Daun
Deva yang sudah keluar dari kamar Raka dan kini sedang berdiri di depan pintu lantas menunggu Arga juga Danu. Ia sesekali melirik ke arah dimana sang suami juga anak sulungnya itu akan datang nantinya. Sebab, kamar si bungsu dan Danu saling berhadapan. Sampai ketika netra Deva akhirnya telah mendapati presensi Arga serta Danu yang berjalan ke arahnya, Deva pun refleks menghela napas pelan.
“Aku gak denger Danu keluar dari kamarnya loh tadi, Mas.”
“Aku aja kaget pas dia tiba-tiba masuk ke kamar kayak maling,” decak Arga lalu melirik si sulung. “Danu ambil jaket di kamar gih.”
“Iya, Papi.”
Arga juga Deva lantas geleng-geleng kepala sambil menatap si sulung yang bergegas masuk ke kamarnya. Tak lama berselang, Danu pun kembali dengan satu jaket tebal di tangannya. Ia lalu memasang jaket itu meski sedikit bersusah payah di hadapan Deva.
Melihat hal itu, Deva terkekeh. Ia pun berjongkok di hadapan sang anak sebelum bersuara lembut.
“Mau Papa bantuin?”
“Boleh, Papa.”
Sembari mengancingkan jaket tebal yang sebenarnya Arga beli untuk Danu sebagai persiapan sebelum mereka liburan bersama ke Jepang ketika musim dingin, Deva pun kembali angkat bicara.
“Sayang, kalau Ibu Guru ngasih PR atau nyuruh Danu buat bawa sesuatu ke sekolah, diinget ya?”
Deva beralih mencubit pipi Danu sejenak, “Danu dikasih PR gitu karena mau diajarin bertanggung jawab. Biar nanti kalo Danu udah gede, Danu udah terbiasa terus jadi orang yang bisa diandalkan. Biar jadi orang yang hebat juga.”
“Danu tau tanggung jawab gak?” Kini Arga yang menyeletuk lalu ikut berjongkok di sisi kiri Danu.
Danu menggeleng, “Gak, Papi.”
“Tanggung jawab itu kayak gini, Danu kan udah sekolah nih, jadi Danu punya tugas buat belajar atau ngerjain PR. Kayak sekarang ini, Danu disuruh bawa daun…”
“Tanggung jawab Danu ya bawa daun,” timpal Arga. “Kalau Danu bawa, berarti Danu udah jadi anak yang bertanggung jawab dan dapat nilai. Tapi kalau gak bawa, Danu harus siap dihukum.”
Danu meringis, “Danu gak mau dihukum, Papi. Danu anak baik.”
“Iya, Papi tau.” Arga mengusap sayang puncak kepala anaknya. “Gak apa-apa kok kalau Danu kadang lupa sama tugas, Danu juga tetep anak baik, tapi Danu udah tau kan, kalau lupa sama tugas bisa dapat hukuman? Itu akibat gak bertanggung jawab.”
Danu mengangguk. “Danu gak mau lupa tugas lagi kok, Papi.”
“Anak pinter,” Deva mencubit pipi Danu. “Ya udah, Danu ikut sama Papi gih. Keburu malem banget, entar Danu sakit juga loh kek Adek kalau kelamaan di luar.”
“Oke, Papa!”
“Ayo, Sayang.”
Arga pun menuntun si sulung untuk berjalan bersamanya ke taman belakang rumah mereka. Sesampainya mereka di bawah salah satu pohon rindang, Arga lantas berdecak lalu bersuara.
“Untung Papi baik ya, kalau Papi jahat, Papi gak mau keluar rumah malam-malam gini, nyari daun.”
“Kenapa Papi ngomel sih?” Danu yang telah berjongkok sambil memunguti dedaunan kering lantas mendongak. “Ayo, bantu Danu pungut daun. Kata Papa, Danu gak boleh lama di luar.”
Sejenak, Arga melongo. Raut tak percaya menghiasi wajahnya.
“Siapa yang lupa sama PR, siapa yang disuruh pungut daun sih?”
“Tadi Papi bilang mau bantuin Danu, Papi ini gimana sih?” kata Danu dengan mata memicing.
Terkekeh pelan, Arga kemudian duduk di samping anaknya itu sambil memunguti daun seperti yang Danu lakukan. Merasa daun yang dipegangnya sedikit basah, Arga pun geleng-geleng kepala.
“Ini daunnya udah agak basah nih, coba diambilnya tadi sore.” kata Arga. “Emang daunnya mau diapain? Kenapa harus kering?”
“Gak tau Papi, Ibu Guru cuma bilang, anak-anak besok bawa daun kering ya. Kita mau main sambil belajar. Gitu,” kata Danu.
Lagi, Arga dibuat terkekeh akan celotehan Danu. Namun, di saat anaknya itu tiba-tiba bersuara, ia seketika memusatkan atensinya.
“Papi, kenapa daunnya bisa agak basah? Kan hari ini nggak hujan.”
Arga tersenyum, “Air yang bikin daun ini basah namanya embun, Sayang. Kalo pas malam hari kan udara dingin, jadi embun-embun ini bakalan muncul terus bikin rumput sama daun jadi basah.”
“Nanti kalau Danu udah makin gede, Danu bakal diajarin soal embun juga kok di sekolahnya.”
Danu mengangguk, “Papi, kalau daunnya agak basah, berarti ini Danu gak bawa daun yang Ibu guru minta. Kan Ibu Guru minta Danu bawa daun yang kering.”
“Gak apa-apa. Ini daunnya masih bisa Papi keringin pakai tisu kok.” Arga kemudian menunjukkan daun yang telah dipungutnya ke si sulung. “Segini udah cukup?”
“Iya, Papi.”
“Ya udah, ayo kita masuk lagi.”
Arga dan Danu kembali masuk ke dalam rumah. Keduanya berjalan ke dapur lalu mencuci tangannya di wastafel. Setelahnya, Arga pun melapisi dedaunan tadi dengan beberapa helai tisu dalam wadah.
“Daunnya bakalan kering besok,” kata Arga. “Sekarang Danu bobo ya? Takut besok telat bangun.”
“Oke, Papi.”
Arga pun kembali menuntun si sulung ke kamarnya. Namun, sebelum membuka pintu kamar Danu, Arga lebih dulu membuka pintu kamar Raka pelan-pelan. Saat itu pula Arga mendapati Deva tengah duduk bersandar di headboard anak bungsu mereka.
“Kok Papa ada di kamar adek?”
“Ssshh, Danu jangan keras-keras suaranya.” kata Arga, “Entar adek kebangun terus nangis lagi loh.”
Deva pun bangkit dari posisinya lalu menghampiri Arga dan sang anak di depan kamar Raka. Deva mengusap sayang kepala Danu.
“Gimana daun keringnya? Ada?”
“Ada, Papa.”
Danu terlihat berpikir sejenak.
“Papa mau bobo sama Adek?”
Mendengar pertanyaan Danu, Deva pun mengangguk kecil.
“Iya, Sayang. Soalnya Adek lagi sakit. Badannya masih panas, jadi Papa harus di samping Adek buat kompresin badannya Adek nanti.”
Danu mengangguk. “Papa, Danu juga mau ditemenin kayak Adek.”
“Loh, Danu kan udah gede.” sela Arga dengan suara lembutnya. “Kok tiba-tiba mau ditemenin?”
“Danu juga mau dipeluk, Papi.” jawab si sulung. “Malam ini aja.”
Arga dan Deva berbagi tatapan sesaat sebelum melukis senyum.
“Ya udah, kalau gitu Danu bobo sama Papi ya? Biar Papi peluk.”
Danu mengangguk antusias.
“Makasih, Papi.”
“Ya udah, Danu ke kamar Papi sekarang. Nanti Papi nyusul.”
“Oke!”
“Danu, pelan-pelan. Awas jatuh.”
Arga dan Deva hanya geleng-geleng kepala melihat malaikat kecilnya itu berlari meninggalkan area kamarnya sendiri dan Raka. Setelahnya, Deva lantas dibuat mengangkat alis kala Arga tiba-tiba menutup pintu kamar anak bungsu mereka dari luar. Alhasil, kini Arga mengunci pergerakan Deva dengan mengurung Omega cantiknya itu di antara tubuhnya dan pintu kamar anak mereka.
“Waktu kita gak banyak,” bisik Arga sebelum melumat rakus bibir suaminya. Pun Deva yang dengan sigap membalasnya.
Perlahan, ciuman Arga pun turun ke leher jenjang Deva. Bersamaan dengan itu, kedua tangan Arga bergerak cepat membuka tiga kancing teratas baju tidur Deva.
“Ngh… Mas…”
Deva melenguh ketika bibir sang Alpha telah menjajah putingnya. Deva pun refleks bersandar di pintu sambil sesekali menarik helaian rambut hitam si Alpha.
“Mas Arga…” Deva merengek saat merasakan tangan Arga meremas pusat ereksinya. “Katanya cuma mau nen, kok malah diremes?”
Arga menghentikan aksinya lalu mengecup sekilas bibir Deva, masih dengan tangannya yang bergerak nakal di bawah sana.
“Kenapa, Sayang? Sesek ya?”
“Mhm.”
“Besok pagi sambil mandi mau gak, Dev?” bisik Arga seduktif.
“Mau.”
Arga tersenyum sebelum kembali menciumi bibir Deva, namun kali ini dengan ritme yang pelan nan lembut. Usai puas melumat celah ranum suaminya, sang Alpha pun kembali mengancingkan piyama Deva. Ia lalu mengecup kening si Omega sesaat sebelum berucap.
“Makasih buat malam ini Sayang.” Arga beralih mengecup kedua pipi Deva bergantian. “Aku ke kamar sekarang ya. Si bapao pasti udah nungguin aku tuh.”
“Iya, Mas.”
Kini giliran Deva yang mengecup pipi Arga, “Tidur yang nyenyak.”
“Pasti bakalan nyenyak,” sahut Arga diikuti seringai tipis. “Kan besok pagi kita bakalan ngewe.”
“Ish, udah. Mas ke kamar gih.”
Arga tersenyum lembut sebelum berlalu, meninggalkan Deva yang masih berdiri di tempatnya itu sambil memandangi sang Alpha. Meski waktu mereka untuk bisa bercumbu sangat terbatas sejak memiliki dua anak, namun Deva tak pernah merasa kekurangan sentuhan Arga. Suaminya itu selalu punya cara mengajaknya berdua hingga berakhir bercinta.