Culprit

Alis Nala saling bertautan ketika bel apartemennya menggema. Padahal, baru sekitar sepuluh menit sejak Gandi membalas pesannya tadi. Cepat juga, pikir Nala lalu buru-buru membuka pintu. Namun, tepat setelah dia membuka pintu, Nala seketika menahan napas. Kakinya lemas.

Pasalnya, bukan Gandi yang kini berdiri di hadapannya melainkan Tristan. Suaminya itu tersenyum tipis dengan sorot mata dingin.

“Ngapain kamu di sini, Mas?”

“Kamu bahkan gak seneng lihat aku kembali, Nal.” kata Tristan. “Kenapa? Kamu takut aku bakal ngerusak hubungan kamu sama mantan kesayangan kamu itu?”

Rahang Nala mengeras. “Untuk apa juga aku seneng lihat orang yang udah ninggalin aku sama anak aku kembali lagi sih, Mas?”

“Sekarang kamu mau apa?” tanya Nala, “Kenapa kamu balik lagi?”

“Kemarin malam kamu bilang di Twitter kalau kamu mau ketemu sama orang yang udah ngasih tau masa lalu kamu ke akun gosip itu kan?” seringai Tristan, sementara tangan Nala refleks mengepal.

“Aku orangnya,” jelas Tristan.

“Aku enggak nyangka kamu bisa sejahat ini, Mas.” Nala menatap Tristan tidak percaya. “Padahal, sejak awal, kamu sendiri yang udah setuju buat nunggu sampai aku bisa buka hati aku ke kamu.”

“Terus apa bedanya sama kamu, hah?” balas Tristan. “Jangankan belajar buat buka hati ke aku, di dalam tidur kamu aja, kamu tuh masih nyebut nama Arsen, Nal!”

Nala tercekat. Sekarang dia bisa paham kenapa Tristan tau kalau Arsen adalah mantan pacarnya.

“Tapi aku cuma diam. Aku selalu percaya kalau kamu bakal buka hati buat aku suatu saat nanti,” Tristan tersenyum miring. “Tapi apa? Pas kamu tau kalau Arsen bakal digantiin di series ‘Pulang’ dulu, kamu rela ngelakuin apa aja buat dapetin perannya. Kamu bahkan nggak menghargai aku sebagai suami kamu demi dia.”

“Padahal kamu juga bilang kalau kamu mau nyoba buka hati, tapi buktinya? Kamu masih gak mau lepas dari dia. Kami masih aja mikirin Arsen,” timpal Tristan.

“Aku juga punya hati, Nal...” lirih Tristan, “Aku sayang sama kamu.”

“Kalau kamu sayang sama aku, kamu nggak bakal ninggalin aku gitu aja.” sahut Nala. “Sekarang, tolong kamu pergi dari sini, Mas.”

“Aku bakal pergi, tapi setelah aku ngambil Gavi. Aku mau nuntut hak aku sebagai orang tuanya.”

“Nuntut kata kamu?” mulut Nala setengah menganga, “Kamu mau nuntut anak yang udah kamu tinggalin, Mas? Gak akan bisa.”

“Kenapa gak bisa?” Tristan maju satu langkah. “Aku bisa ngambil Gavi sekarang juga dari kamu.”

“Kamu pikir aku gak tahu, kalau kamu ngadopsi Gavi cuma buat pisah kamar dari aku?” Tristan mendengus. “Kalau kamu pikir aku bukan orang tua yang baik, kamu juga sama nggak baiknya.”

“Terserah kamu bilang apa, tapi aku gak bakalan ngebiarin kamu ngambil anak aku, Mas Tristan.”

Nala kemudian hendak menutup pintunya, tapi Tristan bersikeras mendorong dan berusaha untuk masuk. Saat itu pula Nala lantas berusaha menahan daun pintu agar bisa tertutup sambil meraih gawainya. Di sana, Nala buru-buru menelpon kontak yang ada di bagian paling atas room chat. Kontak itu tak lain adalah Arsen.

“Sen, angkat telpon gue…” lirih Nala yang saat ini sudah nyaris kehabisan tenaga tuk menahan pintu. Pasalnya, seharian ini dia tak pernah makan karena stress.

Persekian detik berikutnya, Nala nyaris terjatuh ke lantai. Sebab, Tristan menendang kuat pintu unitnya hingga Nala terpental.

“Pergi kamu, Mas!”

“Mana Gavi?”

“Gavi gak ada!”

“Jangan bohongin aku, Nal.”

“Aku bilang Gavi gak ada!” teriak Nala sambil memasukkan gawai ke saku celana trainingnya tanpa memutus sambungan teleponnya tadi dengan Arsen. Dia kemudian menahan lengan Tristan yang berusaha mencari Gavi di dalam unit apartemennya. “Stop, Mas!”

Langkah Tristan pun terhenti di ruang tengah. Dia kemudian berbalik dan menatap lurus ke dalam mata Nala diikuti seringai.

“Oke. Kalau Gavi emang gak ada, aku mau ngambil yang lain dari kamu.” kata Tristan lalu menarik lengan Nala ke arah sofa. Meski sempat berontak, Nala yang kini telah lemas tak mampu berkutik.

“Mas, lepasin aku!”

Nala berusaha untuk berteriak saat Tristan membuat tubuhnya terlentang di atas sofa panjang. Tristan kemudian mengungkung Nala sambil mencoba menciumi bibir suaminya itu. Nala dibuat takut hingga seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan untuk berteriak pun Nala sudah tidak sanggup.

“Mas, jangan…”

“Kenapa? Hm?” bisik Tristan lalu mengecup sensual leher Nala. “Kamu cuma pengen disentuh sama mantan kamu itu, Nal?”

Nala menggeleng saat Tristan kembali menjilat lehernya. Saat itu pula air mata Nala menetes.

Isak tangis Nala kemudian mulai terbebas ketika Tristan mencoba membuka celananya. Nala pun menendang perut Tristan dan hendak bangkit dari sofa lalu kabur dari sana. Sayangnya, sang suami lebih gesit. Tristan lalu menahan Nala dan menampar keras pipinya hingga sang empu terjatuh di atas sofa. Nala terisak.

“Bunuh aku aja, Mas! Bunuh aku!”

Nala berteriak, namun Tristan kembali menamparnya. Kali ini, pipi kiri Nala yang jadi sasaran.

Setelahnya, Tristan kemudian membungkuk hingga wajahnya dan Nala yang duduk tepat di hadapannya sejajar. Tristan pun mencengkeram kedua pipi Nala dengan kedua tangan kekarnya.

“Kamu pikir aku bakal bahagia kalau ngeliat kamu mati, Nal?” lirih Tristan. “Kamu gak boleh mati. Kamu harus bales aku.”

Tristan memiringkan wajahnya lalu menciumi bibir Nala, tapi baru saja beberapa detik sejak dia melumat celah ranum sang suami, seseorang justru tiba-tiba menarik kerah baju Tristan dari belakang. Bagai kecepatan kilat, Tristan pun dibuat berbalik lalu dihantam pukulan yang sangat keras di pipi kanannya. Saat itu pula Tristan mendapati bahwa Arsen yang kini menghajarnya.

“Brengsek!”

Arsen berteriak lalu kembali memukuli wajah Tristan berkali-kali hingga lelaki itu terjatuh di atas lantai. Namun, seolah tidak puas membuat wajah suami Nala itu luka-luka, Arsen melanjutkan pukulannya sambil duduk di atas perut Tristan. Nala pun berusaha menghentikan Arsen mendapati Tristan sudah tak bisa bergerak.

“Sen, udah! Gue mohon.”

Arsen seolah tuli. Satu-satunya objek yang bisa dia dengar dan lihat hanya Tristan di bawahnya.

“Gue udah ngerelain Nala buat lo, tapi lo malah bikin dia kayak gini, brengsek!” kata Arsen masih sambil menghajar habis Tristan.

“Arsen! Udah!”

Nala ikut berteriak diikuti tangis sambil memeluk lengan Arsen. Saat itu pula Arsen menoleh ke Nala dengan napas terengah.

“Kalau lo masih pengen mukulin orang, pukul gue aja.” kata Nala.

Setelahnya, Nala lantas beralih menatap Tristan yang nampak tidak sadarkan diri. Nala lalu beralih menggoyang-goyangkan badan suaminya itu dengan mencengkeram erat bahunya.

“Mas, bangun. Mas Tristan.”

Sementara itu, Arsen yang kini telah bangkit dan berdiri di samping Nala pun memerhatikan bagaimana Nala masih khawatir melihat suaminya. Sampai saat Nala mendongak padanya, Arsen seketika menahan napasnya.

“Sen, bantuin gue bawa Mas Tristan ke rumah sakit. Ya?”