“Lo bisa bahasa manusia gak sih, Jev?” Biru menatap Jeva dengan tampang tak percaya, “Tadi kan gue udah bilang kalau mau bawa mobil sendiri. Gue mau nyetir.”

“Guk guk guk guk!” balas Jeva sambil menirukan suara anjing.

Biru seharusnya kesal karena tingkah Jeva. Namun, kini dia justru menahan tawanya sambil menutup mata. Pun menahan hasrat untuk tak menonjok Jeva.

Pasalnya, wajah jenaka Jeva saat menirukan suara anjing mampu menggelitik perutnya. Dia kalah.

“Nah, gitu dong. Kalau pagi tuh senyum sebelum berangkat ke Rumah Sakit,” tutur Jeva yang melihat garis tipis melengkung di bibir Biru, “Senyum buat ke diri sendiri juga perlu tau, gak cuma ke pasien yang lo tangani di RS.”

“Lo gak usah nge-bawelin gue di sini pagi-pagi deh,” decak Biru.

“Mending lo ke RS sekarang gih,” timpalnya, “Entar gue nyusul.”

“Justru gue ke sini tuh karena gue mau berangkat ke Rumah Sakit barengan sama lo,” balas Jeva, “Cepetan keluarin mobil lo, ntar gue ngikutin dari belakang.”

“Lo kenapa sih gak mau ja—”

“Kenapa gue gak mau jauh-jauh dari lo?” potong Jeva yang telah tau apa yang ingin Biru tanyakan.

“Sekarang biar gue balikin deh pertanyaan lo, Bi. Kenapa sih, lo selalu pengen gue jauh dari lo?”

Biru menatap lamat wajah Jeva selama beberapa saat sebelum berkata, “Karena lo ngeselin, Jev.”

“That’s it!” Jeva lalu menjetikkan jarinya, “Gue juga gak mau jauh dari lo karena suka liat lo kesel.”

“Anjing,” ucap Biru hanya dengan gerak bibirnya; tanpa bersuara.

“Guk! Guk!” kekeh Jeva sebelum menunjuk ke arah rumah Biru dengan dagu, “Cepetan ambil mobil lo, Bi. Entar kita telat loh.”

“Kenapa harus barengan sih?”

Jeva menghela napasnya pasrah, “Kita satu kelompok btw, kalau lo telat. Entar gue yang ketar-ketir.”

Excuse me?” Biru lalu menoyor kepala Jeva, “Yang biasanya suka datang telat pas pre-klinik itu lo.”

“Itu kan dulu, Bi. Sekarang gak.”

Whatever,” kata Biru sebelum berbalik, hendak kembali ke garasi dimana mobilnya berada.

Namun, saat Biru sudah berada di belakang mobilnya, langkah kakinya seketika terhenti. Sebab, Biru mendapati bahwa salah satu ban belakang mobilnya kempes.

Bahkan, dari tampilannya saja, Biru sudah bisa menebak bahwa ban mobilnya itu telah pecah. Dan sialnya lagi, Biru sama sekali tidak memeriksanya lebih dulu saat memanaskan mesinnya tadi.

Kalau udah kayak gini, Biru gak ada pilihan lain. Mau tidak mau Biru harus ikut dengan Jeva agar tidak datang terlambat ke RSJ.

Sementara itu, di luar pagar, Jeva yang sudah menunggu Biru di dalam mobilnya lantas terkejut kala mendapati Biru keluar dari pagar sambil berjalan lesu. Tas dan jas Koas telah Biru tenteng sambil berjalan ke mobil Jeva.

“Lo kenapa, Bi?” tanya Jeva ketika Biru masuk dan duduk di bangku penumpang samping kemudinya.

“Gue baru liat kalau ban mobil gue pecah,” gumam Biru pasrah.

“HAHAHAHAHA!”

Ya, Biru sudah tau respon Jeva.


Hari sudah terasa panjang meski nyatanya saat ini baru memasuki jam makan siang. Pasalnya, RSJ kembali ramai dengan pasien.

Gak usah ditanya yang lagi jaga siapa. Of course, they’re Jeva and Biru, dua Koas yang diyakini bau.

Saat ini kelompok 4L pun sudah berkumpul di salah satu meja di kantin RSJ. Jeva, Biru dan Salsa duduk berjejeran. Sementara di seberang mereka ada Rayhan, Julian dan satu orang Koas laki-laki dari Universitas lain yang ikut bergabung dengan mereka.

“Soto gue mana yaa,” keluh Jeva, “Asam lambung gue lama-lama.”

“Sabar, Jev. Tangan si Ibu kantin cuma dua,” canda Salsa, “Mana kita semua mesen soto di sini.”

“Pokoknya soto yang pertama dateng nanti itu punya gue ya.”

“Iya, Jev. Ambil,” Salsa yang jadi responder setia Jeva pun pasrah.

“Pak Ketua, gimana kabar buat kasbes-nya nih? Diem-diem aja,” Jeva bertanya kepada Rayhan.

Rayhan yang sedari tadi sibuk memandangi gawainya melirik Jeva sejenak. Rayhan tersenyum hambar lalu menggeleng lemah.

“Gue belum maju Minggu ini.”

“Kalo lo, Jul?” tanya Jeva lagi.

“Belum,” jawab Julian singkat lalu kembali memusatkan atensi ke Koas dari Universitas lain yang duduk tepat di sisi kanannya itu.

Sebab sedari tadi pun, Julian lebih sering berbicara dengan laki-laki bernama Sakha itu. Tak sekalipun Julian melirik Rayhan.

Interaksi keduanya—Rayhan dan Julian—yang tidak seperti biasa pun bisa dengan mudah diamati oleh teman-temannya. Bahkan, Jeva yang menyadari hal itu pun selalu mencoba mencarikan es di antara kedua teman Koasnya itu.

Namun nihil, tetap saja Rayhan dan Julian tidak saling berbicara.

Tidak lama berselang, pelayan kantin lantas datang. Si wanita paruh baya membawa nampan berisi enam gelas minuman.

“Bu, sotonya belum jadi ya?” Jeva memelas, “Masih lama gak, Bu?”

“Biarin Ibunya naroh minuman dulu,” tegur Biru yang mampu membuat Jeva seketika terdiam.

“Udah hampir jadi kok, Mas. Abis ini dianterin ya,” jawab si Ibu tadi.

Saat si Ibu hendak meletakkan gelas di depan Julian, tangannya yang licin justru membuat benda berkaca bening itu jatuh di meja hingga isinya tumpah. Sebagian minuman yang tumpah itu pun membasahi celana Julian di bawah meja. Seisi meja panik, termasuk Rayhan yang hendak mengambil tisu untuk Julian.

Sayangnya, pergerakan Rayhan justru didahului oleh Sakha. Koas laki-laki bersorot mata tajam itu lebih dahulu memberi beberapa lembar tisu untuk Julian.

“Maaf, Mas. Saya minta maaf.”

“Gak apa-apa kok, Buuuu. Dikit doang kok ini,” ucap Julian amat tenang, “Udah, Ibu lanjutin aja.”

Rayhan lantas memerhatikan Julian yang mengusap celana kainnya dengan tisu. Namun, ketika mendapati Sakha ikut membantu mengusap paha Julian dengan tisu, Rayhan pun dibuat naik pitam. Ditambah lagi Julian justru tidak menolaknya.

Dipukulnya meja dengan keras oleh Rayhan sebelum dia berdiri. Rayhan menatap nyalang Sakha dengan mata yang berapi-api.

“Lepasin tangan lo itu dari paha pacar gue,” ucap Rayhan dingin.

Seisi meja tersentak, tak kecuali Jeva yang sebenarnya sudah tau akan hubungan antara Julian dan Rayhan. Namun, Jeva kini justru menoleh pada Biru. Temannya itu hanya diam, memerhatikan.

“Apa-apaan sih lo, Ray?”

“Lo yang apa-apaan, Jul!”

“Ray, Jul,” Jeva ikut berdiri lalu melerai keduanya, “Kita lagi di kantin, banyak yang ngeliatin.”

Menetralkan napasnya, Rayhan kemudian kembali memandangi Sakha. “Gue nggak suka ngeliat cowok gue dipegang-pegang.”

“Lo ikut gue,” kata Rayhan sambil menarik lengan kanan pacarnya hingga mereka pergi dari kantin.

Sakha yang sudah merasa tidak enak pun berdeham pelan dan ikut bangkit, “Gue juga cabut ya.”

“Lah kok pada pergi?” Salsa baru berani berkutik, “Soto lo, woy?”

Sementara itu, Jeva yang melirik Biru dan melihat temannya itu menatap kosong ke arah meja lantas menepuk pundak Biru.

“Lo tunggu di sini bentar ya, Bi.”

Biru tidak menjawab, dia hanya mendongak sambil memandangi Jeva dengan tatapan herannya. Pandangan Biru mengikuti Jeva yang berjalan ke arah stand soto.

“Ternyata Julian sama Rayhan ada something special ya,” kata Salsa, “Pantes nempel mulu.”

Biru masih diam. Tidak berniat membalas ucapan Salsa. Sampai saat Jeva telah kembali ke meja sambil membawa kantong plastik bening berisi paper bowl, alis Biru saling bertaut. Dia heran.

“Ayo, Bi. Kita makan di messko. Ini sotonya udah gue bungkus.”

“Lah, terus gue gimana?” Salsa menatap Jeva tidak percaya.

“Ya lo makan di sini aja,” balas Jeva, “Gue cabut duluan, Sal.”

“Tega banget lo pada sama gue!”

Jeva hanya memberikan simbol hati kecil yang dibentuk dengan jari kepada Salsa. Dia kemudian menarik lengan Biru, menuntun temannya itu berjalan ke messko.

Tidak ada percakapan di antara Jeva dan Biru sejak meninggalkan kantin. Bahkan Jeva yang kerap tidak bisa tenang pun memilih diam sampai akhirnya mereka tiba di ruang istirahat Koas yang juga suka mereka sebut messko.

“Nih, duduk.” Kata Jeva setelah menarik satu kursi untuk Biru.

Biru pun duduk di kursi yang ada dalam ruangan itu, sedang Jeva mendaratkan bokong di sisinya. Kantongan yang Jeva bawa tadi kemudian Jeva letakkan di meja.

Namun, bukannya langsung menyantap makan siangnya, Jeva justru menatap Biru lekat-lekat.

“Bi? Are you okay?” tanya Jeva.

Menoleh, Biru tersenyum. Dia ikut menatap Jeva lekat-lekat.

“Mm,” gumam Biru.

Jeva menelan ludah, “Anggap aja lo gak pernah denger apa yang lo denger di kantin tadi ya? Kalau lo gak nyaman ke Ray sama Julia—”

“Jev…” potong Biru.

“Gue kan udah pernah bilang ke lo. Gue gak benci atau jijik sama orang-orang kayak mereka kok.”

Biru menarik napasnya dalam-dalam, “Gue cuma enggak mau berhubungan terlalu dekat sama mereka, apalagi sampai tau hal-hal apa aja yang mereka lakuin sebagai pasangan sesama jenis.”

“Justru bagus gue udah tau Julian sama Rayhan ada hubungan, biar besok-besok gue bisa hati-hati di sekitar mereka, tanpa nyinggung perasaan mereka juga.” jelas Biru.

Jeva mengangguk paham.

“Mm, gue ngerti. Ray sama Julian juga pasti ngerti banget kok, Bi.”

Satu tangan Jeva lantas bergerak, meraih lalu menggenggam jemari Biru dengan erat di atas pahanya.

“Gue cuma khawatir sama lo.”

Biru menatap lurus ke dalam iris kecokelatan Jeva cukup lama lalu menurunkan pandangannya ke tangan Jeva yang menggenggam miliknya. Merasa ada yang aneh dengan dirinya dan apa yang kini mereka lakukan, Biru kemudian menarik tangannya. Dia melepas genggaman Jeva lalu berdeham.

“Gak usah lebay deh, gue enggak apa-apa. Udah ah, gue laper nih.” kata Biru lalu meraih paper bowl.

“Bi.”

Biru melirik Jeva, “Apa?”

“Apapun ketakutan lo, gue bakal dengerin kok.” tutur Jeva, sedang Biru hanya menghela napas lalu menarub satu paper bowl tepat di hadapan teman Koas-nya itu.

“Ketakutan gue sekarang itu, asam lambung gue bisa naik gara-gara gak makan karena ngeladenin bawelan lo doang.”

Jeva tersenyum, “Ya udaah, gue diem deh sekarang. Makan gih.”