jaesweats

“Mas?”

Nala memanggil Tristan yang melenguh pelan. Suaminya itu masih terbaring di atas ranjang ruang IGD Rumah Sakit dengan luka lebam menghiasi wajahnya.

“Aku di mana?”

“Kamu di rumah sakit,” kata Nala.

“Arsen mukulnya jago juga ya,” Tristan hendak tersenyum, tapi rasa sakit di ujung bibirnya justru membuat dia mendesis pelan.

“Tadi aku pingsan?” tanyanya.

Nala mengangguk. “Aku tau sekarang bukan waktu yang tepat buat ngobrol sama kamu.”

“Apalagi dengan kondisi wajah kamu yang udah bonyok kayak gitu,” timpalnya. “Tapi aku mau bilang, kalau aku gak akan biarin kamu ngambil Gavi dari aku…”

“Aku mohon, Mas.” lirih Nala.

“Meskipun awalnya aku adopsi Gavi karena gak nyaman satu kamar sama kamu, tapi aku tuh bener-bener sayang sama anak aku, Mas.” mata Nala berkaca-kaca. “Aku gak bakal ngelarang kamu kok buat ketemu Gavi.”

“Aku cuma mohon, jangan ambil dia. Gavi satu-satunya yang aku punya. Gavi berharga buat aku.”

“Aku tau,” jawab Tristan sambil menatap kosong wajah Nala.

“Dan karena aku tau kalau Gavi berharga banget buat kamu… Makanya aku pengen ngambil dia dengan harapan kamu semakin benci sama aku terus laporin aku ke polisi.” mata Tristan berkaca-kaca. “Tapi, bahkan di saat aku terluka setelah nyoba buat lakuin hal nggak senonoh, kamu malah bawa aku ke sini. Rumah Sakit.”

“Maksud kamu apa, Mas?” Nala tidak mengerti ucapan Tristan.

“Aku tersiksa, Nal.” lirih Tristan.

“Aku pikir, dengan aku pergi dan bawa lari uang kamu bakal bikin aku ngerasa puas atas rasa sakit yang udah kamu kasih ke aku…”

“Tapi ternyata aku salah. Aku justru tersiksa tiap kali ngeliat wajah kamu. Apalagi waktu itu kamu gak ngelakuin apa-apa buat nyari aku atau menuntut uang kamu kembali. Kamu gak mau ngelaporin aku ke polisi.”

“Aku yang harusnya seneng dan puas ngeliat kamu musti mulai karir dari nol lagi justru ngerasa bersalah,” Tristan menatap lurus netra legam Nala. “Jadi kemarin, aku ngasih tau masa lalu kamu sama Arsen ke akun gosip itu dengan harapan kamu semakin benci sama aku dan nyari aku.”

“Tapi sampai detik ini pun, aku justru makin ngerasa bersalah.”

Air mata Tristan menetes. “Aku benci kamu karena gak pernah ngehargain usaha aku supaya kamu bisa buka hati ke aku, tapi aku juga sayang kamu banget sampai-sampai aku selalu aja ngerasa bersalah karena udah ninggalin kamu kayak waktu itu.”

Nala tersenyum tipis lalu meraih tangan Tristan. Ia menggenggam tangan suaminya lalu bersuara.

“Karena kamu orang baik, Mas. Aku tau kamu orang baik,” kata Nala. “Kamu cuma nyoba buat jadi orang jahat dengan harapan sakit hati dan dendam kamu bisa terbayar, turn out it didn’t work.”

“Kenapa aku harus benci sama kamu?” mata Nala ikut berkaca-kaca. “Padahal aku yang salah.”

“Aku yang gak bisa lepas dari masa lalu aku,” timpalnya lirih. “Aku yang bikin kamu tersiksa.”

“Pas kamu ninggalin aku dulu, aku bersyukur karena kamu bisa pergi dari orang yang justru gak bisa cinta sama kamu. Aku juga sedih ngeliat kamu tersiksa...”

“Tapi… Di saat yang bersamaan, aku takut banget, Mas. Kamu itu satu-satunya dorongan aku buat bisa lepas dari Arsen, supaya aku bisa belajar buat suka ama kamu.”

“Aku hargain usah kamu, Mas. Aku bisa ngerasain kasih sayang kamu ke aku waktu itu,” katanya. “Kamu udah lebih dari cukup buat aku. Kamu itu orang yang selalu aku minta di dalam doa.”

“Kamu tau gak sih, Mas…” Nala mengusap punggung tangan Tristan dengan ibu jarinya. “Aku bahkan mikir gini; kalau aja kamu kembali dan datang baik-baik ke aku lagi, aku mau dan siap kok memperbaiki rumah tangga kita.”

“Karena kamu orang baik,” kata Nala yang membuat Tristan tak mampu membendung tangisnya. “You treat me so well back then.”

“Kamu suami yang baik, Mas.”

“Nal.”

Nala mengangkat alis. “Mm?”

“Aku boleh meluk kamu?”

Nala mengangguk pelan sebelum membungkuk guna memeluk si suami yang masih terbaring di atas ranjang rawat rumah sakit.

Sementara itu, tanpa Nala ketahui, di balik tirai yang menjadi penghalang sekaligus sekat di ruang IGD, ada Arsen yang sedang menunduk sambil meneteskan air matanya. Arsen menatap punggung tangannya yang telah diperban setelah tadi terluka karena memukuli Tristan.

Tidak ingin membuat hatinya ikut terluka lebih lama, Arsen kemudian berdiri dari ranjang rawat. Dia pergi dari sana tanpa mengucap pamit kepada Nala.

Alis Nala saling bertautan ketika bel apartemennya menggema. Padahal, baru sekitar sepuluh menit sejak Gandi membalas pesannya tadi. Cepat juga, pikir Nala lalu buru-buru membuka pintu. Namun, tepat setelah dia membuka pintu, Nala seketika menahan napas. Kakinya lemas.

Pasalnya, bukan Gandi yang kini berdiri di hadapannya melainkan Tristan. Suaminya itu tersenyum tipis dengan sorot mata dingin.

“Ngapain kamu di sini, Mas?”

“Kamu bahkan gak seneng lihat aku kembali, Nal.” kata Tristan. “Kenapa? Kamu takut aku bakal ngerusak hubungan kamu sama mantan kesayangan kamu itu?”

Rahang Nala mengeras. “Untuk apa juga aku seneng lihat orang yang udah ninggalin aku sama anak aku kembali lagi sih, Mas?”

“Sekarang kamu mau apa?” tanya Nala, “Kenapa kamu balik lagi?”

“Kemarin malam kamu bilang di Twitter kalau kamu mau ketemu sama orang yang udah ngasih tau masa lalu kamu ke akun gosip itu kan?” seringai Tristan, sementara tangan Nala refleks mengepal.

“Aku orangnya,” jelas Tristan.

“Aku enggak nyangka kamu bisa sejahat ini, Mas.” Nala menatap Tristan tidak percaya. “Padahal, sejak awal, kamu sendiri yang udah setuju buat nunggu sampai aku bisa buka hati aku ke kamu.”

“Terus apa bedanya sama kamu, hah?” balas Tristan. “Jangankan belajar buat buka hati ke aku, di dalam tidur kamu aja, kamu tuh masih nyebut nama Arsen, Nal!”

Nala tercekat. Sekarang dia bisa paham kenapa Tristan tau kalau Arsen adalah mantan pacarnya.

“Tapi aku cuma diam. Aku selalu percaya kalau kamu bakal buka hati buat aku suatu saat nanti,” Tristan tersenyum miring. “Tapi apa? Pas kamu tau kalau Arsen bakal digantiin di series ‘Pulang’ dulu, kamu rela ngelakuin apa aja buat dapetin perannya. Kamu bahkan nggak menghargai aku sebagai suami kamu demi dia.”

“Padahal kamu juga bilang kalau kamu mau nyoba buka hati, tapi buktinya? Kamu masih gak mau lepas dari dia. Kami masih aja mikirin Arsen,” timpal Tristan.

“Aku juga punya hati, Nal...” lirih Tristan, “Aku sayang sama kamu.”

“Kalau kamu sayang sama aku, kamu nggak bakal ninggalin aku gitu aja.” sahut Nala. “Sekarang, tolong kamu pergi dari sini, Mas.”

“Aku bakal pergi, tapi setelah aku ngambil Gavi. Aku mau nuntut hak aku sebagai orang tuanya.”

“Nuntut kata kamu?” mulut Nala setengah menganga, “Kamu mau nuntut anak yang udah kamu tinggalin, Mas? Gak akan bisa.”

“Kenapa gak bisa?” Tristan maju satu langkah. “Aku bisa ngambil Gavi sekarang juga dari kamu.”

“Kamu pikir aku gak tahu, kalau kamu ngadopsi Gavi cuma buat pisah kamar dari aku?” Tristan mendengus. “Kalau kamu pikir aku bukan orang tua yang baik, kamu juga sama nggak baiknya.”

“Terserah kamu bilang apa, tapi aku gak bakalan ngebiarin kamu ngambil anak aku, Mas Tristan.”

Nala kemudian hendak menutup pintunya, tapi Tristan bersikeras mendorong dan berusaha untuk masuk. Saat itu pula Nala lantas berusaha menahan daun pintu agar bisa tertutup sambil meraih gawainya. Di sana, Nala buru-buru menelpon kontak yang ada di bagian paling atas room chat. Kontak itu tak lain adalah Arsen.

“Sen, angkat telpon gue…” lirih Nala yang saat ini sudah nyaris kehabisan tenaga tuk menahan pintu. Pasalnya, seharian ini dia tak pernah makan karena stress.

Persekian detik berikutnya, Nala nyaris terjatuh ke lantai. Sebab, Tristan menendang kuat pintu unitnya hingga Nala terpental.

“Pergi kamu, Mas!”

“Mana Gavi?”

“Gavi gak ada!”

“Jangan bohongin aku, Nal.”

“Aku bilang Gavi gak ada!” teriak Nala sambil memasukkan gawai ke saku celana trainingnya tanpa memutus sambungan teleponnya tadi dengan Arsen. Dia kemudian menahan lengan Tristan yang berusaha mencari Gavi di dalam unit apartemennya. “Stop, Mas!”

Langkah Tristan pun terhenti di ruang tengah. Dia kemudian berbalik dan menatap lurus ke dalam mata Nala diikuti seringai.

“Oke. Kalau Gavi emang gak ada, aku mau ngambil yang lain dari kamu.” kata Tristan lalu menarik lengan Nala ke arah sofa. Meski sempat berontak, Nala yang kini telah lemas tak mampu berkutik.

“Mas, lepasin aku!”

Nala berusaha untuk berteriak saat Tristan membuat tubuhnya terlentang di atas sofa panjang. Tristan kemudian mengungkung Nala sambil mencoba menciumi bibir suaminya itu. Nala dibuat takut hingga seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan untuk berteriak pun Nala sudah tidak sanggup.

“Mas, jangan…”

“Kenapa? Hm?” bisik Tristan lalu mengecup sensual leher Nala. “Kamu cuma pengen disentuh sama mantan kamu itu, Nal?”

Nala menggeleng saat Tristan kembali menjilat lehernya. Saat itu pula air mata Nala menetes.

Isak tangis Nala kemudian mulai terbebas ketika Tristan mencoba membuka celananya. Nala pun menendang perut Tristan dan hendak bangkit dari sofa lalu kabur dari sana. Sayangnya, sang suami lebih gesit. Tristan lalu menahan Nala dan menampar keras pipinya hingga sang empu terjatuh di atas sofa. Nala terisak.

“Bunuh aku aja, Mas! Bunuh aku!”

Nala berteriak, namun Tristan kembali menamparnya. Kali ini, pipi kiri Nala yang jadi sasaran.

Setelahnya, Tristan kemudian membungkuk hingga wajahnya dan Nala yang duduk tepat di hadapannya sejajar. Tristan pun mencengkeram kedua pipi Nala dengan kedua tangan kekarnya.

“Kamu pikir aku bakal bahagia kalau ngeliat kamu mati, Nal?” lirih Tristan. “Kamu gak boleh mati. Kamu harus bales aku.”

Tristan memiringkan wajahnya lalu menciumi bibir Nala, tapi baru saja beberapa detik sejak dia melumat celah ranum sang suami, seseorang justru tiba-tiba menarik kerah baju Tristan dari belakang. Bagai kecepatan kilat, Tristan pun dibuat berbalik lalu dihantam pukulan yang sangat keras di pipi kanannya. Saat itu pula Tristan mendapati bahwa Arsen yang kini menghajarnya.

“Brengsek!”

Arsen berteriak lalu kembali memukuli wajah Tristan berkali-kali hingga lelaki itu terjatuh di atas lantai. Namun, seolah tidak puas membuat wajah suami Nala itu luka-luka, Arsen melanjutkan pukulannya sambil duduk di atas perut Tristan. Nala pun berusaha menghentikan Arsen mendapati Tristan sudah tak bisa bergerak.

“Sen, udah! Gue mohon.”

Arsen seolah tuli. Satu-satunya objek yang bisa dia dengar dan lihat hanya Tristan di bawahnya.

“Gue udah ngerelain Nala buat lo, tapi lo malah bikin dia kayak gini, brengsek!” kata Arsen masih sambil menghajar habis Tristan.

“Arsen! Udah!”

Nala ikut berteriak diikuti tangis sambil memeluk lengan Arsen. Saat itu pula Arsen menoleh ke Nala dengan napas terengah.

“Kalau lo masih pengen mukulin orang, pukul gue aja.” kata Nala.

Setelahnya, Nala lantas beralih menatap Tristan yang nampak tidak sadarkan diri. Nala lalu beralih menggoyang-goyangkan badan suaminya itu dengan mencengkeram erat bahunya.

“Mas, bangun. Mas Tristan.”

Sementara itu, Arsen yang kini telah bangkit dan berdiri di samping Nala pun memerhatikan bagaimana Nala masih khawatir melihat suaminya. Sampai saat Nala mendongak padanya, Arsen seketika menahan napasnya.

“Sen, bantuin gue bawa Mas Tristan ke rumah sakit. Ya?”

Arsen dan Gandi yang sudah tiba di depan pintu unit apartemen Nala lantas menekan bel. Sampai gak lama berselang, sang pemilik unit lantas datang lalu membuka pintunya. Namun, tepat setelah Nala dan Arsen bertukar tatapan selama beberapa detik saja, Nala tiba-tiba menampar keras pipi kiri Arsen. Sontak Gandi terkejut, pun Arsen yang hanya bisa diam.

“Masih berani lo datang ke sini, Sen?” Nala lalu mencengkeram kerah baju Arsen. Meski Gandi mencoba menghentikannya, tapi Nala yang sudah tersulut emosi tak mampu Gandi hentikan lagi.

“Ini yang sore tadi lo bilang mau nunjukin ke Bagas kalau gue itu milik lo dengan cara dewasa ha?” Nala tersenyum miring dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Nal, dengerin gue dulu.”

“Apa? Lo mau bilang apa?” suara Nala kian meninggi. Gandi yang takut jika Gavi mendengar sang Papa berteriak pun buru-buru menutup pintu unit itu dari luar.

“Nal, biarin Arsen ngomong dulu. Kalian ngomongnya pelan-pelan. Pake kepala dingin,” saran Gandi. “Ayo kita masuk dulu. Biar nanti gue yang awasin Gavi di kamar.”

Nala kemudian melepas tautan jemarinya dari kerah baju Arsen. Seperti saran Gandi tadi, Arsen, Nala juga Gandi pun masuk ke unit Nala. Gandi sendiri buru-buru menghampiri Gavi di dalam kamar, sedang Arsen dan Nala berdiri di belakang pintu unit itu sambil berdiri saling berhadapan.

“Apa yang harus gue dengerin sih dari lo?” Nala tertawa hambar.

“Lo gak usah ngelak, Sen. Selain Mas Tristan, cuma elo yang tau kalau gue gak pernah ngasih dia nafkah batin.” lirih Nala. “Gandi, bahkan Mama gue sendiri gak pernah gue kasih tau soal ini.”

“Dan lo selalu gini. Lo bakalan ngelakuin apa aja buat muasin sifat posesif lo itu. Lo tuh gak pernah berubah,” air mata Nala tidak mampu terbendung lagi.

“Dulu lo gak peduli gimana gue kepengen banget dapet peran pertama gue cuma karena elo gak suka gue buka baju, terus sekarang, lo juga nggak peduli gimana gue bangkit lagi cuma supaya lo bisa buktiin kalau lo punya hubungan spesial sama gue di masa lalu ke Bagas kan?”

“Ini kan yang lo mau sejak awal? Lo mau bilang ini ke Bagas sejak di depan club. Lo tuh gak suka siapapun deketin gue,” kata Nala.

“Nal…” bibir Arsen bergetar. Dia menahan tangisnya. “Padahal lo bisa berpikir kalau seseorang di balik semua ini mungkin Tristan, karena cuma gue sama dia yang tau fakta ini. Tapi lo nuduh gue?”

“Apa gue emang selalu se-jahat itu di mata lo, Nal?” timpalnya.

“Lo gak usah jadiin Mas Tristan kambing hitam, Sen.” lagi, Nala tersenyum miring sebelum dia mendorong dada Arsen. “Lo lupa pas gue bilang kalau Mas Tristan gak tau lo itu mantan gue? Ha?”

“Terus gimana kalau ternyata dia udah tau, Nal?” Arsen kembali mendekatkan tubuhnya dengan Nala setelah tadi dia terdorong.

“Atau gimana kalau sebenarnya dia udah tau sebelum dia pergi, tapi dia gak pernah bilang ke lo.” lanjutnya, “Lo bisa berpikir kayak gitu andai aja lo gak selalu punya pikiran kalau gue egois dan jahat karena sifat posesif gue sama lo.”

Kini air mata Arsen pun tumpah.

“Apa yang gue bilang kalau gue bakal nunjukin ke Bagas elo itu milik gue dengan cara dewasa bukan kayak gini, Nal.” katanya.

“Cara yang gue maksud itu gue bertekad buat berusaha lebih keras lagi supaya lo yakin mau balikan sama gue. Karena gue ngerasa lo juga masih sayang gue. Lo cuma belum yakin karna takut kita saling nyakitin lagi.”

“Gue pengen kencengin usaha gue ngeyakinin lo biar gue bisa bilang ke Bagas supaya jangan deketin lo lagi sebagai pacar lo.”

Arsen tersenyum hambar. “Tapi kayaknya gue salah udah mikir kayak gitu. Karena mau sekeras apapun usaha gue biar lo yakin sama gue, tapi kalau di hati lo udah tertanam stigma kalau gue jahat, lo gak bakalan bisa yakin.”

“Sama kayak yang lo bilang ke gue tentang fans, mau gimana pun kita ngomong, kalau mereka udah benci kita dari sananya, ya mereka bakal tetep nggak suka.”

“Gitu juga sama gue, Nal. Mau gimana pun usaha gue, lo bakal tetep benci kan sama gue?” kata Arsen lalu buang muka sejenak.

Ketika Arsen akhirnya kembali menatap Nala, dia pun berkata.

If that’s the case, oke. Gue bakal speak up ke orang-orang supaya mereka tau betapa jahatnya gue.”

Arsen memaksakan senyumnya. “Semoga dengan gue ngomong kayak gitu juga, kesalahan gue di masa lalu udah terbayar ya, Nal.”

“Jaga diri lo,” ucap Arsen sebelum berbalik dan meninggalkan Nala yang seketika jatuh hingga duduk bersimpuh di belakang pintunya diikuti isak tangis yang amat pilu.

Wira baru aja keluar dari gedung kantornya sambil natap gawai di tangannya. Setelah tadi orderan ojek online Wira harus rela dia cancel karena si driver kejebak macet dengan lokasi yang masih jauh, alhasil kini Wira harus nyari driver lain. Sayangnya, belum sempat Wira nekan opsi order, sosok yang selalu dia coba buat hindari justru tiba-tiba berdiri di hadapannya. Sosok itu ialah Rafa, mantan pacar yang notabenenya udah putus sama dia tahun lalu.

“Gue udah nungguin lo dari tadi, Ra.” kata Rafa. “Kok lo jam segini baru pulang? Banyak kerjaan ya?”

“Gue gak minta lo nungguin gue kan?” balas Wira dingin. “Suka-suka gue pengen pulang kapan.”

Baru aja Rafa hendak bersuara, tapi suara klakson motor yang amat nyaring sudah lebih dulu menggema. Wira pun menatap motor driver ojek online yang berada di belakang Rafa dengan alis saling bertautan. Pasalnya, si driver yang mengenakan masker justru terasa tidak asing baginya.

Wira kenal sorot mata itu.

Wira juga kenal alis tegas itu.

“Mas Wira?” tanya si driver ke Wira yang dibalas anggukan.

Wira pun cuma mendelik tajam ke Rafa sesaat sebelum meraih helm yang disodorkan oleh sang driver. Setelahnya, dia buru-buru naik hingga kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan gedung kantor juga Rafa yang mematung.

“Pegangan yang kenceng, Mas. Saya mau ngebut,” ucap si driver yang bikin Wira terkekeh pelan.

“Gak usah modus kamu, Mas.”

“Aku beneran pengen ngebut loh, Ra. Kalau kamu nggak pegangan yang kenceng, entar kamu jatuh.”

Wira nahan senyumnya diikuti helan napas. Kedua lengannya kemudian melingkar erat di pinggang driver yang gak lain adalah Desta. Meski tadi Wira sempat kaget, tapi dia ngerasa bersyukur Desta datang di saat yang tepat. Alhasil, dia gak perlu buang-buang energinya lagi buat sekedar nolak ajakan mantannya.

“Mas, kamu pengen bawa aku ke mana?” tanya Wira yang ngeliat Desta belok dari jalan ke rumah.

“Ke tempat makan kesukaan aku,” jawab Desta. “Aku laper nungguin kamu dari tadi tau.”

Lagi, Wira nahan senyumnya.

“Lagian siapa suruh kamu main dateng aja gak bilang-bilang?”

“Hah? Kamu bilang apa, Ra?”

Wira berdecak. “Aku bilang… Siapa suruh kamu main dateng aja gak bilang-bilang sama aku!”

Desta cuma ketawa kecil sebagai respon. Dia pun melirik ke kaca spion hingga pandangannya dan Wira bertemu selama dua detik.

“Cowok yang tadi mantan kamu yang kamu ceritain semalem?”

“Iya, Mas.”

“Menurut kamu, gantengan aku apa dia?” tanya Desta usil. Wira pun refleks nyubit pinggangnya.

“Gak usah nanya macem-macem. Mas fokus bawa motor aja sana.”

“Aku atau dia, Raa?” Desta gigih. “Terus terang aja. Gak apa-apa.”

Wira ngulum bibirnya. Dia gak bilang apa-apa lagi setelahnya. Begitu pun Desta yang cuma bisa tersenyum sambil geleng-geleng.

Gak lama setelahnya, laju motor yang dibawa Desta pun berhenti di depan sebuah warung bakso. Warung itu tidak kecil, tapi juga tidak terlalu besar. Namun, dari bagian luarnya saja, Wira dapat melihat kalau warung bakso itu sangat bersih. Wira yang tadinya mikir kalau Desta mau bawa dia ke restoran mahal pun senyum tipis sebelum turun dari motor.

“Ini yang kamu bilang tempat makan kesukaan kamu, Mas?”

“Mm, bakso di sini enak.” sahut Desta sambil ngeraih helm di tangan Wira. “Kamu udah pernah makan bakso di sini belum, Ra?”

“Belum.”

“Bagus deh,” kata Desta lalu ikut turun dari motor setelah tadi menyimpan helmnya dan Wira.

“Berarti aku orang pertama yang ngajak kamu ke sini. Jadi nanti kalau kamu datang ke sini lagi, kamu bakal langsung inget aku.”

Wira senyum ngeledek, sedang Desta refleks ngacak-acak surai hitam Wira sebelum bersuara.

“Ayo, Ra.” ajaknya.

Wira mengindahkan titah Desta. Dia ngikutin cowok yang lebih tua darinya itu masuk ke warung dan duduk di satu meja di pojok.

“Untung meja ini belum ada yang ngisi ya,” kata Desta sambil narik satu kursi buat Wira. “Aku kalau ke sini pasti duduknya di sini.”

“Harus banget ya punya tempat khusus?” gantian Wira ngeledek.

“Harus dong, aku suka duduk di sini. Soalnya pas di bawah kipas angin.” kata Desta sambil nunjuk kipas angin yang menempel di dinding, tepat di atas mereka.

Wira geleng-geleng, sementara Desta langsung senyum ke arah si pemilik warung yang bergegas nyamperin dan nyapa mereka. Wira pun natap kagum ke Desta pas ngeliat dia ngobrol sama si pemilik warung itu. Jelas kalau Desta udah sering makan di sini.

“Mas, yang kayak biasa dua ya.”

Setelah ngasih tau pesanannya, Desta kembali noleh ke Wira.

“Kamu kok tiba-tiba pulang ke sini sih, Mas?” Wira penasaran.

“Aku kangen sama seseorang. Udah dua Minggu lebih aku gak ketemu lagi sama dia,” sahutnya.

Wira memicing. “Siapa?”

Desta nopang kepalanya di atas meja sambil natap Wira dengan senyum di bibirnya. “Customer YesJek yang nemenin aku kabur.”

“Aku serius, Mas.”

“Aku juga serius, Ra.”

Wira mendengus. “Terus kamu gak takut ketahuan Papa kamu?”

“Gak,” Desta ngangkat bahunya gak peduli diikuti tawa. “Papa aku lagi ke New York soalnya.”

Wira mutar bola matanya malas lalu geleng-gelengin kepalanya. Bersamaan dengan itu pesanan mereka pun datang. Dua bakso porsi lengkap telah tersaji tepat di hadapan Desta dan Wira.

“Kamu suka sambel gak?” tanya Desta yang kemudian dibalas anggukan mantap oleh Wira.

“Kalau Mas Desta suka gak?”

Desta senyum sambil natap lurus ke dalam netra legam Wira. “Mm, aku suka, Ra. Suka banget malah.”

“Tapi aku gak lagi ngebahas soal sambel,” timpal Desta yang bikin ekspresi wajah Wira jadi datar.

“Kamu kayaknya udah lapar banget deh, Mas. Makan nih.”

Wira pun nyuapin Desta satu biji bakso yang udah ditusuk garpu. Desta nerima suapan itu dengan senang hati sambil senyum tipis.

“Kamu udah lihat kan, Ra? Aku juga suka makan di tempat gini.” celetuk Desta, “Aku waktu masih kecil dulu juga sering nunggu tukang bakso gerobakan yang suka lewat di depan rumah kok.”

“Terus kotak snack kayak yang kamu makan semalem, aku juga sering dibawain pulang sama Papa dari kantor dulu. Sengaja gak dimakan buat aku,” katanya.

“Aku juga pernah ngerasain masa sulit.” lanjut Desta, sementara Wira natap wajahnya lekat-lekat.

“Jadi kalau kamu mikirnya aku cuma kenal dan tau hal-hal yang mewah, kamu keliru. Aku sama aja kok kayak kamu. Kayak orang kebanyakan.” ujarnya. “Justru aku lebih suka hal yang sederhana...”

“Sama kayak yang selalu diajarin mendiang Mama aku,” final-nya.

“Aku nyinggung perasaan kamu ya, Mas?” Wira jadi nggak enak.

Desta menggeleng, “Gak kok.”

“Justru aku ngasih tau kamu gini supaya kamu gak ngerasa kalau ada jarak di antara kita,” timpal Desta. “Aku bukan si kaya dan kamu si miskin, aku cuma orang biasa yang lagi suka sama kamu.”

“Mulai lagi deh kamu, Mas.”

Desta senyum tipis, “Gimana? Kamu suka gak bakso di sini?”

“Suka, Mas.”

“Kalau aku?”

“Mas Desta...”

Desta terkekeh, “Iya, iya. Makan.”

Arsen tersenyum tipis saat Nala akhirnya datang lalu masuk ke mobilnya. Keduanya pun duduk bersisian di jok depan mobil itu.

“Lo ngobrolin apa sama Bagas sampai bikin gue nunggu lama?”

Arsen kembali menanyakan satu pertanyaan yang tadinya tidak ingin Nala jawab di room chat.

“Gue ngobrolin masalah yang lo bikin semalem, brengsek.” sahut Nala. “Masih bagus dia gak nyari tau soal kita. Kalau iya, gimana?”

Arsen menjatuhkan pundak lalu memelas, “Iya, gue minta maaf.”

“Lo minta maaf mulu, tapi gak pernah nunjukin kalau lo udah berubah.” Nala menatap Arsen dengan kecewa, “Dan lo masih nanya gue se-enggak yakin itu buat balikan sama lo apa gak?”

“Sampai kapan lo mau kayak gini, Sen? You are being so possessive over me, seolah-olah lo tuh gak pernah bisa percaya sama gue.”

Arsen meraih tangan Nala lalu menggenggamnya erat, “Gue bukannya gak percaya sama lo, Nal. Gue cuma gak suka ngeliat orang lain deketin lo kayak apa yang Bagas lakuin semalem itu.”

“Gue juga gak suka,” jawab Nala. “Tapi apa lo pikir gue bakal diem aja meskipun lo gak dateng terus nyamperin gue sama si Bagas?”

No. Gue yakin elo bisa lindungin diri lo sendiri, tapi kan selagi ada gue di sana, masa gue diem aja?” balas Arsen, “Gue tau gue emang masih belum bisa ngontrol emosi gue tiap kali ngelihat orang lain nyoba buat deketin atau nyentuh lo, but i have tried my best, Nal...”

“Gue beneran minta maaf. Ya?”

Nala menepis kasar tangan Arsen sambil mendelik, “Kalo udah gak ada yang mau elo omongin, gue pulang. Gandi udah nunggu gue.”

“Pulang sama gue,” sahut Arsen sambil mengunci pintu mobilnya.

“Gue juga masih mau ngomongin sesuatu sama elo,” timpal Arsen.

“Ya omongin aja sekarang,” kesal Nala. “Gue gak mau pulang sama lo. Siapa suruh lo malah terang-terangan ngajak Bagas bersaing.”

“Apa hubungannya sih, Nal?” Arsen mendengus, “Lo udah ninggalin gue loh pagi tadi.”

“Bagas ngajak gue pulang bareng juga tadi, jadi kalau sekarang gue pulang sama elo, sama aja dong kalau gue milih elo?” kata Nala.

“Sekarang posisi lo berdua sama kan? Lo sendiri yang setuju buat perang gini sama Bagas. Rasain.”

Arsen menyemburkan tawa saat Nala memberi penekanan ketika dia mengucapkan kata, “Rasain.”

“Kenapa lo ketawa?” tanya Nala amat datar, “Gak ada yang lucu.”

“Lo yang lucu,” kata Arsen sambil mencubit gemas dagu si mantan.

Arsen kemudian mendekatkan wajahnya dengan Nala sebelum berbisik, “Bagas bukan saingan gue, Nal. Gue tau hati elo cuma buat gue. Dengan gue ngajak dia bersaing bukan berarti gue mau bener-bener bersaing sama dia.”

“Gue cuma mau buktiin ke Bagas kalau lo milik gue, supaya dia gak berani deketin lo lagi.” kata Arsen lalu mengecup singkat bibir Nala.

Keep dreaming,” Nala kemudian mendorong tubuh Arsen. “Buka pintu mobil lo. Gue mau pulang.”

Arsen tidak peduli. Arsen hanya tersenyum tipis lalu menyalakan mesin mobilnya. Nala pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Dia lantas membiarkan Arsen tancap gas guna mengantarnya pulang.


Sesampainya mobil Arsen di basemen apartemen Nala, dia lantas menoleh ke arah mantan pacarnya itu. Dia tersenyum tipis melihat Nala yang tadi sempat tertidur di jalan kini telah sadar.

“Semalem lo tidur jam berapa?”

Nala tidak menjawab pertanyaan Arsen. Dia hanya mendelik tajam sebagai respon sambil berusaha membuka pintu mobil si mantan.

“Buka kuncinya.”

“Gue bukain, tapi foto sama gue dulu.” kata Arsen sambil meraih gawai di sakunya, “Gue gak mau si Bagas ngerasa udah menang karena kalian foto bareng di set tadi terus di-post di sosmednya, sementara kita berdua enggak.”

Arsen mendekatkan tubuhnya ke arah Nala sambil mengangkat gawai yang telah dipegangnya. Namun, tanpa Arsen duga, Nala tiba-tiba merebut gawai dari tangannya sebelum melempar benda itu ke jok belakang mobil.

Sontak Arsen terkejut. Terlebih saat dia melihat raut tak suka di wajah si mantan pacar saat ini.

“Lo pikir gue seneng diperlakuin kayak gini?” Nala menatap Arsen kesal. “Emang gue apaan? Benda yang lagi lo berdua rebutin? Ha?”

Sejenak, Arsen menarik napasnya tanpa melepas pandangan dari wajah Nala. Dia berusaha tenang.

“Kenapa lo semarah ini sih, Nal?” tanya Arsen, “Tadi Bagas boleh, kenapa sekarang gue gak boleh?”

“Jangan kayak anak kecil, Sen.” sahut Nala. “Udah cukup lo sama Bagas aja yang tau urusan kalian, gak usah bikin publik ikut nyari tau juga ngeliat tingkah lo pada.”

Arsen menghela napasnya diikuti anggukan pelan, meski wajahnya kini justru terlihat amat murung. Dia pun kembali menghadap ke arah stir mobilnya lalu membuka kunci pintu agar Nala bisa keluar.

Pada saat itu juga Nala membuka pintu mobil. Namun, sebelum dia keluar dari sana, Arsen bersuara.

“Gue bakal buktiin ke Bagas kalo lo itu milik gue dengan cara yang dewasa,” katanya lalu tersenyum meski sorot matanya justru sedu.

Nala pun hanya menghela napas sebelum keluar dari mobil Arsen. Di saat yang bersamaan, Arsen justru buru-buru membuka kaca jendela pintu mobil yang tadinya telah ditutup Nala lalu berteriak.

“Gue sayang sama lo, Nal!”

Nala yang baru saja berjalan beberapa langkah dari mobil mantan pacarnya itu pun bisa mendengar teriakan Arsen. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang, namun Nala refleks tersenyum tipis sambil terus melangkah menuju pintu lobi.

Entah sudah ke-berapa kali Nala menghela napasnya gusar sejak si mantan pacar menjemputnya di unit apartemennya tadi hingga saat ini laju mobil Arsen berhenti di halaman rumah Bagas. Arsen yang bersikeras untuk datang bersamanya jujur saja membuat Nala sedikit gelisah. Nala takut kejadian di depan club beberapa bulan lalu akan terulang kembali dan membuat Bagas kian curiga.

“Ayo,” ajak Arsen yang kini telah mematikan mesin mobilnya.

“Sebelum kita masuk ke sana, lo bisa gak janji satu hal sama gue?” Nala menatap Arsen lekat-lekat.

Arsen yang telah paham akan ke mana arah pembicaraan mantan pacarnya itu lantas mendengus.

“Janji buat nggak berantem sama Bagas?” seringainya, “Kalau iya, gue enggak bisa janji, tergantung gimana sikap dia ke lo aja nanti.”

But you don’t have to worry, Nal. Gue gak bakal biarin dia playing dirty behind your back, i’ll fight.”

“Gue gak mungkin diem aja kok kalau Bagas berusaha ngerusak karir lo yang lagi bersinar,” kata Arsen, sementara Nala lagi-lagi menghela napasnya amat kasar.

And how can you control what he’s gonna do to me or to us, you bastard?” Nala menatap Arsen kesal, “Lo tuh udah egois, keras kepala lagi. Gimana gue bisa yakin buat balikan sama lo hah?”

Ketukan di jendela mobil Arsen membuatnya juga Nala refleks menoleh. Mereka dapat melihat Gandi dan Endra telah berdiri di sana, menunggu mereka berdua.

If you make a mess and bad things happen to us later, I’ll never forgive you.” ancam Nala sebelum keluar lebih dulu dari mobil si mantan. Nala kemudian menghampiri Gandi dan Endra yang justru cengengesan saat melihatnya. Sontak Nala heran.

“Kenapa?”

“Lo berdua kalau mau ciuman, tau tempat dong.” kata Gandi.

“Siapa yang ciuman, anjir?” alis Nala bertautan, “Sembarangan.”

“Terus kenapa lo sama Arsen lama banget di mobil. Hah?”

“Kita abis ngomong soal rencana pernikahan,” celetuk Arsen yang baru saja menghampiri mereka.

Nala pun hanya mendelik lalu berjalan lebih dulu meninggalkan halaman parkir rumah Bagas itu. Setelahnya, Arsen, Gandi serta Endra seketika menyusul Nala.

Ketika mereka telah dipersilakan masuk ke dalam rumah, Bagas lantas menyambut Nala, Arsen, Gandi dan Endra. Tidak banyak tamu yang hadir di sana. Seperti temanya yang berkonsep private, hanya teman-teman dekat Bagas saja yang telah hadir. Bahkan dari kalangan artis pun, hanya Nala dan Arsen yang datang ke pesta.

“Makasih udah datang ya, Nal.” ucap Bagas lalu melirik ke arah Arsen sekilas dengan raut datar.

Tak jauh berbeda dengan Bagas, Arsen pun memberi tatapan tak ramah kepada si pemilik pesta. Namun, Arsen tetap memaksa bibirnya ’tuk membentuk segaris senyum. Arsen pun mengulurkan tangannya ke arah Bagas sambil berucap pelan, “Happy birthday.”

Thanks.”

“Ya udah, kita langsung ke meja makan yuk. Temen-temen yang lain udah pada nungguin,” ajak Bagas sambil menuntun Arsen, Nala, Gandi serta Endra ke ruang tengah yang telah disulap seolah tempat itu restoran prasmanan.

“Ambil makanan dulu gih,” kata Bagas. “Semoga kalian suka ya.”

Bagas mempersilakan Arsen, Nala, Endra dan Gandi sambil terus mendampingi mereka ke meja panjang di sudut ruangan yang dihiasi berbagai macam makanan berat hingga dessert lengkap pula dengan minuman berupa wine. Apabila ditotal, kini ada dua puluh orang saja yang turut meramaikan masing-masing meja dan sofa yang telah ditata. Arsen, Nala, Gandi, Endra dan sang pemilik pesta sendiri lantas duduk di meja yang sama setelah mengambil makanan.

Namun, yang membuat Arsen menipiskan bibir sesaat sebelum dia duduk di salah satu kursi dan berniat menarik kursi untuk Nala di sampingnya, Bagas justru lebih dulu menahan lengan si mantan. Bagas mengulas senyum tipis ke arah Nala sebelum bersuara.

“Lo duduk di sini aja, Nal.” titah Bagas sambil menarik satu kursi untuk Nala tepat di sampingnya yang duduk di seberang Arsen.

Nala pun tidak bisa menolak. Dia takut jika saja Bagas tersinggung.

“Sabar,” bisik Gandi yang seketika duduk di sisi Arsen dan paham dengan apa yang sedang terjadi.

Arsen pun hanya bisa menghela napas sambil terus mengamati gerak-gerik Bagas kepada Nala. Sesekali Nala juga melirik Arsen dan memberinya tatapan tajam.

Perlahan, obrolan di antara Nala, Bagas, Gandi dan Endra seketika mengalir. Namun, Arsen terlihat tidak berniat untuk ikut angkat bicara dalam percakapan itu. Dia hanya sibuk memandangi Bagas yang sesekali merangkul Nala atau menepuk pundak si mantan pacar ketika dia sedang tertawa.

Kedua tangan Arsen yang berada di bawah meja pun dia kepal kuat sambil menahan amarahnya. Dia tidak ingin memukul Bagas saat ini juga dan tentunya berujung membuat Nala kecewa padanya.

Sampai ketika Nala telah selesai melahap makanan di piringnya, Bagas tiba-tiba saja bersuara.

“Nal, bisa ikut sama gue ke kolam renang bentar gak?” ajak Bagas. “Gue pengen ngobrolin sesuatu.”

Nala mengangguk lalu melirik Arsen sekilas sebelum bangkit dari kursinya dan mengekori Bagas yang menuntunnya ke area kolam renang. Arsen pun tak ingin tinggal diam. Sesaat setelah Nala dan Bagas hilang dari pandangannya, dia berdiri.

“Lo mau ke mana?” tanya Gandi sambil menahan tangan Arsen.

“Mau nyusulin Nala,” kata Arsen sambil menepis tangan sahabat karibnya itu. “Jangan nahan gue.”

Mendengar suara dan raut wajah Arsen yang amat dingin lantas membuat Gandi maupun Endra tidak bisa berkutik. Menghadapi Arsen yang keras kepala bukan perkara mudah. Hanya Nala lah satu-satunya orang yang mampu menghentikannya. Alhasil, Gandi dan Endra membiarkannya pergi.

Dan di sinilah Arsen sekarang. Ia berdiri di ambang pintu geser yang menjadi penghubung ruang tengah ke kolam renang. Di sana, Arsen lantas melihat bagaimana Nala dan Bagas berdiri dengan posisi saling berhadapan. Untuk sesaat, Arsen hanya diam sambil memerhatikan mereka. Sampai saat Arsen melihat Bagas mulai mengikis jarak wajahnya dengan Nala, Arsen lantas menghampiri keduanya. Arsen mencengkeram kerah baju Bagas sambil berkata.

“Nala mau lo apain? Hah?”

“Arsen,” Nala berusaha melepas tangan Arsen dari kerah baju Bagas, namun mantan pacarnya itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya; tetap menatap Bagas.

“Nala mau gue apain juga bukan urusan lo,” sahut Bagas yang juga menatap tajam wajah Arsen. “Dia aja gak keberatan, tapi malah elo yang dateng-dateng kayak gini.”

“Gas, Sen. Kalian apa-apaan sih?” Nala berusaha melerai mereka. “Berhenti nggak lo berdua?”

Arsen menoleh ke Nala sesaat, “Gue cuma pengen ngomong sama dia. Gue gak bakal mukulin dia kalau dia gak mukul duluan.”

Arsen lalu kembali menatap lurus ke dalam mata Bagas, “Lo bilang ini bukan urusan gue? Lo salah.”

“Gue sama Nala masih partner kerja buat series kita berdua dan gue gak bakal biarin Nala dapet masalah kalau aja ada orang yang mergokin kalian pas kayak tadi.”

“Lo tuh mikir gak sih kalau apa yang elo lakuin bisa bikin Nala jatuh lagi setelah dia bangkit?” timpalnya lalu melirik ke Nala.

“Bener lo gak keberatan, Nal? It’s up to you then, tapi gue ngerasa keberatan. Lo gak kerja sendiri, gue juga kerja. Kalau lo dapet masalah, gue juga bakal kena.”

Nala hanya diam sambil terus memandangi Arsen. Meski dia tahu Arsen seperti ini karena sikap posesifnya, tapi mantan pacarnya itu cukup cerdik menggunakan alasan pekerjaan saat ingin menghentikan Bagas.

“Lo yakin lo kayak gini karena urusan kerjaan?” balas Bagas lalu menyeringai tipis, “Bukan karena elo diem-diem suka sama Nala?”

Arsen mengeraskan rahangnya. Dia pun kembali menatap Bagas dengan netra yang berapi-api.

“Lo dateng ke party gue, terus ngikutin Nala pas gue ngajakin dia ke sini buat ngobrol berdua dan lo tiba-tiba keberatan pas ngeliat gue pengen nyentuh dia.” lanjut Bagas, “It’s a crystal clear now, Arsen. Lo suka sama Nala.”

Bagas kemudian menepis kasar cengkeraman Arsen pada kerah bajunya hingga terlepas. “Sejak ngeliat lo narik Nala keluar dari club waktu itu, gue udah curiga sama lo. Di restoran kemarin pun lo keliatan terganggu karena ada gue. Sekarang lo dateng ke sini juga karena lo enggak suka gue deketin Nala kan? Lo cemburu tiap kali Nala bareng gue, Sen.”

“Terserah lo mau mikir kayak gimana, gue cuma gak pengen ngeliat lo nyentuh Nala.” tegas Arsen lalu mencengkeram pelan lengan Nala. “Ayo. Kita pulang.”

Baru saja Arsen hendak menarik Nala pergi dari tempat itu, tapi satu tangan Nala justru ditahan oleh Bagas. Alhasil, kini Nala berada di tengah-tengah mereka bak barang yang diperebutkan.

“Lo gak ada hak buat ngelarang gue deketin Nala atau nyentuh dia,” kata Bagas. “Apa? Lo mau pulling the ‘gue temen deket dia sejak kuliah’ card? Lo mau bilang itu kan pas di depan club dulu?”

“Gue tau kok lo sama Nala dulu temenan, tapi itu nggak bikin lo punya hak istimewa. Posisi kita sama di sini. Kita dua orang yang sama-sama lagi suka sama Nala,” kata Bagas. “Lo bahkan pernah bikin Nala gak nyaman. Lo udah ada cacat di mata Nala, Arsen.”

Ucapan Bagas seketika membuat kepala Arsen mendidih. Namun, dia tetap berusaha untuk tenang.

“Lo terlalu banyak omong, Gas.” ucap Arsen datar, “Kalau emang lo ngerasa bisa dapetin hati Nala, buktiin. Let’s play fair. Kita lihat nanti siapa yang bakal menang.”

Bagas tersenyum miring, “Jadi sekarang lo udah berani ngaku kalau lo emang suka sama Nala?”

“Iya,” jawab Arsen. “Kenapa? Lo takut bersaing sama gue? Hah?”

“Gue gak takut.”

Bagas lalu menatap Nala. “Nal, lo udah liat sendiri kan? Dia suka lo. Gue tau dia bakalan ngikutin kita ke sini, jadi gue mau lihat respon dia tadi. Gue gak ada niat pengen nyentuh elo tanpa concern, Nal.”

“Cukup!”

Nala sudah habis kesabaran. Dia lantas menepis kasar tangan si mantan pacar begitupun Bagas.

Nala menatap kedua lelaki itu bergantian sebelum bersuara.

“Lo berdua kayak anak kecil tau gak?” Nala lantas memandangi wajah Bagas. “Udah berapa kali sih gue bilang sama lo, Gas? It’s not my problem if he likes me...”

“Dengan lo ngelakuin ini cuma buat ngebuktiin Arsen beneran suka sama gue atau gak tuh biar apa? I don’t care!” tegasnya. “Gue malah ngerasa lo tuh kek orang posesif yang nyoba buat cari tau siapa aja yang lagi suka sama gue atau deketin gue. I don’t like that kind of behavior. Benci banget.”

Nala beralih menatap Arsen. “Lo juga. Udah berapa kali gue bilang supaya lo gak ikut campur? Ha?”

“Lo memperlakukan gue seolah gue ini orang bego yang gak bisa mikir apa yang bakalan bahayain diri gue sendiri.” Nala menatap Arsen dengan raut kecewa. “Apa selama ini gue se-murahan itu ya di mata lo? Lo pikir gue bakalan mau disentuh orang lain gitu aja meski di luar urusan pekerjaan? Gitu kan yang lo pikir dari dulu?”

Nala menatap Arsen dan Bagas bergantian, nampak kedua lelaki itu terdiam dan memikirkan apa yang baru saja mereka lakukan.

“Terserah kalau lo berdua suka sama gue,” Nala menambahkan. “Tapi jangan pernah berharap gue bakalan ngebuka hati gue kalau sikap kalian aja kek gini.”

“Gue gak suka,” final-nya.

Nala mendengus kasar sebelum meninggalkan kedua lelaki itu sekaligus meninggalkan pesta.

“Besok aku yang nganterin kamu ke Rumah Sakit ya,” ujar Daffa.

“Mm,” kata Sean. “Abis ini kamu mau ngapain? Bobo siang juga?”

Daffa senyum ngeliat Sean yang perlahan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, masih sambil megang handphone dan VC-an.

“Iya, besok udah Senin lagi. Aku pengen ngabisin hari Minggu ini dengan tidur,” kekeh Daffa pelan.

“Aku juga,” Sean senyum. “Kalau gitu kamu bobo sekarang gih.”

“Oke,tapi entar kalau kamu yang duluan bangun, telpon aku ya?”

“Iya, Sayang.”

“Kamu juga bobo gih.”

Sean mengangguk. “Sleep well.”

You too,” balas Daffa. “I love you.”

I love you too.”

Deva yang sudah keluar dari kamar Raka dan kini sedang berdiri di depan pintu lantas menunggu Arga juga Danu. Ia sesekali melirik ke arah dimana sang suami juga anak sulungnya itu akan datang nantinya. Sebab, kamar si bungsu dan Danu saling berhadapan. Sampai ketika netra Deva akhirnya telah mendapati presensi Arga serta Danu yang berjalan ke arahnya, Deva pun refleks menghela napas pelan.

“Aku gak denger Danu keluar dari kamarnya loh tadi, Mas.”

“Aku aja kaget pas dia tiba-tiba masuk ke kamar kayak maling,” decak Arga lalu melirik si sulung. “Danu ambil jaket di kamar gih.”

“Iya, Papi.”

Arga juga Deva lantas geleng-geleng kepala sambil menatap si sulung yang bergegas masuk ke kamarnya. Tak lama berselang, Danu pun kembali dengan satu jaket tebal di tangannya. Ia lalu memasang jaket itu meski sedikit bersusah payah di hadapan Deva.

Melihat hal itu, Deva terkekeh. Ia pun berjongkok di hadapan sang anak sebelum bersuara lembut.

“Mau Papa bantuin?”

“Boleh, Papa.”

Sembari mengancingkan jaket tebal yang sebenarnya Arga beli untuk Danu sebagai persiapan sebelum mereka liburan bersama ke Jepang ketika musim dingin, Deva pun kembali angkat bicara.

“Sayang, kalau Ibu Guru ngasih PR atau nyuruh Danu buat bawa sesuatu ke sekolah, diinget ya?”

Deva beralih mencubit pipi Danu sejenak, “Danu dikasih PR gitu karena mau diajarin bertanggung jawab. Biar nanti kalo Danu udah gede, Danu udah terbiasa terus jadi orang yang bisa diandalkan. Biar jadi orang yang hebat juga.”

“Danu tau tanggung jawab gak?” Kini Arga yang menyeletuk lalu ikut berjongkok di sisi kiri Danu.

Danu menggeleng, “Gak, Papi.”

“Tanggung jawab itu kayak gini, Danu kan udah sekolah nih, jadi Danu punya tugas buat belajar atau ngerjain PR. Kayak sekarang ini, Danu disuruh bawa daun…”

“Tanggung jawab Danu ya bawa daun,” timpal Arga. “Kalau Danu bawa, berarti Danu udah jadi anak yang bertanggung jawab dan dapat nilai. Tapi kalau gak bawa, Danu harus siap dihukum.”

Danu meringis, “Danu gak mau dihukum, Papi. Danu anak baik.”

“Iya, Papi tau.” Arga mengusap sayang puncak kepala anaknya. “Gak apa-apa kok kalau Danu kadang lupa sama tugas, Danu juga tetep anak baik, tapi Danu udah tau kan, kalau lupa sama tugas bisa dapat hukuman? Itu akibat gak bertanggung jawab.”

Danu mengangguk. “Danu gak mau lupa tugas lagi kok, Papi.”

“Anak pinter,” Deva mencubit pipi Danu. “Ya udah, Danu ikut sama Papi gih. Keburu malem banget, entar Danu sakit juga loh kek Adek kalau kelamaan di luar.”

“Oke, Papa!”

“Ayo, Sayang.”

Arga pun menuntun si sulung untuk berjalan bersamanya ke taman belakang rumah mereka. Sesampainya mereka di bawah salah satu pohon rindang, Arga lantas berdecak lalu bersuara.

“Untung Papi baik ya, kalau Papi jahat, Papi gak mau keluar rumah malam-malam gini, nyari daun.”

“Kenapa Papi ngomel sih?” Danu yang telah berjongkok sambil memunguti dedaunan kering lantas mendongak. “Ayo, bantu Danu pungut daun. Kata Papa, Danu gak boleh lama di luar.”

Sejenak, Arga melongo. Raut tak percaya menghiasi wajahnya.

“Siapa yang lupa sama PR, siapa yang disuruh pungut daun sih?”

“Tadi Papi bilang mau bantuin Danu, Papi ini gimana sih?” kata Danu dengan mata memicing.

Terkekeh pelan, Arga kemudian duduk di samping anaknya itu sambil memunguti daun seperti yang Danu lakukan. Merasa daun yang dipegangnya sedikit basah, Arga pun geleng-geleng kepala.

“Ini daunnya udah agak basah nih, coba diambilnya tadi sore.” kata Arga. “Emang daunnya mau diapain? Kenapa harus kering?”

“Gak tau Papi, Ibu Guru cuma bilang, anak-anak besok bawa daun kering ya. Kita mau main sambil belajar. Gitu,” kata Danu.

Lagi, Arga dibuat terkekeh akan celotehan Danu. Namun, di saat anaknya itu tiba-tiba bersuara, ia seketika memusatkan atensinya.

“Papi, kenapa daunnya bisa agak basah? Kan hari ini nggak hujan.”

Arga tersenyum, “Air yang bikin daun ini basah namanya embun, Sayang. Kalo pas malam hari kan udara dingin, jadi embun-embun ini bakalan muncul terus bikin rumput sama daun jadi basah.”

“Nanti kalau Danu udah makin gede, Danu bakal diajarin soal embun juga kok di sekolahnya.”

Danu mengangguk, “Papi, kalau daunnya agak basah, berarti ini Danu gak bawa daun yang Ibu guru minta. Kan Ibu Guru minta Danu bawa daun yang kering.”

“Gak apa-apa. Ini daunnya masih bisa Papi keringin pakai tisu kok.” Arga kemudian menunjukkan daun yang telah dipungutnya ke si sulung. “Segini udah cukup?”

“Iya, Papi.”

“Ya udah, ayo kita masuk lagi.”

Arga dan Danu kembali masuk ke dalam rumah. Keduanya berjalan ke dapur lalu mencuci tangannya di wastafel. Setelahnya, Arga pun melapisi dedaunan tadi dengan beberapa helai tisu dalam wadah.

“Daunnya bakalan kering besok,” kata Arga. “Sekarang Danu bobo ya? Takut besok telat bangun.”

“Oke, Papi.”

Arga pun kembali menuntun si sulung ke kamarnya. Namun, sebelum membuka pintu kamar Danu, Arga lebih dulu membuka pintu kamar Raka pelan-pelan. Saat itu pula Arga mendapati Deva tengah duduk bersandar di headboard anak bungsu mereka.

“Kok Papa ada di kamar adek?”

“Ssshh, Danu jangan keras-keras suaranya.” kata Arga, “Entar adek kebangun terus nangis lagi loh.”

Deva pun bangkit dari posisinya lalu menghampiri Arga dan sang anak di depan kamar Raka. Deva mengusap sayang kepala Danu.

“Gimana daun keringnya? Ada?”

“Ada, Papa.”

Danu terlihat berpikir sejenak.

“Papa mau bobo sama Adek?”

Mendengar pertanyaan Danu, Deva pun mengangguk kecil.

“Iya, Sayang. Soalnya Adek lagi sakit. Badannya masih panas, jadi Papa harus di samping Adek buat kompresin badannya Adek nanti.”

Danu mengangguk. “Papa, Danu juga mau ditemenin kayak Adek.”

“Loh, Danu kan udah gede.” sela Arga dengan suara lembutnya. “Kok tiba-tiba mau ditemenin?”

“Danu juga mau dipeluk, Papi.” jawab si sulung. “Malam ini aja.”

Arga dan Deva berbagi tatapan sesaat sebelum melukis senyum.

“Ya udah, kalau gitu Danu bobo sama Papi ya? Biar Papi peluk.”

Danu mengangguk antusias.

“Makasih, Papi.”

“Ya udah, Danu ke kamar Papi sekarang. Nanti Papi nyusul.”

“Oke!”

“Danu, pelan-pelan. Awas jatuh.”

Arga dan Deva hanya geleng-geleng kepala melihat malaikat kecilnya itu berlari meninggalkan area kamarnya sendiri dan Raka. Setelahnya, Deva lantas dibuat mengangkat alis kala Arga tiba-tiba menutup pintu kamar anak bungsu mereka dari luar. Alhasil, kini Arga mengunci pergerakan Deva dengan mengurung Omega cantiknya itu di antara tubuhnya dan pintu kamar anak mereka.

“Waktu kita gak banyak,” bisik Arga sebelum melumat rakus bibir suaminya. Pun Deva yang dengan sigap membalasnya.

Perlahan, ciuman Arga pun turun ke leher jenjang Deva. Bersamaan dengan itu, kedua tangan Arga bergerak cepat membuka tiga kancing teratas baju tidur Deva.

“Ngh… Mas…”

Deva melenguh ketika bibir sang Alpha telah menjajah putingnya. Deva pun refleks bersandar di pintu sambil sesekali menarik helaian rambut hitam si Alpha.

“Mas Arga…” Deva merengek saat merasakan tangan Arga meremas pusat ereksinya. “Katanya cuma mau nen, kok malah diremes?”

Arga menghentikan aksinya lalu mengecup sekilas bibir Deva, masih dengan tangannya yang bergerak nakal di bawah sana.

“Kenapa, Sayang? Sesek ya?”

“Mhm.”

“Besok pagi sambil mandi mau gak, Dev?” bisik Arga seduktif.

“Mau.”

Arga tersenyum sebelum kembali menciumi bibir Deva, namun kali ini dengan ritme yang pelan nan lembut. Usai puas melumat celah ranum suaminya, sang Alpha pun kembali mengancingkan piyama Deva. Ia lalu mengecup kening si Omega sesaat sebelum berucap.

“Makasih buat malam ini Sayang.” Arga beralih mengecup kedua pipi Deva bergantian. “Aku ke kamar sekarang ya. Si bapao pasti udah nungguin aku tuh.”

“Iya, Mas.”

Kini giliran Deva yang mengecup pipi Arga, “Tidur yang nyenyak.”

“Pasti bakalan nyenyak,” sahut Arga diikuti seringai tipis. “Kan besok pagi kita bakalan ngewe.”

“Ish, udah. Mas ke kamar gih.”

Arga tersenyum lembut sebelum berlalu, meninggalkan Deva yang masih berdiri di tempatnya itu sambil memandangi sang Alpha. Meski waktu mereka untuk bisa bercumbu sangat terbatas sejak memiliki dua anak, namun Deva tak pernah merasa kekurangan sentuhan Arga. Suaminya itu selalu punya cara mengajaknya berdua hingga berakhir bercinta.

Nala menghela napas pelan tepat setelah ia membaca chat terakhir Bagas. Nala yang semula duduk di sofa ruang tengah pun bangkit dan berniat untuk segera masuk ke kamarnya. Namun, baru saja beberapa langkah selepas Nala beranjak dari sofa, gawai yang sedang Nala genggam berdering. Saat itu pula Nala pun mendapati nama kontak Arsen terpampang; lawan mainnya itu menelponnya.

“Apa?” tanya Nala tepat setelah ia menjawab panggilan si mantan.

Gue di depan, Nal.” jawab Arsen.

Gue gak mencet bel apartemen lo, soalnya jam segini Gavi udah tidur kan biasanya?” timpalnya. “Takut anaknya kebangun entar.”

Alis Nala berkerut heran. Dia lalu melangkah pelan ke arah pintu utama unit apartemennya, masih dengan gawai di samping telinga.

“Ngapain lo dateng jam segini?”

Ada yang mau gue omongin.”

Tepat setelah Nala mendengar jawaban Arsen, dia kemudian membuka pintunya. Dan benar saja, Arsen telah berdiri tepat di hadapannya. Mereka pun sama-sama memutuskan sambungan telepon lalu memasukkan gawai masing-masing ke saku celana.

“Mau ngomongin apa?”

“Biarin gue masuk dulu kek, Nal.”

Nala hanya menghela napasnya pelan lalu memberi jalan untuk Arsen. Setelahnya, mereka pun berjalan beriringan ke ruang tengah hingga berakhir duduk bersisian di satu sofa panjang.

Are you okay?”

Nala tersenyum tipis. “Soal fans lo yang salty-in konten gue ya?”

“Mm.”

I’m okay,” kata Nala. “Justru gue bisa jadiin itu bahan introspeksi supaya agak nge-rem dikit kalau lagi excited nyeritain sesuatu ke depannya. Biar orang yang gue ajak collab gak terkesan enggak dikasih kesempatan ngomong.”

“Apanya yang mau elo rem sih?” decak Arsen, “You did great, Nal. Gue pribadi enjoy banget ngeliat hasil videonya pas kelar diedit.”

“Gak ada tuh gue ngerasa kalau kesannya lo nggak ngebiarin gue ngomong. Pas take videonya juga kan emang gue yang ngebiarin lo take a lead, gue cuma nambahin.”

“That’s why gue juga langsung accept aja video itu dari editor terus ngasih liat ke lo paginya. Soalnya ya gue ngerasa enggak ada masalah sama sekali di situ.”

“Tapi orang-orang malah mikir kayak gitu. Gue bingung,” lanjut Arsen diikuti helaan napas pelan.

Mata Nala memicing, “Editor? Jadi bukan lo yang ngedit itu?”

“Bukan,” jujur Arsen. “Gue gak ada waktu, schedule kita padet.”

“Berarti yang seharusnya gue cium editornya dong? Bukan lo.”

Arsen menipiskan bibirnya lalu mencubit gemas hidung Nala.

“Kan yang bayar editornya gue, berarti gue yang menggerakkan dia.” Seringai Arsen. “Lagipula… Gue gak bakal pernah ngebiarin siapapun nyium bibir manis lo ini di luar urusan acting, cintaku...”

Arsen mengusap sensual bibir Nala dengan ibu jarinya sambil tersenyum usil, sementara sang empu mendelik tajam sebelum menyingkirkan jemari sang mantan pacar dari bibirnya.

“Udah selesai kan ngomongnya? Sekarang lo pulang, gue ngantuk. Pengen tidur.” kata Nala sambil mendorong pelan tubuh Arsen.

“Gue belum selesai.”

“Apa lagi?” desis Nala.

“Menurut gue, fans gue gak bakal berhenti datengin lo dan ngasih komentar negatif kalau gue gak ngelakuin sesuatu, Nal. Jujur aja gue nggak enak sama lo.” Arsen menatap Nala lamat. “Dari tadi gue kepikiran buat speak up di Twitter, tapi gue pengen dapetin izin lo dulu. Menurut lo gimana?”

Sejenak, Nala terdiam. Dia agak kaget mendengar bagaimana si mantan pacar meminta izinnya dahulu. Padahal, saat mereka masih berpacaran, tidak sekali dua kali Arsen selalu mengambil tindakan sendiri jika menurutnya apa yang akan dia lakukan benar. Entah kenapa hal itu pun tiba-tiba membuat sesuatu di balik dada Nala seketika menghangat.

“Gak perlu,” Nala angkat bicara.

“Mau lo speak up ampe berbusa-busa juga, kalau pada dasarnya mereka gak suka sama gue ya mereka bakalan tetep dateng.”

“Justru kalau elo speak up tuh bakal bikin kita kesannya nyari validasi, Sen. Apalagi timing-nya kan kita masih promoin series.”

“Besok-besok pasti bakal ada lagi yang bikin gosip kalau lo speak up kayak gitu tuh karena disuruh agensi lah, karena kita ketakutan series kita gak bakalan laku lah, yang ujungnya bikin orang-orang nyiptain rumor lain soal kita tau.”

“Main cantik aja,” kata Nala. “Kita cukup nunjukin kalau kita baik-baik aja dan nggak ambil pusing. Masalah kayak gitu sepele. Gak usah dibesar-besarin lagi, Sen.”

“Gue bukan lo yang mau dikenal karena sensasi,” sarkas Nala lalu menahan senyum di sudut bibir. “Enggak usah lah koar sana-sini.”

Arsen menghela napas panjang.

“Tapi lo beneran gak apa-apa?” Arsen meraih tangan Nala lalu menggenggamnya erat. “Video tadi konten pertama lo sejak lo aktif lagi, jadi manusiawi banget kalau lo sedih karena responnya justru dipenuhi hal negatif gara-gara fans gue, Nal. I’m so sorry.”

“Gue beneran gak apa-apa, Sen.” tegas Nala. “Udah, lo pulang gih.”

Arsen mengangguk mantap, tapi bukannya beranjak dari sofa, dia justru menyandarkan punggung di sandaran benda empuk itu.

“Nal, sekarang gue udah ngantuk banget. Takut entar gue malah nabrak di jalan,” Arsen memulai dramanya. “Gue nginep ya? Oke.”

“Gue enggak punya kamar tamu,” kata Nala. “Tempat tidur gue juga sempit, gak kek yang di unit lo.”

“Gak apa-apa, gue tidur sofa aja.”

Nala memutar bola mata malas. Sebab, Arsen tidak memberinya kesempatan untuk menyela lagi. Kini mantan pacarnya itu justru telah berpura-pura tidur di sofa.

“Matiin lampu utama ruang tengah kalo udah mau tidur.”

Nala lalu meninggalkan ruang tengah. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Arsen yang refleks tersenyum. Meski dengan posisi yang sedikit meringkuk karena sofa itu cukup sempit untuk ukuran tubuhnya, Arsen pun tetap mencoba tidur usai mematikan lampu utama di sana. Kini yang tersisa hanya cahaya remang dari lampu hias di sudut ruang tengah apartemen Nala.

Beberapa saat berlalu, Nala yang tadinya juga telah mencoba ’tuk tidur di kamar justru kembali ke ruang tengah. Nala menghampiri Arsen degan selimut di tangan.

Nala kemudian menutupi tubuh si mantan pacar dengan selimut itu. Setelahnya, Nala pun hendak kembali ke kamarnya, tapi suara Arsen lebih dahulu menggema.

“Ngelihat sikap lo ke gue akhir-akhir ini, kayaknya lo udah mulai luluh ya?” gumam Arsen masih dengan matanya yang terpejam.

Nala menoleh. “Mending elo tidur lagi aja deh, biar lo bisa ngelanjutin mimpi indah lo itu.”

Arsen akhirnya membuka mata hingga mendapati Nala masih berdiri di samping sofa. Arsen lalu meraih tangan kiri Nala dan menggenggamnya erat-erat.

Gimme a goodnight kiss, please?

Nala memaksakan senyum manis di bibirnya lalu membungkuk. Ia kemudian menyentil kening sang mantan pacar dengan tangan kanannya hingga sang empu seketika mengerang kesakitan.

“Nal, ini sakit banget tau nggak? Aduh, kayaknya kening gue udah berdarah.” gumam Arsen dengan dramatis. “Apa jangan-jangan ini bisa bikin gue buta ya? Mata gue udah gak bisa ngeliat jelas nih.”

“Gak usah lebay,” decak Nala. “Lepasin tangan gue, sialan.”

“Gue lepasin, tapi tiupin kening gue dulu. Ini perih banget tau.”

Menarik napasnya dalam-dalam, Nala kemudian menatap Arsen malas sebelum mendaratkan kecupan ringan di keningnya.

“Itu kan yang lo mau?”

Arsen menahan senyum. Namun, bukannya melepas tangan Nala, dia justru mengangkat sedikit kepalanya lalu mengecup kilat bibir si mantan diikuti seringai.

“Itu yang gue mau, Nalaku.”

Mendengus kasar, Nala lantas menepis tangan Arsen saat dia merasa genggaman mantannya itu mulai melemah. Buru-buru Nala meninggalkan ruang tengah dengan Arsen yang tersenyum lebar. Tidak jauh berbeda dengan Arsen, Nala yang saat ini telah berbaring terlentang di atas ranjangnya pun tersenyum tipis sebelum memejamkan matanya.

Nala bergegas membuka pintu apartemennya saat bel berbunyi. Saat itu pula dia mendapati sang mantan pacar telah berdiri tepat di hadapannya. Arsen tersenyum cerah sambil menenteng sebuah tas hitam yang Nala yakini berisi laptop. Nala menghela napasnya pasrah. Dia teringat chat Arsen semalam tentang video reaction.

Morning, love.”

“Gue kan udah bilang, gak usah.” Nala berdecak, “Pulang deh lo.”

“Kok pulang sih? Kan abis ini kita juga mau ke lokasi syuting reality show bareng,” Arsen tersenyum.

“Gandi udah jalan ke sini.”

“Ya udah, kalau gitu kita ciuman sekarang aja, Nal. Gimana?” goda Arsen sambil perlahan mengikis jarak wajahnya dengan Nala, tapi Nala dengan sigap menoyornya.

“Jangan macem-macem lo.”

Arsen terkekeh. Dia kemudian menyodorkan tas tentengnya.

“Nih. Coba liat dulu.”

Nala pun meraih tas itu sebelum memberi jalan kepada Arsen agar masuk ke dalam unitnya. Mereka lantas melangkah beriringan ke arah ruang tengah dengan Arsen yang tiba-tiba saja menyeletuk.

“Ada makanan gak, Nal?”

“Ada, sisa bekel Gavi tadi.” sahut Nala. “Apa? Mau minta makan?”

“Iya, apa lo aja yang gue makan?”

Nala memutar bola matanya, “Ya udah, ikut gue ke dapur buruan.”

Keduanya kemudian berjalan ke dapur yang bersebelahan dengan meja makan. Di atas meja itu pula Nala meletakkan tas Arsen yang dia bawa. Setelahnya, Nala lantas mengambil sarapan untuk Arsen.

Arsen pun tak mampu menahan senyum lembutnya melihat Nala menyiapkan sarapan untuknya di atas meja. Meski hanya ada tiga potong sandwich dan air putih, namun Arsen seketika merasa dejavu. Dia teringat saat mereka masih berpacaran dimana Nala kerap melakukan hal itu dulu.

“Anggap aja ini bayaran karena lo udah ngedit video itu,” kata Nala. “Lagian entar lo juga bakal dapet jatah profit dari adsense gue loh.”

Arsen yang telah duduk di salah satu kursi pun meraih sandwich lalu melahapnya sambil menatap lamat wajah Nala diikuti seringai.

“Gak bisa gitu dong, cintaku. Kan gue pengen dicium, bukan digaji.”

“Brengsek,” gumam Nala. “Udah, lo makan buruan. Abis itu cuci piring. Gue mau liat videonya.”

Arsen mengangguk lalu menarik satu kursi di sampingnya. Nala kemudian duduk di sana sebelum mulai menyalakan laptop hingga Arsen memberitahunya dimana lokasi file video reaction berada.

Selagi Arsen sedang melanjutkan sarapannya, atensi Nala seketika terfokus pada layar di depannya. Sesekali dia tersenyum tipis kala melihat hasil video reaction itu.

“Kenapa gak dilihat sampai abis?” tanya Arsen saat melihat Nala berhenti menonton video itu.

“Entar aja pas pulang, gue mau bersih-bersih dapur dulu. Takut Gandi keburu dateng terus gue malah gak siap,” Nala menunjuk piring di depan Arsen. “Jangan lupa cuci piring lo, yang bersih.”

“Iya, cintaku.”

Nala mengerutkan hidungnya geli sebelum berdiri dari kursi. Pun Arsen yang kini mengangkat piring dan gelas bekasnya. Arsen kemudian mengekori Nala yang berjalan ke counter table dapur. Tidak jauh dari meja itu terdapat wastafel untuk mencuci piring.

Saat Nala sibuk membersihkan meja juga merapikan peralatan masaknya, dia justru tiba-tiba dibuat heran saat mendengar suara musik menggema. Nala kemudian menoleh hingga dia mendapati bahwa handphone Arsen lah sumber dari suara itu.

“Lo ngapain sih?”

“Katanya bersih-bersih sambil dengerin musik bisa bikin mood jadi lebih baik,” Arsen tersenyum, sedang Nala menggeleng pelan.

“Lo tau lagu ini gak, Nal?”

Nala yang kembali sibuk dengan meja konter menggeleng tanpa menoleh ke Arsen. “Lagu indie?”

“Mm,” gumam Arsen pelan sambil mencuci piring pada wastafel di sisi yang berlawanan dari Nala. Mereka saling membelakangi.

“Gue udah jarang denger musik indie sejak putus sama lo,” kata Nala. “Apalagi lagu-lagu yang dulu selalu kita dengerin bareng.”

“Lo bakal dengerin lagu-lagu itu lagi mulai sekarang,” kata Arsen yang membuat Nala menoleh ke arah wastafel sambil tersenyum meledek padanya. Arsen sendiri telah selesai dengan agenda cuci piringnya dan kini sibuk menatap Nala sambil melipat lengannya.

“Tapi gue gak mau denger,” kata Nala sambil menutup telinganya dengan kedua tangan. Arsen pun terkekeh pelan lalu menghampiri si mantan pacar, masih dengan musik yang mengalun dari gawai yang Arsen letakkan di atas meja.

Arsen lalu menarik tangan Nala agar terlepas dari telinganya. Dia kemudian beralih menggenggam kedua tangan Nala dengan posisi mereka yang berhadap-hadapan.

“Apa?” Nala mengangkat alisnya.

“Lagu ini cocok buat dansa,” kata Arsen sambil perlahan bergerak ke sisi kiri dan ke kanan sambil menggenggam tangan Nala. Pun Nala yang mengikuti langkahnya.

“Mana ada sih dansa kayak gini?” kekeh Nala. “Makanya dulu kalau ada kelas seni tuh jangan molor.”

Teach me then, love.”

Nala mendengus lalu menuntun tangan Arsen agar melingkari pinggangnya. Setelahnya, giliran Nala yang melingkarkan kedua lengannya di tengkuk si mantan.

We’ll meet again

if we’re meant to be

Like destiny, eventually

You can go ahead,

if we’re meant to be

We will repeat inevitably,

eventually

Kedua anak manusia itu pun kembali berdansa mengikuti alunan musik R&B Soul lagu berjudul Eventually. Arsen dan Nala lantas tenggelam dalam netra satu sama lain hingga tanpa sadar lagu telah berakhir.

Alhasil, Arsen yang tadi memutar lagu itu melalui playlist acak pun tak bisa memprediksi bahwa lagu berikutnya yang akan terputar adalah lagu Kill This Love dari BLACKPINK. Sontak dia dan Nala tersentak dengan mata melotot sebelum sama-sama tergelak.

“Kenapa jadi pindah genre sih?”

“Gak apa-apa,” kekeh Arsen. “Ini playlist gue pengen kita joget.”

Nala pun kembali tertawa saat Arsen beralih menggerakkan bahunya tanpa melepaskan tautannya dengan pinggang Nala. Pinggul Arsen bahkan ikut bergerak-gerak meskipun sedikit kaku. Hal itu pula yang membuat tawa Nala tidak ada habisnya.

“Sen, udah. Gue sakit perut.”

Arsen terkekeh melihat sudut mata Nala telah berair karena tawa. Arsen lantas menyekanya dengan ibu jari sebelum kembali memeluk pinggang Nala sembari menatap lurus ke mata indahnya.

Keduanya terdiam. Seolah frasa kini mampu disampaikan melalui tatapan mata saja. Baik itu Arsen maupun Nala kemudian perlahan mengikis jarak wajah mereka.

Dan dalam hitungan detik, Arsen dan Nala telah mempertemukan belahan bibir mereka. Keduanya berbagi ciuman lembut yang tak mengedepankan nafsu belaka, melainkan rasa saling mengerti.

Merasa cukup dengan pagutan lembut mereka, Arsen kemudian mengangkat tubuh Nala hingga terduduk di atas counter table. Pada saat itu pula Arsen dan Nala saling berbagi lumatan kasar nan tergesa. Sontak hal itu membuat nafas keduanya menjadi berat.

Di tengah-tengah ciuman panas mereka, suara bel dari arah pintu apartemen menggema. Saat itu pula Arsen dan Nala seketika melepaskan tautan bibir mereka.

“Gandi kayaknya udah dateng,” tebak Nala. “Lo ke depan gih.”

“Oke,” kata Arsen lalu mengecup singkat bibir Nala. “Thanks for the kisses. Bilang aja kalau mau dibantu ngedit video lagi, Nal.”

Nala hanya mendengus pelan sambil memerhatikan Arsen yang kini berjalan meninggalkan ruang dapur. Nala lalu turun dari meja counter dengan senyum tipis yang merekah di garis bibirnya.