Entah sudah ke-berapa kali Nala menghela napasnya gusar sejak si mantan pacar menjemputnya di unit apartemennya tadi hingga saat ini laju mobil Arsen berhenti di halaman rumah Bagas. Arsen yang bersikeras untuk datang bersamanya jujur saja membuat Nala sedikit gelisah. Nala takut kejadian di depan club beberapa bulan lalu akan terulang kembali dan membuat Bagas kian curiga.
“Ayo,” ajak Arsen yang kini telah mematikan mesin mobilnya.
“Sebelum kita masuk ke sana, lo bisa gak janji satu hal sama gue?” Nala menatap Arsen lekat-lekat.
Arsen yang telah paham akan ke mana arah pembicaraan mantan pacarnya itu lantas mendengus.
“Janji buat nggak berantem sama Bagas?” seringainya, “Kalau iya, gue enggak bisa janji, tergantung gimana sikap dia ke lo aja nanti.”
“But you don’t have to worry, Nal. Gue gak bakal biarin dia playing dirty behind your back, i’ll fight.”
“Gue gak mungkin diem aja kok kalau Bagas berusaha ngerusak karir lo yang lagi bersinar,” kata Arsen, sementara Nala lagi-lagi menghela napasnya amat kasar.
“And how can you control what he’s gonna do to me or to us, you bastard?” Nala menatap Arsen kesal, “Lo tuh udah egois, keras kepala lagi. Gimana gue bisa yakin buat balikan sama lo hah?”
Ketukan di jendela mobil Arsen membuatnya juga Nala refleks menoleh. Mereka dapat melihat Gandi dan Endra telah berdiri di sana, menunggu mereka berdua.
“If you make a mess and bad things happen to us later, I’ll never forgive you.” ancam Nala sebelum keluar lebih dulu dari mobil si mantan. Nala kemudian menghampiri Gandi dan Endra yang justru cengengesan saat melihatnya. Sontak Nala heran.
“Kenapa?”
“Lo berdua kalau mau ciuman, tau tempat dong.” kata Gandi.
“Siapa yang ciuman, anjir?” alis Nala bertautan, “Sembarangan.”
“Terus kenapa lo sama Arsen lama banget di mobil. Hah?”
“Kita abis ngomong soal rencana pernikahan,” celetuk Arsen yang baru saja menghampiri mereka.
Nala pun hanya mendelik lalu berjalan lebih dulu meninggalkan halaman parkir rumah Bagas itu. Setelahnya, Arsen, Gandi serta Endra seketika menyusul Nala.
Ketika mereka telah dipersilakan masuk ke dalam rumah, Bagas lantas menyambut Nala, Arsen, Gandi dan Endra. Tidak banyak tamu yang hadir di sana. Seperti temanya yang berkonsep private, hanya teman-teman dekat Bagas saja yang telah hadir. Bahkan dari kalangan artis pun, hanya Nala dan Arsen yang datang ke pesta.
“Makasih udah datang ya, Nal.” ucap Bagas lalu melirik ke arah Arsen sekilas dengan raut datar.
Tak jauh berbeda dengan Bagas, Arsen pun memberi tatapan tak ramah kepada si pemilik pesta. Namun, Arsen tetap memaksa bibirnya ’tuk membentuk segaris senyum. Arsen pun mengulurkan tangannya ke arah Bagas sambil berucap pelan, “Happy birthday.”
“Thanks.”
“Ya udah, kita langsung ke meja makan yuk. Temen-temen yang lain udah pada nungguin,” ajak Bagas sambil menuntun Arsen, Nala, Gandi serta Endra ke ruang tengah yang telah disulap seolah tempat itu restoran prasmanan.
“Ambil makanan dulu gih,” kata Bagas. “Semoga kalian suka ya.”
Bagas mempersilakan Arsen, Nala, Endra dan Gandi sambil terus mendampingi mereka ke meja panjang di sudut ruangan yang dihiasi berbagai macam makanan berat hingga dessert lengkap pula dengan minuman berupa wine. Apabila ditotal, kini ada dua puluh orang saja yang turut meramaikan masing-masing meja dan sofa yang telah ditata. Arsen, Nala, Gandi, Endra dan sang pemilik pesta sendiri lantas duduk di meja yang sama setelah mengambil makanan.
Namun, yang membuat Arsen menipiskan bibir sesaat sebelum dia duduk di salah satu kursi dan berniat menarik kursi untuk Nala di sampingnya, Bagas justru lebih dulu menahan lengan si mantan. Bagas mengulas senyum tipis ke arah Nala sebelum bersuara.
“Lo duduk di sini aja, Nal.” titah Bagas sambil menarik satu kursi untuk Nala tepat di sampingnya yang duduk di seberang Arsen.
Nala pun tidak bisa menolak. Dia takut jika saja Bagas tersinggung.
“Sabar,” bisik Gandi yang seketika duduk di sisi Arsen dan paham dengan apa yang sedang terjadi.
Arsen pun hanya bisa menghela napas sambil terus mengamati gerak-gerik Bagas kepada Nala. Sesekali Nala juga melirik Arsen dan memberinya tatapan tajam.
Perlahan, obrolan di antara Nala, Bagas, Gandi dan Endra seketika mengalir. Namun, Arsen terlihat tidak berniat untuk ikut angkat bicara dalam percakapan itu. Dia hanya sibuk memandangi Bagas yang sesekali merangkul Nala atau menepuk pundak si mantan pacar ketika dia sedang tertawa.
Kedua tangan Arsen yang berada di bawah meja pun dia kepal kuat sambil menahan amarahnya. Dia tidak ingin memukul Bagas saat ini juga dan tentunya berujung membuat Nala kecewa padanya.
Sampai ketika Nala telah selesai melahap makanan di piringnya, Bagas tiba-tiba saja bersuara.
“Nal, bisa ikut sama gue ke kolam renang bentar gak?” ajak Bagas. “Gue pengen ngobrolin sesuatu.”
Nala mengangguk lalu melirik Arsen sekilas sebelum bangkit dari kursinya dan mengekori Bagas yang menuntunnya ke area kolam renang. Arsen pun tak ingin tinggal diam. Sesaat setelah Nala dan Bagas hilang dari pandangannya, dia berdiri.
“Lo mau ke mana?” tanya Gandi sambil menahan tangan Arsen.
“Mau nyusulin Nala,” kata Arsen sambil menepis tangan sahabat karibnya itu. “Jangan nahan gue.”
Mendengar suara dan raut wajah Arsen yang amat dingin lantas membuat Gandi maupun Endra tidak bisa berkutik. Menghadapi Arsen yang keras kepala bukan perkara mudah. Hanya Nala lah satu-satunya orang yang mampu menghentikannya. Alhasil, Gandi dan Endra membiarkannya pergi.
Dan di sinilah Arsen sekarang. Ia berdiri di ambang pintu geser yang menjadi penghubung ruang tengah ke kolam renang. Di sana, Arsen lantas melihat bagaimana Nala dan Bagas berdiri dengan posisi saling berhadapan. Untuk sesaat, Arsen hanya diam sambil memerhatikan mereka. Sampai saat Arsen melihat Bagas mulai mengikis jarak wajahnya dengan Nala, Arsen lantas menghampiri keduanya. Arsen mencengkeram kerah baju Bagas sambil berkata.
“Nala mau lo apain? Hah?”
“Arsen,” Nala berusaha melepas tangan Arsen dari kerah baju Bagas, namun mantan pacarnya itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya; tetap menatap Bagas.
“Nala mau gue apain juga bukan urusan lo,” sahut Bagas yang juga menatap tajam wajah Arsen. “Dia aja gak keberatan, tapi malah elo yang dateng-dateng kayak gini.”
“Gas, Sen. Kalian apa-apaan sih?” Nala berusaha melerai mereka. “Berhenti nggak lo berdua?”
Arsen menoleh ke Nala sesaat, “Gue cuma pengen ngomong sama dia. Gue gak bakal mukulin dia kalau dia gak mukul duluan.”
Arsen lalu kembali menatap lurus ke dalam mata Bagas, “Lo bilang ini bukan urusan gue? Lo salah.”
“Gue sama Nala masih partner kerja buat series kita berdua dan gue gak bakal biarin Nala dapet masalah kalau aja ada orang yang mergokin kalian pas kayak tadi.”
“Lo tuh mikir gak sih kalau apa yang elo lakuin bisa bikin Nala jatuh lagi setelah dia bangkit?” timpalnya lalu melirik ke Nala.
“Bener lo gak keberatan, Nal? It’s up to you then, tapi gue ngerasa keberatan. Lo gak kerja sendiri, gue juga kerja. Kalau lo dapet masalah, gue juga bakal kena.”
Nala hanya diam sambil terus memandangi Arsen. Meski dia tahu Arsen seperti ini karena sikap posesifnya, tapi mantan pacarnya itu cukup cerdik menggunakan alasan pekerjaan saat ingin menghentikan Bagas.
“Lo yakin lo kayak gini karena urusan kerjaan?” balas Bagas lalu menyeringai tipis, “Bukan karena elo diem-diem suka sama Nala?”
Arsen mengeraskan rahangnya. Dia pun kembali menatap Bagas dengan netra yang berapi-api.
“Lo dateng ke party gue, terus ngikutin Nala pas gue ngajakin dia ke sini buat ngobrol berdua dan lo tiba-tiba keberatan pas ngeliat gue pengen nyentuh dia.” lanjut Bagas, “It’s a crystal clear now, Arsen. Lo suka sama Nala.”
Bagas kemudian menepis kasar cengkeraman Arsen pada kerah bajunya hingga terlepas. “Sejak ngeliat lo narik Nala keluar dari club waktu itu, gue udah curiga sama lo. Di restoran kemarin pun lo keliatan terganggu karena ada gue. Sekarang lo dateng ke sini juga karena lo enggak suka gue deketin Nala kan? Lo cemburu tiap kali Nala bareng gue, Sen.”
“Terserah lo mau mikir kayak gimana, gue cuma gak pengen ngeliat lo nyentuh Nala.” tegas Arsen lalu mencengkeram pelan lengan Nala. “Ayo. Kita pulang.”
Baru saja Arsen hendak menarik Nala pergi dari tempat itu, tapi satu tangan Nala justru ditahan oleh Bagas. Alhasil, kini Nala berada di tengah-tengah mereka bak barang yang diperebutkan.
“Lo gak ada hak buat ngelarang gue deketin Nala atau nyentuh dia,” kata Bagas. “Apa? Lo mau pulling the ‘gue temen deket dia sejak kuliah’ card? Lo mau bilang itu kan pas di depan club dulu?”
“Gue tau kok lo sama Nala dulu temenan, tapi itu nggak bikin lo punya hak istimewa. Posisi kita sama di sini. Kita dua orang yang sama-sama lagi suka sama Nala,” kata Bagas. “Lo bahkan pernah bikin Nala gak nyaman. Lo udah ada cacat di mata Nala, Arsen.”
Ucapan Bagas seketika membuat kepala Arsen mendidih. Namun, dia tetap berusaha untuk tenang.
“Lo terlalu banyak omong, Gas.” ucap Arsen datar, “Kalau emang lo ngerasa bisa dapetin hati Nala, buktiin. Let’s play fair. Kita lihat nanti siapa yang bakal menang.”
Bagas tersenyum miring, “Jadi sekarang lo udah berani ngaku kalau lo emang suka sama Nala?”
“Iya,” jawab Arsen. “Kenapa? Lo takut bersaing sama gue? Hah?”
“Gue gak takut.”
Bagas lalu menatap Nala. “Nal, lo udah liat sendiri kan? Dia suka lo. Gue tau dia bakalan ngikutin kita ke sini, jadi gue mau lihat respon dia tadi. Gue gak ada niat pengen nyentuh elo tanpa concern, Nal.”
“Cukup!”
Nala sudah habis kesabaran. Dia lantas menepis kasar tangan si mantan pacar begitupun Bagas.
Nala menatap kedua lelaki itu bergantian sebelum bersuara.
“Lo berdua kayak anak kecil tau gak?” Nala lantas memandangi wajah Bagas. “Udah berapa kali sih gue bilang sama lo, Gas? It’s not my problem if he likes me...”
“Dengan lo ngelakuin ini cuma buat ngebuktiin Arsen beneran suka sama gue atau gak tuh biar apa? I don’t care!” tegasnya. “Gue malah ngerasa lo tuh kek orang posesif yang nyoba buat cari tau siapa aja yang lagi suka sama gue atau deketin gue. I don’t like that kind of behavior. Benci banget.”
Nala beralih menatap Arsen. “Lo juga. Udah berapa kali gue bilang supaya lo gak ikut campur? Ha?”
“Lo memperlakukan gue seolah gue ini orang bego yang gak bisa mikir apa yang bakalan bahayain diri gue sendiri.” Nala menatap Arsen dengan raut kecewa. “Apa selama ini gue se-murahan itu ya di mata lo? Lo pikir gue bakalan mau disentuh orang lain gitu aja meski di luar urusan pekerjaan? Gitu kan yang lo pikir dari dulu?”
Nala menatap Arsen dan Bagas bergantian, nampak kedua lelaki itu terdiam dan memikirkan apa yang baru saja mereka lakukan.
“Terserah kalau lo berdua suka sama gue,” Nala menambahkan. “Tapi jangan pernah berharap gue bakalan ngebuka hati gue kalau sikap kalian aja kek gini.”
“Gue gak suka,” final-nya.
Nala mendengus kasar sebelum meninggalkan kedua lelaki itu sekaligus meninggalkan pesta.