Selimut
Nala menghela napas pelan tepat setelah ia membaca chat terakhir Bagas. Nala yang semula duduk di sofa ruang tengah pun bangkit dan berniat untuk segera masuk ke kamarnya. Namun, baru saja beberapa langkah selepas Nala beranjak dari sofa, gawai yang sedang Nala genggam berdering. Saat itu pula Nala pun mendapati nama kontak Arsen terpampang; lawan mainnya itu menelponnya.
“Apa?” tanya Nala tepat setelah ia menjawab panggilan si mantan.
“Gue di depan, Nal.” jawab Arsen.
“Gue gak mencet bel apartemen lo, soalnya jam segini Gavi udah tidur kan biasanya?” timpalnya. “Takut anaknya kebangun entar.”
Alis Nala berkerut heran. Dia lalu melangkah pelan ke arah pintu utama unit apartemennya, masih dengan gawai di samping telinga.
“Ngapain lo dateng jam segini?”
“Ada yang mau gue omongin.”
Tepat setelah Nala mendengar jawaban Arsen, dia kemudian membuka pintunya. Dan benar saja, Arsen telah berdiri tepat di hadapannya. Mereka pun sama-sama memutuskan sambungan telepon lalu memasukkan gawai masing-masing ke saku celana.
“Mau ngomongin apa?”
“Biarin gue masuk dulu kek, Nal.”
Nala hanya menghela napasnya pelan lalu memberi jalan untuk Arsen. Setelahnya, mereka pun berjalan beriringan ke ruang tengah hingga berakhir duduk bersisian di satu sofa panjang.
“Are you okay?”
Nala tersenyum tipis. “Soal fans lo yang salty-in konten gue ya?”
“Mm.”
“I’m okay,” kata Nala. “Justru gue bisa jadiin itu bahan introspeksi supaya agak nge-rem dikit kalau lagi excited nyeritain sesuatu ke depannya. Biar orang yang gue ajak collab gak terkesan enggak dikasih kesempatan ngomong.”
“Apanya yang mau elo rem sih?” decak Arsen, “You did great, Nal. Gue pribadi enjoy banget ngeliat hasil videonya pas kelar diedit.”
“Gak ada tuh gue ngerasa kalau kesannya lo nggak ngebiarin gue ngomong. Pas take videonya juga kan emang gue yang ngebiarin lo take a lead, gue cuma nambahin.”
“That’s why gue juga langsung accept aja video itu dari editor terus ngasih liat ke lo paginya. Soalnya ya gue ngerasa enggak ada masalah sama sekali di situ.”
“Tapi orang-orang malah mikir kayak gitu. Gue bingung,” lanjut Arsen diikuti helaan napas pelan.
Mata Nala memicing, “Editor? Jadi bukan lo yang ngedit itu?”
“Bukan,” jujur Arsen. “Gue gak ada waktu, schedule kita padet.”
“Berarti yang seharusnya gue cium editornya dong? Bukan lo.”
Arsen menipiskan bibirnya lalu mencubit gemas hidung Nala.
“Kan yang bayar editornya gue, berarti gue yang menggerakkan dia.” Seringai Arsen. “Lagipula… Gue gak bakal pernah ngebiarin siapapun nyium bibir manis lo ini di luar urusan acting, cintaku...”
Arsen mengusap sensual bibir Nala dengan ibu jarinya sambil tersenyum usil, sementara sang empu mendelik tajam sebelum menyingkirkan jemari sang mantan pacar dari bibirnya.
“Udah selesai kan ngomongnya? Sekarang lo pulang, gue ngantuk. Pengen tidur.” kata Nala sambil mendorong pelan tubuh Arsen.
“Gue belum selesai.”
“Apa lagi?” desis Nala.
“Menurut gue, fans gue gak bakal berhenti datengin lo dan ngasih komentar negatif kalau gue gak ngelakuin sesuatu, Nal. Jujur aja gue nggak enak sama lo.” Arsen menatap Nala lamat. “Dari tadi gue kepikiran buat speak up di Twitter, tapi gue pengen dapetin izin lo dulu. Menurut lo gimana?”
Sejenak, Nala terdiam. Dia agak kaget mendengar bagaimana si mantan pacar meminta izinnya dahulu. Padahal, saat mereka masih berpacaran, tidak sekali dua kali Arsen selalu mengambil tindakan sendiri jika menurutnya apa yang akan dia lakukan benar. Entah kenapa hal itu pun tiba-tiba membuat sesuatu di balik dada Nala seketika menghangat.
“Gak perlu,” Nala angkat bicara.
“Mau lo speak up ampe berbusa-busa juga, kalau pada dasarnya mereka gak suka sama gue ya mereka bakalan tetep dateng.”
“Justru kalau elo speak up tuh bakal bikin kita kesannya nyari validasi, Sen. Apalagi timing-nya kan kita masih promoin series.”
“Besok-besok pasti bakal ada lagi yang bikin gosip kalau lo speak up kayak gitu tuh karena disuruh agensi lah, karena kita ketakutan series kita gak bakalan laku lah, yang ujungnya bikin orang-orang nyiptain rumor lain soal kita tau.”
“Main cantik aja,” kata Nala. “Kita cukup nunjukin kalau kita baik-baik aja dan nggak ambil pusing. Masalah kayak gitu sepele. Gak usah dibesar-besarin lagi, Sen.”
“Gue bukan lo yang mau dikenal karena sensasi,” sarkas Nala lalu menahan senyum di sudut bibir. “Enggak usah lah koar sana-sini.”
Arsen menghela napas panjang.
“Tapi lo beneran gak apa-apa?” Arsen meraih tangan Nala lalu menggenggamnya erat. “Video tadi konten pertama lo sejak lo aktif lagi, jadi manusiawi banget kalau lo sedih karena responnya justru dipenuhi hal negatif gara-gara fans gue, Nal. I’m so sorry.”
“Gue beneran gak apa-apa, Sen.” tegas Nala. “Udah, lo pulang gih.”
Arsen mengangguk mantap, tapi bukannya beranjak dari sofa, dia justru menyandarkan punggung di sandaran benda empuk itu.
“Nal, sekarang gue udah ngantuk banget. Takut entar gue malah nabrak di jalan,” Arsen memulai dramanya. “Gue nginep ya? Oke.”
“Gue enggak punya kamar tamu,” kata Nala. “Tempat tidur gue juga sempit, gak kek yang di unit lo.”
“Gak apa-apa, gue tidur sofa aja.”
Nala memutar bola mata malas. Sebab, Arsen tidak memberinya kesempatan untuk menyela lagi. Kini mantan pacarnya itu justru telah berpura-pura tidur di sofa.
“Matiin lampu utama ruang tengah kalo udah mau tidur.”
Nala lalu meninggalkan ruang tengah. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Arsen yang refleks tersenyum. Meski dengan posisi yang sedikit meringkuk karena sofa itu cukup sempit untuk ukuran tubuhnya, Arsen pun tetap mencoba tidur usai mematikan lampu utama di sana. Kini yang tersisa hanya cahaya remang dari lampu hias di sudut ruang tengah apartemen Nala.
Beberapa saat berlalu, Nala yang tadinya juga telah mencoba ’tuk tidur di kamar justru kembali ke ruang tengah. Nala menghampiri Arsen degan selimut di tangan.
Nala kemudian menutupi tubuh si mantan pacar dengan selimut itu. Setelahnya, Nala pun hendak kembali ke kamarnya, tapi suara Arsen lebih dahulu menggema.
“Ngelihat sikap lo ke gue akhir-akhir ini, kayaknya lo udah mulai luluh ya?” gumam Arsen masih dengan matanya yang terpejam.
Nala menoleh. “Mending elo tidur lagi aja deh, biar lo bisa ngelanjutin mimpi indah lo itu.”
Arsen akhirnya membuka mata hingga mendapati Nala masih berdiri di samping sofa. Arsen lalu meraih tangan kiri Nala dan menggenggamnya erat-erat.
“Gimme a goodnight kiss, please?”
Nala memaksakan senyum manis di bibirnya lalu membungkuk. Ia kemudian menyentil kening sang mantan pacar dengan tangan kanannya hingga sang empu seketika mengerang kesakitan.
“Nal, ini sakit banget tau nggak? Aduh, kayaknya kening gue udah berdarah.” gumam Arsen dengan dramatis. “Apa jangan-jangan ini bisa bikin gue buta ya? Mata gue udah gak bisa ngeliat jelas nih.”
“Gak usah lebay,” decak Nala. “Lepasin tangan gue, sialan.”
“Gue lepasin, tapi tiupin kening gue dulu. Ini perih banget tau.”
Menarik napasnya dalam-dalam, Nala kemudian menatap Arsen malas sebelum mendaratkan kecupan ringan di keningnya.
“Itu kan yang lo mau?”
Arsen menahan senyum. Namun, bukannya melepas tangan Nala, dia justru mengangkat sedikit kepalanya lalu mengecup kilat bibir si mantan diikuti seringai.
“Itu yang gue mau, Nalaku.”
Mendengus kasar, Nala lantas menepis tangan Arsen saat dia merasa genggaman mantannya itu mulai melemah. Buru-buru Nala meninggalkan ruang tengah dengan Arsen yang tersenyum lebar. Tidak jauh berbeda dengan Arsen, Nala yang saat ini telah berbaring terlentang di atas ranjangnya pun tersenyum tipis sebelum memejamkan matanya.