Posesif

Arsen dan Nala beserta manager mereka akhirnya telah sampai di lokasi pemotretan untuk sampul majalah BEYOND. Kini para aktor itu pun dituntun oleh stylist dari majalah menuju ke fitting room. Saat itu pula Arsen dan Nala tau pakaian apa yang akan dikenakan keduanya untuk pemotretan itu.

“Yang ini buat Nala?” tanya Arsen saat melihat Nala hanya akan mengenakan outer dengan aksen layaknya bulu domba berwarna putih. Arsen terganggu dengan tidak melihat adanya dalaman.

“Kenapa gak dipakein inner?”

“Iya, Sen. Nanti bagian dada Nala sampai ke perut bakalan kebuka dikit.” jawab sang stylist laki-laki.

“Ini gak kita pakein inner karena kita mau look-nya lebih mature, tapi si kesan classy tetep dapet.”

“Emang look mature cuma bisa didapetin dengan buka baju ya?”

“Sen,” Nala menghentikan Arsen yang melayangkan protesnya itu.

“Bentar ya, Mas.” Nala tersenyum kikuk kepada si stylist. “Saya mau ngobrol berdua dulu sama dia.”

Okay, Nal. No worries. Kalian sekalian siap-siap ya sebelum team make up artist sama hair stylist masuk entar,” katanya.

Nala mengangguk diikuti senyum tipis. Dia kemudian melirik Gandi dan Endra yang masih berdiri tak jauh darinya dan Arsen. Nala pun memberi isyarat agar manager-manager itu juga ikut keluar dari wardrobe room yang termasuk di dalamnya juga ada fitting room.

Setelah semua orang pergi dan yang tersisa di dalam ruangan itu hanya mereka berdua, Nala pun menghela napasnya kasar. Nala menatap Arsen dengan ekspresi yang jelas sudah sangat kesal.

“Lo ngapain sih tadi?”

“Lo gak liat baju buat lo itu kayak gimana, Nal?” balas Arsen. “Sama aja kalau lo telanjang tau nggak?”

“Gue gak suka badan lo diliatin sama banyak orang,” timpalnya.

“Cukup!” Nala menunjuk wajah Arsen. “Lo sama sekali gak ada hak ngelarang-larang gue lagi buat make baju yang gak lo suka.”

We’re nothing,” bisik Nala. “Kalau pun lo masih pacar gue, lo nggak boleh seenaknya ngomong kayak gini di atas kepentingan kerjaan.”

“Suka atau gak suka, itu urusan lo. I don’t care. Tapi tolong, gak usah nunjukin itu ke orang lain.” ujar Nala dengan penekanan sebelum mengambil pakaian yang tadi Arsen maksud dengan sedikit kasar. Sementara itu, Arsen yang ditinggal Nala ke fitting room pun hanya mampu mengacak-acak kasar surainya.


Sejak pemotretan dimulai hingga kini telah selesai, suasana hati Arsen sangat jauh dari kata baik. Meski Nala hanya mengenakan pakaian tanpa dalaman itu dalam satu sesi pemotretan, tapi Arsen tetap tidak bisa lupa bagaimana cara orang-orang dalam ruangan tadi menatap lekuk tubuh Nala.

Arsen benar-benar terganggu.

“Ra, Sen, gue sama Nala mau ke Club nih. Kalian mau ikut gak?”

Nala mendelik ke Gandi yang justru mengajak Arsen ke Club. Padahal, meski sedari tadi Nala terkesan cuek, dia tidak bodoh untuk menyadari bahwa Arsen selalu menatap dingin padanya.

“Gue ngikut ke artis gue aja deh,” Endra pasrah. “Gimana nih, bos?”

Namun, bukannya memusatkan atensi kepada Endra yang baru saja bertanya, Arsen justru diam sambil menatap datar ke Nala.

“Anak lo gimana?” tanyanya. “Lo mau pulang ke apartemen dalam kondisi mabuk terus nunjukin itu ke Gavi? Ke mana otak lo, Nal?”

“Nggak usah sok tau apalagi ikut campur urusan gue sama anak gue,” balas Nala tidak kalah datar.

Merasa bahwa akan adanya adu mulut yang kemudian berujung pertengkaran, Gandi pun angkat bicara. Dia lantas melerai kedua sahabatnya itu dengan berkata.

“Malam ini Gavi nginep di rumah Omanya kok, Sen.” katanya lalu beralih memandangi wajah Nala.

“Udah dong, Nal. Jangan apa-apa dibawa emosi. Ayo, kita ke club sekarang,” Gandi melirik Endra.

“Gue sama Nala duluan ya, Ra. Gue tunggu lo sama Arsen di sana kalau lo pengen nyusul.”

“Oke,” sahut Endra lalu melirik ke Arsen. “Lo pulang aja ya, Sen? Lo kayaknya lagi badmood hari ini.”

“Gue mau nyusulin mereka.”

“Ya elaaah,” desah Endra sambil mengikuti Arsen yang lebih dulu melangkah ke mobilnya. “Tapi lo jangan berantem di sana. Janji?”

“Gue gak janji.”

“Arsen, elo jangan bikin gue pusing dong. Inget series lo belum tayang,” pinta Endra.

Arsen tidak memedulikan sang manager yang kini telah duduk di sampingnya; tepatnya di bangku kemudi. Sebab kini Arsen lantas memilih ’tuk menancap gas dan mengikuti ke mana mobil Gandi membawa si mantan pacar pergi.


Arsen tahu, mengikuti Nala ke club bukan pilihan yang tepat untuk kesehatan hatinya. Sebab, dia tahu bahwa Nala akan turun ke lantai dansa dengan tubuhnya yang meliuk-liuk di antara lelaki maupun wanita di sana. Seperti sekarang, dimana Nala tengah menari sambil mengikuti alunan musik yang berdentum keras.

Namun, yang membuat kepala juga relung dada Arsen semakin panas adalah saat dia tiba-tiba melihat Bagas yang entah datang dari mana lantas menghampiri Nala. Bagas mendekatkan wajah di samping kepala Nala. Hal itu pula yang membuat Arsen yang sedari tadi hanya duduk di meja sambil mengawasi Nala dari jauh seketika berdiri. Arsen kemudian ikut menghampiri Nala sebelum menarik paksa lengan si lawan main agar keluar dari tempat itu.

“Lo apa-apaan sih, Sen?” Nala berontak, tapi kekuatan Arsen yang kini telah berada di bawah pengaruh alkohol semakin besar darinya. “Lepasin gue, Arsen!”

“Pulang!”

“Gak mau!”

“Arsen, lepasin Nala!”

Langkah Arsen terhenti tepat di area parkir club saat suara yang dia kenali menggema. Dia lantas menoleh dan mendapati Bagas mengikutinya juga Nala dari belakang. Sontak Arsen berbalik, masih sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Nala.

“Lo siapanya Nala, hah?” Arsen menyeringai. “Lo gak ada hak buat ngelarang gue bawa Nala.”

“Lo juga gak ada hak bawa Nala,” balas Bagas. “Lo itu bukan siapa-siapanya. Posisi kita sama di sini.”

“Bukan siapa-siapanya?” Arsen tertawa lantang. “Lo gak tau?”

“Arsen!” Nala seketika menarik lengan Arsen agar menoleh ke arahnya. Dia takut kalau Arsen akan mengatakan semua tentang masa lalu mereka kepada Bagas.

“Udah. Kita pulang,” kata Nala.

“Nggak mau,” kini Arsen yang berontak. “Gue gak mau pulang sebelum gue ngasih tau dia—”

“Arsen, cukup! Lo mabuk!”

“Gue gak mabuk, Nala!” balas Arsen lalu menoleh ke Bagas.

“Lo mau tau gue siapanya Nala?”

Nala menepis kuat cengkeraman tangan Arsen hingga tautannya terlepas. Dia kemudian beralih menarik kerah baju sang mantan pacar lalu mengikis jarak wajah mereka. Setelahnya, dia berbisik.

“Otak lo yang ke mana, Sen. Lo udah gila? Hah?” Nala geram.

“Kenapa, Nal?” Arsen tersenyum miring. “Kenapa lo nggak pengen dia tau? Bukannya bagus kalau—”

Nala melayangkan pukulan yang cukup keras di pipi Arsen. Bagas yang melihat hal itu pun melotot saat mendapati Arsen terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah.

“Nal. Udah, Nal.” Bagas seketika menghentikan Nala. “Entar ada yang nge-liat terus up ke media.”

“Kalian ada series bareng loh,” timpal Bagas sambil menahan bahu Nala. Namun, Nala dengan sigap menepis tangannya itu.

“Lo boleh pergi sekarang, Gas.”

“Tapi, Nal—”

“Gue bilang pergi,” ulang Nala. “Tinggalin gue sama dia di sini.”

Melihat tatapan tidak suka Nala, Bagas akhirnya mengalah. Bagas memundurkan langkah sebelum berbalik dan meninggalkan dua aktor itu di sana. Sementara itu, Nala yang kini juga sudah mulai terpengaruh akan alkohol yang tadi dia minum pun meremas kuat rambutnya. Setelahnya, dia menatap Arsen dengan nyalang.

“Lo egois, Sen.” gumam Nala. “Ini yang bikin kita gak bisa bersama.”

Tepat setelah mengucap kalimat itu, Nala kembali berjalan masuk ke club. Sementara Arsen tetap duduk di tempatnya sebelum merogoh handphone di sakunya. Di sana Arsen menelepon Gandi.

“Di, jangan ngasih Nala minum lagi. Dia kayaknya udah mabuk.”

“Iya, ini Nala udah minta dianter pulang ke apartemennya kok. Dia juga abis bilang ke Endra supaya nganterin lo balik.” balas Gandi dari sambungan telepon mereka.

“Oke.”

Arsen mengakhiri panggilan itu sebelum menghela napas pelan. Dengan posisi masih terduduk, Arsen lantas memeluk lututnya lalu menenggelamkan wajahnya di sana. Kepalanya sudah sangat pening, entah karena efek dari alkohol atau karena memikirkan Nala dan frasa yang diucapnya.