Rumah Sakit
Nala berlari dengan napas yang terengah-engah menuju ruang rawat Gavi. Dadanya telah amat sesak karena menahan tangis. Nala bahkan sudah merasa ingin berteriak, namun suaranya tidak mampu terbebas. Mengetahui bahwa malaikat kecilnya sakit sementara dirinya tidak berada di sisi Gavi membuatnya ingin memaki dirinya sendiri saat ini.
Sampai saat Nala akhirnya bisa melihat Arsen sedang berdiri di depan pintu sebuah ruang rawat, buru-buru Nala menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya.
“Sen,” lirih Nala dengan matanya memerah dan berkaca-kaca.
Arsen dengan tampang datarnya tidak bersuara. Dia justru refleks memerhatikan penampilan Nala dari atas ke bawah lalu kembali menatap lurus kedua mata Nala.
Rahang Arsen mengeras melihat Nala mengenakan leather lace short sleeved shirt dari brand Salvatore Santoro. Bolongan-bolongan kecil di seluruh bagian baju itu lantas membuat badan Nala yang tidak ditutupi pakaian dalam terpampang. Nala seperti hanya memakai baju transparan.
Sontak Arsen geram, namun dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya membuka jaket denim yang dipakainya. Arsen lalu menyodorkan jaketnya ke Nala.
“Pake,” titah Arsen masih dengan raut datarnya. “Tutupin badan lo. Baju lo itu gak ada gunanya, Nal.”
Nala menatap Arsen tak percaya.
“Sen, gue lagi panik karena anak gue sakit dan lo masih sempet-sempetnya mikirin pakaian gue?”
Nala mendorong pelan tubuh si lawan main agar Arsen tidak menghalangi pintu, “Minggir, gue mau ketemu sama Gavi.”
“Gue bilang pake, Nala.” Arsen menekankan suaranya dengan mata yang telah berapi-api. “Lo kalau mau pake baju kayak gini atau bahkan telanjang sekalipun buat nunjukin kalau kebebasan lo gak gue renggut lagi, terserah…”
“Tapi tolong, jangan kayak gini di depan anak lo. Apalagi dengan kondisi lo bau alkohol,” timpal Arsen. “Gue udah pernah bilang kan, kalau Gavi lebih dewasa dari usianya? Lo pikir dia gak bakalan ngerti mana yang baik atau gak?”
Nala menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya pun telah sakit karena menahan tangis. Alhasil, Nala hanya diam saat Arsen memasangkan jaket di pundaknya. Meski Arsen tidak mengamuk seperti yang sudah-sudah, tapi Nala tahu kalau saat ini si mantan menahan amarah.
Tanpa menunggu titah Arsen untuk yang kedua kalinya, Nala pun bergegas memasang jaket milik Arsen. Setelahnya, Arsen lantas memberi Nala jalan agar masuk ke ruang rawat anaknya.
Tepat saat Nala telah berdiri di dalam ruang rawat itu, kedua tungkainya kian lemas. Melihat Gavi terkulai lemah hingga harus mendapatkan cairan infus lantas membuat Nala tidak mampu lagi untuk membendung tangisnya.
Nala menghampiri Gavi sambil terisak pelan. Dipeluknya sang buah hati yang telah tertidur dengan erat sambil memberinya kecupan sayang sesekali di pipi.
“Nal, enggak usah nangis. Entar anaknya kebangun,” kata Mama.
“Gavi kenapa, Ma?”
“Sejak kamu pergi tadi, anaknya tiba-tiba demam tinggi abis itu muntah-muntah. Sering bolak-balik toilet juga,” jelas si wanita paruh baya. “Tapi sekarang Gavi udah mendingan kok abis dikasih antibiotik sama Dokternya tadi.”
“Maafin aku, Ma.” lirihnya. “Aku malah nggak ada pas Gavi gini.”
“Lagian kenapa handphone kamu dimatiin segala sih, Nal?” Mama menghela napas. “Untung tadi Arsen datang terus nganterin Mama sama Gavi ke rumah sakit.”
“Baterainya abis, Ma. Nala lupa nge-charge sebelum pergi tadi.”
“Lain kali jangan ceroboh,” Mama mengingatkan. “Nggak ada yang tau musibah, Nal. Entah itu Gavi, kamu, atau Mama. Kalau gak tau kabar kayak gini, kan jadi susah.”
Nala mengangguk lemah lalu kembali menatap wajah Gavi. Sesekali dia mengusap rambut hitam sang anak, masih dengan air mata yang membanjiri pipi. Namun, sentuhan Nala nyatanya membuat Gavi terusik hingga berakhir membuka matanya.
“Papa…”
“Sayang,” Nala menghapus kasar air mata di pipinya lalu membelai lengan Gavi. “Mana yang sakit?”
“Tangan Gavi sakit, Papa.” Gavi menggerakkan pelan tangannya yang diinfus. “Tapi kata Dokter, kalau tangan Gavi udah disuntik terus dimasukin obat, kuman-kuman jahat di badan Gavi bisa pergi, terus Gavi sembuh deh.”
“Anak Papa emang pinter banget ya,” Nala menciumi pipi anaknya sejenak. “Kalau masih ada yang sakit, bilang sama Papa ya, Nak?”
Gavi mengangguk diikuti senyum lembut, tapi setelahnya, si kecil justru celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Nala seketika heran hingga akhirnya bertanya.
“Gavi nyari apa? Gavi laper?”
“Papa, Om Arsen ke mana?”
Nala melan ludah. “Kayaknya Om Arsen udah pulang deh, Sayang. Kan besok pagi Om Arsen kerja.”
“Tapi tadi Om Arsen bilang mau temenin Gavi, Papa.” lirih Gavi.
“Kan sekarang udah ada Papa di sini yang nemenin Gavi. Masih ada Oma juga,” Nala mengacak-acak pelan rambut Gavi. “Biarin Om Arsen pulang, istirahat. Dia pasti capek abis kerja hari ini.”
Gavi mengangguk, meski ada sedikit raut tak rela di wajahnya.
“Papa juga pasti capek. Papa kan baru pulang kerja,” Gavi menatap wajah Nala khawatir. “Papa juga istirahat. Besok Papa kerja lagi.”
Dada Nala kini seperti diremas-remas mendengar penuturan anaknya. Bahkan di saat Gavi membutuhkan kehadirannya, anaknya itu masih memikirkan Nala. Benar kata Arsen, Gavi terkadang berbicara jauh lebih dewasa daripada usianya saat ini.
Di saat Nala mencoba untuk tak kembali terisak pilu, pintu ruang rawat Gavi tiba-tiba dibuka dari luar. Saat itu pula senyum Gavi merekah diikuti suara riangnya.
“Om Arsen!”
“Loh? Kenapa anak gantengnya Om Arsen udah bangun?” tanya Arsen lalu menghampiri Gavi. Ia berdiri di samping ranjang, tepat berseberangan dengan posisi Nala. “Perut Gavi sakit lagi gak?”
“Enggak, Om. Tangan Gavi yang sakit,” lirih si kecil. “Kata Dokter tadi, sakitnya cuma kayak digigit semut, tapi kenapa sakitnya gak hilang-hilang sih, Om Arsen?”
“Gavi pas lagi tidur tadi banyak gerak, makanya sakit lagi.” Arsen berusaha menjelaskan agar Gavi lebih mengerti. “Gavi juga belum terbiasa kan tangannya dipakein ginian, jadi rasanya gak nyaman.”
“Tapi kalau sakitnya udah nggak bisa Gavi tahan lagi, bilang yaa?Biar nanti Om panggilin suster.” timpal Arsen, Gavi mengangguk.
“Om Arsen gak pulang?”
“Enggak, kan Om udah janji mau nemenin Gavi.” Arsen tersenyum sambil mengacak-acak rambut si kecil. “Kenapa Gavi nanya gitu?”
“Om Arsen pulang aja. Pasti Om capek abis kerja,” kata Gavi. “Biar Papa yang nemenin Gavi di sini. Om Arsen harus istirahat juga.”
“Siapa yang ngajarin Gavi bilang kayak gini sih, hm?” kekeh Arsen.
“Papa,” Gavi cengar-cengir.
“Bener kata Gavi, Sen.” Mama ikut bersuara, “Kamu pulang aja, gak apa-apa. Kasian kamu kalau ikutan tidur di rumah sakit juga.”
Arsen menghela napasnya pelan.
“Oke, Om Arsen pulang.” katanya. “Tapi Gavi janji jangan kenapa-kenapa yaa? Jangan sakit lagi.”
“Iya, Om Arsen.”
Arsen tersenyum lembut sambil mengacak-acak pelan rambut Gavi. Setelahnya, dia menoleh ke arah si Mama dan menyalaminya.
“Kalau gitu Arsen pamit ya, Tan.” katanya. “Kabarin kalau ada apa-apa atau Gavinya butuh sesuatu.”
“Makasih banyak ya, Nak. Kamu udah banyak bantu.” kata Mama. “Tante jadi gak enak sama kamu.”
“Gak masalah, Tante. Nggak usah sungkan,” Arsen kembali senyum.
“Kamu hati-hati nyetirnya.”
Arsen mengangguk lalu kembali menatap Gavi yang masih setia memandanginya dari ranjang.
“Om pulang dulu ya, ganteng.”
“Dadah, Om.”
“Dah!”
Arsen kemudian berlalu tanpa melirik sedikitpun ke arah Nala. Pun Nala yang hanya diam saja melihat Arsen telah keluar dari ruang rawat anaknya. Namun, sang Mama tiba-tiba bersuara.
“Nal, kamu kok diem aja sih?” Mama menunjuk pintu ruang rawat dengan dagu. “Anterin gih sampai di depan gedung. Bilang makasih juga kamu sama Arsen.”
Mengulum bibirnya sejenak, Nala kemudian mengusap punggung tangan Gavi. “Papa keluar dulu.”
“Iya, Papa.”
Nala pun bergegas keluar dari ruang rawat itu untuk mengejar Arsen. Beruntung, dia masih bisa melihat presensi sang mantan kekasih yang berjalan di koridor.
“Arsen!”
Nala memanggil Arsen sambil mengikutinya dari belakang, tapi lelaki berlesung pipi itu justru tak menghentikan langkah atau sekedar menoleh ke arahnya. Sampai saat Nala melihat Arsen membuka pintu menuju tangga darurat, dia kembali memanggil.
“Sen! Tunggu!”
Arsen tetap tidak menghiraukan Nala. Alhasil, saat mereka telah berada di space kosong yang menjadi penyambung tangga satu dengan tangga lainnya, Nala lantas menjegal lengan Arsen.
“Arsen.”
Arsen akhirnya menoleh, namun saat itu juga dia menepis tangan Nala. Cengkeraman Nala lantas terlepas bersama raut herannya. Terlebih saat Arsen bertanya.
“Gimana rasanya, Nal?”
“Maksud lo?”
“Gimana sih rasanya manggil seseorang tapi lo gak dijawab?”
Nala terdiam. Dia tahu akan ke arah mana pembicaraan Arsen.
“Gak enak kan?” timpal Arsen. “Apalagi kalau lo manggil orang itu untuk tujuan yang penting.”
“Terus apa kabar Gavi yang tadi manggil-manggil nama lo karena dia kesakitan tapi elo gak ada di sampingnya?” raut kecewa tidak bisa bersembunyi di wajah Arsen.
“Gue, Gandi, Mama lo, kita udah berusaha buat nge-reach out lo tapi lo gak bisa dihubungi.” lanjut Arsen dengan mata yang berapi-api. “Lo ada agenda spesial apa sama cowok brengsek itu, hah?Kenapa harus matiin hp segala?”
“Gue lupa nge-charge hp, Sen.” jawab Nala lirih. “Gue tau… Gue salah karena se-ceroboh ini, tapi gue juga gak berharap kejadian kayak gini terjadi sama anak gue.”
“Emang gak ada orang tua yang bakal berharap anaknya dapet musibah, tapi kalau lo orang tua yang bertanggung jawab, lo gak bakalan selalai itu buat gak cari tau kabar Gavi secara real time.”
“Si Bagas juga. Kalau dia emang laki-laki baik, dia nggak bakalan nahan lo di sana sampai se-larut ini tanpa tau kabar anak elo tuh gimana.” wajah Arsen memerah, dia nyaris di ambang batas sabar.
“Apa? Lo mau bilang kalau lo gak khawatir karena Gavi di rumah Mama lo, jadi aman?” Arsen terus menghujani Nala dengan frasa sengitnya. “Terus gimana sama lo? Lo pikir Mama lo juga nggak khawatir anaknya lagi kenapa di luar sana sampai gak ada kabar?”
Nala tetap membisu, dia hanya terus memandangi wajah Arsen dengan matanya yang juga ikut memerah hingga berkaca-kaca.
“Lo selalu ngasih tau gue soal kebebasan,” Arsen tersenyum miring. “Ini lo yang maksud?”
“Lo bebas ke tempat malam dan ninggalin anak lo tanpa ngabarin dia sesekali. Ini bikin lo seneng?”
Arsen lalu membuang mukanya sesaat sambil menghela napas. Saat merasa dirinya sudah cukup tenang, Arsen kembali menatap Nala yang kini telah menunduk.
“Kalau emang kebebasan kayak gitu yang bikin lo seneng dan ngerasa lebih hidup, itu artinya lo belum siap jadi orang tua, Nal.”
Nala akhirnya kembali menatap lurus ke dalam bola mata Arsen.
“Lo pikir gue ke sana buat nyari kesenangan doang, Sen? Gue ke sana buat ketemu temen-temen sutradara Bagas supaya gue bisa kenalan dan dapetin kesempatan dengan memperluas networking.”
“Terus lo pikir, gue mati-matian nyari kesempatan buat dapetin kerjaan kayak gini buat siapa? Buat Gavi, Sen.” air mata Nala bercucuran. “Sekarang gue udah berjuang sendiri buat ngebesarin anak gue dan pengen ngasih dia yang terbaik. Salah ya, kalau gue ngerelain sedikit waktu gue sama Gavi buat nyari cara supaya bisa ngasih kehidupan yang layak?”
Arsen tersenyum kecut, “You do you. Kalau pun gue bilang ke lo soal pandangan gue, lo juga gak bakal mau dengerin dan malah nganggap gue mau nge-renggut kebebasan lo lagi kan? I’m done.”
Tepat setelah mengatakan hal itu kepada Nala, Arsen pun berbalik lalu meninggalkan si lawan main di sana. Saat itu pula Nala refleks berjongkok, bersamaan dengan isakannya yang telah terbebas.
Nala menenggelamkan wajahnya pada lengan yang dia lipat di atas lututnya. Namun saat Nala tiba-tiba mendengar derap langkah kaki mendekat ke arahnya, dia lantas mendongak. Kala itu, Nala mendapati Arsen kembali berdiri di hadapannya lalu menjulurkan satu tangan. Arsen lalu berucap.
“Ayo, di sini dingin.”
Isakan Nala kian menjadi-jadi. Padahal Arsen lah yang saat ini hanya mengenakan kaos, sedang Nala memakai baju juga jaket, tapi Arsen justru memikirkannya.
Perlahan, Nala meraih tangan Arsen hingga dia kembali berdiri.
“Balik ke ruangan Gavi gih,” titah Arsen sambil hendak melepas tautan tangannya dengan Nala, tapi Papa dari Gavi itu justru kian mengeratkan genggamannya.
“Jangan pulang…” lirih Nala.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka kembali berjumpa, Nala menahan Arsen. Tidak mengusir Arsen seperti yang sudah-sudah.
Mendengar hal itu membuat si pemilik lesung pipi seketika menarik Nala ke dalam dekapan hangat. Pun Nala yang dengan sigap membalas pelukan Arsen.