Grandfather

“Kamu cantik banget, Sayang.”

Deva yang sedang mengunyah crab cake pesanannya seketika tersenyum malu-malu. Sebab, entah sudah yang ke-berapa kali Arga berbisik rendah di samping telinganya. Sang Alpha seolah tak pernah bosan memuji-mujinya. Terhitung sejak mereka masih di rumah tadi; sebelum berangkat.

Entah itu mengatakan bahwa dia suka penampilan Deva malam ini. Tangan Deva yang Arga genggam semakin lembut sejak hamil lagi. Dan masih banyak pujian lainnya.

Menoleh ke suaminya itu, Deva kemudian mengecup ringan pipi kanan Arga sekilas. Membuat si empu ikut tersenyum bahagia.

“Papi sama Papa kenapa cium-cium pipi di sini sih?” suara Danu yang melayangkan protes lantas menggema, “Danu nggak dikasih tau kalau boleh cium-cium juga.”

Kekehan mengalun merdu dari celah ranum Deva. Rasa gemas pun tidak tertahankan saat dia melihat anaknya itu merenggut.

“Loh, Papi kan suaminya Papa. Jadi Papi boleh cium-cium Papa dimana aja lah,” balas Arga usil.

“Tapi Danu kan anaknya Papa, Danu juga mau dicium-cium Papa dimana aja.” sela Danu.

“Udah, udah. Jangan ribut.”

Deva menengahinya lalu sedikit membungkuk. Deva mengecup pipi kiri sang anak yang duduk di sisi kanannya sejenak. Sementara Arga yang berada di sisi kirinya terkekeh pelan melihat mereka.

“Danu juga udah dapet kan?”

“Iya,” Danu pun tersenyum puas, “Makasih ya, Papa. Danu seneng.”

“Sama-sama, Sayang.”

Deva mengusap sayang puncak kepala Danu sambil tersenyum.

“Ayo, Danu lanjutin makannya.”

“Iya, Papa.” sahut Danu patuh.

“Kamu juga lanjutin makan kamu, Sayang.” Arga menyodorkan satu suapan crab cake yang telah dia potong kecil untuk sang Omega. “Si Baby masih laper kayaknya.”

Satu tangan Deva membelai pipi Arga. Saat makanan di mulutnya telah ia telan, Deva pun berkata.

“Makasih, Mas.”

Arga tersenyum manis sebagai jawaban. Membuat cekungan di kedua pipinya semakin dalam.

“Danu mau cobain ini juga gak?” Arga menawarkan. “Sini, Papi suapin. Buka mulut lebar-lebar.”

“Mau!”

Danu yang selalu bersemangat ketika Papi atau Papanya hendak menyuapinya seketika membuka mulut, seperti titah Arga. Namun bukannya menerima suapan dari sang Papi, Danu harus menelan kekecewaan karena Arga justru mengusili si buah hati. Pasalnya, Arga justru menyodorkan sendok berisi crab cake ke Danu, tapi ia buru-buru memakannya saat si sulung sudah ingin melahapnya.

“Papi!”

Arga mengunyah lalu menelan crab cake di mulutnya. Sesaat setelahnya, ia tertawa melihat raut kesal di wajah anaknya itu.

Deva geleng-geleng kepala. Arga selalu saja senang mengusili anak mereka. Meski begitu, Deva pun mengakui bahwa Danu sangatlah menggemaskan saat merenggut.

“Mas, jangan digituin ih anaknya.”

Deva menepuk paha suaminya. Arga masih memandangi Danu dengan tawanya yang tersisa.

“Sini, Sayang. Papi becanda tadi.”

“Gak mau.”

Danu mendorong piringnya yang kini masih menyisakan beberapa potong daging steak pesanan si Papi. Dia lalu mendongak pada Papanya sambil mencebik kesal.

“Danu udah gak mau makan.”

“Loh, Sayang…” Deva mendekap anaknya dari samping, “Danu lagi ngambek? Kesel ya sama Papi?”

Danu mengangguk lalu memberi death glare pada Arga yang mati-matian menahan rasa gemasnya. Sang Alpha menopang kepalanya dengan satu tangan di atas meja, senyumnya tidak pernah hilang.

“Mas, minta maaf sama Danu.”

Arga terkekeh pelan lalu meraih satu tangan Danu. Ia kemudian menggenggam jemari kecil itu.

“Papi minta maaf ya, Sayang?” ucap Arga, “Papi gemes banget kalau liat Danu sebel soalnya. Mukanya mirip sama Papa tau.”

Danu masih mencebik. Bibirnya yang ranum condong ke depan.

“Sekarang makanannya diabisin ya, Sayang?” bujuk Arga, “Danu udah belajar kan, kalau makanan nggak boleh disisain kayak gini?”

Danu mengangguk, “Papi udah Danu maafin, tapi Danu harus disuapin sama Papi ya. Paham?”

“Iyaaa, paham. Tapi disuapinnya satu kali aja ya,” kata Arga, “Buat gantiin yang tadi. Kan Danu udah gede. Maafinnya juga ikhlas kan?”

“Oke, Papi.”

“Pinternya anak Papi.”

Danu tersenyum simpul melihat Arga mulai mengambil makanan untuknya lalu menyodorkannya. Dengan senang hati Danu lantas menerima itu, melahapnya habis.

“Makasih, Papi.”

“Sama-sama, Sayang. Itu dilanjut lagi ya makannya,” titah si Alpha.

“Papi, kalau dagingnya udah abis, Danu boleh main ke sana nggak?”

Danu menunjuk ke area terluar rooftop restoran. Sebab, kini ia dan kedua orang tuanya berada di samping pintu penghubung outdoor seating dengan indoor.

“Boleh,” jawab Arga, “Tapi nggak boleh lari-larian dan kejauhan ya mainnya? Di sini ramai, Papi gak mau Danu jatuh karena ditabrak orang, atau malah Danu ganggu orang yang lagi makan. Paham?”

“Paham, Papi.” sahut si kecil.

“Danu juga mainnya sampai di ujung sana aja,” Arga menunjuk satu spot dimana beberapa anak kecil yang sekiranya seumuran dengan Danu berkumpul. “Biar Papi sama Papa bisa ngeliat Danu dari sini. Danu bisa kan, Sayang?”

“Bisa, Papi.”

Good.”

Deva tersenyum. Sebuah momen yang selalu dia anggap berharga adalah ketika Arga memberi sang putra sulung kebebasan, namun juga batasan supaya Danu tetap dalam pengawasan mata mereka.

Melihat Danu dan Arga telah kembali melahap makanan di hadapan mereka, Deva lantas hendak melakukan hal serupa. Tapi saat Deva ingin mengambil salad dari piring lain, netranya tidak sengaja menangkap figur sosok pria paruh baya dari meja outdoor seating. Sosok itu jelas tengah memerhatikan anaknya.

Deva sama sekali tidak berpikir negatif. Sebab pandangan si pria paruh baya ke Danu amat teduh. Seperti seorang Ayah yang amat memerhatikan tingkah anaknya.

Sampai ketika tatapan sosok itu pindah ke Arga, jantung di balik dada Deva bertalu dengan cepat.

Bagaimana tidak?

Pria paruh baya itu memandangi Arga cukup lama hingga matanya nampak berkaca-kaca. Perasaan Deva tiba-tiba tidak enak. Deva yakin ada sesuatu dengan si pria paruh baya di luar dan suaminya.

“Sayang?”

Deva tersentak lalu menoleh ke Arga yang baru saja memanggil.

“Ya, Mas?”

“Kamu ngelamun?” tanya Arga, “Lagi mikirin apa sih? Tell me.”

Menelan ludah, Deva kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Arga. Di sana, Deva pun berbisik.

“Mas… Ada orang yang ngeliatin kita daritadi. Coba kamu ngelirik ke meja B7 yang di luar itu deh.”

Mengikuti instruksi suaminya, netra Arga pun menyapu meja yang dituju. Saat iris madunya kemudian bertemu tatap dengan seseorang yang sebenarnya tidak ingin dia lihat bahkan ingat lagi, Arga pun buru-buru menunduk.

Persis seperti saat si Arga kecil dengan tidak sengaja membuka pintu kamar orang tuanya hingga menemukan sosok pria di depan sana tengah berhubungan badan dengan wanita selain Mamanya. Dia hanya menunduk lalu berlari dengan air mata membanjiri pipi.

Sosok pria yang pernah ia sebut dan panggil dengan kata, “Papa.”

“Mas?” Deva kembali berbisik kala melihat wajah sedu Arga. “Kamu kenal sama orang itu?”

Arga mengangguk, menoleh ke Omeganya itu sambil menghela napas panjang sebelum berbisik.

“Itu mantan suaminya Mama.”

Deva terbelalak, “Papa kamu?”

“Mm,” Arga memaksakan senyum di bibirnya, “Udah, jangan noleh.”

“Kamu baik-baik aja, Mas?” Deva khawatir, “Kalau Mas mau pulang sekarang, gak apa-apa. Ayo, Mas.”

Arga meraih satu tangan Deva. Ia menciumi punggung tangan sang Omega sejenak lalu tersenyum.

“Aku emang nggak baik-baik aja,” bisik Arga, “Ingatan aku tentang apa yang udah dia lakuin enggak bakal bisa aku lupa sampai mati.”

“Tapi kamu pernah bilang kan—”

“Habis!”

Ucapan Arga harus terhenti saat Danu tiba-tiba berseru. Anaknya itu menunjukkan piringnya yang telah bersih pada Deva dan Arga.

“Danu udah boleh main ke sana kan, Papi?” mata Danu berbinar.

“Iya, boleh.” sahut si Alpha, “Tapi Danu inget pesan Papi tadi yaa?”

“Iya, Papi.”

Danu turun dari kursi. Ia berjalan dengan langkah kecil nan riang ke salah satu spot dimana ada beberapa anak kecil bermain.

Sementara itu, Deva yang melirik ke arah Papa mertuanya itu pun bisa melihat bagaimana si paruh baya memerhatikan Danu lamat. Papa Arga itu tersenyum lembut.

“Kayaknya Papa kamu datang sendiri deh, Mas.” gumam Deva melihat bahwa tak seorang pun menemani si paruh baya di sana.

“Gak apa-apa,” kata Arga, “Biarin dia ngejalanin hidupnya kayak gitu. Itu pilihan dia sejak awal.”

“Selingkuh itu pilihan, bukan kecelakaan. Apalagi paksaan.” lanjutnya, “Andai aja waktu itu dia nggak nge-khianatin Mama, mungkin sekarang dia udah main atau bercanda sama cucunya.”

But look at him now, dia cuma bisa ngeliatin cucunya dari jauh.” Arga tersenyum miring, “Nyali dia gede sih kalo berani datengin aku terus minta ketemu cucu. Itu pun kalau dia nggak punya malu.”

Deva mengangguk kecil sebelum kepalanya ia sandarkan di bahu sang Alpha. Tangannya dan Arga masih saling menggenggam erat.

“Terus gimana sama kamu, Mas?” Deva khawatir, “Tadi kamu bilang kalau kamu enggak baik-baik aja.”

Arga mengecup kepala suaminya. Menghirup aroma manis sampo Deva yang menggoda hidungnya sejenak dengan mata terpejam.

“Kamu pernah bilang kan sama aku, kalau aku gak bakalan bisa berbagi rasa sakit sama kamu kalau aku sendiri belum bisa menerima rasa sakit itu,” Arga kembali membuka matanya.

“Sekarang aku udah nerima rasa sakit itu. Aku udah nerima kalau emang gini jalan hidup aku sama Mama supaya sampai ke hari ini.”

“Dulu aku selalu berpikir, kenapa semua ini harus terjadi sama aku dan Mama ya?” Arga tersenyum miring, “Kenapa Papa ngelakuin hal yang bikin aku sama Mama terluka dan gak percaya cinta?”

“Tapi sekarang aku justru mikir, apa ya yang bisa aku ambil jadi pelajaran buat pernikahan aku sama Deva atas apa yang pernah terjadi ke aku dan Mama dulu?”

“Apa ya yang aku lakuin supaya Deva sama anak-anak aku nanti nggak bakal ngerasain apa yang pernah aku sama Mama rasain dulu?” sang Alpha melanjutkan.

“Dan sekarang… Aku punya kamu di samping aku,” Arga menunduk sambil tersenyum kepada Deva.

“Jadi kalau aku ngerasa sakit atau nangis karena nginget perbuatan Papa, aku punya kamu buat jadi tempat berbagi dan bersandar.”

Penuturan Arga nyaris membuat Deva menitikkan air matanya. Ia memang sudah tau bahwa suami tercintanya itu adalah sosok pria yang amat kuat. Namun melihat bagaimana sang Alpha menyikapi momen pertemuannya dengan si paruh baya—yang dulu pernah menorehkan luka bagi Arga dan Mama—dengan tenang membuat Deva kian kagum tentang betapa kuatnya Arga merasakan luka itu.

“Iya, Mas. Kamu punya aku.”

“Mm. You’re mine.” kekeh Arga.

Deva ikut terkekeh. Tapi sesaat setelahnya, ia teringat sesuatu.

“Oh iya, Mas. Soal Papa kamu… Kita kasih tau Danu gak ya kalau pria yang di sana itu Opanya?”

Arga menggeleng, “Danu emang harus tau Opanya, gimana pun juga, suatu saat dia pasti bakalan nanya. Tapi gak sekarang, Dev…”

“Danu masih terlalu kecil untuk dikasih banyak pemahaman soal perpisahan di dalam pernikahan.” katanya, “Nanti. Ada waktunya.”

Deva mengangguk, “Oke.”

“Papi! Papa!”

Suara Danu yang berlari kecil ke arah meja Deva dan Arga lantas mencuri atensi keduanya. Danu terlihat sangat buru-buru saat ini. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat mendesak.

“Sayang, pelan-pelan.” kata Deva lembut, “Danu kenapa, Sayang?”

“Tadi Danu dapet temen baru di sana,” si kecil menunjuk ke spot dimana ia bermain tadi, “Terus Danu dikasih kalung ini sama temen baru Danu, Papa. Liat!”

“Ini beneran Danu dikasih, Nak?”

“Iya. Katanya Danu harus ambil, nggak boleh nolak.” jelas si kecil.

Mata Deva berkedip cepat, sebab perhiasan yang digenggam sang anak adalah edisi terbatas dari brand favorite si Mama mertua. Persis seperti milik mertuanya. Deva jelas tau harganya selangit.

“Ini kalung mahal loh. Orang tua temen baru Danu udah tau gak?”

“Udah, itu Danu dikasih. Terima aja,” Arga menengahi, “Kalau pun orangnya minta ganti, aku bisa ganti yang lebih mahal dari itu.”

“Tapi, Mas…”

Arga mengusap lembut paha atas Deva sebelum berbisik rendah di samping telinga Omeganya itu.

“Itu kalung pernikahannya Mama sama Papa,” kata Arga, “Pasti itu dari laki-laki yang di meja sana.”

“Gak apa-apa Danu ambil, Mas?”

“Mm,” gumam Arga. “Kasian kalo Danu disuruh balikin. Tuh liat aja anaknya sampai seneng banget.”

Deva mengerti maksud Arga. Ia pun hanya mengangguk sebagai respon lalu kembali menatap ke Danu yang kini duduk di sisinya.

“Ya udah, itu kalungnya Danu simpen baik-baik ya, Sayang?”

“Iya, Papa.”

Danu kemudian menunjuk air di atas meja, “Danu mau minum.”

Deva segera membantu si kecil meraih gelas. Sementara Arga melalui ekor matanya justru bisa melihat sang Papa telah berjalan meninggalkan mejanya tadi. Arga berpura-pura tidak melihat saat pria itu melewatinya, Danu dan Deva guna keluar dari restoran.

Meski masih ada luka hingga rasa benci yang Arga simpan di dalam hatinya jika mengingat ulah sang Papa, namun si Alpha diam-diam iba melihat figur pria paruh baya itu. Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, Papanya terlihat amat tak terurus. Tubuhnya yang dulu berisi kini telah jadi kurus kering.

Bahkan, saat Arga bertemu tatap dengan Papanya tadi, kedua bola mata si paruh baya amat merah, sedang wajahnya terlihat pucat. Arga yakin Papanya sudah sering mengkonsumi alkohol sekarang.

Arga, memang, tidak mau tau lagi tentang sang Papa. Tapi dengan membiarkan anaknya menerima pemberian yang Arga tau berasal dari si Papa, menurutnya sudah cukup untuk membebaskan rasa kasihannya kepada si paruh baya.

Dan bagaimana pun juga, sosok itu tetaplah bagian dari dirinya. Ia lahir dari darah daging Papa.

“Papi kenapa nangis?”

Arga nyaris tidak sadar jika air mata telah membasahi pipinya andai saja Danu tidak bertanya. Deva lantas menggenggam erat tangan suaminya, menatap sang Alpha dengan ekspresi khawatir.

Arga pun menoleh. Ia tersenyum tipis kepada anaknya juga Deva.

“Papi inget sesuatu tadi,” jawab Arga jujur, “Tapi Papi nggak apa-apa kok. Ayo, kita lanjut makan.”

“Papi nggak nangis karena Danu diambilin air sama Papa tapi Papi gak diambilin kan?” tanya Danu.

Arga tertawa renyah, “Gak dong. Kan Papi yang selalu ngambil air buat Papa. Danu nggak bisa kan?”

“Bisa!” Danu tidak mau kalah.

Sebelum kedua malaikatnya itu kembali terlibat keributan kecil, Deva lantas menyuapi suaminya dengan salad. Danu pun tertawa melihat Papinya yang baru saja hendak berbicara justru harus mengunyah. Namun setelah itu, Deva melakukan hal serupa pula pada Danu. Deva lalu terkekeh.

“Kalo lagi makan gak boleh ribut loh,” tegur Deva, “Ayo, diabisin.”

“Oke, Papa.”

“Iya, Sayang.”