It Starts

Nala mendengus pelan saat dia mendengar suara kenop pintu. Ketika membuka mata, Nala pun mendapati jam masih menunjuk ke angka tiga malam. Setelahnya, dia kemudian menoleh ke pintu. Nala tak salah dengar, kenop itu bergerak-bergerak. Nampak jika seseorang mencoba ‘tuk masuk.

Nala yakin, orang itu tidak lain adalah Arsen; si pemilik hunian dimana Nala kini sedang berada.

Menghela napasnya gusar, Nala kemudian bangkit dari ranjang. Entah Arsen ingin mengusilinya atau apapun itu, Nala benar-benar merasa ingin memakinya.

Alhasil, Nala pun membuka kunci pintu kamar tamu dengan raut kesal. Namun, kala pintu terbuka, Nala sontak menahan napasnya.

Pasalnya, bukan Arsen yang kini berdiri di hadapannya melainkan Tristan. Suaminya itu memakai topi baseball hitam dan baju kaos berwarna senada. Dada Nala pun mendadak sesak ketika matanya mendapati bahwa Tristan sedang menggenggam pisau. Benda yang amat tajam itu berwarna merah, nampak jejak darah segar di sana.

“Mas…” Nala menelan ludah.

“Kalau Arsen mati, kamu juga harus mati.” seringai Tristan.

Tungkai Nala kian lemas.

“Kamu pikir aku gak tau kalau dia orang yang selama ini bikin kamu gak bisa cinta sama aku?” timpal Tristan. “Aku tau semuanya, Nal.”

“Kamu jangan bercanda, Mas.” suara Nala pun bergetar hebat. “Kalau kamu mau bunuh aku, bunuh aja, tapi jangan Arsen.”

“Udah terlambat, Nal.” Tristan tersenyum miring. “Sekarang giliran kamu buat nyusul dia.”

“…ke neraka,” timpal Tristan sambil setengah berbisik.

Ketika Tristan mengangkat pisau yang digenggamnya, Nala lantas berteriak kencang. Saat itu pula dia merasakan sensasi ngilu di dadanya, bersamaan dengan bangunnya Nala dari tidurnya.

Nala membuka matanya dengan napas yang telah memburu. Dia kemudian bergegas bangkit dan duduk dengan posisi menatap ke arah jam dinding di kamar tamu Arsen. Masih jam tiga pagi, persis seperti di dalam mimpinya tadi.

Tidak lama setelahnya, ketukan dari arah pintu pun menggema, disusul suara Arsen yang tidak hentinya memanggil nama Nala. Buru-buru Nala berdiri sebelum membuka pintu kamar. Saat itu pula Nala dengan sigap memeluk erat Arsen yang bahkan belum sempat mengajukan tanyanya.

“Nal?” bisik Arsen lalu mengusap lembut punggung Nala yang kini sedikit bergetar. “Are you okay?”

Nala hanya mampu menggeleng, suaranya tidak bisa dia bebaskan. Arsen pun membalas pelukan si mantan pacar tidak kalah erat. Ia mengerti Nala masih ketakutan setelah tadi berteriak kencang.

Sampai saat Nala akhirnya sudah merasa sedikit lebih tenang, dia pun menarik dirinya dari pelukan Arsen. Nala mendongak sembari menatap wajah Arsen lekat-lekat.

“Gue haus,” gumamnya.

“Ya udah, lo tunggu di sini ya. Biar gue yang ambilin di dapur.”

Arsen mengusap-usap bahu Nala sebelum bergegas ke arah dapur. Sementara itu, Nala yang masih merasa amat lemas pun berjalan lunglai ke ranjang dan duduk di sana. Bayang-bayang dari mimpi buruknya tadi masih membekas di kepalanya. Nala masih gelisah.

Tidak lama berselang, Arsen pun datang sambil membawa segelas air. Dia duduk di samping Nala sebelum menyodorkan air yang dibawanya itu hingga si mantan pacar dengan sigap menerima dan meminumnya sampai habis.

Melihat bahwa Nala sudah cukup tenang, Arsen akhirnya bertanya sambil meraih gelas kosong yang Nala pegang lalu meletakkannya di atas di nakas samping ranjang.

“Tadi lo kenapa, Nal? Kok teriak-teriak?” raut wajah Arsen serius.

“Gue mimpi.”

“Mimpi apa?” Arsen tidak puas dengan jawaban Nala. “Seburuk itu ya, sampai lo teriak-teriak?”

Nala terlihat berpikir sejenak. Dia bingung harus menceritakan hal itu pada Arsen atau tidak. Sebab, Nala pun belum ingin terbuka ke mantan pacarnya itu tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan Tristan selama ini.

Sementara itu, Arsen yang bisa membaca raut kebimbangan di wajah Nala pun menghela napas. Arsen mengusap punggung Nala diikuti senyum tipis di bibirnya.

“Gak apa-apa kalau lo gak mau cerita soal mimpi lo kok,” Arsen seolah paham apa yang kini Nala pikirkan. “Lo tidur lagi ya, Nal?”

“Temenin gue, Sen…”

Mata Arsen berkedip heran. Tak biasanya Nala seperti ini, pikir Arsen. Nala yang dia kenal amat pemberani dan lebih memilih mengandalkan dirinya sendiri justru meminta ditemani. Nala pun beralih mencengkeram erat lengan Arsen sambil bergumam.

“Gue takut.”

Arsen mengangguk. “Ya udah. Lo rebahan gih. Gue di samping lo.”

Nala lantas menuruti titah Arsen. Pun Arsen yang ikut merebahkan tubuhnya di sisi kiri Nala. Namun yang membuat Nala mendengus, Arsen justru tiba-tiba memeluk pinggangnya. Kaki Arsen bahkan melingkari kakinya, hingga Nala merasa dijadikan guling olehnya.

Saat menoleh ke Arsen, Nala pun mendapati mantan pacarnya itu sedang cengar-cengir. Sontak Nala menyikut pelan perut Arsen dengan raut kesal, namun Arsen justru terkekeh kecil setelahnya.

“Lepasin gak?” decak Nala.

“Gue lebih suka liat muka kesel lo daripada muka ketakutan lo,” sahut Arsen. “Lo gak usah takut ya, Nal? Gue bakal jagain lo kok.”

Nala tersenyum meledek lalu menepis lengan dan kaki Arsen. Dia pun ikut mengubah posisi menjadi berbaring menyamping sambil menopang kepala dengan satu tangannya seperti yang kini dilakukan oleh Arsen. Nala dan Arsen saling berhadap-hadapan.

“Jaga kepercayaan gue aja gak bisa, gimana lo bisa jagain gue seutuhnya?” Nala menyeringai.

“Makanya semalem gue bilang, liat gue.” balas Arsen. “Biar lo tau kalau gue bisa dipercaya kali ini.”

“Meskipun gue ngeliat usaha lo, itu gak bakal menjamin gue mau balikan sama lo.” kata Nala. “Gue enggak gampang dibikin luluh.”

“Apalagi sama orang yang jelas-jelas pernah bikin gue terluka.” timpalnya. “Emang elo sendiri yakin mau balikan lagi sama gue? Gimana kalau gue gak bisa nekan ego gue dan tetep keras kepala?”

“Lo cuma buang-buang waktu lo tau, Sen.” tutur Nala. “Wouldn’t it be better if you tried to open your heart to someone else?”

“Gue yakin,” jawab Arsen.

“Gue juga yakin kok kalau lo bisa nurunin ego lo. Buktinya, tadi elo datengin gue buat minta maaf di tengah agenda lo yang pengen gue pergi dan ngejauhin lo.” jelas Arsen. “Kita cuma butuh waktu buat bangun kepercayaan lagi.”

“Dan gak peduli seberapa banyak waktu yang bakal gue buang buat nunjukin usaha gue, i don’t mind.”

Arsen lalu mengubah posisinya menjadi berbaring terlentang sambil menatap kosong langit-langit kamar. Sementara itu, Nala masih tetap memandangi wajah Arsen sambil menopang kepala.

“Karena gue udah pernah nyoba buat buka hati ke orang lain, tapi ternyata bayang-bayang lo masih ada di kepala gue.” timpal Arsen lalu menoleh sesaat ke arah Nala.

“Lo tau gak sih, Nal. Pas lo nikah sama Tristan waktu itu, gue pikir kesempatan gue buat balik sama lo udah gak ada. Makanya, dari situ gue mulai nyoba buka hati ke beberapa orang. Turn out, gue gak bisa bener-bener jatuh hati ke mereka. Gue cuma penasaran mereka bisa bikin gue down bad kayak lo apa gak. I’m a bastard.”

“Saat itu juga gue sadar kalau… Cinta gue udah habis di lo, Nal. Gue nggak bisa jatuh cinta sama orang lain lagi,” Arsen berkaca-kaca. “Gue bahkan udah nerima kenyataan kalau gue bakal hidup sendiri sampai gue mati nanti.”

“Jadi, pas gue tau Tristan tiba-tiba ninggalin lo, gue gak mau berdiam diri aja. Gue nganggap itu kesempatan kedua gue buat dapetin hati lo lagi,” kata Arsen.

“Mending gue ngabisin waktu gue buat nunjukin usaha gue, daripada gak sama sekali kan?”

Nala ikut mengubah posisinya menjadi berbaring terlentang, sama seperti Arsen. Bahkan, tatapan Nala ke langit-langit kamar pun sama kosongnya dengan sang mantan pacar.

“Sen…”

Arsen melirik Nala, “Mm?”

“Menunggu itu bukan soal lama atau sebentar, tapi soal pasti atau gak. Jadi percuma lo nunggu lama untuk hal yang gak pasti.”

“Gak ada yang percuma selama gue udah berusaha, Nal.” balas Arsen. “Sama kayak perlombaan, hasil akhirnya kan pasti ada yang menang dan kalah. Gue pun gitu. Kalau usaha gue gagal, ya artinya gue kalah. Kalo menang, syukur.”

“Lagian, gue gak pengen nyakitin lebih banyak orang lagi cuma buat berpaling secara fisik dari lo, tapi hati gue masih buat lo.”

“Kalau kata Mami gue…”

“Gak ada yang salah sama gagal move on, yang salah itu kalau kita malah nyari seseorang yang bikin kita gagal move on di orang lain.”

Nala seketika merasa tertampar saat mendengar ucapan Arsen. Nala pun diam-diam meremas selimut yang menutupi perutnya sambil menahan gejolak di dada. Meski begitu, Nala mencoba ’tuk tetap terlihat tenang sebelum menoleh dan menatap Arsen.

“Gak guna sih emang ngomong sama orang keras kepala,” kata Nala lalu tersenyum tipis pada Arsen. “You do you. Good luck.”

Kalimat ‘good luck’ dari Nala pun membuat Arsen tersenyum lebar. Arsen merasa diberi lampu hijau untuk menunjukkan usahanya ke Nala. Dimana artinya, Nala tidak akan lagi mengusir presensinya.

I’ll win over you, love.” bisik Arsen diikuti seringai tipis.

I won’t let you win,” balas Nala.

Kedua anak manusia itu lantas kembali menatap langit-langit sambil menahan senyumnya.

“Oh iya, Nal.” Arsen pun kembali mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping, namun kali ini tanpa menopang kepala.

“Tristan tau gak sih kalau gue ini mantan lo?” tanyanya penasaran.

Nala menggeleng. “Dia gak tau.”

“Berarti tato nama gue yang ada di pinggul lo udah lo hapus ya?”

Belum sempat Nala memberikan jawabannya, Arsen justru lebih dahulu kembali angkat bicara.

“Eh, tapi pasti udah lo hapus sih. Kan aneh kalau lo ngebiarin laki lo ngeliat nama orang lain pas dia pengen having sex sama lo.”

Nala mendengus, “Lo nanya sendiri terus jawab sendiri.”

“Aneh lo,” gumam Nala diikuti kekehan pelan, begitupun Arsen.

Arsen lalu kembali menghindari tatapan Nala dengan menatap ke arah dinding. Dia menelan ludah.

“Pas kemaren lo bilang kalau lo keinget sentuhan suami lo, gue patah hati banget.” tutur Arsen, napas Nala tiba-tiba tercekat.

“Bukan karena gue ngerasa kalau lo mempermainkan perasaan gue sih,” jelasnya. “Soalnya, dari cara lo natap gue tuh sama persis pas kita lagi needy terus mau having sex waktu masih pacaran dulu...”

“Lo bahkan sempet curi-curi pandang ke gue pas take kita udah selesai.” kata Arsen. “Gue yakin yang lo bayangin saat itu sebenarnya gue, bukan suami lo.”

“Tapi yang bikin gue patah hati, gue harus kembali nerima fakta kalau orang yang dulunya gak pernah gue biarin buat disentuh sama siapa-siapa justru udah disentuh sama orang lain.” Arsen tersenyum miring, “Mau marah pun gue gak bisa, karena di sini gue yang kalah. Dia itu suami lo, sementara gue cuma mantan lo.”

Arsen akhirnya kembali menatap lurus ke dalam netra legam Nala.

“Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, posisi gue sama si Tristan waktu itu sama. Dia emang menangin raga lo, tapi di hati lo masih ada satu ruang buat gue.” kata Arsen lalu menyeringai. “Gue mungkin jahat kalau bilang kasian karena dia gak milikin hati lo seutuhnya.”

“Tapi dia lebih jahat lagi karena ninggalin lo saat lo udah nyoba nutup pintu ruang itu buat gue demi dia.” kata Arsen. “Dia bikin lo sakit lagi di saat lo tuh pengen ngejadiin dia obat atas sakit yang pernah gue kasih dulu. Maybe you will forgive him, but I won’t.”

Nala menghela napas, “Bisa gak lo berhenti bahas Mas Tristan?”

Sure,” kata Arsen. “Ayo bahas rencana pernikahan kita aja.”

Mendengar penuturan Arsen itu sontak membuat Nala mendelik.

Fuck you,” Nala berucap hanya dengan gerakan bibir sebelum berbaring menyamping dengan posisi membelakangi Arsen.

Arsen sendiri hanya tersenyum sambil menatap punggung Nala. Persekian detik berikutnya, dia pun memberanikan diri untuk memeluk pinggang Nala. Sebab, saat mereka masih berpacaran dulu, posisi seperti ini lah yang sangat Nala suka ketika sedang lelah. Merasa bahwa tidak ada penolakan dari Nala, Arsen lantas mengeratkan dekapannya itu lalu perlahan memejamkan matanya.

“Kalau tato nama gue di pinggul lo gimana? Udah lo hapus?” Nala tiba-tiba bertanya setelah ia dan Arsen terjebak hening sesaat.

“Kenapa gak lo cek aja sendiri?” goda Arsen hingga Nala berbalik dan ikut berbaring menyamping hingga keduanya kembali pada posisi yang berhadap-hadapan. Masih dengan lengan Arsen yang melingkar erat di pinggang Nala.

Nala pun menatap wajah Arsen lekat-lekat hingga Arsen—yang diperlakukan demikian—lantas melakukan hal serupa. Alhasil, keduanya hanya terdiam seolah frasa terbebas dari sorot mata.

“Tadi lo bilang… Lo bisa ngebaca cara gue natap lo kemarin,” Nala buka suara. “Sekarang gimana?”

“Apa yang elo lihat dari cara gue natap lo, Sen?” timpalnya tenang.

Arsen tidak menjawab, namun ia justru bangkit lalu mendorong pelan tubuh Nala sampai mantan pacarnya itu berakhir terlentang. Arsen mengungkung Nala hingga pasrah di bawahnya. Setelahnya, Arsen dengan sigap menciumi bibir Nala amat rakus. Pun Nala yang seketika membalas lumatan dan hisapan yang Arsen berikan.

Cukup puas berbagi pagutan, Arsen memberi jeda sejenak guna memandangi wajah Nala. Napas mereka terengah-engah.

“Gue gak salah kan?” bisik Arsen.

Nala tidak menjawab, dia justru melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Arsen lalu kembali menciumi sang mantan pacar. Arsen pun menganggap aksi Nala itu adalah jawaban dari tanyanya.

Nala ingin menghabiskan malam yang masih panjang bersamanya.