jaesweats

Nala dan Arsen telah berada di lokasi pemotretan untuk sampul majalah. Keduanya bahkan sudah mengenakan salah satu setelan pakaian yang telah kru siapkan untuk pengambilan gambar hari ini. Arsen memakai celana kain hitam dipadukan dengan jaket single breasted mohair wool yang tidak sama sekali tidak dikancing hingga bagian dada juga perut si aktor terekspos. Sementara itu, tubuh Nala sendiri dibalut rope blazer dengan satu kancing di depan dada. Alhasil, sebagian dada juga perut Nala nampak. Pun kaki jenjangnya. Sebab, Nala kini mengenakan celana pendek hitam yang hanya sebatas paha.

Selagai stylist masih merapikan rambut dan pakaian Nala, Arsen lantas tak henti-henti menatap datar ke arah beberapa wanita juga pria yang terus-terus saja memandangi sang lawan main. Arsen bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sendiri pun telah menjadi objek tatapan intens dari orang-orang saking terlalu sibuk memedulikan Nala di sisi kirinya.

“Oke, Nal. Udah,” kata si stylist sebelum meninggalkan Nala dan Arsen tak jauh dari set yang akan menjadi background pemotretan mereka beberapa menit lagi. Saat itu pula Arsen sigap berdiri tepat di hadapan Nala hingga mereka kini saling berbagi pandangan.

“Apa?”

Alis Nala menukik heran. Sebab, Arsen hanya berdiri di depannya sambil melipat lengan sembari terus menatap datar ke arahnya.

“Gue nutupin badan lo,” sahut Arsen. “Biar gak diliatin mulu.”

“Terus lo pengen nutupin badan gue kayak gini mulu sampai sesi pemotretan?” Nala mendengus kasar. “Lo masih se-posesif ini.”

“Kalau udah sesi pemotretan, ya gue bakal berusaha mentolerir, karena lo lagi kerja. Mau gak mau lo musti jadi bahan tontonan biar lo tetep profesional,” kata Arsen. “Itu juga kan yang dulu lo mau?”

“Tapi kalau masih di luar waktu kerja kayak sekarang, gue nggak suka. Badan lo bukan tontonan gratis. Jadi selagi ada gue di sisi lo, i’ll do this kind of thing. That’s the difference.” seringai Arsen.

Nala memutar bola mata malas diikuti gelengan kepala. Namun, persekian detik berselang, tiba-tiba saja terlintas di kepala Nala sebuah pikiran untuk mengusili Arsen. Nala pun berusaha untuk menahan senyum sebelum mulai melangkah satu kali ke sisi kiri.

Sontak hal itu membuat tubuh Nala tidak lagi berlindung di balik badan bongsor Arsen dan dapat dengan mudah dilihat oleh orang-orang di sisi seberangnya. Sementara itu, Arsen pun tidak ingin kalah. Dia ikut melangkah ke kiri agar tubuhnya kembali berada tepat di hadapan Nala.

Nala pun tidak berhenti setelah itu. Kali ini Nala melangkah satu kali ke kanan hingga dia kembali ke posisinya semula. Tapi belum lima detik berlalu, Arsen sudah ikut melangkah ke sisi kanannya agar tubuh Nala tetap berada di hadapannya. Sampai ketika Nala lagi-lagi hendak melangkah ke sisi kiri, kedua tangan Arsen pun buru-buru mencengkeram erat pundak Nala. Dia terkekeh pelan.

“Jangan main-main sama gue, Nal. Gue gak takut nyium lo di sini,” bisik Arsen diikuti seringai.

“Coba aja kalau lo pengen gue cut off sekarang juga,” kata Nala.

Dua anak manusia itu sama-sama menahan senyum sebelum akhirnya menoleh pada sumber suara yang memanggil mereka untuk segera masuk ke dalam set pemotretan. Nala dan Arsen pun berjalan beriringan ke tempat itu lalu memulai sesi pengambilan gambar mereka untuk majalah.


Usai pemotretan selesai, Arsen dan Nala yang masih memakai setelan terakhir dari total enam pasang baju untuk pengambilan gambar hari ini pun diberitahu agar mengikuti sesi wawancara. Keduanya kemudian dituntun ke set pertama yang mana terdapat dua kursi di sana. Alhasil, Arsen dan Nala pun bisa segera duduk.

Baik itu Arsen maupun Nala lalu mulai menjawab satu demi satu pertanyaan yang diberikan oleh sang interviewer. Mulai dari bagaimana mereka mengikuti audisi casting hingga akhirnya dipasangkan dalam series serta apa saja yang menjadi nilai plus dan menjual dari series Starlight; guna mempromosikan series itu.

Sampai saat si interviewer mulai menanyakan tentang persoalan pribadi, Nala juga Arsen diam-diam gugup. Mereka takut jika saja akan ada pertanyaan seputar hubungan mereka saat masih di dunia kuliah. Pasalnya, semakin banyak mereka berbohong soal masa lalu mereka, semakin besar pula akibat yang nanti akan Nala dan Arsen terima saat semuanya terbongkar. Sebab, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kelak.

Beruntung, tidak ada pertanyaan spesifik yang menjurus ke sana. Namun, Nala justru dibuat panik ketika ia mendengar pertanyaan terakhir dari sang interviewer yang ditujukan untuk Arsen.

“Sen, kamu preferensinya lebih ke cewek apa cowok? Kan kalau Nala kita udah tau ya,” kata sang penanya. “Just if you don’t mind.”

Arsen melirik Nala sesaat lalu kembali menatap ke kamera di hadapan mereka diikuti tawa.

“Wah, kalau soal preferensi, saya udah komitmen sama diri sendiri buat jadiin ini privasi sih, Mba…”

“Karena saya pribadi pun nggak pengen terlalu buka-bukaan soal hubungan asmara saya sebelum saya nikah.” timpal Arsen. “Jadi saya pengen semuanya ketahuan tuh pas saya udah nikah nanti.”

Nala tersenyum tipis mendengar jawaban berani Arsen. Sebab, dia tidak segan untuk memberitahu tentang batasan ranah privasinya meski itu jelas bukan lah jawaban yang amat interviewer inginkan.

“Berarti Arsen tipikal yang bakal diam-diam punya pacar terus identitasnya dirahasiakan yaa sebelum kalian nikah nantinya?”

“Iya, bener.”

Dengan jawaban Arsen itu, maka berakhir pula lah sesi interview serta seluruh rangkaian photo shoot mereka hari ini. Baik itu Arsen dan Nala lantas menghela napasnya lega lalu saling berbagi pandang. Keduanya pun refleks berbagi senyum sebelum Gandi dan Endra menghampiri mereka.

“Wah, gila. Starlight trending di Twitter,” ujar Endra dengan mata melotot sebelum melebarkan mulutnya. “Responnya juga pada bagus-bagus. Kaget gak sih lo?”

Arsen dan Nala yang duduk tepat di seberang Endra lantas melukis senyum di bibir mereka. Pun Gandi yang baru saja datang dari dapur sambil membawa empat kaleng bir. Gandi meletakkan bir itu di atas meja sebelum memilih duduk di samping kanan Endra.

“Padahal, awalnya tuh gak sedikit juga gak sih yang nolak series ini tayang?” timpal Endra. “Ternyata malah banyak banget yang suka.”

“Mm,” gumam Gandi setuju. “Gue liat tadi ada yang bilang Starlight itu series BL pertama yang orang itu tonton. Berarti target pasar yang tadinya cuma ke pecinta BL udah meluas kan? That’s great.”

“Bisa aja kan, abis ini, genre BL bukan lagi soal selera orang yang emang ada dalam komunitas itu sendiri. BL bakalan setara sama series straight yang isi ceritanya juga lebih beragam,” jelas Gandi.

Endra pun mengangguk setuju, namun melihat Arsen dan Nala hanya terdiam membuat mata Endra lantas memicing heran.

“Tapi ini kenapa ya dua bintang utamanya malah diem-diem aja dari tadi?” sindir Endra, sedang Gandi terkekeh mendengarnya.

“Iya,” Gandi menimpali. “Lo pada gak seneng series lo trending?”

“Justru karena gue sama Nala seneng banget, makanya kita gak bisa berkata-kata.” sahut Arsen.

“Iya kan, Nal?” tanyanya ke Nala.

“Mm,” Nala tersenyum tipis. “Gue udah expect kalau respon series ini bakal bagus apalagi soal plot.”

“Tapi gue bener-bener masih gak nyangka bakal se-rame ini.” lanjutnya, “Padahal ini juga series BL pertama di negara kita kan?”

You guys deserves all the hype,” kata Endra. “Akting kalian emang se-keren itu tau. Arsen aja yang dulu suka kaku kalau udah akting sama lawan mainnya bisa se-jago ini ternyata pas bareng Nala.”

“Jadi intinya lo lagi muji gue apa ngatain gue?” Arsen mendengus, sedang Nala, Endra serta Gandi seketika menertawai sang aktor.

“Kan kalau sama Nala dia gak perlu akting, Ra.” ledek Gandi yang membuat Arsen refleks melempar bantal sofa ke arah sahabat karibnya dan Nala itu.

Di tengah-tengah keributan antara Gandi dan Arsen, suara gawai Nala tiba-tiba menggema. Nala pun buru-buru meraihnya hingga mendapati bahwa Bagas lah yang kini menelponnya. Nala lalu melirik Arsen sesaat sebelum dia berdiri dari sofa dan berkata.

“Gue angkat telepon dulu ya.”

“Obrolan kalian se-rahasia itu ya, sampai-sampai harus telponan di tempat lain?” kata Arsen bahkan sebelum Nala mengangkat kaki.

Nala pun hanya menoleh pada Arsen dengan tampang datar sebelum melenggang pergi dari sana. Arsen sendiri seketika menghela napas panjang lalu menenggak rakus sekaleng bir seperti tidak ada lagi hari esok.

“Sen, pelan-pelan.” kata Gandi.

Arsen tidak menjawab. Dia justru meletakkan kaleng birnya yang telah kosong di atas meja lalu bangkit dari sofa. Dia pun ikut meninggalkan ruang tengah dan menyusul Nala yang nyatanya sedang berdiri di belakang pintu apartemennya. Di sana pula Nala sedang asik berbincang dengan Bagas melalui panggilan telepon.

“Makasih ya, Gas. Kalau gitu, gue matiin teleponnya. Bye.” Tutur Nala lalu menoleh ke arah Arsen yang berdiri sambil bersandar di tembok. Arsen melipat kedua lengannya di depan dada sambil menatap Nala dengan raut datar.

Nala pun sudah siap jika setelah ini Arsen lagi-lagi akan menyulut api di antara mereka. Namun, di luar dugaan Nala, Arsen justru hanya melewatinya tanpa sedikit pun suara terbebas dari belahan bibirnya. Arsen membuka pintu apartemennya tepat setelah Nala minggir dan memberinya jalan.

“Lo mau ke mana?”

“Kenapa lo gak ikut aja kalau lo pengen tau,” jawab Arsen tanpa menoleh sedikit pun ke Nala.

Nala berpikir sejenak, tapi pada akhirnya dia mengikuti Arsen yang kini berjalan menuju lift. Saat mereka sama-sama telah di dalam lift, Nala lantas mencuri-curi pandang ke arah Arsen dari pantulan pintu lift di depannya.

Nala masih heran kenapa Arsen diam saja. Padahal, Nala sudah menyiapkan jawaban terbaiknya andai saja tadi Arsen lagi-lagi menunjukkan sikap posesifnya.

Sesampainya di lantai dasar, Nala lantas kembali mengikuti Arsen. Sampai pada akhirnya, Nala tahu bahwa mantan pacarnya itu akan ke kolam renang. Nala pun ikut duduk di tepi kolam saat Arsen yang lebih dahulu mendaratkan bokong memberinya instruksi tersirat melalui tatapan mata.

“Dia bilang apa ke lo?”

Nala yang paham bahwa orang yang dimaksud Arsen adalah Bagas pun seketika menjawab.

“Bukan urusan lo.”

“Jawab, atau gue yang langsung nanya ke dia,” ujar Arsen tenang.

Nala menghela napas. “Bagas ngucapin selamat karena series kita dapat respon yang positif.”

Arsen mengangguk lalu menatap kosong ke arah kolam renang.

“Ngeliat respon orang-orang tuh justru bikin gue ngerasa kasihan sama diri gue sendiri deh, Nal.”

“Kenapa?”

Arsen menoleh dengan senyum hambar di garis bibir penuhnya.

“Waktu kita pacaran dulu, kita musti sembunyi-sembunyi dari orang lain, bahkan orang tua kita sendiri. Butuh waktu lama buat coming out ke mereka,” katanya.

“Gak sekali dua kali juga kita berantem karena gue udah pengen coming out, tapi lo sebaliknya.” Arsen menimpali.

“Tapi sekarang, our society udah jauh lebih ramah ke orang-orang kayak kita. Bahkan hal yang dulu gak pengen mereka lihat karena jijik justru udah jadi tontonan…”

“Andai aja waktu itu gue udah bisa ngeredam ego gue kayak sekarang, pasti gue udah bisa meluk lo di depan orang banyak bahkan nge-genggam tangan lo ke mana pun kita pergi…” Arsen berkaca-kaca, namun dia tetap memaksakan senyum tipisnya.

“Gue juga pasti udah gak perlu bersaing kayak gini sama Bagas bahkan Tristan kalau aja nanti dia kembali ke lo. Kita mungkin udah bahagia ya sama keluarga kecil kita,” timpalnya, sementara Nala refleks tersenyum meledek.

“Perasaan baru kemarin lo jelasin panjang lebar soal apa yang bikin lo gak suka kalau Bagas deketin gue,” kata Nala. “Kok sekarang lo udah terima bersaing sama dia?”

“Karena lo milih buat tetep biarin dia deketin lo,” sahut Arsen. “Gue cuma bisa bilang kalau gue gak suka lo dideketin sama dia, tapi pilihan lo tetep ada di tangan lo kan? Ya udah, gue harus terima.”

Arsen kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Nala lalu mengulas seringai tipis sebelum berbisik, “Lagian, meski posisi gue sama Bagas sekarang sama-sama lagi bersaing buat dapetin hati lo, gue yakin lo bakalan milih gue. Lo cuma masih ragu, Nal.”

Nala memutar bola matanya lalu membuang muka ke arah kolam renang. Saat itu pula Nala diam-diam menahan senyumnya. Dia, jujur saja, tak berekspektasi kalau Arsen akan se-tenang ini. Apalagi saat masih di dalam apartemen tadi, Arsen terlihat sangat marah.

“Kata siapa kalau posisi lo sama Bagas itu sama?” Nala kembali menoleh dan memandang Arsen.

“Gue gak pernah bilang ke Bagas kalau gue ngasih dia kesempatan buat nunjukin usahanya,” timpal Nala. “Jadi gue gak nunggu apa-apa dari dia. Beda sama lo, Sen...”

“Gue udah ngasih lo kesempatan, jadi gue nunggu sampai kapan lo bakalan menyalahi prinsip lo dan kapan lo bakalan meledak terus akhirnya gak yakin buat balikan lagi sama gue.” seringai Nala.

Mendengar penuturan Nala membuat Arsen mati-matian menahan senyum. Dia merasa mendapat lampu hijau dari Nala meski dengan kata-kata sarkas.

“Sayangnya gue gak bakal pernah meledak, Nal.” Arsen ikut melukis seringai di bibirnya. “Justru cinta kita yang nanti bakalan meledak.”

“Pfffttt!”

Arsen melotot saat Nala tiba-tiba menyemburkan tawanya. Nala tertawa lantang sambil sedikit membungkuk dengan tangannya yang menekan perut. Melihat hal itu lantas membuat sesuatu di balik dada Arsen menghangat. Sebab, baru kali ini dia melihat Nala kembali tertawa amat lepas.

“Kok ketawa sih? Apa yang lucu?” kekeh Arsen lalu mencubit pipi Nala yang masih juga tergelak.

“Kapan ya terakhir kali gue denger kalimat katrok kek tadi,” Nala dengan sisa-sisa tawanya menatap Arsen dengan tampang geli. “Cinta kita yang meledak? Lo dapet kalimat itu darimana?”

“Lo masih receh banget ya,” kata Arsen diikuti kekehan. “Apa yang lucu sih dari cinta kita meledak?”

“Lucu aja,” Nala menghela napas panjang guna meredam tawanya.

“Emang sih ya, kalau lagi bareng sama orang yang kita sayang tuh, dia mau ngomong apa aja pasti bakalan kedengeran lucu.” ledek Arsen, sedang Nala mendengus.

“Sekarang Gavi udah tidur gak ya kira-kira, Nal?” tanya Arsen.

“Udah, anaknya selalu tidur di bawah jam sepuluh malem.”

Arsen mengangguk.

“Kita balik ke unit lo yuk,” ajak Nala. “Gue mau pulang abis ini. Sekalian ambilin laptop lo yang mau gue pinjem buat ngedit.”

“Emang gue pernah bilang kalau lo boleh bawa laptop gue pulang ya?” Arsen memicing usil. “Gue cuma bilang kalau lo boleh pake punya gue, perasaan. Iya kan?”

Nala menghela napasnya pasrah, “Seharusnya gue emang gak usah percaya sama omongan lo, Sen.”

“Kalau mau ngedit, ke apartemen gue aja, pake laptop gue. Sama kayak tadi pas lo pake kamera gue waktu take reaction video.”

Nala mendelik, namun Arsen yang melihat hal itu semakin melebarkan senyum usilnya.

“Atau gini deh. Biar gue aja yang ngeditin video lo, tapi sebagai gantinya, lo musti nyium gue.”

“Gak.”

Arsen tidak peduli. Dia justru mendekatkan wajahnya ke arah Nala seolah ingin menciumnya.

“Apaan sih, Sen? Entar ada orang yang liat,” Nala mendorong dada Arsen, namun yang diperlakukan demikian justru tersenyum lebar.

“Berarti kalau gak ada orang yang liat, kita bisa ciuman?”

“Gak.”

“Ayo,” Arsen menarik lengan Nala dan menuntunnya untuk berdiri.

“Sen, lo mau ke mana sih?” Nala mendesis saat Arsen menarik lengannya guna meninggalkan kolam renang. “Lepasin gue.”

“Tadi katanya mau pulang,” ujar Arsen. “Biar gue yang nganterin.”

“Tapi kita belum pamit ke Endra sama Gandi, brengsek.” decak Nala saat Arsen justru menarik lengannya ke lift dan menekan tombol untuk menuju basement.

“Ngapain pamit? Kan yang punya unit gue,” Arsen tersenyum tipis.

Lagi-lagi Nala hanya bisa pasrah bersama helaan napas panjang. Lengannya masih dicengkeram oleh Arsen. Namun, saat Arsen perlahan melepas cengkeraman itu dan beralih menggenggam tangannya, Nala lantas menoleh ke sang mantan. Saat itu pula pandangan mereka berjumpa.

Awalnya, Nala terlihat berpikir. Sampai tidak lama berselang, Nala pun membalas genggaman tangan Arsen sebelum menoleh ke arah pintu lift. Pun Arsen yang melakukan hal serupa sambil mati-matian menahan senyum.

Rintik hujan kembali jatuh dan membasahi bumi. Malam yang semula amat sunyi pun menjadi gaduh karena butiran-butiran air langit itu datang dan menerjang tanah. Belum lagi suara petir yang menyusul dalam selang waktu beberapa menit saja.

Namun, di balik bisingnya suara hujan dan petir di luar sana, aksi kedua anak manusia di dalam kamar tamu apartemen tidak kalah gaduhnya. Arsen dan Nala yang sedari tadi berbagi ciuman mesra nan amat panas kini mulai mengeluarkan suara-suara erotis dari celah ranum mereka. Dibarengi dengan decak lidah dan deru napas yang terengah-engah, baik itu Arsen maupun Nala semakin liar memagut bibir satu sama lain dan berbagi saliva.

Tidak lama berselang, keduanya kemudian menghentikan ciuman panas itu lalu meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Saat itu pula seringai tipis Arsen terlukis di bibir penuhnya. Terlebih saat Arsen melihat Nala kini sedang dalam kondisi terengah-engah dengan mata yang kian sayu.

“Kayaknya lo udah gak takut dan bisa langsung tidur nyenyak deh abis ini,” bisik Arsen. “Kalau gitu, gue balik ke kamar gue ya, Nal.”

Awalnya Nala hanya menatap Arsen datar dengan pikiran bahwa mantan pacarnya itu sedang mengusilinya. Namun, saat Nala melihat Arsen bangkit hingga turun dari ranjang, sontak matanya terbelalak keheranan.

Have a good sleep, love.”

Nala memandangi Arsen dengan raut tidak percaya. Terlebih saat Arsen benar-benar berjalan ke arah pintu kamar tamu sebelum akhirnya keluar dari sana. Nala pun tak henti-henti menatap daun pintu yang telah tertutup dengan harapan Arsen akan kembali, tapi sampai beberapa menit telah berlalu, lelaki itu justru tak kunjung datang lagi.

“Sialan,” gumam Nala sebelum ikut bangkit dari ranjang dan buru-buru ke luar dari kamar.

Nala kemudian bergegas ke kamar Arsen lalu membuka pintunya yang tidak terkunci. Saat itu pula Nala mematung di ambang pintu kala mendapati Arsen sedang duduk di tepi ranjang dalam kondisi tubuh bagian atasnya yang telah polos tanpa sehelai benang. Tepat di samping paha kiri Arsen pun ada sebuah botol lubricant dan satu kotak kondom. Arsen seolah tahu bahwa Nala akan datang padanya dan tetap ingin melanjutkan aksi panas mereka; lebih dari ciuman.

“Gimana rasanya ditinggal pas udah kebawa suasana, Nal?” Arsen menyeringai tipis lalu menopang tubuhnya dengan kedua lengan yang dia luruskan ke belakang. “Kita satu sama.”

Sontak rahang Nala mengeras bersamaan dengan kedua tangannya yang mengepal kuat. Nala kemudian menutup pintu kamar Arsen sebelum bergegas menghampiri si mantan pacar.

Nala mendorong kuat tubuh Arsen hingga punggungnya menyentuh permukaan tempat tidur. Saat itu pula Nala naik ke atas perut Arsen lalu mencekik leher lelaki yang telah berada di bawahnya. Namun, Arsen justru menyeringai puas karenanya.

Calm down, love.” kekeh Arsen, “Bukannya elo ya, yang dulu suka banget dicekik kayak gini? Hm?”

Fuck you.”

Nala kemudian membungkuk lalu kembali menciumi rakus bibir Arsen, sementara yang diperlukan demikian jelas tidak menolak. Cekikan Nala pada leher Arsen pun perlahan dia lepas sebelum beralih meraba-raba bisep kokoh sang mantan.

Saat Nala memberi jeda pada ciumannya, dia lantas mengambil kesempatan itu untuk kembali meluruskan badan lalu melepas baju dan melemparnya ke sembarang arah. Arsen yang berada di bawahnya pun tersenyum sebelum menarik lengan Nala agar kembali membungkuk dan menciuminya.

Kedua anak manusia itu pun lagi-lagi berbagi pagutan yang tidak kalah intens dan kasar dari sebelumnya; masih dengan Nala di atas perut Arsen. Keduanya seolah sedang berperang untuk menemukan pemenang dari pemegang kendali ciuman. Meski begitu, Nala yang sudah nyaris sampai di garis finish justru memasrahkan diri ketika Arsen tiba-tiba membalik keadaan.

Arsen menjatuhkan tubuh Nala di atas ranjang hingga kini dirinya lah yang berada di atas Nala. Arsen mengungkung Nala tanpa melepas tautan bibir mereka. Di saat yang bersamaan, Nala pun meraba-raba punggung lebar Arsen guna melampiaskan sensasi menggelitik di perutnya. Sesekali Nala menarik pelan rambut Arsen kala si mantan pacar menghisap kuat bibirnya.

“Ahhh!”

“Hhhh!”

Keduanya membebaskan desah dan erangan mereka saat ciuman panjang itu akhirnya usai. Namun tak berhenti di sana, Arsen yang sudah tidak sabar untuk segera menghapus jejak-jejak jajahan Tristan di tubuh Nala lantas menurunkan ciumannya ke leher, tulang selangka, kedua puting hingga perut rata Nala.

Sampai saat wajah Arsen telah berada tepat di hadapan pusat ereksi sang mantan pacar, dia pun menenggelamkan wajahnya di sana. Arsen lalu mengendus gundukan di balik celana Nala itu sambil memejamkan mata sesaat.

“Mmhh...” gumam Arsen. “Wanginya masih sama.”

Nala diam-diam menahan senyum saat mendengar gumaman Arsen di bawah sana. Terlebih, saat Arsen buru-buru melepaskan celana Nala bersama dalamannya dalam sekali tarik saja. Nala yakin Arsen sudah berada di ambang batasnya untuk menahan gejolak nafsu.

Sementara itu, Arsen yang telah melepas celana Nala hingga si mantan berakhir telanjang bulat pun menahan napasnya sejenak. Arsen, lebih tepatnya, tercekat saat mendapati bahwa masih ada tattoo namanya di pinggul Nala. Arsen kaget sekaligus bingung.

“Nal...”

“Gue gak pernah berhubungan badan sama Mas Tristan,” Nala seolah tahu apa yang saat ini sedang Arsen pikirkan. “Sebelum dia nikahin gue dulu, Mas Tristan udah gue kasih tau kok kalau gue masih belum bisa lepas dari masa lalu gue yang dia gak tau siapa...”

“Dan dia menerima itu dengan lapang dada,” timpal Nala. “Dia siap buat menunggu sampai gue bener-bener bisa mencintai dia.”

“Dia bahkan rela gak gue kasih nafkah batin sejak kita berdua nikah, karena Mas Tristan gak cuma pengen gue ngasih tubuh gue ke dia, tapi juga hati gue.”

“Dia gak egois dan gak pernah maksa gue buat ngelakuin kehendaknya dan apa yang mungkin dia pengen banget.”

Nala tersenyum miring. “Lo bilang kalau Mas Tristan jahat?”

Nala tertawa hambar. “Bukan, Sen. Gue yang jahat. Gue yang udah bikin Mas Tristan pergi.”

I’m the villain here,” bisiknya. “What a plot twist, right?”

Arsen bersusah payah menelan ludahnya. Sorot mata Nala terlihat kosong dan hal itu membuat sesuatu di balik dadanya menjerit kesakitan.

“Mas Tristan itu definisi jawaban dari doa gue sejak kita putus,” Nala tersenyum miring. “Gue gak pengen ketemu sama orang yang kayak lo dan berujung bikin gue tersiksa terus sakit hati lagi.”

“Sayangnya, gue justru gak bisa lepas dari lo. Sampai-sampai orang yang selalu gue harapkan dalam doa itu ninggalin gue.”

“Jadi kalau nanti gue masih gak yakin sama lo dan Mas Tristan tiba-tiba kembali terus pengen memperbaiki rumah tangga gue sama dia lagi, gue gak bakalan mikir dua kali buat milih dia...”

“Sekarang, jawab gue. Lo yakin masih pengen ngelanjutin usaha lo?” tanya Nala. “We can end it here if you change your mind.”

Arsen tidak menjawab. Dia justru ikut melepas celana bersama dalamannya hingga kini dia telah berakhir telanjang bulat seperti Nala. Setelahnya, Arsen lantas menyejajarkan wajahnya dengan Nala. Sementara di bawah sana, alat kelaminnya dan Nala telah saling menghimpit sampai sesak.

“Lo bener-bener nguji gue ya, Nal.” Arsen tersenyum miring.

“Kalau gini cara lo buat ngeliat gue bener-bener yakin pengen ngelanjutin usaha gue biar bisa balikan sama elo apa gak, i’ll pass the test then.” lanjutnya. “Jawaban gue masih sama. Gue yakin, Nal.”

“…gue juga bakal bikin lo yakin buat milih gue, bukan Tristan.”

Mata Nala terpejam saat Arsen mendaratkan kecupan lembut di dahinya selama beberapa detik. Pada saat itu pula degup jantung Nala kian menggila, lebih dari sebelumnya. Terlebih lagi ketika Arsen mengusap pelan pipi Nala dengan ibu jari sambil menatap lamat wajahnya setelahnya. Nala merasakan desiran di dadanya.

“Gimana? Boleh gue lanjutin?”

Nala tersenyum meledek. “Kalau gue bilang gak boleh, emang elo bakalan dengerin ucapan gue?”

“Mm,” gumam Arsen.

“Lo gak suka dipaksa kan? I’m trying to show you how I learn from my mistakes here, love.”

“Gak usah dilanjutin,” kata Nala.

“Oke.” Arsen menghela napasnya pelan sebelum mengubah posisi menjadi duduk di samping tubuh telanjang Nala, “Berarti, abis ini kita tidur sambil naked aja. Sip.”

Nala menahan senyumnya lalu ikut bangkit. Namun, Nala justru beralih duduk berlutut tepat di depan Arsen setelah menuntun mantannya ‘tuk membuka kedua kaki panjangnya lebar-lebar. Kini Nala pun berada di antara kedua kaki Arsen. Setelahnya, Nala kemudian membungkuk hingga wajahnya berada tepat di depan pusat ereksi Arsen yang sedari tadi telah menegang. Nala lalu menggenggamnya dengan satu tangan dan mengecup ujungnya.

“Sekarang apa?” kekeh Arsen.

Nala mendongak dengan seringai tipisnya. “Gue berubah pikiran.”

Arsen ikut menyeringai sambil mencubit pelan hidung Nala.

“Lo gak berubah pikiran. Lo emang pengen ini sejak awal.”

Nala tidak memberi respon apa-apa lagi pada Arsen. Dia dengan sigap melahap batang kelamin si mantan pacar lalu menghisapnya kuat-kuat. Namun, saat itu pula Nala melukis senyum tipis yang tak akan bisa dilihat oleh Arsen.

Nala mendengus pelan saat dia mendengar suara kenop pintu. Ketika membuka mata, Nala pun mendapati jam masih menunjuk ke angka tiga malam. Setelahnya, dia kemudian menoleh ke pintu. Nala tak salah dengar, kenop itu bergerak-bergerak. Nampak jika seseorang mencoba ‘tuk masuk.

Nala yakin, orang itu tidak lain adalah Arsen; si pemilik hunian dimana Nala kini sedang berada.

Menghela napasnya gusar, Nala kemudian bangkit dari ranjang. Entah Arsen ingin mengusilinya atau apapun itu, Nala benar-benar merasa ingin memakinya.

Alhasil, Nala pun membuka kunci pintu kamar tamu dengan raut kesal. Namun, kala pintu terbuka, Nala sontak menahan napasnya.

Pasalnya, bukan Arsen yang kini berdiri di hadapannya melainkan Tristan. Suaminya itu memakai topi baseball hitam dan baju kaos berwarna senada. Dada Nala pun mendadak sesak ketika matanya mendapati bahwa Tristan sedang menggenggam pisau. Benda yang amat tajam itu berwarna merah, nampak jejak darah segar di sana.

“Mas…” Nala menelan ludah.

“Kalau Arsen mati, kamu juga harus mati.” seringai Tristan.

Tungkai Nala kian lemas.

“Kamu pikir aku gak tau kalau dia orang yang selama ini bikin kamu gak bisa cinta sama aku?” timpal Tristan. “Aku tau semuanya, Nal.”

“Kamu jangan bercanda, Mas.” suara Nala pun bergetar hebat. “Kalau kamu mau bunuh aku, bunuh aja, tapi jangan Arsen.”

“Udah terlambat, Nal.” Tristan tersenyum miring. “Sekarang giliran kamu buat nyusul dia.”

“…ke neraka,” timpal Tristan sambil setengah berbisik.

Ketika Tristan mengangkat pisau yang digenggamnya, Nala lantas berteriak kencang. Saat itu pula dia merasakan sensasi ngilu di dadanya, bersamaan dengan bangunnya Nala dari tidurnya.

Nala membuka matanya dengan napas yang telah memburu. Dia kemudian bergegas bangkit dan duduk dengan posisi menatap ke arah jam dinding di kamar tamu Arsen. Masih jam tiga pagi, persis seperti di dalam mimpinya tadi.

Tidak lama setelahnya, ketukan dari arah pintu pun menggema, disusul suara Arsen yang tidak hentinya memanggil nama Nala. Buru-buru Nala berdiri sebelum membuka pintu kamar. Saat itu pula Nala dengan sigap memeluk erat Arsen yang bahkan belum sempat mengajukan tanyanya.

“Nal?” bisik Arsen lalu mengusap lembut punggung Nala yang kini sedikit bergetar. “Are you okay?”

Nala hanya mampu menggeleng, suaranya tidak bisa dia bebaskan. Arsen pun membalas pelukan si mantan pacar tidak kalah erat. Ia mengerti Nala masih ketakutan setelah tadi berteriak kencang.

Sampai saat Nala akhirnya sudah merasa sedikit lebih tenang, dia pun menarik dirinya dari pelukan Arsen. Nala mendongak sembari menatap wajah Arsen lekat-lekat.

“Gue haus,” gumamnya.

“Ya udah, lo tunggu di sini ya. Biar gue yang ambilin di dapur.”

Arsen mengusap-usap bahu Nala sebelum bergegas ke arah dapur. Sementara itu, Nala yang masih merasa amat lemas pun berjalan lunglai ke ranjang dan duduk di sana. Bayang-bayang dari mimpi buruknya tadi masih membekas di kepalanya. Nala masih gelisah.

Tidak lama berselang, Arsen pun datang sambil membawa segelas air. Dia duduk di samping Nala sebelum menyodorkan air yang dibawanya itu hingga si mantan pacar dengan sigap menerima dan meminumnya sampai habis.

Melihat bahwa Nala sudah cukup tenang, Arsen akhirnya bertanya sambil meraih gelas kosong yang Nala pegang lalu meletakkannya di atas di nakas samping ranjang.

“Tadi lo kenapa, Nal? Kok teriak-teriak?” raut wajah Arsen serius.

“Gue mimpi.”

“Mimpi apa?” Arsen tidak puas dengan jawaban Nala. “Seburuk itu ya, sampai lo teriak-teriak?”

Nala terlihat berpikir sejenak. Dia bingung harus menceritakan hal itu pada Arsen atau tidak. Sebab, Nala pun belum ingin terbuka ke mantan pacarnya itu tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan Tristan selama ini.

Sementara itu, Arsen yang bisa membaca raut kebimbangan di wajah Nala pun menghela napas. Arsen mengusap punggung Nala diikuti senyum tipis di bibirnya.

“Gak apa-apa kalau lo gak mau cerita soal mimpi lo kok,” Arsen seolah paham apa yang kini Nala pikirkan. “Lo tidur lagi ya, Nal?”

“Temenin gue, Sen…”

Mata Arsen berkedip heran. Tak biasanya Nala seperti ini, pikir Arsen. Nala yang dia kenal amat pemberani dan lebih memilih mengandalkan dirinya sendiri justru meminta ditemani. Nala pun beralih mencengkeram erat lengan Arsen sambil bergumam.

“Gue takut.”

Arsen mengangguk. “Ya udah. Lo rebahan gih. Gue di samping lo.”

Nala lantas menuruti titah Arsen. Pun Arsen yang ikut merebahkan tubuhnya di sisi kiri Nala. Namun yang membuat Nala mendengus, Arsen justru tiba-tiba memeluk pinggangnya. Kaki Arsen bahkan melingkari kakinya, hingga Nala merasa dijadikan guling olehnya.

Saat menoleh ke Arsen, Nala pun mendapati mantan pacarnya itu sedang cengar-cengir. Sontak Nala menyikut pelan perut Arsen dengan raut kesal, namun Arsen justru terkekeh kecil setelahnya.

“Lepasin gak?” decak Nala.

“Gue lebih suka liat muka kesel lo daripada muka ketakutan lo,” sahut Arsen. “Lo gak usah takut ya, Nal? Gue bakal jagain lo kok.”

Nala tersenyum meledek lalu menepis lengan dan kaki Arsen. Dia pun ikut mengubah posisi menjadi berbaring menyamping sambil menopang kepala dengan satu tangannya seperti yang kini dilakukan oleh Arsen. Nala dan Arsen saling berhadap-hadapan.

“Jaga kepercayaan gue aja gak bisa, gimana lo bisa jagain gue seutuhnya?” Nala menyeringai.

“Makanya semalem gue bilang, liat gue.” balas Arsen. “Biar lo tau kalau gue bisa dipercaya kali ini.”

“Meskipun gue ngeliat usaha lo, itu gak bakal menjamin gue mau balikan sama lo.” kata Nala. “Gue enggak gampang dibikin luluh.”

“Apalagi sama orang yang jelas-jelas pernah bikin gue terluka.” timpalnya. “Emang elo sendiri yakin mau balikan lagi sama gue? Gimana kalau gue gak bisa nekan ego gue dan tetep keras kepala?”

“Lo cuma buang-buang waktu lo tau, Sen.” tutur Nala. “Wouldn’t it be better if you tried to open your heart to someone else?”

“Gue yakin,” jawab Arsen.

“Gue juga yakin kok kalau lo bisa nurunin ego lo. Buktinya, tadi elo datengin gue buat minta maaf di tengah agenda lo yang pengen gue pergi dan ngejauhin lo.” jelas Arsen. “Kita cuma butuh waktu buat bangun kepercayaan lagi.”

“Dan gak peduli seberapa banyak waktu yang bakal gue buang buat nunjukin usaha gue, i don’t mind.”

Arsen lalu mengubah posisinya menjadi berbaring terlentang sambil menatap kosong langit-langit kamar. Sementara itu, Nala masih tetap memandangi wajah Arsen sambil menopang kepala.

“Karena gue udah pernah nyoba buat buka hati ke orang lain, tapi ternyata bayang-bayang lo masih ada di kepala gue.” timpal Arsen lalu menoleh sesaat ke arah Nala.

“Lo tau gak sih, Nal. Pas lo nikah sama Tristan waktu itu, gue pikir kesempatan gue buat balik sama lo udah gak ada. Makanya, dari situ gue mulai nyoba buka hati ke beberapa orang. Turn out, gue gak bisa bener-bener jatuh hati ke mereka. Gue cuma penasaran mereka bisa bikin gue down bad kayak lo apa gak. I’m a bastard.”

“Saat itu juga gue sadar kalau… Cinta gue udah habis di lo, Nal. Gue nggak bisa jatuh cinta sama orang lain lagi,” Arsen berkaca-kaca. “Gue bahkan udah nerima kenyataan kalau gue bakal hidup sendiri sampai gue mati nanti.”

“Jadi, pas gue tau Tristan tiba-tiba ninggalin lo, gue gak mau berdiam diri aja. Gue nganggap itu kesempatan kedua gue buat dapetin hati lo lagi,” kata Arsen.

“Mending gue ngabisin waktu gue buat nunjukin usaha gue, daripada gak sama sekali kan?”

Nala ikut mengubah posisinya menjadi berbaring terlentang, sama seperti Arsen. Bahkan, tatapan Nala ke langit-langit kamar pun sama kosongnya dengan sang mantan pacar.

“Sen…”

Arsen melirik Nala, “Mm?”

“Menunggu itu bukan soal lama atau sebentar, tapi soal pasti atau gak. Jadi percuma lo nunggu lama untuk hal yang gak pasti.”

“Gak ada yang percuma selama gue udah berusaha, Nal.” balas Arsen. “Sama kayak perlombaan, hasil akhirnya kan pasti ada yang menang dan kalah. Gue pun gitu. Kalau usaha gue gagal, ya artinya gue kalah. Kalo menang, syukur.”

“Lagian, gue gak pengen nyakitin lebih banyak orang lagi cuma buat berpaling secara fisik dari lo, tapi hati gue masih buat lo.”

“Kalau kata Mami gue…”

“Gak ada yang salah sama gagal move on, yang salah itu kalau kita malah nyari seseorang yang bikin kita gagal move on di orang lain.”

Nala seketika merasa tertampar saat mendengar ucapan Arsen. Nala pun diam-diam meremas selimut yang menutupi perutnya sambil menahan gejolak di dada. Meski begitu, Nala mencoba ’tuk tetap terlihat tenang sebelum menoleh dan menatap Arsen.

“Gak guna sih emang ngomong sama orang keras kepala,” kata Nala lalu tersenyum tipis pada Arsen. “You do you. Good luck.”

Kalimat ‘good luck’ dari Nala pun membuat Arsen tersenyum lebar. Arsen merasa diberi lampu hijau untuk menunjukkan usahanya ke Nala. Dimana artinya, Nala tidak akan lagi mengusir presensinya.

I’ll win over you, love.” bisik Arsen diikuti seringai tipis.

I won’t let you win,” balas Nala.

Kedua anak manusia itu lantas kembali menatap langit-langit sambil menahan senyumnya.

“Oh iya, Nal.” Arsen pun kembali mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping, namun kali ini tanpa menopang kepala.

“Tristan tau gak sih kalau gue ini mantan lo?” tanyanya penasaran.

Nala menggeleng. “Dia gak tau.”

“Berarti tato nama gue yang ada di pinggul lo udah lo hapus ya?”

Belum sempat Nala memberikan jawabannya, Arsen justru lebih dahulu kembali angkat bicara.

“Eh, tapi pasti udah lo hapus sih. Kan aneh kalau lo ngebiarin laki lo ngeliat nama orang lain pas dia pengen having sex sama lo.”

Nala mendengus, “Lo nanya sendiri terus jawab sendiri.”

“Aneh lo,” gumam Nala diikuti kekehan pelan, begitupun Arsen.

Arsen lalu kembali menghindari tatapan Nala dengan menatap ke arah dinding. Dia menelan ludah.

“Pas kemaren lo bilang kalau lo keinget sentuhan suami lo, gue patah hati banget.” tutur Arsen, napas Nala tiba-tiba tercekat.

“Bukan karena gue ngerasa kalau lo mempermainkan perasaan gue sih,” jelasnya. “Soalnya, dari cara lo natap gue tuh sama persis pas kita lagi needy terus mau having sex waktu masih pacaran dulu...”

“Lo bahkan sempet curi-curi pandang ke gue pas take kita udah selesai.” kata Arsen. “Gue yakin yang lo bayangin saat itu sebenarnya gue, bukan suami lo.”

“Tapi yang bikin gue patah hati, gue harus kembali nerima fakta kalau orang yang dulunya gak pernah gue biarin buat disentuh sama siapa-siapa justru udah disentuh sama orang lain.” Arsen tersenyum miring, “Mau marah pun gue gak bisa, karena di sini gue yang kalah. Dia itu suami lo, sementara gue cuma mantan lo.”

Arsen akhirnya kembali menatap lurus ke dalam netra legam Nala.

“Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, posisi gue sama si Tristan waktu itu sama. Dia emang menangin raga lo, tapi di hati lo masih ada satu ruang buat gue.” kata Arsen lalu menyeringai. “Gue mungkin jahat kalau bilang kasian karena dia gak milikin hati lo seutuhnya.”

“Tapi dia lebih jahat lagi karena ninggalin lo saat lo udah nyoba nutup pintu ruang itu buat gue demi dia.” kata Arsen. “Dia bikin lo sakit lagi di saat lo tuh pengen ngejadiin dia obat atas sakit yang pernah gue kasih dulu. Maybe you will forgive him, but I won’t.”

Nala menghela napas, “Bisa gak lo berhenti bahas Mas Tristan?”

Sure,” kata Arsen. “Ayo bahas rencana pernikahan kita aja.”

Mendengar penuturan Arsen itu sontak membuat Nala mendelik.

Fuck you,” Nala berucap hanya dengan gerakan bibir sebelum berbaring menyamping dengan posisi membelakangi Arsen.

Arsen sendiri hanya tersenyum sambil menatap punggung Nala. Persekian detik berikutnya, dia pun memberanikan diri untuk memeluk pinggang Nala. Sebab, saat mereka masih berpacaran dulu, posisi seperti ini lah yang sangat Nala suka ketika sedang lelah. Merasa bahwa tidak ada penolakan dari Nala, Arsen lantas mengeratkan dekapannya itu lalu perlahan memejamkan matanya.

“Kalau tato nama gue di pinggul lo gimana? Udah lo hapus?” Nala tiba-tiba bertanya setelah ia dan Arsen terjebak hening sesaat.

“Kenapa gak lo cek aja sendiri?” goda Arsen hingga Nala berbalik dan ikut berbaring menyamping hingga keduanya kembali pada posisi yang berhadap-hadapan. Masih dengan lengan Arsen yang melingkar erat di pinggang Nala.

Nala pun menatap wajah Arsen lekat-lekat hingga Arsen—yang diperlakukan demikian—lantas melakukan hal serupa. Alhasil, keduanya hanya terdiam seolah frasa terbebas dari sorot mata.

“Tadi lo bilang… Lo bisa ngebaca cara gue natap lo kemarin,” Nala buka suara. “Sekarang gimana?”

“Apa yang elo lihat dari cara gue natap lo, Sen?” timpalnya tenang.

Arsen tidak menjawab, namun ia justru bangkit lalu mendorong pelan tubuh Nala sampai mantan pacarnya itu berakhir terlentang. Arsen mengungkung Nala hingga pasrah di bawahnya. Setelahnya, Arsen dengan sigap menciumi bibir Nala amat rakus. Pun Nala yang seketika membalas lumatan dan hisapan yang Arsen berikan.

Cukup puas berbagi pagutan, Arsen memberi jeda sejenak guna memandangi wajah Nala. Napas mereka terengah-engah.

“Gue gak salah kan?” bisik Arsen.

Nala tidak menjawab, dia justru melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Arsen lalu kembali menciumi sang mantan pacar. Arsen pun menganggap aksi Nala itu adalah jawaban dari tanyanya.

Nala ingin menghabiskan malam yang masih panjang bersamanya.

Arsen yang mulanya amat sibuk menatap kosong ke layar televisi sambil menenggak bir seketika menoleh ke sumber suara saat bel apartemennya berbunyi. Dia pun buru-buru bangkit dengan asumsi bahwa makanan yang dia pesan tadi telah datang. Namun, saat Arsen membuka pintu, yang dia dapati justru Nala. Si mantan pacar berdiri di depannya sambil menenteng satu tas belanja kain. Pandangan keduanya pun saling beradu di antara hening sesaat sebelum Nala mulai bersuara.

“Lo udah makan?”

“Belum,” Arsen melirik tas belanja yang Nala bawa sekilas. “Kenapa? Lo bawa makanan buat gue ya?”

Nala mengangguk kecil sembari menyodorkan tas belanja kain itu yang seketika diraih oleh Arsen.

“Kenapa lo diem aja? Ayo masuk dulu,” ajak Arsen yang mendapati Nala mematung di tempatnya.

Nala pun mengamini titah sang mantan pacar yang lebih dulu masuk ke dalam apartemen itu. Nala mengekor tepat di belakang Arsen yang kini menuntunnya ke ruang tengah sambil bertanya.

“Kenapa Gavi gak ikut?”

“Ada Mama di rumah, katanya dia pengen nemenin Omanya. Udah malem juga sih, gue takut entar anaknya masuk angin.” kata Nala.

“Mm,” gumam Arsen bersamaan dengan tibanya mereka di sofa ruang tengah. “Duduk, Nal. Gue bikin minum dulu. Apa mau bir?”

“Gak usah, gue udah begah.” kata Nala lalu duduk di sofa panjang, pun Arsen yang mengangguk dan ikut mendaratkan bokongnya di samping Nala. Sesaat, Nala lantas memerhatikan meja di depannya. Ada satu buah kaleng bir di sana.

“Lo belum makan, tapi malah minum bir?” Nala mengernyit.

“Emang kenapa?”

“Usus lo bisa rusak.”

“Emang kenapa, Nalaku?” Arsen mengulang pertanyaannya tadi lalu tersenyum tipis. “Kenapa lo nanya? Lo khawatir sama gue?”

Nala menghela napas sebelum kembali menghindari kontak mata dengan Arsen. Dia pikir, dengan Arsen tidak membalas pesannya di WhatsApp, Arsen juga akan bersikap dingin saat mereka bertemu. Nyatanya, kini Arsen masih seperti biasanya.

“Mending lo makan sekarang.”

Seringai tipis yang tak Nala lihat lantas terlukis di bibir Arsen. Dia lalu mendorong pelan tubuh si mantan pacar hingga punggung Nala bersandar di lengan sofa. Nala pun sempat kaget akan aksi tiba-tiba Arsen. Namun, ketika Arsen mulai mengikis jarak wajah mereka sambil mengurung Nala di antara kedua lengan kekarnya, raut wajah Nala terlihat tenang.

“Lo ngapain sih, Sen?”

Arsen menahan pergerakannya sambil menyeringai. Sorot mata Arsen yang semula tertuju ke bibir Nala pun berpindah ke netra legam sang mantan pacar.

“Kan lo nyuruh gue makan…”

Arsen lalu berbisik di depan bibir Nala. “You are my dinner, love.”

“Gue ke sini mau minta maaf, bukan buat mukulin lo lagi.”

Terkekeh pelan, Arsen kemudian mendaratkan kecupan singkat di pipi kiri Nala. Tidak ada protes dari yang diperlakukan demikian. Nala hanya mendengus pelan sambil memerhatikan Arsen yang telah bangkit dan memusatkan atensi pada tas belanja di meja.

Arsen nampak sangat antusias membuka satu persatu kotak makan yang Nala bawa. Totalnya ada tiga. Satu kotak berisi nasi, tempe dan tahu goreng serta udang tepung. Sementara satu kotak lainnya berisi sayur asem.

“Ini yang masak Mama lo, Nal?”

“Mm,” gumam Nala.

Arsen memang tidak menoleh ke arahnya, namun Nala bisa tahu jika saat ini mantan pacarnya itu sedang tersenyum. Sebab, lesung pipi Arsen nampak sangat curam.

“Udah lama banget ya gue gak makan masakan Mama lo,” kata Arsen. “Dulu, yang gue apelin di rumah lama lo kalau bukan lo, ya sayur asem Mama lo ini nih, Nal.”

Tanpa sadar Nala ikut tersenyum melihat Arsen menghirup wangi sayur asem bikinan Mamanya itu sesaat sebelum ia meletakkannya di atas meja. Arsen lalu beralih membuka kotak terakhir hingga mendapati bahwa isinya adalah pancake. Arsen pun melirik Nala.

“Kalau ini siapa yang bikin?”

“Gue.” Nala menelan ludah. “Itu gue bikin sebagai… Permintaan maaf karena bikin lo tersinggung pagi tadi. I really didn’t mean it.”

“Gue gak mau kita jadi canggung lagi kayak kemarin malam,” lanjut Nala. “At least… Sampai promosi series kita udah selesai nantinya.”

“Kalau udah di luar dari itu, gue gak peduli. Gue malah seneng kalau lo gak gangguin gue lagi.”

Arsen terdiam sejenak sebelum meletakkan kotak berisi pancake yang dia pegang di atas meja. Dia kemudian beralih memusatkan atensi pada Nala. Arsen menatap Nala sambil tersenyum miring.

“Sampai kapan sih lo pengen bikin hati lo babak belur, Nal?”

Nala memicing. “Maksud lo?”

“Gue tau kok, sejak kita ketemu lagi, lo juga berusaha keras buat bikin gue bisa pergi. Apalagi pas lo tau kalau gue pengen balikan dan berusaha buat deketin lo...”

“Entah itu lo bawa-bawa dendam masa lalu lah, lo bilang kalau kita gak bakalan bisa bersama lah, elo juga ngasih tau gue kalau lo mau buka hati sama Bagas lah. Sampai kemarin… Lo bilang kalau lo mau disentuh sama gue cuma karena kebawa suasana dan inget suami lo. Ditambah yang tadi pagi sama yang baru aja lo bilang,” tatapan Arsen tiba-tiba menjadi sedu.

“Mungkin… Lo mikir, dengan elo bersikap angkuh gini ke gue atau nyakitin gue dengan kata-kata lo bisa bikin gue jadi benci, marah, nyerah buat dapetin hati lo dan pergi dari hidup lo...” timpalnya.

“Tapi lo sadar gak sih kalau yang sakit itu bukan cuma gue, tapi lo juga sama?” Arsen berkaca-kaca.

“Lo jelas tau kalau masih ada satu ruang di hati lo buat gue kan? Lo pengen gue berhenti karena elo gak pengen gue masuk ke ruang itu lagi. Lo takut kita bakal saling nyakitin kalau aja kita balikan...”

“Gue bisa ngeliat itu semua kok, Nal. Lo bahkan masih perhatian ke gue di beberapa kesempatan, tapi lagi dan lagi, lo tuh selalu aja berusaha buat nutupin dengan alasan lain. Apa lo gak tersiksa?”

Nala tak menjawab. Tenggorokan Nala sudah sangat sakit seolah ia baru saja menelan sebuah batu. Nala seperti tertangkap basah. Kini matanya pun berkaca-kaca.

“Gue ngerti ketakutan lo, Nal. Sebelum gue ngeberaniin diri buat deketin elo lagi, gue juga sama takutnya. Gue takut gak bisa meredam ego saat ego lo juga lagi di atas dan berujung bakal bikin kita berantem lagi. Begitu pun sebaliknya,” katanya.

“Tapi gue berusaha, Nal. Gue lagi berusaha buat nunjukin sama lo kalau gue tuh udah belajar buat dengerin lo saat lo ngelakuin hal yang bertentangan dengan apa yang gue anggap gak benar. Gue udah belajar buat nahan emosi pas emosi lo juga lagi meledak…”

“Gue bahkan nge-biarin lo buka hati ke orang lain, padahal dulu, lo tau sendiri gimana gue nggak bisa ngeliat lo sekedar hang out sama cowok lain tanpa gue.” kata Arsen, “Tapi lo nggak ngeliat itu.”

“Lo memilih buat menutup mata karena dihantui ketakutan yang menurut lo bakal terjadi di masa depan,” air mata Arsen akhirnya tumpah, pun Nala yang masih menatap lamat wajah si mantan.

Arsen kemudian meraih kedua tangan Nala, menggenggamnya.

“Liat gue, Nal. Kasih gue satu aja kesempatan buat ngeyakinin lo kalau ketakutan lo itu gak bakal terjadi. Meskipun gue gak bisa menjamin kalau nanti kita gak bakalan ada cek-cok kecil, tapi gue gak akan pernah ngebiarin pertengkaran yang kayak dulu terulang lagi. Gak akan, Nala.”

“Malah, justru cek-cok kecil kan yang bisa bikin kita saling ngerti lebih jauh lagi?” pungkas Arsen.

“Sen…” lirih Nala lalu membalas genggaman Arsen. “Masalahnya gak cuma di elo, gue pun sama.”

“Sama kayak lo yang sempet takut gak bakal bisa meredam ego, gue pun kek gitu. Apalagi kita berdua sama-sama keras kepala dan prinsip kita beda.”

“Karena ini bukan cuma tentang siapa yang bisa nurunin ego atau gak, tapi soal prinsip.” timpalnya. “Kalau lo menyalahi prinsip lo sendiri, bukan gak mungkin lo bakal meledak sewaktu-waktu.”

“Gitu juga sama gue,” kata Nala. “Kalau gue terus-terusan maksa buat nurutin prinsip lo, gue tuh takut bakal capek lagi kek dulu.”

“Gue gak cuma takut kita bakal saling nyakitin lagi terus pisah, tapi gue juga mikirin anak gue.” lirihnya. “Gue gak mau Gavi liat pertengkaran yang seharusnya gak dia liat. Itu gak baik buat dia.”

“Bukan cuma lo yang musti nge-yakinin gue di sini, tapi gue juga musti ngeyakinin diri gue sendiri bakal sanggup apa gak buat hal-hal yang enggak kita harapkan.”

“Dan itu bukan perkara mudah, Arsen. Sama aja kalau gue udah musti siap nerima luka buat diri gue sendiri di tempat yang sama. Gue musti siap kalau… Elo lagi orangnya.” lirih Nala. “Jadi gue memilih buat gak ambil resiko. Gue memilih buat jauh dari lo, supaya ruang itu gak lo isi lagi.”

“Karena gue udah tau sakitnya gimana pas kita pisah dulu, Sen. Gue gak mau ngerasain itu lagi.”

Saat itu pula Nala secara tidak langsung telah membenarkan apa yang Arsen katakan tadi.

Arsen mengangguk kecil lalu membungkuk dan menciumi punggung tangan Nala cukup lama. Setelahnya, dia kembali memandangi sang pujaan hati.

“Nal,” Arsen menarik napasnya.

“Walau prinsip kita gak bisa jadi satu, tapi keduanya tetep bisa berdampingan kok. Gue yakin itu.” katanya. “Kuncinya cuma ngobrol, berkompromi, dan gak mementingkan ego sendiri.”

Nala terkekeh, “Dan ketiga kunci itu yang gak lo lakuin dulu kan?”

“Mm,” Arsen tersenyum tipis. “Makanya gue tau, karena gue ngeliat ke diri gue sendiri dan introspeksi soal apa yang salah dari perlakuan gue ke lo dulu.”

“Jadi sekarang, tolong liat gue ya, Nal? Tolong liat gimana gue mau ngeyakinin lo sampai lo juga bisa ngeyakinin diri lo sendiri nanti.”

Nala terlihat berpikir sejenak. Jujur saja, Nala pun menyadari bahwa Arsen memang terkesan berusaha menahan amarah dan emosinya beberapa waktu lalu. Bahkan saat merasa melakukan kesalahan, Arsen sudah tak lagi gengsi untuk datang dan minta maaf. Nala seketika bimbang.

Beruntung, gawai Arsen tiba-tiba berdering. Alhasil, Arsen lantas menjawab panggilan yang masuk.

“Halo, Pak?” Arsen menyapa si penelpon yang nyatanya adalah kurir dari restoran dimana tadi dia memesan makan malam.

“Itu buat Bapak aja ya? Soalnya saya udah dibawain makanan juga nih sama calon suami saya.”

Nala seketika melotot sebelum menepuk keras paha si mantan, sedang Arsen menahan tawanya.

“Oke, Pak. Maaf yaa baru ngasih tau,” kekehnya. “Sip, sama-sama.”

“Siapa yang lo bilang calon suami lo hah?” serang Nala saat Arsen telah menyudahi panggilan itu.

“Lo, Nal. Emang siapa lagi?”

“Gue kan belum bilang kalau gue yakin mau balik sama lo apa gak.”

“Berarti lo udah mau liat gue kan, Nal?” tanya Arsen bersama raut seriusnya, Nala pun berdeham.

“Mending lo makan aja deh dulu. Keburu nasi sama lauknya makin dingin,” sahut Nala sedikit kikuk.

“Ngeles, berarti iya.” ledek Arsen.

Arsen menahan senyum sambil mencubit gemas hidung Nala, sementara yang diperlakukan demikian berdecak. Setelahnya, Arsen lantas mulai menyantap makanan yang tadi Nala bawa.

Sampai tidak lama berselang, suara gemuruh petir tiba-tiba menggema disusul hujan deras. Saat itu pula Nala buka suara.

“Sen, gue pulang dulu ya. Udah malem banget, mana ujan lagi.”

“Tunggu gue selesai makan, biar gue yang nganterin lo pulang.”

“Gak usah,” tolak Nala.

“Bahaya, Nal. Udah malem gini. Lo gak liat di berita apa, kalau kemarin ada penumpang taksi online dibunuh sama supir? Lo pulangnya juga naik taksi kan?”

Nala menghela napas. “Ya udah, cepetan lo abisin makanannya.”

Arsen tersenyum. Dia kemudian menyempatkan diri mengambil foto Nala sesaat sebelum Arsen kembali menyantap makanannya. Nala pun hanya memutar bola mata sambil memerhatikan sang mantan pacar yang begitu lahap.

Ketika Arsen akhirnya selesai dengan agenda makan malam ditemani Nala, dia pun berdiri dari sofa. Pun Nala yang telah siap untuk diberi tumpangan.

Namun, sebelum Arsen beranjak dari ruang tengah, dia menepuk pelan sakunya. Arsen berusaha menemukan kunci mobilnya, tapi persekian detik berselang, dia hanya mampu menepuk jidat.

“Nal, gue lupa kalau mobil gue masih di bengkel.” Arsen cengar-cengir. “Beresnya masih besok.”

“Brengsek,” gumam Nala kesal.

Arsen mendesis. “Iya iya. Maaf.”

Nala pun kembali mengeluarkan gawai dari sakunya untuk segera memesan taksi online, tapi tidak satupun yang menerima orderan Nala. Arsen ikut membantunya, namun hasilnya tetap sama saja.

“Kenapa malah gak ada yang ambil orderan gue sih?” decak Nala. “Di sini kan daerah rame.”

“Lagi banyak begal di daerah sini kalo tengah malam soalnya, Nal.”

Nala menatap Arsen tak percaya dengan mulut setengah terbuka.

“Terus lo nahan gue di sini ampe tengah malam dari tadi tuh buat apa? Lo sengaja nge-jebak gue?”

Arsen mendesis, “Bukan gue, tapi takdir yang nge-jebak lo di sini.”

Fuck you,” bisik Nala, tapi Arsen justru terkekeh sambil mengusap lembut puncak kepala si mantan.

“Udah deh, malam ini elo nginep di sini aja. Biar gue telpon Mama lo, kasian dia pasti lagi khawatir. Besok pagi gue anterin lo balik.”

“Lo mikirin yang enggak-enggak kan?” tuduh Nala, “Oh, lo pengen bales dendam karena kemaren malem gue bilang inget suami?”

Arsen menghela napas panjang.

“Cepetan masuk ke kamar tamu atau gue bener-bener bakal buka baju lo sekarang, Nal.” ancam si pemilik lesung pipi, “Gue pengen telpon Mama lo dulu buat izin.”

“Biar gue aja,” decak Nala lalu mendelik. “Rapiin bekas makan lo sana. Cuci tupperware gue.”

“Gue berasa diomelin suami deh,” gumam Arsen sambil berjalan ke sofa. Nala yang mendengar lelaki itu bergumam lantas memicing.

“Lo bilang apa tadi?”

“Gue bilang, gue cinta sama lo.”

“Oh.”

Nala menekankan suara layaknya sarkas, membuat Arsen menoleh dengan ekspresi datar. Nala pun hanya menahan senyum sebelum melenggang ke sudut lain ruang tengah guna menelpon si Mama.

“Camera…”

“Rolling…”

“Action!”

Tepat setelah sang sutradara memberikan isyarat agar Nala dan Arsen memulai aktingnya, kedua aktor yang saat ini telah berada di atas ranjang itu pun seketika saling menatap lurus ke dalam netra satu sama lain. Dengan kondisi tubuh bagian atas mereka yang sudah tidak ditutupi sehelai benang lagi, Arsen yang mengungkung Nala lantas bisa merasakan hangat dan lembutnya kulit sang lawan main. Pun Nala yang kini bisa mendengar degup jantung di balik dada Arsen ketika lawan mainnya itu mulai menciumnya.

Arsen melumat lembut bibir Nala sesaat sebelum turun ke leher, tulang selangka hingga puting Nala. Mendapatkan sentuhan sensual itu sontak membuat Nala membuka mulut, sedang kedua matanya terpejam. Kepala Nala kemudian mendongak saat bibir Arsen perlahan menjelajahi perut hingga pahanya yang terekspos; sebab ia memakai celana pendek.

Aksi keduanya terus berlanjut dan semakin intens, terlebih saat Arsen menarik selimut yang ada di sana untuk menutupi tubuh bagian bawahnya dan Nala. Hal itu pula lah yang nantinya akan digunakan juru kamera dan sang editor untuk membuat adegan ranjang mereka terlihat nyata tanpa harus membuat Arsen dan Nala harus telanjang bulat.

Suara-suara erotis yang Arsen dan Nala keluarkan dari celah ranum mereka pun semakin menambah kesan panas dari akting keduanya. Bahkan cara Arsen menggerakkan badan di atas pusat ereksi milik Nala pun membuat ranjang berdecit pelan.

Semua kru, sutradara hingga para manager artis yang ada di sana pun membisu menyaksikan salah satu adegan krusial itu. Namun, baik itu Arsen maupun Nala justru bisa melanjutkan setiap adegan tanpa sedikit pun rasa canggung hingga sutradara tiba-tiba mengeluarkan suara.

Cut!”

Nala dan Arsen sontak berhenti melancarkan aksi. Keduanya lalu menoleh ke arah sang sutradara dan menunggu instruksi apa lagi yang selanjutnya akan diterima.

Wrap!”

Tepat setelah Bang Ian selaku sutradara mengucapkan kata yang mengartikan bahwa semua adegan telah berhasil diambil, suara gemuruh dari kru series seketika menggema. Pun Arsen dan Nala yang refleks menghela napas lega sebelum bangkit dari ranjang dan memungut pakaian mereka yang telah berserakan.

Sembari memungut pakaiannya, Arsen diam-diam melirik Nala. Dan tanpa Arsen duga, Nala pun sempat mencuri-curi pandang ke arahnya sebelum lebih dulu menghampiri sang sutradara.

“Kalian berdua bener-bener gila! Luar biasa! Good job, Nala. Good job, Arsen. You guys did it!” puji sang sutradara sebelum beralih memeluk erat Arsen dan Nala.

“Makasih ya, Bang.”

“Makasih, Bang Ian.”

Bang Ian mengangguk sembari tersenyum haru. “Kalian mau liat take kalian yang tadi dulu gak?”

“Gue mau ganti baju dulu deh, Bang. Sekalian ke toilet.” sahut Nala, Bang Ian pun mengangguk.

“Ya udah, kalian berdua break aja dulu. Entar kita ngumpul lagi di depan buat liat adegan yang tadi, sekalian nobar trailer series kita.”

Arsen dan Nala pun mengangguk sebelum keluar dari kamar itu diikuti Endra dan Gandi. Mereka berjalan beriringan ke salah satu kamar lain yang ada di rumah. Di kamar itu pula lah para artis bisa melepas riasan dan berganti baju saat proses syuting telah selesai.

“Gue ke toilet ya,” ucap Nala ke Gandi yang telah menyodorkan baju ganti untuk artisnya itu.

“Gue ganti baju dulu,” Arsen pun ikut bersuara, namun Endra yang melihat sang artis hendak pergi ke arah toilet refleks memekik.

“Woy! Toilet di sana cuma satu,” Endra berdecak. “Kan ada Nala.”

Sayangnya, Arsen tidak peduli. Dia terus melanjutkan langkah hingga presensinya hilang dari pandangan Endra dan Gandi.

“Udah, biarin aja.” santai Gandi.

Sontak Endra menatap Gandi tak percaya. “Kalau mereka berdua berantem lagi gimana coba, Di?”

“Kagaaa, percaya sama gua.”

Gandi menepuk pundak Endra sambil menahan senyumnya, sedang Endra masih bingung.

Sementara itu, Arsen yang kini telah tiba di depan toilet lantas memegang gagang pintu. Saat dia mencoba memutar kenop, seringai seketika mengembang di bibir Arsen. Pasalnya, Nala sama sekali tidak mengunci pintu itu.

Alhasil, Arsen membuka pintu itu hingga pemandangan dimana si lawan main masih bertelanjang dada lantas terpampang. Nala berdiri di depan wastafel sambil menghadap ke arah Arsen yang masih ada di ambang pintu. Tak ada sedikit pun raut terkejut di wajah Nala, begitu pula Arsen.

“Lo gak pernah lupa ngunci pintu kalau ke toilet, Nal.” tutur Arsen.

“Lo juga nggak pernah lupa buat ngetuk pintu tiap kali lo pengen masuk ke toilet, Sen.” balas Nala.

Netra keduanya beradu. Saling menyelami satu sama lain hingga kian dalam. Bersamaan dengan itu, Arsen lantas menutup pintu. Dia pun tidak lupa menguncinya.

Arsen kemudian menghampiri Nala sambil melemparkan baju yang dia bawa ke arah wastafel. Dan bagai kecepatan cahaya, dia lantas beralih menarik pinggang Nala. Pun Nala yang kini dengan sigap mengalungkan lengannya pada tengkuk Arsen. Keduanya lalu saling melumat mesra, amat rakus hingga deru napas mereka terdengar nyaring dan bersahut-sahutan dengan decakan lidah.

Hanya dengan bertatapan mata usai take tadi, Arsen dan Nala tahu bahwa mereka diam-diam memiliki hasrat yang sama. Hal itu pun terbukti dengan Nala yang tidak mengunci pintu dan Arsen yang langsung masuk saja; seolah sudah paham bahwa Nala juga menginginkannya saat ini.

Ciuman keduanya terus berlanjut dan semakin intens. Terlebih kala Arsen mengangkat tubuh Nala ke atas wastafel hingga terduduk di sana. Nala mengangkang hingga tubuh Arsen kini berada tepat di antara kedua pahanya. Alhasil, Arsen pun lebih leluasa untuk menjelajahi ceruk leher Nala.

Kepala Nala mendongak pasrah ketika Arsen menjilati lehernya sebelum berpindah ke puting cokelatnya. Arsen mengulum, menghisap kuat dan sesekali menggigit titik sensitif Nala itu hingga empunya berdesah lirih.

Pikiran Nala mendadak kosong. Tekadnya untuk menghindari hal-hal yang bisa membuatnya dan Arsen kembali terikat dalam sebuah rasa sakral seolah telah lenyap. Nala kehilangan kendali.

Beruntung, suara ketukan pada pintu toilet menyadarkan Nala. Terlebih, saat suara Gandi dari luar sana mulai memanggilnya.

“Nal! Sen! Berantemnya bisa dilanjutin pas pulang aja gak? Sutradara udah nungguin lo berdua soalnya, katanya mau nonton trailer bareng.” teriak Gandi, “Gue tunggu di depan!”

Shit!” gumam Arsen.

Nala menghela napas, “Minggir.”

Arsen yang paham bahwa Nala ingin turun dari wastafel tidak mengindahkan titah sang lawan main. Arsen justru dengan sigap mengangkat tubuh Nala sesaat sebelum menurunkannya hingga kedua kaki mantan pacarnya itu berhasil mendarat di atas lantai.

“Yang tadi… Lo jangan nganggap itu serius, Sen.” tutur Nala. “Gue kebawa suasana. Gue… Tiba-tiba inget sama sentuhan suami gue.”

Mulut Arsen setengah terbuka, namun dia justru tidak mampu berkata-kata. Sementara Nala sendiri dengan sigap meraih bajunya di wastafel sebelum buru-buru keluar dari toilet itu.

Nala berlari dengan napas yang terengah-engah menuju ruang rawat Gavi. Dadanya telah amat sesak karena menahan tangis. Nala bahkan sudah merasa ingin berteriak, namun suaranya tidak mampu terbebas. Mengetahui bahwa malaikat kecilnya sakit sementara dirinya tidak berada di sisi Gavi membuatnya ingin memaki dirinya sendiri saat ini.

Sampai saat Nala akhirnya bisa melihat Arsen sedang berdiri di depan pintu sebuah ruang rawat, buru-buru Nala menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya.

“Sen,” lirih Nala dengan matanya memerah dan berkaca-kaca.

Arsen dengan tampang datarnya tidak bersuara. Dia justru refleks memerhatikan penampilan Nala dari atas ke bawah lalu kembali menatap lurus kedua mata Nala.

Rahang Arsen mengeras melihat Nala mengenakan leather lace short sleeved shirt dari brand Salvatore Santoro. Bolongan-bolongan kecil di seluruh bagian baju itu lantas membuat badan Nala yang tidak ditutupi pakaian dalam terpampang. Nala seperti hanya memakai baju transparan.

Sontak Arsen geram, namun dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya membuka jaket denim yang dipakainya. Arsen lalu menyodorkan jaketnya ke Nala.

“Pake,” titah Arsen masih dengan raut datarnya. “Tutupin badan lo. Baju lo itu gak ada gunanya, Nal.”

Nala menatap Arsen tak percaya.

“Sen, gue lagi panik karena anak gue sakit dan lo masih sempet-sempetnya mikirin pakaian gue?”

Nala mendorong pelan tubuh si lawan main agar Arsen tidak menghalangi pintu, “Minggir, gue mau ketemu sama Gavi.”

“Gue bilang pake, Nala.” Arsen menekankan suaranya dengan mata yang telah berapi-api. “Lo kalau mau pake baju kayak gini atau bahkan telanjang sekalipun buat nunjukin kalau kebebasan lo gak gue renggut lagi, terserah…”

“Tapi tolong, jangan kayak gini di depan anak lo. Apalagi dengan kondisi lo bau alkohol,” timpal Arsen. “Gue udah pernah bilang kan, kalau Gavi lebih dewasa dari usianya? Lo pikir dia gak bakalan ngerti mana yang baik atau gak?”

Nala menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya pun telah sakit karena menahan tangis. Alhasil, Nala hanya diam saat Arsen memasangkan jaket di pundaknya. Meski Arsen tidak mengamuk seperti yang sudah-sudah, tapi Nala tahu kalau saat ini si mantan menahan amarah.

Tanpa menunggu titah Arsen untuk yang kedua kalinya, Nala pun bergegas memasang jaket milik Arsen. Setelahnya, Arsen lantas memberi Nala jalan agar masuk ke ruang rawat anaknya.

Tepat saat Nala telah berdiri di dalam ruang rawat itu, kedua tungkainya kian lemas. Melihat Gavi terkulai lemah hingga harus mendapatkan cairan infus lantas membuat Nala tidak mampu lagi untuk membendung tangisnya.

Nala menghampiri Gavi sambil terisak pelan. Dipeluknya sang buah hati yang telah tertidur dengan erat sambil memberinya kecupan sayang sesekali di pipi.

“Nal, enggak usah nangis. Entar anaknya kebangun,” kata Mama.

“Gavi kenapa, Ma?”

“Sejak kamu pergi tadi, anaknya tiba-tiba demam tinggi abis itu muntah-muntah. Sering bolak-balik toilet juga,” jelas si wanita paruh baya. “Tapi sekarang Gavi udah mendingan kok abis dikasih antibiotik sama Dokternya tadi.”

“Maafin aku, Ma.” lirihnya. “Aku malah nggak ada pas Gavi gini.”

“Lagian kenapa handphone kamu dimatiin segala sih, Nal?” Mama menghela napas. “Untung tadi Arsen datang terus nganterin Mama sama Gavi ke rumah sakit.”

“Baterainya abis, Ma. Nala lupa nge-charge sebelum pergi tadi.”

“Lain kali jangan ceroboh,” Mama mengingatkan. “Nggak ada yang tau musibah, Nal. Entah itu Gavi, kamu, atau Mama. Kalau gak tau kabar kayak gini, kan jadi susah.”

Nala mengangguk lemah lalu kembali menatap wajah Gavi. Sesekali dia mengusap rambut hitam sang anak, masih dengan air mata yang membanjiri pipi. Namun, sentuhan Nala nyatanya membuat Gavi terusik hingga berakhir membuka matanya.

“Papa…”

“Sayang,” Nala menghapus kasar air mata di pipinya lalu membelai lengan Gavi. “Mana yang sakit?”

“Tangan Gavi sakit, Papa.” Gavi menggerakkan pelan tangannya yang diinfus. “Tapi kata Dokter, kalau tangan Gavi udah disuntik terus dimasukin obat, kuman-kuman jahat di badan Gavi bisa pergi, terus Gavi sembuh deh.”

“Anak Papa emang pinter banget ya,” Nala menciumi pipi anaknya sejenak. “Kalau masih ada yang sakit, bilang sama Papa ya, Nak?”

Gavi mengangguk diikuti senyum lembut, tapi setelahnya, si kecil justru celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Nala seketika heran hingga akhirnya bertanya.

“Gavi nyari apa? Gavi laper?”

“Papa, Om Arsen ke mana?”

Nala melan ludah. “Kayaknya Om Arsen udah pulang deh, Sayang. Kan besok pagi Om Arsen kerja.”

“Tapi tadi Om Arsen bilang mau temenin Gavi, Papa.” lirih Gavi.

“Kan sekarang udah ada Papa di sini yang nemenin Gavi. Masih ada Oma juga,” Nala mengacak-acak pelan rambut Gavi. “Biarin Om Arsen pulang, istirahat. Dia pasti capek abis kerja hari ini.”

Gavi mengangguk, meski ada sedikit raut tak rela di wajahnya.

“Papa juga pasti capek. Papa kan baru pulang kerja,” Gavi menatap wajah Nala khawatir. “Papa juga istirahat. Besok Papa kerja lagi.”

Dada Nala kini seperti diremas-remas mendengar penuturan anaknya. Bahkan di saat Gavi membutuhkan kehadirannya, anaknya itu masih memikirkan Nala. Benar kata Arsen, Gavi terkadang berbicara jauh lebih dewasa daripada usianya saat ini.

Di saat Nala mencoba untuk tak kembali terisak pilu, pintu ruang rawat Gavi tiba-tiba dibuka dari luar. Saat itu pula senyum Gavi merekah diikuti suara riangnya.

“Om Arsen!”

“Loh? Kenapa anak gantengnya Om Arsen udah bangun?” tanya Arsen lalu menghampiri Gavi. Ia berdiri di samping ranjang, tepat berseberangan dengan posisi Nala. “Perut Gavi sakit lagi gak?”

“Enggak, Om. Tangan Gavi yang sakit,” lirih si kecil. “Kata Dokter tadi, sakitnya cuma kayak digigit semut, tapi kenapa sakitnya gak hilang-hilang sih, Om Arsen?”

“Gavi pas lagi tidur tadi banyak gerak, makanya sakit lagi.” Arsen berusaha menjelaskan agar Gavi lebih mengerti. “Gavi juga belum terbiasa kan tangannya dipakein ginian, jadi rasanya gak nyaman.”

“Tapi kalau sakitnya udah nggak bisa Gavi tahan lagi, bilang yaa?Biar nanti Om panggilin suster.” timpal Arsen, Gavi mengangguk.

“Om Arsen gak pulang?”

“Enggak, kan Om udah janji mau nemenin Gavi.” Arsen tersenyum sambil mengacak-acak rambut si kecil. “Kenapa Gavi nanya gitu?”

“Om Arsen pulang aja. Pasti Om capek abis kerja,” kata Gavi. “Biar Papa yang nemenin Gavi di sini. Om Arsen harus istirahat juga.”

“Siapa yang ngajarin Gavi bilang kayak gini sih, hm?” kekeh Arsen.

“Papa,” Gavi cengar-cengir.

“Bener kata Gavi, Sen.” Mama ikut bersuara, “Kamu pulang aja, gak apa-apa. Kasian kamu kalau ikutan tidur di rumah sakit juga.”

Arsen menghela napasnya pelan.

“Oke, Om Arsen pulang.” katanya. “Tapi Gavi janji jangan kenapa-kenapa yaa? Jangan sakit lagi.”

“Iya, Om Arsen.”

Arsen tersenyum lembut sambil mengacak-acak pelan rambut Gavi. Setelahnya, dia menoleh ke arah si Mama dan menyalaminya.

“Kalau gitu Arsen pamit ya, Tan.” katanya. “Kabarin kalau ada apa-apa atau Gavinya butuh sesuatu.”

“Makasih banyak ya, Nak. Kamu udah banyak bantu.” kata Mama. “Tante jadi gak enak sama kamu.”

“Gak masalah, Tante. Nggak usah sungkan,” Arsen kembali senyum.

“Kamu hati-hati nyetirnya.”

Arsen mengangguk lalu kembali menatap Gavi yang masih setia memandanginya dari ranjang.

“Om pulang dulu ya, ganteng.”

“Dadah, Om.”

“Dah!”

Arsen kemudian berlalu tanpa melirik sedikitpun ke arah Nala. Pun Nala yang hanya diam saja melihat Arsen telah keluar dari ruang rawat anaknya. Namun, sang Mama tiba-tiba bersuara.

“Nal, kamu kok diem aja sih?” Mama menunjuk pintu ruang rawat dengan dagu. “Anterin gih sampai di depan gedung. Bilang makasih juga kamu sama Arsen.”

Mengulum bibirnya sejenak, Nala kemudian mengusap punggung tangan Gavi. “Papa keluar dulu.”

“Iya, Papa.”

Nala pun bergegas keluar dari ruang rawat itu untuk mengejar Arsen. Beruntung, dia masih bisa melihat presensi sang mantan kekasih yang berjalan di koridor.

“Arsen!”

Nala memanggil Arsen sambil mengikutinya dari belakang, tapi lelaki berlesung pipi itu justru tak menghentikan langkah atau sekedar menoleh ke arahnya. Sampai saat Nala melihat Arsen membuka pintu menuju tangga darurat, dia kembali memanggil.

“Sen! Tunggu!”

Arsen tetap tidak menghiraukan Nala. Alhasil, saat mereka telah berada di space kosong yang menjadi penyambung tangga satu dengan tangga lainnya, Nala lantas menjegal lengan Arsen.

“Arsen.”

Arsen akhirnya menoleh, namun saat itu juga dia menepis tangan Nala. Cengkeraman Nala lantas terlepas bersama raut herannya. Terlebih saat Arsen bertanya.

“Gimana rasanya, Nal?”

“Maksud lo?”

“Gimana sih rasanya manggil seseorang tapi lo gak dijawab?”

Nala terdiam. Dia tahu akan ke arah mana pembicaraan Arsen.

“Gak enak kan?” timpal Arsen. “Apalagi kalau lo manggil orang itu untuk tujuan yang penting.”

“Terus apa kabar Gavi yang tadi manggil-manggil nama lo karena dia kesakitan tapi elo gak ada di sampingnya?” raut kecewa tidak bisa bersembunyi di wajah Arsen.

“Gue, Gandi, Mama lo, kita udah berusaha buat nge-reach out lo tapi lo gak bisa dihubungi.” lanjut Arsen dengan mata yang berapi-api. “Lo ada agenda spesial apa sama cowok brengsek itu, hah?Kenapa harus matiin hp segala?”

“Gue lupa nge-charge hp, Sen.” jawab Nala lirih. “Gue tau… Gue salah karena se-ceroboh ini, tapi gue juga gak berharap kejadian kayak gini terjadi sama anak gue.”

“Emang gak ada orang tua yang bakal berharap anaknya dapet musibah, tapi kalau lo orang tua yang bertanggung jawab, lo gak bakalan selalai itu buat gak cari tau kabar Gavi secara real time.”

“Si Bagas juga. Kalau dia emang laki-laki baik, dia nggak bakalan nahan lo di sana sampai se-larut ini tanpa tau kabar anak elo tuh gimana.” wajah Arsen memerah, dia nyaris di ambang batas sabar.

“Apa? Lo mau bilang kalau lo gak khawatir karena Gavi di rumah Mama lo, jadi aman?” Arsen terus menghujani Nala dengan frasa sengitnya. “Terus gimana sama lo? Lo pikir Mama lo juga nggak khawatir anaknya lagi kenapa di luar sana sampai gak ada kabar?”

Nala tetap membisu, dia hanya terus memandangi wajah Arsen dengan matanya yang juga ikut memerah hingga berkaca-kaca.

“Lo selalu ngasih tau gue soal kebebasan,” Arsen tersenyum miring. “Ini lo yang maksud?”

“Lo bebas ke tempat malam dan ninggalin anak lo tanpa ngabarin dia sesekali. Ini bikin lo seneng?”

Arsen lalu membuang mukanya sesaat sambil menghela napas. Saat merasa dirinya sudah cukup tenang, Arsen kembali menatap Nala yang kini telah menunduk.

“Kalau emang kebebasan kayak gitu yang bikin lo seneng dan ngerasa lebih hidup, itu artinya lo belum siap jadi orang tua, Nal.”

Nala akhirnya kembali menatap lurus ke dalam bola mata Arsen.

“Lo pikir gue ke sana buat nyari kesenangan doang, Sen? Gue ke sana buat ketemu temen-temen sutradara Bagas supaya gue bisa kenalan dan dapetin kesempatan dengan memperluas networking.”

“Terus lo pikir, gue mati-matian nyari kesempatan buat dapetin kerjaan kayak gini buat siapa? Buat Gavi, Sen.” air mata Nala bercucuran. “Sekarang gue udah berjuang sendiri buat ngebesarin anak gue dan pengen ngasih dia yang terbaik. Salah ya, kalau gue ngerelain sedikit waktu gue sama Gavi buat nyari cara supaya bisa ngasih kehidupan yang layak?”

Arsen tersenyum kecut, “You do you. Kalau pun gue bilang ke lo soal pandangan gue, lo juga gak bakal mau dengerin dan malah nganggap gue mau nge-renggut kebebasan lo lagi kan? I’m done.”

Tepat setelah mengatakan hal itu kepada Nala, Arsen pun berbalik lalu meninggalkan si lawan main di sana. Saat itu pula Nala refleks berjongkok, bersamaan dengan isakannya yang telah terbebas.

Nala menenggelamkan wajahnya pada lengan yang dia lipat di atas lututnya. Namun saat Nala tiba-tiba mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahnya, dia lantas mendongak. Kala itu, Nala mendapati Arsen kembali berdiri di hadapannya lalu menjulurkan satu tangan. Arsen lalu berucap.

“Ayo, di sini dingin.”

Isakan Nala kian menjadi-jadi. Padahal Arsen lah yang saat ini hanya mengenakan kaos, sedang Nala memakai baju juga jaket, tapi Arsen justru memikirkannya.

Perlahan, Nala meraih tangan Arsen hingga dia kembali berdiri.

“Balik ke ruangan Gavi gih,” titah Arsen sambil hendak melepas tautan tangannya dengan Nala, tapi Papa dari Gavi itu justru kian mengeratkan genggamannya.

“Jangan pulang…” lirih Nala.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka kembali berjumpa, Nala menahan Arsen. Tidak mengusir Arsen seperti yang sudah-sudah.

Mendengar hal itu membuat si pemilik lesung pipi seketika menarik Nala ke dalam dekapan hangat. Pun Nala yang dengan sigap membalas pelukan Arsen.

“Kita masih sempet jemput Gavi deh kayaknya, Di.” kata Nala yang telah selesai dengan take-nya.

“Ya udah, lo hapus make up lo aja dulu. Gue bawa barang-barang lo ke mobil sekarang,” sahut Gandi lalu menatap gawai di tangannya yang berdering. Dia lalu melirik Nala sesaat dengan helaan napas.

“Gue ke mobil ya, Nal. Sekalian mau angkat telepon dari Arsen.”

“Mm. Lo nunggu di mobil aja, Di.” kata Nala lalu menepuk tas di sisinya, “Tas ini gue yang bawa. Biar lo gak usah bolak-balik lagi.”

“Oke deh.”

Sepeninggal Gandi, Nala lantas menghapus make up-nya lalu membereskan barang-barangnya yang tersisa sebelum akhirnya beranjak dari set itu. Saat Nala kemudian berjalan ke arah mobil Gandi, gawainya tiba-tiba saja berdering. Sontak Nala buru-buru menjawab panggilan masuk yang nyatanya dari guru Gavi.

“Halo, Bu.” jawab Nala sebelum masuk ke dalam mobil Gandi. Dia duduk di jok depan, di samping kemudi. “Iya, Bu. Hari ini saya yang mau jemput Gavi. Ini saya udah mau jalan ke sekolah kok.”

“Oke. Terima kasih ya, Bu.”

Nala memutuskan sambungan teleponnya dengan guru Gavi. Setelahnya, Nala menoleh ke bangku kemudi. Namun, Nala seketika melotot saat mendapati Arsen lah yang berada di sisinya.

Arsen mengenakan kaos hitam dan juga bucket hat berwarna senada. Nampak Arsen sedikit pucat, sementara tidak jauh dari sudut bibirnya terdapat memar. Nala yakin itu akibat pukulannya di wajah si lawan main semalam.

“Kok lo ada di sini sih?” Nala lalu menoleh ke jok belakang, namun tidak ada orang lain di sana. Nala pun kembali memandangi Arsen.

“Gandi mana?”

“Gandi udah ke apartemen gue bareng Endra,” kata Arsen. “Biar gue aja yang nemenin lo jemput Gavi. Gue sekalian mau ngobrol.”

Nala mendengus pelan. Dia bisa menebak kalau Arsen lagi-lagi memaksa Gandi agar pergi dari lokasi ’tuk bertemu dengannya; seperti yang sudah-sudah.

“Tapi gue gak mau ngobrol sama lo,” Nala hendak membuka pintu mobil dan berniat untuk keluar, tapi Arsen sudah lebih dahulu menguncinya. Nala mendengus.

“Buka pintunya,” ucap Nala datar tanpa menoleh ke arah Arsen.

“Maaf, Nal.”

Nala akhirnya menoleh ke Arsen masih dengan tatapan sengitnya.

“Maaf semalem gue nggak bisa mikir jernih,” lirih Arsen, sedang Nala refleks tersenyum miring.

“Cuma itu yang pengen lo bilang ke gue? Lo tau gak sih salah lo di mana, Sen?” balas Nala sengit.

“Gue egois karena hampir ngasih tau orang lain soal hubungan kita dulu, tanpa mikir kalau aja hal itu bakalan berdampak buruk buat series kita nanti. Apalagi lo juga baru nyoba bangkit lagi setelah kehilangan job pas Tristan pergi.”

“Gue juga udah kasar ke lo,” kata Arsen. “Gue mengedepankan ego gue karena dibutakan sama rasa cemburu tanpa mikir kalau itu bakalan nyakitin lo apa enggak.”

“Sama kayak lo yang gak pengen dan gak suka diatur, gue juga gak suka ngeliat lo deket sama orang lain. Gue terganggu tiap kali elo ditatap sama orang lain seolah lo itu makanan mereka,” lanjutnya.

“Gue udah nyoba buat nahan diri gue, tapi yang semalem, gue gak bisa.” Arsen menghela napasnya. “Gue gak mau Bagas deketin lo.”

“Udah berapa kali gue ngingetin lo kalau lo itu bukan siapa-siapa gue, Sen?” Nala menatap Arsen tak percaya. “Bahkan Mas Tristan yang notabenenya suami gue tuh gak pernah loh ngelarang gue ke club dan ngatain gue gak mikirin anak gue, apalagi karena takut kalau gue dideketin orang lain.”

“Tapi lo…” Nala geleng-geleng kepala dengan mulut setengah terbuka, “Lo udah kelewatan.”

Arsen mengepalkan kedua tangannya di atas paha kala mendengar penuturan Nala.

“Jangan bandingin gue sama dia,” ucapnya datar. “Dia bukan laki-laki yang lebih baik dari gue, Nal. Dia gak pantes lo banggain gini.”

“Dia emang gak lebih baik dari lo, tapi Mas Tristan gak merenggut kebebasan gue cuma buat muas-muasin egonya. Enggak kayak lo.”

Rahang Arsen mengeras, sedang Nala yang melihat hal itu sudah siap jika saja pertengkaran akan meledak di antara mereka; lagi. Namun, di luar perkiraan Nala, Arsen justru menghela napasnya pelan. Ia lalu menyalakan mesin mobil sebelum bersuara lembut.

“Kita jemput Gavi sekarang ya?”

“Turunin gue,” titah Nala. “Gue gak mau jemput Gavi bareng lo.”

“Gak apa-apa kalau lo gak mau maafin gue sekarang dan gak mau ngomong sama gue,” kata Arsen. “Tapi tolong jangan nolak gue buat nemenin lo jemput Gavi ya? Kita udah telat banget, Nal. Kasian Gavi udah nunggu lama.”

“Gue telat karena lo, brengsek.”

Arsen tersenyum tipis tanpa menoleh ke Nala. Mobil Gandi yang mereka tumpangi pun kini mulai melaju dan membelah jalan menuju sekolah Gavi. Sementara itu, Nala yang sedari tadi diam-diam melirik Arsen hanya bisa pasrah sembari memerhatikan memar di sudut bibir si mantan.

Selama dalam perjalanan menuju sekolah sang anak, tak sekali pun Nala mengeluarkan suara. Arsen pun sama, dia paham kalau Nala masih tidak ingin diganggu oleh dirinya. Sampai ketika Arsen dan Nala telah sampai tepat di depan sekolah Gavi, Arsen menahan lengan Nala yang hendak turun dari mobil. Sontak Nala menoleh ke arahnya dengan raut datar.

“Apa lagi?”

“Di luar panas,” sahut Arsen lalu membuka bucket hat-nya. Arsen pun memasangkan topi itu pada Nala yang masih menatapnya dengan datar, “Lo pake ini ya.”

Nala hanya mendengus sebagai respon sebelum bergegas turun dari mobil guna menjemput Gavi yang sudah menunggu di dalam sekolah. Arsen sendiri tetap diam di dalam mobil sambil memantau Nala hingga lawan mainnya itu kembali bersama Gavi ke mobil. Namun kali ini Nala tidak lagi duduk di sebelahnya melainkan di jok belakang bersama anaknya.

“Gimana sekolahnya hari ini, ganteng?” tanya Arsen sesaat setelah menoleh ke arah Gavi.

“Om Arsen!” Gavi nampak kaget sekaligus antusias melihat Arsen duduk di balik kemudi itu, “Gavi kira Om Gandi yang bawa mobil.”

“Om Gandi udah ke apartemen Om Arsen, soalnya hari ini Om pengen ngajak Gavi sama Papa makan-makan.” sahut Arsen lalu melirik sekilas ke arah Nala. “Jadi tadi Om Arsen nyuruh Om Gandi sama Om Endra masak banyak.”

“Gavi juga bisa ketemu lagi sama sama Spiderman Om Arsen kan?”

“Bisa, sayang.” kekeh Arsen.

“Tapi Gavi minta izin dulu sama Papa ya? Kalau diizinin, kita ke apartemen Om Arsen sekarang.”

“Papa,” Gavi mendongak kepada Nala diikuti senyum. “Gavi mau ikut ke rumah Om Arsen, boleh?”

“Sayang,” Nala mengusap lembut kepala Gavi. “Kan baru hari ini Papa bisa pulang cepet banget dari tempat kerja, jadi Papa mau berdua sama Gavi di rumah. Mau puas-puasin main bareng Gavi.”

“Kapan-kapan aja ya main ke rumah Om Arsen?” timpal Nala.

Gavi mengangguk lemah lalu kembali menatap Arsen yang masih memandanginya dari jok depan. Sebelum Gavi membuka suara, Arsen lebih dulu berkata.

“Gavi bilang ke Papanya coba, Gavi boleh main berdua sama Papa kok di kamar Om Arsen,” Arsen ikut bersuara. “Om gak bakalan ganggu kalian berdua.”

Nala mendelik, sementara lawan mainnya itu menyeringai sesaat sebelum kembali angkat bicara.

“Lagian kasian Om Gandi sama Om Endra, udah masak banyak-banyak tapi gak ada yang makan.”

Nala berdeham pelan, “Sayang, bilang ke Om Arsen, kalau Papa enggak mau bikin repot di sana.”

“Kenapa Papa sama Om Arsen bilangnya sama Gavi?” Si kecil mencebik dengan raut bingung.

“Soalnya Papanya Gavi tuh lagi marah sama Om Arsen,” sahut Arsen yang membuat Nala lantas melotot. Seolah memberi kode kepada Arsen agar tak memberi tahu hal yang macam-macam ke anaknya. Tapi Arsen tidak peduli.

“Tuh liat, Papanya Gavi aja nggak mau duduk di samping Om,” kata Arsen. “Om Arsen sedih banget.”

“Kenapa Papa marah sama Om Arsen? Emang Om Arsen nakal ya, Papa?” tanya Gavi amat polos.

“Iya, Sayang. Om Arsen nakaaal banget.” sahut Nala lalu melirik Arsen sinis diikuti seringai puas.

Gavi beralih menatap Arsen. “Om Arsen udah minta maaf belum?”

“Udah, tapi Papanya Gavi belum maafin Om Arsen.” jawab Arsen.

“Papa,” Gavi meraih tangan Nala. “Kenapa Papa belum maafin Om Arsen? Kata Ibu guru, orang baik harus saling memaafkan, Papa.”

Arsen mengulum bibirnya guna menahan tawa, sementara Nala lantas memaksakan senyumnya.

“Papa udah maafin Om Arsen kok,” kata Nala. “Papa duduk di sini karena pengen nemenin Gavi. Pengen dengerin cerita Gavi di sekolah tadi gimana.”

“Tapi Om Arsen sedih, Papa. Kasian,” Gavi menatap Arsen iba, sedang yang ditatap demikian pun ambil kesempatan untuk membuat raut wajahnya semakin menyedihkan. “Papa duduk di depan aja. Nanti di rumah Om Arsen kan Papa main sama Gavi.”

“Ya udah, Papa duduk di depan.”

Gavi tersenyum sumringah, pun Arsen yang seketika mengajak anak lelaki itu untuk melakukan high five. Nala sendiri hanya bisa pasrah dan pindah ke jok depan.

“Aksaaaa!”

Aksa mendengus pas dia denger suara Dikara yang terus manggil-manggil namanya di depan pintu pagar kosan. Intonasi serta nada suara sang sahabat benar-benar mirip pas Dikara manggil dia di depan rumah buat main waktu mereka berdua masih kecil dulu.

“Sabar, anjing.” kata Aksa sesaat sebelum membuka kunci pagar.

Dikara pun cuma nyengir kuda setelah pintu pagar itu terbuka. Saat itu pula dia tiba-tiba niup wajah Aksa yang berdiri tepat di hadapannya. Sontak Aksa nutup mata dengan alis berkerut kesal.

“Gimana? Adem kan?”

Aksa mendesis sebelum menoyor pelan kepala sahabatnya, “Adem apaan? Mulut lu bau pete, anjir.”

“Sembarangan, gue enggak abis makan pete.” balas Dikara lalu masuk ke halaman kos-an Aksa pas sahabatnya itu ngasih jalan.

Aksa pun cuma tersenyum tipis bersamaan dengan satu lengan Dikara yang refleks ngerangkul pundaknya. Hal itu seolah udah jadi kebiasaan Dikara pas jalan di samping Aksa kayak sekarang ini.

Mereka jalan beriringan menuju lantai dua dimana kamar Aksa berada. Saat dalam perjalanan menuju kamar Aksa, Dikara pun tiba-tiba ngendus pundak Aksa.

“Lu abis ganti sabun?”

Aksa noleh, “Mm, kenapa?”

“Kok diganti sih?” tanya Dikara, “Wangi yang kemaren enak tau.”

“Emang iya?”

“Iya, lebih cocok sama lu. Kayak, vibe wangi yang kemarin itu bisa gambarin kalau lu orangnya agak galak, cuek, suka telat mak—ah!”

Dikara mendesis kesakitan pas Aksa nyubit pinggangnya, tapi setelahnya dia justru terkekeh.

“Gue serius, Sa. Wangi yang kemarin ibaratnya udah jadi wangi lo banget.” ujar Dikara.

“Ya udah deh, besok gue ganti ke yang lama lagi kalo yang baru itu udah abis.” kata Aksa bersamaan dengan berhentinya langkah kaki mereka di depan pintu kamarnya di lantai dua kos. “Gue juga cuma pengen nyoba suasana baru aja sih, Ka. Makanya beli wangi lain.”

“Pengen nyoba suasana baru, apa elu lagi naksir sama seseorang?”

“Apaan sih? Kenapa jadi naksir?” Aksa nautin alisnya heran sambil buka pintu dan ngebiarin Dikara masuk ke kamarnya lebih dulu.

“Biasanya kan gitu,” sahut Dikara sambil naroh kantongan yang sedari tadi dia tenteng di atas meja belajar dalam kamar Aksa.

“Orang yang biasanya gak wangi banget tiba-tiba jadi kek pabrik parfum pas lagi jatuh cinta,” jelas Dikara sambil berusaha sekuat tenaga buat nyembunyiin wajah betenya. Jujur aja, Dika tiba-tiba mikir kalo Aksa naksir seseorang.

Jelas hal itu bikin dia cemburu.

“Kalau aja gue lagi naksir sama seseorang, gue pasti bakalan cerita sama lu dulu.” kekeh Aksa, “Bukan malah ganti sabun, tolol.”

Dikara senyum hambar. Dika gak bisa ngebayangin bakal gimana kondisi hatinya kalau nanti Aksa cerita ke dia pas lagi jatuh cinta sama seseorang dan orang yang Aksa sukai itu bukanlah dirinya.

Mikirin itu aja bikin Dika nyesek.

“Kemarin gue naroh gitar di sini kan, Sa?” tanya Dikara sekaligus ngalihin topik pembicaraan itu.

Eta, di samping lemari.”

Dikara noleh ke arah lemari Aksa sebelum nyamperin spot itu buat ngambil gitarnya. Sementara itu, si empu kamar lantas duduk di depan meja belajarnya sebelum ngebuka kantongan yang Dikara bawa tadi. Saat itu juga senyum Aksa merekah. Pasalnya, Dikara bawa cimol, cakwe sama surabi.

“Kenapa gak sekalian minumnya ih?” tanya Aksa sambil ngelahap cimol yang dibawain sama Dika.

“Kan di kosan lu ada air, nyet.”

“Tapi kan adanya air putih,” cebik Aksa sambil natap Dikara. “Bawa minum yang manis-manis kek.”

Dikara yang udah ngambil gitar pun nyamperin Aksa. Dia lalu nunjuk botol minum yang ada di meja belajar sahabatnya sambil bilang, “Coba lu minum air itu.”

“Emang kenapa?”

“Minum dulu, Sa.”

Aksa nautin kedua alisnya heran, tapi pada akhirnya dia pun tetap nurutin titah Dika. Aksa minum setenggak air dari botolnya itu.

“Gimana? Manis kan?”

“Manis apaan?” Aksa mendelik, “Orang ini juga cuma air putih.”

“Berarti elu kurang lama natap wajah gue pas lagi minum tadi,” kata Dikara. “Biasanya, manis di wajah gue bakal kerasa kok sama orang yang liatin. Coba lagi, Sa.”

Mulut Aksa setengah terbuka. Dia memasang ekspresi tidak percaya sebelum berpura-pura mual dan nyaris muntah. Dikara yang melihat hal itu pun refleks naroh gitarnya di samping meja belajar Aksa sebelum meluk erat leher sahabatnya dari belakang.

“Dika anjing! Lu nyekik gue!” Aksa batuk. “Lepasin, Dikaa.”

“Lu ngeledekin gue, hm?” Dikara makin ngeratin pelukannya itu. “Cepet bilang kalau gue manis.”

“Dih? Maksa banget, anjir!” Aksa terkekeh, “Lepasin gue, Dikara.”

“Gue lepasin, asal lu bilang gue manis dulu. Ayo,” kata Dikara usil.

Aksa ketawa meskipun leher dia berasa lagi dicekik, “Gak, lu pait.”

“Oh, oke.”

Dikara makin ngeratin pelukan kedua lengannya di leher Aksa. Sementara dagunya dia sandarin tepat di atas kepala sahabatnya.

“Dika, udah. Iya, lu manis.”

“Apa? Gue gak denger?”

“Lu manis, Dikara.” pasrah Aksa.

Tersenyum puas, Dikara lantas ngelepasin pelukannya dari leher Aksa. Dikara ngacak-acak pelan rambut Aksa sebelum dia duduk melantai di samping kursi Aksa sambil nyender di meja belajar.

“Manis dengan pemaksaan,” lirih Aksa yang seketika ngos-ngosan.

“Udah, makan tuh cimol.” kekeh Dikara lalu mengeluarkan gawai dari saku celananya. Sejenak, dia natap layar persegi itu sebelum meletakkannya di samping paha.

Aksa sendiri udah ngelanjutin agenda makan cimolnya. Dia lalu goyangin kepalanya ke kiri dan ke kanan pas Dikara mulai metik gitar sambil nyanyiin lagu band tanah air kecintaan dia dan Dika.

Seberapa pantaskah kau untuk ku tunggu

Cukup indahkah dirimu untuk selalu ku nantikan

Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku

Mampukah kita bertahan di saat kita jauh

Dikara pun ngelirik Aksa dengan sedikit seringai di bibirnya pas sahabat itu udah ikutan nyanyi.

Andai aja Aksa tau kalau lagi itu dinyanyikan Dikara untuk dia.

Seberapa hebat kau untuk ku banggakan

Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu ku andalkan, ohhh...

Mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang, woho...

Sanggupkah kau menyakinkan di saat aku bimbang

Dikara dan Aksa pun kompak nyanyiin bagian chorus tanpa peduli lagi kalau abis ini mereka bakalan ditegur sama penghuni lain dari kos itu. Mereka cuma pengen nyanyi buat ngelepasin stress. Ya, mereka sama-sama stress sebenarnya. Bedanya, Aksa stress mikirin tugas, sementara Dikara stress mikirin perasaan yang dia simpan ke sahabatnya.

Celakanya

Hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu

Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku

Kau pergi dan hilang ke mana pun kau suka

Celakanya

Hanya kaulah yang pantas untuk kubanggakan

Hanya kaulah yang sanggup untuk aku andalkan

Di antara pedih aku slalu menantimu

“Woyy! Orang-orang lagi tidur siang, lu malah gitaran!” teriak penghuni kos di samping kiri kamar Aksa. Saat itu juga Aksa sama Dikara langsung ngulum bibir sambil nahan tawa mereka.

“Lu sih,” bisik Aksa.

“Lu juga ikutan nyanyi ya, nyet.”

Aksa dan Dikara pun ketawa kecil setelahnya. Mereka takut kalau aja orang yang teriak tadi denger.

Gak lama setelahnya, handphone Aksa tiba-tiba bunyi. Aksa pun buru-buru ngangkat panggilan yang masuk meski dia nggak tau siapa nomor baru yang nelpon.

“Halo?”

“Dengan Mas Aksa?”

“Iya,” jawab Aksa. “Siapa ya?”

Saya dari Gojek, Mas.” jawab pria di seberang sana. “Saya udah di depan pagar bawain orderannya.”

“Orderan apa ya, Pak? Perasaan saya gak pernah order apa-apa.”

“Chatime, Mas.”

“Oh?” Aksa ngelirik Dikara sesaat sambil nahan senyum. “Tapi yang orderin tadi atas nama siapa ya?”

Atas nama Dikara, Mas.”

“Tapi udah dibayar kan, Pak?”

Dikara yang diam-diam nguping lantas geleng-gelengin kepala sambil nahan senyum manisnya.

Udah kok, Mas.”

“Oke, bentar ya. Saya ke bawah.”

Sementara itu, Aksa yang udah matiin telepon dari si driver tadi pun refleks tersenyum meledek ke arah Dikara yang juga udah noleh dan natap wajahnya lamat.

“Apa lu liat-liat?” tanya Dikara.

“Gak kok,” jawab Aksa santai lalu buru-buru keluar dari kamarnya buat ngambil orderan chatime.

Sepeninggal Aksa, Dikara lantas ngehela napas panjang. Dia tiba-tiba mikir sampai kapan dia sama Aksa bakalan terjebak friendzone kayak gini. Dika jelas harus siap buat nerima kenyataan kalau aja suatu saat Aksa suka orang lain.

Meski Dikara tau rasanya pasti akan sakit, tapi dia justru lebih takut lagi kalau harus dijauhin sama sahabatnya sejak kecil itu. Dikara tahu, Aksa lebih seneng ngehindar dari hal yang gak dia suka. Dikara pun tau kalau Aksa gak punya perasaan yang sama kayak dia. Alhasil, nyimpan rasa secara diam-diam adalah satu-satunya jalan buat Dikara supaya tetap bisa ada di samping Aksa.

“Kok lu mesennya cuma satu?”

Terlalu larut dalam pikirannya bikin Dikara nyaris nggak sadar kalau Aksa udah balik ke kamar. Aksa protes sambil bawa satu cup chatime sebelum memilih duduk melantai di depan Dika.

“Emang lu mau minum berapa sih, Sa? Lu mau kena diabetes?”

“Satu, tapi gue mau bagi ya.” kata Aksa lalu minum Chatime-nya.

“Iya, buat lu aja.”

Dikara kemudian ngeraih cimol yang masih tersisa di atas meja. Dia melahap satu cimol sebelum nyodorin buat Aksa. Tapi baru aja Aksa mau nerima suapan Dikara, dia justru dibuat kesal. Pasalnya, Dikara justru kembali ngelahap cimol itu sambil senyum usil.

Sampai saat Aksa mukul keras paha Dikara, dia gak bisa lagi nahan ketawanya. Hal itu juga yang bikin Dikara keselek dan ngibas-ngibasin tangan ke Aksa supaya ngasih sedikit Chatime.

“Sa, cepetan. Gue keselek.”

“Lu ambil air aja, siapa suruh cuma beli satu.” Aksa ikut usil.

“Sa, dikit doang.” Dika memelas.

Aksa yang pada dasarnya emang gak tegaan ke Dikara pun kalah. Dia nyodorin chatimenya ke Dika supaya sahabatnya itu minum.

Sayangnya, kebaikan Aksa masih aja dibalas dengan tingkah usil sama Dikara. Chatime Aksa yang tadinya masih banyak sekarang udah tinggal setengahnya. Hal itu pun bikin Aksa memekik kesal sebelum ngambil paksa minuman itu supaya lepas dari bibir Dika.

“Ini dikit doang apanya, anjing?” kesal Aksa. “Malah hampir abis.”

“Balikin chatime gue!” timpalnya.

Dikara yang kini mulutnya masih dipenuhi sama minuman manis itu lantas nahan ketawa dengan pipi menggembung. Dikara lalu nunjuk-nunjuk bibirnya, seolah ngasih kode supaya Aksa ngambil Chatimenya lagi dari mulutnya.

Aksa pun cuma ketawa pasrah sambil mukul paha Dikara; lagi.

“Anjing lu, Ka.” kata Aksa sebelum naruh chatimenya yang tersisa di belakang badannya. “Awas lu ya.”

Dikara pun nelan minuman yang ada di mulutnya lalu ngelepasin tawanya. Dikara gemes liat Aksa ngejauhin minuman tadi dari dia.

“Kalau abis dijajanin, bilang apa?” sindir Dikara, sedang Aksa lantas mendelik lalu meraih kantongan cimol yang tergeletak di lantai.

“Makasih.”

“Yang ikhlas,” tuntut Dikara.

“Itu udah ikhlas, anjing.”

“Tapi lu ngomongnya kek jutek.”

“Makasih,” Aksa melembutkan suaranya, “Udah? Puas lu, Ka?”

“Senyumnya mana?”

Aksa senyum sampai matanya nutup, bikin Dikara terkekeh.

“Lu makin cantik kalau senyum.”

“Kok cantik sih?” hidung Aksa berkerut gak suka. “Ganteng.”

“Lu ganteng, tapi cantik. Ngerti gak?” Dikara senyum lembut.

“Suka-suka lu aja deh,” Aksa ngangkat pundaknya, tanda kalau dia bodo amat, sebelum kembali melahap cimolnya.

“Lu udah punya temen deket gak di prodi lu?” tanya Dikara serius.

“Belum,” Aksa ngelirik Dikara sekilas. “Gak tertarik juga sih.”

“Kenapa?”

“Ya males aja.”

“Jangan cuek-cuek lah, Sa.” kata Dikara. “Gue tau lu males sama orang fake, yang datang pas ada maunya doang. Tapi kan enggak semua orang kayak gitu. That’s why, lu jangan cuek-cuek amat.”

“Coba liat temen-temen lu. Liat orang-orang di sekitar lu,” lanjut Dikara. “Kasih mereka sedikit celah buat deket atau ngobrol sama lu supaya lu tuh juga tau mereka orangnya kek gimana.”

“Kalau lu gak punya temen yang deket banget, terus who knows besok-besok lu ada apa-apa di jalan dan gue gak ada, gimana?”

“Siapa yang bakal ngabarin gue? Siapa yang jagain elu buat gue?”

“Kan ada Dewa,” kata Aksa santai.

“Kalau gak ada Dewa juga?”

Aksa menghela napas panjang.

“Udah deh, Ka. Gue gak deket banget sama siapa-siapa kayak ke lu sama Dewa bukan berarti gue nutup diri dari orang lain.”

“Gue ngajak mereka ngobrol kok, gue juga nolongin kalau ada yang bisa gue bantu.” timpalnya. “Jadi apa yang elu takutin gak bakalan kejadian. Mereka juga tau siapa yang sering bareng gue, mereka pasti nyari lu kalau gue kenapa-kenapa. Gue cuma ngasih batas buat orang lain biar gak masuk terlalu jauh ke kehidupan gue.”

“Sespesial itu ya gue sama Dewa sampai-sampai cuma kita doang yang jadi sohib lu?” kekeh Dika.

“Lu tetangga gue, temen deket gue sejak kecil. Jadi apa boleh buat? Kita udah terlanjur tau banyak satu sama lain,” Aksa senyum ngeledek. “Dewa lebih spesial dari lu sih sebenarnya.”

“Bisa gak gue jadi orang spesial itu, Sa?” Dikara natap wajah Aksa lamat. Konteks yang tadi Aksa omongin jelas tentang sahabat, tapi konteks Dika amat berbeda.

Aksa menggeleng, “Gak.”

“Kenapa?”

“Ya karena lu gak spesial.”

Dikara ngehela napasnya pasrah sebelum kembali musatin atensi ke gitarnya. Dia berasa ditolak bahkan sebelum nembak Aksa.

“Tapi gue beruntung punya lu, Ka.” gumam Aksa yang seketika bikin Dikara kembali natap dia.

“Gue gak tau gimana jadinya kalau suatu saat lu udah gak pengen jadi sahabat gue lagi.”

“Gue harus ngadu ke siapa yaa?” kekeh Aksa. “Gue lari ke mana?”

Aksa menipiskan bibir sesaat.

“Gue gak bohong kalau tiap hari gue selalu berdoa supaya kita berdua tetep bisa kek gini tau.” lanjut Aksa. “Lu udah jadi bagian hidup gue dan saksi dari sekian banyak perjalanan hidup gue...”

“Pasti rasanya bakalan hampa banget kalau lu udah gak jadi sahabat gue deh, Ka.” katanya.

“Kenapa lu mikir kayak gitu sih?” Dikara berusaha nahan sensasi sesak di dadanya. “Gue bakalan jadi sahabat lu sampai kita tua.”

Aksa terkekeh, “Lucu nggak sih, kalau kita tetep tetanggaan ampe tua terus anak lu sama anak gue jadi sahabatan juga kayak kita?”

Dada Dikara udah kayak ditusuk ribuan jarum, tapi dia maksain buat tetap senyum tipis ke Aksa.

“Mm,” gumam Dikara. “Lucu.”

“Kenapa kita malah ngobrol soal ginian ya?” Aksa jadi geli sendiri. “Belum juga lulus kuliah, anjing.”

“Gak apa-apa,” kata Dikara.

“Namanya juga berencana, Saa. Tinggal Tuhan aja yang nentuin.”

Dan Dikara berharap, Tuhan pun bakalan dengerin doanya. Meski Dikara tau, Aksa berencana buat tetap jadi sahabatnya, sementara Dika justru ingin yang lebih dari itu, tapi ketentuan Tuhan nggak ada yang tau bakal kayak gimana. Bukan enggak mungkin di masa depan Aksa akan mencintainya.

Arsen dan Nala beserta manager mereka akhirnya telah sampai di lokasi pemotretan untuk sampul majalah BEYOND. Kini para aktor itu pun dituntun oleh stylist dari majalah menuju ke fitting room. Saat itu pula Arsen dan Nala tau pakaian apa yang akan dikenakan keduanya untuk pemotretan itu.

“Yang ini buat Nala?” tanya Arsen saat melihat Nala hanya akan mengenakan outer dengan aksen layaknya bulu domba berwarna putih. Arsen terganggu dengan tidak melihat adanya dalaman.

“Kenapa gak dipakein inner?”

“Iya, Sen. Nanti bagian dada Nala sampai ke perut bakalan kebuka dikit.” jawab sang stylist laki-laki.

“Ini gak kita pakein inner karena kita mau look-nya lebih mature, tapi si kesan classy tetep dapet.”

“Emang look mature cuma bisa didapetin dengan buka baju ya?”

“Sen,” Nala menghentikan Arsen yang melayangkan protesnya itu.

“Bentar ya, Mas.” Nala tersenyum kikuk kepada si stylist. “Saya mau ngobrol berdua dulu sama dia.”

Okay, Nal. No worries. Kalian sekalian siap-siap ya sebelum team make up artist sama hair stylist masuk entar,” katanya.

Nala mengangguk diikuti senyum tipis. Dia kemudian melirik Gandi dan Endra yang masih berdiri tak jauh darinya dan Arsen. Nala pun memberi isyarat agar manager-manager itu juga ikut keluar dari wardrobe room yang termasuk di dalamnya juga ada fitting room.

Setelah semua orang pergi dan yang tersisa di dalam ruangan itu hanya mereka berdua, Nala pun menghela napasnya kasar. Nala menatap Arsen dengan ekspresi yang jelas sudah sangat kesal.

“Lo ngapain sih tadi?”

“Lo gak liat baju buat lo itu kayak gimana, Nal?” balas Arsen. “Sama aja kalau lo telanjang tau nggak?”

“Gue gak suka badan lo diliatin sama banyak orang,” timpalnya.

“Cukup!” Nala menunjuk wajah Arsen. “Lo sama sekali gak ada hak ngelarang-larang gue lagi buat make baju yang gak lo suka.”

We’re nothing,” bisik Nala. “Kalau pun lo masih pacar gue, lo nggak boleh seenaknya ngomong kayak gini di atas kepentingan kerjaan.”

“Suka atau gak suka, itu urusan lo. I don’t care. Tapi tolong, gak usah nunjukin itu ke orang lain.” ujar Nala dengan penekanan sebelum mengambil pakaian yang tadi Arsen maksud dengan sedikit kasar. Sementara itu, Arsen yang ditinggal Nala ke fitting room pun hanya mampu mengacak-acak kasar surainya.


Sejak pemotretan dimulai hingga kini telah selesai, suasana hati Arsen sangat jauh dari kata baik. Meski Nala hanya mengenakan pakaian tanpa dalaman itu dalam satu sesi pemotretan, tapi Arsen tetap tidak bisa lupa bagaimana cara orang-orang dalam ruangan tadi menatap lekuk tubuh Nala.

Arsen benar-benar terganggu.

“Ra, Sen, gue sama Nala mau ke Club nih. Kalian mau ikut gak?”

Nala mendelik ke Gandi yang justru mengajak Arsen ke Club. Padahal, meski sedari tadi Nala terkesan cuek, dia tidak bodoh untuk menyadari bahwa Arsen selalu menatap dingin padanya.

“Gue ngikut ke artis gue aja deh,” Endra pasrah. “Gimana nih, bos?”

Namun, bukannya memusatkan atensi kepada Endra yang baru saja bertanya, Arsen justru diam sambil menatap datar ke Nala.

“Anak lo gimana?” tanyanya. “Lo mau pulang ke apartemen dalam kondisi mabuk terus nunjukin itu ke Gavi? Ke mana otak lo, Nal?”

“Nggak usah sok tau apalagi ikut campur urusan gue sama anak gue,” balas Nala tidak kalah datar.

Merasa bahwa akan adanya adu mulut yang kemudian berujung pertengkaran, Gandi pun angkat bicara. Dia lantas melerai kedua sahabatnya itu dengan berkata.

“Malam ini Gavi nginep di rumah Omanya kok, Sen.” katanya lalu beralih memandangi wajah Nala.

“Udah dong, Nal. Jangan apa-apa dibawa emosi. Ayo, kita ke club sekarang,” Gandi melirik Endra.

“Gue sama Nala duluan ya, Ra. Gue tunggu lo sama Arsen di sana kalau lo pengen nyusul.”

“Oke,” sahut Endra lalu melirik ke Arsen. “Lo pulang aja ya, Sen? Lo kayaknya lagi badmood hari ini.”

“Gue mau nyusulin mereka.”

“Ya elaaah,” desah Endra sambil mengikuti Arsen yang lebih dulu melangkah ke mobilnya. “Tapi lo jangan berantem di sana. Janji?”

“Gue gak janji.”

“Arsen, elo jangan bikin gue pusing dong. Inget series lo belum tayang,” pinta Endra.

Arsen tidak memedulikan sang manager yang kini telah duduk di sampingnya; tepatnya di bangku kemudi. Sebab kini Arsen lantas memilih ’tuk menancap gas dan mengikuti ke mana mobil Gandi membawa si mantan pacar pergi.


Arsen tahu, mengikuti Nala ke club bukan pilihan yang tepat untuk kesehatan hatinya. Sebab, dia tahu bahwa Nala akan turun ke lantai dansa dengan tubuhnya yang meliuk-liuk di antara lelaki maupun wanita di sana. Seperti sekarang, dimana Nala tengah menari sambil mengikuti alunan musik yang berdentum keras.

Namun, yang membuat kepala juga relung dada Arsen semakin panas adalah saat dia tiba-tiba melihat Bagas yang entah datang dari mana lantas menghampiri Nala. Bagas mendekatkan wajah di samping kepala Nala. Hal itu pula yang membuat Arsen yang sedari tadi hanya duduk di meja sambil mengawasi Nala dari jauh seketika berdiri. Arsen kemudian ikut menghampiri Nala sebelum menarik paksa lengan si lawan main agar keluar dari tempat itu.

“Lo apa-apaan sih, Sen?” Nala berontak, tapi kekuatan Arsen yang kini telah berada di bawah pengaruh alkohol semakin besar darinya. “Lepasin gue, Arsen!”

“Pulang!”

“Gak mau!”

“Arsen, lepasin Nala!”

Langkah Arsen terhenti tepat di area parkir club saat suara yang dia kenali menggema. Dia lantas menoleh dan mendapati Bagas mengikutinya juga Nala dari belakang. Sontak Arsen berbalik, masih sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Nala.

“Lo siapanya Nala, hah?” Arsen menyeringai. “Lo gak ada hak buat ngelarang gue bawa Nala.”

“Lo juga gak ada hak bawa Nala,” balas Bagas. “Lo itu bukan siapa-siapanya. Posisi kita sama di sini.”

“Bukan siapa-siapanya?” Arsen tertawa lantang. “Lo gak tau?”

“Arsen!” Nala seketika menarik lengan Arsen agar menoleh ke arahnya. Dia takut kalau Arsen akan mengatakan semua tentang masa lalu mereka kepada Bagas.

“Udah. Kita pulang,” kata Nala.

“Nggak mau,” kini Arsen yang berontak. “Gue gak mau pulang sebelum gue ngasih tau dia—”

“Arsen, cukup! Lo mabuk!”

“Gue gak mabuk, Nala!” balas Arsen lalu menoleh ke Bagas.

“Lo mau tau gue siapanya Nala?”

Nala menepis kuat cengkeraman tangan Arsen hingga tautannya terlepas. Dia kemudian beralih menarik kerah baju sang mantan pacar lalu mengikis jarak wajah mereka. Setelahnya, dia berbisik.

“Otak lo yang ke mana, Sen. Lo udah gila? Hah?” Nala geram.

“Kenapa, Nal?” Arsen tersenyum miring. “Kenapa lo nggak pengen dia tau? Bukannya bagus kalau—”

Nala melayangkan pukulan yang cukup keras di pipi Arsen. Bagas yang melihat hal itu pun melotot saat mendapati Arsen terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah.

“Nal. Udah, Nal.” Bagas seketika menghentikan Nala. “Entar ada yang nge-liat terus up ke media.”

“Kalian ada series bareng loh,” timpal Bagas sambil menahan bahu Nala. Namun, Nala dengan sigap menepis tangannya itu.

“Lo boleh pergi sekarang, Gas.”

“Tapi, Nal—”

“Gue bilang pergi,” ulang Nala. “Tinggalin gue sama dia di sini.”

Melihat tatapan tidak suka Nala, Bagas akhirnya mengalah. Bagas memundurkan langkah sebelum berbalik dan meninggalkan dua aktor itu di sana. Sementara itu, Nala yang kini juga sudah mulai terpengaruh akan alkohol yang tadi dia minum pun meremas kuat rambutnya. Setelahnya, dia menatap Arsen dengan nyalang.

“Lo egois, Sen.” gumam Nala. “Ini yang bikin kita gak bisa bersama.”

Tepat setelah mengucap kalimat itu, Nala kembali berjalan masuk ke club. Sementara Arsen tetap duduk di tempatnya sebelum merogoh handphone di sakunya. Di sana Arsen menelepon Gandi.

“Di, jangan ngasih Nala minum lagi. Dia kayaknya udah mabuk.”

“Iya, ini Nala udah minta dianter pulang ke apartemennya kok. Dia juga abis bilang ke Endra supaya nganterin lo balik.” balas Gandi dari sambungan telepon mereka.

“Oke.”

Arsen mengakhiri panggilan itu sebelum menghela napas pelan. Dengan posisi masih terduduk, Arsen lantas memeluk lututnya lalu menenggelamkan wajahnya di sana. Kepalanya sudah sangat pening, entah karena efek dari alkohol atau karena memikirkan Nala dan frasa yang diucapnya.