Pergi

“Mas?”

Nala memanggil Tristan yang melenguh pelan. Suaminya itu masih terbaring di atas ranjang ruang IGD Rumah Sakit dengan luka lebam menghiasi wajahnya.

“Aku di mana?”

“Kamu di rumah sakit,” kata Nala.

“Arsen mukulnya jago juga ya,” Tristan hendak tersenyum, tapi rasa sakit di ujung bibirnya justru membuat dia mendesis pelan.

“Tadi aku pingsan?” tanyanya.

Nala mengangguk. “Aku tau sekarang bukan waktu yang tepat buat ngobrol sama kamu.”

“Apalagi dengan kondisi wajah kamu yang udah bonyok kayak gitu,” timpalnya. “Tapi aku mau bilang, kalau aku gak akan biarin kamu ngambil Gavi dari aku…”

“Aku mohon, Mas.” lirih Nala.

“Meskipun awalnya aku adopsi Gavi karena gak nyaman satu kamar sama kamu, tapi aku tuh bener-bener sayang sama anak aku, Mas.” mata Nala berkaca-kaca. “Aku gak bakal ngelarang kamu kok buat ketemu Gavi.”

“Aku cuma mohon, jangan ambil dia. Gavi satu-satunya yang aku punya. Gavi berharga buat aku.”

“Aku tau,” jawab Tristan sambil menatap kosong wajah Nala.

“Dan karena aku tau kalau Gavi berharga banget buat kamu… Makanya aku pengen ngambil dia dengan harapan kamu semakin benci sama aku terus laporin aku ke polisi.” mata Tristan berkaca-kaca. “Tapi, bahkan di saat aku terluka setelah nyoba buat lakuin hal nggak senonoh, kamu malah bawa aku ke sini. Rumah Sakit.”

“Maksud kamu apa, Mas?” Nala tidak mengerti ucapan Tristan.

“Aku tersiksa, Nal.” lirih Tristan.

“Aku pikir, dengan aku pergi dan bawa lari uang kamu bakal bikin aku ngerasa puas atas rasa sakit yang udah kamu kasih ke aku…”

“Tapi ternyata aku salah. Aku justru tersiksa tiap kali ngeliat wajah kamu. Apalagi waktu itu kamu gak ngelakuin apa-apa buat nyari aku atau menuntut uang kamu kembali. Kamu gak mau ngelaporin aku ke polisi.”

“Aku yang harusnya seneng dan puas ngeliat kamu musti mulai karir dari nol lagi justru ngerasa bersalah,” Tristan menatap lurus netra legam Nala. “Jadi kemarin, aku ngasih tau masa lalu kamu sama Arsen ke akun gosip itu dengan harapan kamu semakin benci sama aku dan nyari aku.”

“Tapi sampai detik ini pun, aku justru makin ngerasa bersalah.”

Air mata Tristan menetes. “Aku benci kamu karena gak pernah ngehargain usaha aku supaya kamu bisa buka hati ke aku, tapi aku juga sayang kamu banget sampai-sampai aku selalu aja ngerasa bersalah karena udah ninggalin kamu kayak waktu itu.”

Nala tersenyum tipis lalu meraih tangan Tristan. Ia menggenggam tangan suaminya lalu bersuara.

“Karena kamu orang baik, Mas. Aku tau kamu orang baik,” kata Nala. “Kamu cuma nyoba buat jadi orang jahat dengan harapan sakit hati dan dendam kamu bisa terbayar, turn out it didn’t work.”

“Kenapa aku harus benci sama kamu?” mata Nala ikut berkaca-kaca. “Padahal aku yang salah.”

“Aku yang gak bisa lepas dari masa lalu aku,” timpalnya lirih. “Aku yang bikin kamu tersiksa.”

“Pas kamu ninggalin aku dulu, aku bersyukur karena kamu bisa pergi dari orang yang justru gak bisa cinta sama kamu. Aku juga sedih ngeliat kamu tersiksa...”

“Tapi… Di saat yang bersamaan, aku takut banget, Mas. Kamu itu satu-satunya dorongan aku buat bisa lepas dari Arsen, supaya aku bisa belajar buat suka ama kamu.”

“Aku hargain usah kamu, Mas. Aku bisa ngerasain kasih sayang kamu ke aku waktu itu,” katanya. “Kamu udah lebih dari cukup buat aku. Kamu itu orang yang selalu aku minta di dalam doa.”

“Kamu tau gak sih, Mas…” Nala mengusap punggung tangan Tristan dengan ibu jarinya. “Aku bahkan mikir gini; kalau aja kamu kembali dan datang baik-baik ke aku lagi, aku mau dan siap kok memperbaiki rumah tangga kita.”

“Karena kamu orang baik,” kata Nala yang membuat Tristan tak mampu membendung tangisnya. “You treat me so well back then.”

“Kamu suami yang baik, Mas.”

“Nal.”

Nala mengangkat alis. “Mm?”

“Aku boleh meluk kamu?”

Nala mengangguk pelan sebelum membungkuk guna memeluk si suami yang masih terbaring di atas ranjang rawat rumah sakit.

Sementara itu, tanpa Nala ketahui, di balik tirai yang menjadi penghalang sekaligus sekat di ruang IGD, ada Arsen yang sedang menunduk sambil meneteskan air matanya. Arsen menatap punggung tangannya yang telah diperban setelah tadi terluka karena memukuli Tristan.

Tidak ingin membuat hatinya ikut terluka lebih lama, Arsen kemudian berdiri dari ranjang rawat. Dia pergi dari sana tanpa mengucap pamit kepada Nala.