Maaf

“Kita masih sempet jemput Gavi deh kayaknya, Di.” kata Nala yang telah selesai dengan take-nya.

“Ya udah, lo hapus make up lo aja dulu. Gue bawa barang-barang lo ke mobil sekarang,” sahut Gandi lalu menatap gawai di tangannya yang berdering. Dia lalu melirik Nala sesaat dengan helaan napas.

“Gue ke mobil ya, Nal. Sekalian mau angkat telepon dari Arsen.”

“Mm. Lo nunggu di mobil aja, Di.” kata Nala lalu menepuk tas di sisinya, “Tas ini gue yang bawa. Biar lo gak usah bolak-balik lagi.”

“Oke deh.”

Sepeninggal Gandi, Nala lantas menghapus make up-nya lalu membereskan barang-barangnya yang tersisa sebelum akhirnya beranjak dari set itu. Saat Nala kemudian berjalan ke arah mobil Gandi, gawainya tiba-tiba saja berdering. Sontak Nala buru-buru menjawab panggilan masuk yang nyatanya dari guru Gavi.

“Halo, Bu.” jawab Nala sebelum masuk ke dalam mobil Gandi. Dia duduk di jok depan, di samping kemudi. “Iya, Bu. Hari ini saya yang mau jemput Gavi. Ini saya udah mau jalan ke sekolah kok.”

“Oke. Terima kasih ya, Bu.”

Nala memutuskan sambungan teleponnya dengan guru Gavi. Setelahnya, Nala menoleh ke bangku kemudi. Namun, Nala seketika melotot saat mendapati Arsen lah yang berada di sisinya.

Arsen mengenakan kaos hitam dan juga bucket hat berwarna senada. Nampak Arsen sedikit pucat, sementara tidak jauh dari sudut bibirnya terdapat memar. Nala yakin itu akibat pukulannya di wajah si lawan main semalam.

“Kok lo ada di sini sih?” Nala lalu menoleh ke jok belakang, namun tidak ada orang lain di sana. Nala pun kembali memandangi Arsen.

“Gandi mana?”

“Gandi udah ke apartemen gue bareng Endra,” kata Arsen. “Biar gue aja yang nemenin lo jemput Gavi. Gue sekalian mau ngobrol.”

Nala mendengus pelan. Dia bisa menebak kalau Arsen lagi-lagi memaksa Gandi agar pergi dari lokasi ’tuk bertemu dengannya; seperti yang sudah-sudah.

“Tapi gue gak mau ngobrol sama lo,” Nala hendak membuka pintu mobil dan berniat untuk keluar, tapi Arsen sudah lebih dahulu menguncinya. Nala mendengus.

“Buka pintunya,” ucap Nala datar tanpa menoleh ke arah Arsen.

“Maaf, Nal.”

Nala akhirnya menoleh ke Arsen masih dengan tatapan sengitnya.

“Maaf semalem gue nggak bisa mikir jernih,” lirih Arsen, sedang Nala refleks tersenyum miring.

“Cuma itu yang pengen lo bilang ke gue? Lo tau gak sih salah lo di mana, Sen?” balas Nala sengit.

“Gue egois karena hampir ngasih tau orang lain soal hubungan kita dulu, tanpa mikir kalau aja hal itu bakalan berdampak buruk buat series kita nanti. Apalagi lo juga baru nyoba bangkit lagi setelah kehilangan job pas Tristan pergi.”

“Gue juga udah kasar ke lo,” kata Arsen. “Gue mengedepankan ego gue karena dibutakan sama rasa cemburu tanpa mikir kalau itu bakalan nyakitin lo apa enggak.”

“Sama kayak lo yang gak pengen dan gak suka diatur, gue juga gak suka ngeliat lo deket sama orang lain. Gue terganggu tiap kali elo ditatap sama orang lain seolah lo itu makanan mereka,” lanjutnya.

“Gue udah nyoba buat nahan diri gue, tapi yang semalem, gue gak bisa.” Arsen menghela napasnya. “Gue gak mau Bagas deketin lo.”

“Udah berapa kali gue ngingetin lo kalau lo itu bukan siapa-siapa gue, Sen?” Nala menatap Arsen tak percaya. “Bahkan Mas Tristan yang notabenenya suami gue tuh gak pernah loh ngelarang gue ke club dan ngatain gue gak mikirin anak gue, apalagi karena takut kalau gue dideketin orang lain.”

“Tapi lo…” Nala geleng-geleng kepala dengan mulut setengah terbuka, “Lo udah kelewatan.”

Arsen mengepalkan kedua tangannya di atas paha kala mendengar penuturan Nala.

“Jangan bandingin gue sama dia,” ucapnya datar. “Dia bukan laki-laki yang lebih baik dari gue, Nal. Dia gak pantes lo banggain gini.”

“Dia emang gak lebih baik dari lo, tapi Mas Tristan gak merenggut kebebasan gue cuma buat muas-muasin egonya. Enggak kayak lo.”

Rahang Arsen mengeras, sedang Nala yang melihat hal itu sudah siap jika saja pertengkaran akan meledak di antara mereka; lagi. Namun, di luar perkiraan Nala, Arsen justru menghela napasnya pelan. Ia lalu menyalakan mesin mobil sebelum bersuara lembut.

“Kita jemput Gavi sekarang ya?”

“Turunin gue,” titah Nala. “Gue gak mau jemput Gavi bareng lo.”

“Gak apa-apa kalau lo gak mau maafin gue sekarang dan gak mau ngomong sama gue,” kata Arsen. “Tapi tolong jangan nolak gue buat nemenin lo jemput Gavi ya? Kita udah telat banget, Nal. Kasian Gavi udah nunggu lama.”

“Gue telat karena lo, brengsek.”

Arsen tersenyum tipis tanpa menoleh ke Nala. Mobil Gandi yang mereka tumpangi pun kini mulai melaju dan membelah jalan menuju sekolah Gavi. Sementara itu, Nala yang sedari tadi diam-diam melirik Arsen hanya bisa pasrah sembari memerhatikan memar di sudut bibir si mantan.

Selama dalam perjalanan menuju sekolah sang anak, tak sekali pun Nala mengeluarkan suara. Arsen pun sama, dia paham kalau Nala masih tidak ingin diganggu oleh dirinya. Sampai ketika Arsen dan Nala telah sampai tepat di depan sekolah Gavi, Arsen menahan lengan Nala yang hendak turun dari mobil. Sontak Nala menoleh ke arahnya dengan raut datar.

“Apa lagi?”

“Di luar panas,” sahut Arsen lalu membuka bucket hat-nya. Arsen pun memasangkan topi itu pada Nala yang masih menatapnya dengan datar, “Lo pake ini ya.”

Nala hanya mendengus sebagai respon sebelum bergegas turun dari mobil guna menjemput Gavi yang sudah menunggu di dalam sekolah. Arsen sendiri tetap diam di dalam mobil sambil memantau Nala hingga lawan mainnya itu kembali bersama Gavi ke mobil. Namun kali ini Nala tidak lagi duduk di sebelahnya melainkan di jok belakang bersama anaknya.

“Gimana sekolahnya hari ini, ganteng?” tanya Arsen sesaat setelah menoleh ke arah Gavi.

“Om Arsen!” Gavi nampak kaget sekaligus antusias melihat Arsen duduk di balik kemudi itu, “Gavi kira Om Gandi yang bawa mobil.”

“Om Gandi udah ke apartemen Om Arsen, soalnya hari ini Om pengen ngajak Gavi sama Papa makan-makan.” sahut Arsen lalu melirik sekilas ke arah Nala. “Jadi tadi Om Arsen nyuruh Om Gandi sama Om Endra masak banyak.”

“Gavi juga bisa ketemu lagi sama sama Spiderman Om Arsen kan?”

“Bisa, sayang.” kekeh Arsen.

“Tapi Gavi minta izin dulu sama Papa ya? Kalau diizinin, kita ke apartemen Om Arsen sekarang.”

“Papa,” Gavi mendongak kepada Nala diikuti senyum. “Gavi mau ikut ke rumah Om Arsen, boleh?”

“Sayang,” Nala mengusap lembut kepala Gavi. “Kan baru hari ini Papa bisa pulang cepet banget dari tempat kerja, jadi Papa mau berdua sama Gavi di rumah. Mau puas-puasin main bareng Gavi.”

“Kapan-kapan aja ya main ke rumah Om Arsen?” timpal Nala.

Gavi mengangguk lemah lalu kembali menatap Arsen yang masih memandanginya dari jok depan. Sebelum Gavi membuka suara, Arsen lebih dulu berkata.

“Gavi bilang ke Papanya coba, Gavi boleh main berdua sama Papa kok di kamar Om Arsen,” Arsen ikut bersuara. “Om gak bakalan ganggu kalian berdua.”

Nala mendelik, sementara lawan mainnya itu menyeringai sesaat sebelum kembali angkat bicara.

“Lagian kasian Om Gandi sama Om Endra, udah masak banyak-banyak tapi gak ada yang makan.”

Nala berdeham pelan, “Sayang, bilang ke Om Arsen, kalau Papa enggak mau bikin repot di sana.”

“Kenapa Papa sama Om Arsen bilangnya sama Gavi?” Si kecil mencebik dengan raut bingung.

“Soalnya Papanya Gavi tuh lagi marah sama Om Arsen,” sahut Arsen yang membuat Nala lantas melotot. Seolah memberi kode kepada Arsen agar tak memberi tahu hal yang macam-macam ke anaknya. Tapi Arsen tidak peduli.

“Tuh liat, Papanya Gavi aja nggak mau duduk di samping Om,” kata Arsen. “Om Arsen sedih banget.”

“Kenapa Papa marah sama Om Arsen? Emang Om Arsen nakal ya, Papa?” tanya Gavi amat polos.

“Iya, Sayang. Om Arsen nakaaal banget.” sahut Nala lalu melirik Arsen sinis diikuti seringai puas.

Gavi beralih menatap Arsen. “Om Arsen udah minta maaf belum?”

“Udah, tapi Papanya Gavi belum maafin Om Arsen.” jawab Arsen.

“Papa,” Gavi meraih tangan Nala. “Kenapa Papa belum maafin Om Arsen? Kata Ibu guru, orang baik harus saling memaafkan, Papa.”

Arsen mengulum bibirnya guna menahan tawa, sementara Nala lantas memaksakan senyumnya.

“Papa udah maafin Om Arsen kok,” kata Nala. “Papa duduk di sini karena pengen nemenin Gavi. Pengen dengerin cerita Gavi di sekolah tadi gimana.”

“Tapi Om Arsen sedih, Papa. Kasian,” Gavi menatap Arsen iba, sedang yang ditatap demikian pun ambil kesempatan untuk membuat raut wajahnya semakin menyedihkan. “Papa duduk di depan aja. Nanti di rumah Om Arsen kan Papa main sama Gavi.”

“Ya udah, Papa duduk di depan.”

Gavi tersenyum sumringah, pun Arsen yang seketika mengajak anak lelaki itu untuk melakukan high five. Nala sendiri hanya bisa pasrah dan pindah ke jok depan.