Suspected
Arsen dan Gandi yang sudah tiba di depan pintu unit apartemen Nala lantas menekan bel. Sampai gak lama berselang, sang pemilik unit lantas datang lalu membuka pintunya. Namun, tepat setelah Nala dan Arsen bertukar tatapan selama beberapa detik saja, Nala tiba-tiba menampar keras pipi kiri Arsen. Sontak Gandi terkejut, pun Arsen yang hanya bisa diam.
“Masih berani lo datang ke sini, Sen?” Nala lalu mencengkeram kerah baju Arsen. Meski Gandi mencoba menghentikannya, tapi Nala yang sudah tersulut emosi tak mampu Gandi hentikan lagi.
“Ini yang sore tadi lo bilang mau nunjukin ke Bagas kalau gue itu milik lo dengan cara dewasa ha?” Nala tersenyum miring dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Nal, dengerin gue dulu.”
“Apa? Lo mau bilang apa?” suara Nala kian meninggi. Gandi yang takut jika Gavi mendengar sang Papa berteriak pun buru-buru menutup pintu unit itu dari luar.
“Nal, biarin Arsen ngomong dulu. Kalian ngomongnya pelan-pelan. Pake kepala dingin,” saran Gandi. “Ayo kita masuk dulu. Biar nanti gue yang awasin Gavi di kamar.”
Nala kemudian melepas tautan jemarinya dari kerah baju Arsen. Seperti saran Gandi tadi, Arsen, Nala juga Gandi pun masuk ke unit Nala. Gandi sendiri buru-buru menghampiri Gavi di dalam kamar, sedang Arsen dan Nala berdiri di belakang pintu unit itu sambil berdiri saling berhadapan.
“Apa yang harus gue dengerin sih dari lo?” Nala tertawa hambar.
“Lo gak usah ngelak, Sen. Selain Mas Tristan, cuma elo yang tau kalau gue gak pernah ngasih dia nafkah batin.” lirih Nala. “Gandi, bahkan Mama gue sendiri gak pernah gue kasih tau soal ini.”
“Dan lo selalu gini. Lo bakalan ngelakuin apa aja buat muasin sifat posesif lo itu. Lo tuh gak pernah berubah,” air mata Nala tidak mampu terbendung lagi.
“Dulu lo gak peduli gimana gue kepengen banget dapet peran pertama gue cuma karena elo gak suka gue buka baju, terus sekarang, lo juga nggak peduli gimana gue bangkit lagi cuma supaya lo bisa buktiin kalau lo punya hubungan spesial sama gue di masa lalu ke Bagas kan?”
“Ini kan yang lo mau sejak awal? Lo mau bilang ini ke Bagas sejak di depan club. Lo tuh gak suka siapapun deketin gue,” kata Nala.
“Nal…” bibir Arsen bergetar. Dia menahan tangisnya. “Padahal lo bisa berpikir kalau seseorang di balik semua ini mungkin Tristan, karena cuma gue sama dia yang tau fakta ini. Tapi lo nuduh gue?”
“Apa gue emang selalu se-jahat itu di mata lo, Nal?” timpalnya.
“Lo gak usah jadiin Mas Tristan kambing hitam, Sen.” lagi, Nala tersenyum miring sebelum dia mendorong dada Arsen. “Lo lupa pas gue bilang kalau Mas Tristan gak tau lo itu mantan gue? Ha?”
“Terus gimana kalau ternyata dia udah tau, Nal?” Arsen kembali mendekatkan tubuhnya dengan Nala setelah tadi dia terdorong.
“Atau gimana kalau sebenarnya dia udah tau sebelum dia pergi, tapi dia gak pernah bilang ke lo.” lanjutnya, “Lo bisa berpikir kayak gitu andai aja lo gak selalu punya pikiran kalau gue egois dan jahat karena sifat posesif gue sama lo.”
Kini air mata Arsen pun tumpah.
“Apa yang gue bilang kalau gue bakal nunjukin ke Bagas elo itu milik gue dengan cara dewasa bukan kayak gini, Nal.” katanya.
“Cara yang gue maksud itu gue bertekad buat berusaha lebih keras lagi supaya lo yakin mau balikan sama gue. Karena gue ngerasa lo juga masih sayang gue. Lo cuma belum yakin karna takut kita saling nyakitin lagi.”
“Gue pengen kencengin usaha gue ngeyakinin lo biar gue bisa bilang ke Bagas supaya jangan deketin lo lagi sebagai pacar lo.”
Arsen tersenyum hambar. “Tapi kayaknya gue salah udah mikir kayak gitu. Karena mau sekeras apapun usaha gue biar lo yakin sama gue, tapi kalau di hati lo udah tertanam stigma kalau gue jahat, lo gak bakalan bisa yakin.”
“Sama kayak yang lo bilang ke gue tentang fans, mau gimana pun kita ngomong, kalau mereka udah benci kita dari sananya, ya mereka bakal tetep nggak suka.”
“Gitu juga sama gue, Nal. Mau gimana pun usaha gue, lo bakal tetep benci kan sama gue?” kata Arsen lalu buang muka sejenak.
Ketika Arsen akhirnya kembali menatap Nala, dia pun berkata.
“If that’s the case, oke. Gue bakal speak up ke orang-orang supaya mereka tau betapa jahatnya gue.”
Arsen memaksakan senyumnya. “Semoga dengan gue ngomong kayak gitu juga, kesalahan gue di masa lalu udah terbayar ya, Nal.”
“Jaga diri lo,” ucap Arsen sebelum berbalik dan meninggalkan Nala yang seketika jatuh hingga duduk bersimpuh di belakang pintunya diikuti isak tangis yang amat pilu.