jaesweats

Nala yang semula tengah sibuk merapikan seragam sekolah Gavi lantas menoleh ke sumber suara saat bel apartemennya berbunyi. Dia lalu kembali menatap si buah hati dengan senyum di bibirnya.

“Om Gandi udah dateng tuh, kita berangkat sekarang ya, Sayang?”

“Oke, Papa!”

Diusapnya puncak kepala Gavi dengan sayang sebelum Nala berdiri dan menggandeng tangan kecil sang anak. Mereka berjalan beriringan hingga akhirnya Nala membuka pintu apartemennya. Namun, bukannya mendapati Gandi, Nala justru dibuat kaget saat melihat Arsen lah yang kini sedang berdiri di hadapannya.

“Om Arsen!”

Gavi berseru saat melihat Arsen, sedang Arsen refleks tersenyum sambil mengusap kepala Gavi.

“Pagi, ganteng. Udah siap ke sekolah belum?” tanya Arsen.

“Udah, Om Arsen.” Gavi lantas celingukan sejenak sebelum kembali menatap Arsen. “Tapi Om Gandi belum datang, Om.”

“Kata Papa, Om Gandi yang mau jemput Gavi sama Papa.” katanya.

“Kalau Om Arsen yang nganterin Gavi ke sekolah, gak apa-apa ya? Om Arsen udah ngomong sama Om Gandi kok tadi,” tutur Arsen.

“Soalnya Om Gandi musti kerja sama Om Endra. Itu loh temen Om Arsen yang cubit pipi Gavi pas nganterin Papa ke tempat kerja dulu. Ingat gak?” timpalnya yang dibalas anggukan oleh Gavi.

“Gandi mana?” Nala memotong percakapan Arsen dan anaknya. Dia menatap wajah Arsen datar.

“Udah ke lokasi bareng Endra,” Arsen senyum. “Mereka butuh waktu lebih banyak buat ngatur schedule kita as couple, jadi gue nyuruh mereka duluan aja. Biar bisa ngomongin kerjaan di jalan.”

Mata Nala memicing tidak suka. Dia tahu betul kalau itu hanyalah alibi dan alasan tidak masuk akal Arsen agar dia bisa bertemu lagi dengan Gavi dan menjemputnya.

Sementara itu, Arsen yang sudah paham akan maksud tatapan tak suka Nala justru melukis senyum kemenangan. Arsen lalu kembali memandangi Gavi sambil sedikit membungkuk diikuti senyum.

“Gimana? Gavi mau gak kalau dianterin sama Om Arsen?”

Gavi mengangguk, “Mau!”

“Gavi izin ke Papa dulu,” titah Arsen dengan sengaja. Sebab, Arsen tahu bahwa Nala tidak akan pernah mampu menolak permintaan anak tercintanya.

“Papa, boleh kan?” tanya Gavi sambil mendongak kepada Nala.

Meski harus dengan berat hati, pada akhirnya Nala pun berkata.

“Boleh, Sayang.”

“Ayo, Om Arsen!”

Okay, let’s go!”

Nala hanya bisa geleng-geleng kepala melihat satu tangan Gavi digandeng oleh Arsen, sedang tangan yang satunya lagi masih Nala genggam. Alhasil, mereka berjalan beriringan dengan Gavi yang berada di tengah-tengah.

Sampai saat mereka telah tiba di basemen dimana mobil Arsen terparkir, Arsen lantas membuka pintu di jok belakang. Arsen lalu menuntun Gavi agar masuk dan duduk dengan nyaman di sana. Setelahnya, Arsen buru-buru membuka pintu jok penumpang di samping kemudi untuk Nala. Beruntung, tidak ada penolakan dari si lawan main seperti biasa.

Selama dalam perjalanan, Arsen dan Gavi nyaris tak pernah diam. Pasalnya, Arsen selalu mengajak Gavi bercerita tentang apa saja yang anak itu lakukan beberapa hari terakhir saat mereka tidak berjumpa. Seperti saat ini, Arsen pun mengajukan pertanyaan lain.

“Semalem pas Papa belum balik kerja, Gavi di rumah Oma ya?”

“Iya, Om Arsen.” sahut Gavi. “Om Gandi sama Papa jemput Gavi pas Gavi tidur di rumah Oma.”

“Kenapa Gavi gak nginep aja di rumah Oma?” tanya Arsen lagi.

“Soalnya hari ini Papa mau nganterin Gavi ke sekolah,” katanya. “Rumah Oma jauh dari sekolah Gavi. Nanti Gavi telat ke sekolah. Papa juga telat kerja.”

“Mm, gitu yaa.” Arsen melirik ke spion tengah mobil. Dia refleks tersenyum saat pandangannya bertemu dengan Gavi di sana.

“Gavi pinter banget sih gak mau telat sekolah, gak mau Papanya jadi telat kerja juga.” puji Arsen. “Siapa yang ngajarin, ganteng?”

“Ayah,” kata Gavi. “Kalau Gavi telat, nanti Ayah marah. Ayah kan harus nganterin Papa kerja juga.”

“Emang Ayahnya Gavi sering marah ya?” alis Arsen bertaut.

“Iya, tapi kata Ayah, Ayah marah karena Ayah sayang sama Gavi.”

Arsen lantas melirik Nala di sisi kirinya. Lawan mainnya itu sibuk menatap kosong ke luar jendela. Seolah tidak ingin ikut terlibat dalam percakapannya dan Gavi.

“Ayahnya Gavi pasti gak pengen Gavi jadi anak yang males,” kata Arsen. “Jadi Gavi diajarin supaya gak telat sama Ayahnya. Iya kan?”

“Iya, Om Arsen.” Gavi senyum.

Perjalan menuju sekolah Gavi pun kembali berlanjut hingga mereka akhirnya tiba di tujuan. Nala lantas menyempatkan diri untuk turun dari mobil lalu mengantarkan Gavi hingga ke depan gerbang sekolahnya.

Sementara itu, Arsen yang setia menunggu di dalam mobil tak henti-henti memandangi Nala dan Gavi di luar sana. Dia diam-diam tersenyum tipis melihat bagaimana Nala memberikan kecupan sayang kepada Gavi sebelum anaknya itu masuk ke sekolah bersama sang Ibu guru.

“Gavi lebih dewasa dari umurnya kalau lagi ngomong,” ujar Arsen saat Nala telah kembali masuk ke mobil. “Apa perasaan gue aja ya?”

“Kenapa?” Nala menatap kosong ke arah depan. “Lo mau bilang kalau cara didik gue salah, Sen?”

“Gak salah,” kata Arsen. “Lo itu orang tuanya, lo yang paling tau cara didik mana yang tepat buat Gavi. Cuman… Gue khawatir aja kalau misal dia dipaksa berpikir dewasa di umurnya yang segitu.”

“Padahal di umur-umur segitu, dia boleh kok nge-rengek atau ngelakuin kesalahan. Gavi gak harus selalu dituntut buat gak ngelakuin kesalahan, that’s how kids learn from their mistakes.”

“Makasih ya,” ucap Nala sebelum menoleh ke Arsen. Dia menatap wajah Arsen lamat, “Makasih lo udah jelasin ke Gavi juga kalau Ayahnya marah buat ngajar dia.”

“Mas Tristan gak pernah bilang kayak gitu,” lirih Nala. “Dia cuma selalu ngasih tau Gavi kalau dia marah karena sayang. Sampai-sampai gue takut yang tertanam di pikiran anak gue sampai dia gede nanti itu juga marah tanda sayang. Padahal marah itu emosi. Gak semua marah tanda sayang.”

“Gue bersyukur ada orang lain yang ngasih tau Gavi selain gue,” timpalnya. “Jadi dia tau kalau gue gak cuma sekedar nenangin pas dia nangis abis dimarahin dulu.”

Arsen tidak mengatakan apa-apa lagi sebagai respon. Dia hanya menghela napas sambil merogoh celananya. Saat itu pula Arsen mengeluarkan gelang Nala yang sempat tertinggal di set syuting.

Nala pun sedikit tersentak kala Arsen meraih tangannya. Arsen lalu memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Nala tanpa ada penolakan. Nala hanya diam dan sesekali melirik wajah Arsen.

Seusai memasangkan gelang itu, Arsen lantas kembali bersuara.

“Lo udah minum vitamin?”

“Belum.”

“Kok belum?”

Nala mendengus, “Vitamin gue abis, kemaren gue lupa beli lagi.”

Arsen berdecak lalu membuka dashboard mobilnya. Dia meraih vitamin dengan kemasan botol juga air mineral dari dalam sana.

“Nih, minum dulu.” titan Arsen sambil menyodorkannya ke Nala.

“Gak usah,” tolak Nala. “Gue bisa beli terus minum di lokasi entar.”

“Gue gak nerima penolakan, Nal.”

“Kok lo maksa sih?” sungut Nala.

Arsen menatap Nala dengan raut datar. “Minum sekarang atau gue yang bantu lo minum vitamin ini dari mulut gue. So? Wanna try?”

Malas membuang-buang waktu untuk adu mulut dengan Arsen, pada akhirnya Nala menurut. Dia meminum satu kapsul vitamin itu sebelum dia mengembalikan vitamin itu kepada sang empu.

Namun, bukannya menerimanya, Arsen justru memasukkan botol kecil berisi vitamin itu ke dalam tas Nala yang ada di sampingnya. Sebelum Nala protes, Arsen pun seketika kembali angkat bicara.

“Vitamin buat gue udah ada di samping gue,” katanya. “Jadi gue udah gak perlu vitamin itu lagi.”

“Oh,” sarkas Nala dengan penuh penekanan sebelum membuang pandangannya ke luar jendela.

Arsen pun hanya terkekeh lalu kembali menancap gas, sedang Nala diam-diam tersenyum tipis.

Selepas foto-foto bareng temen-temen kuliah juga adik tingkat, Dipta sama Dikta pun mutusin buat pulang. Mereka berdua lalu jalan beriringan ke arah basemen—dimana mobil Dikta terparkir—sambil nenteng beberapa paper bag dan bucket buat Dipta. Saat sampai di samping mobil Dikta, sang empu lantas naroh semua hadiah dari temen-temen Dipta itu ke dalam bagasi mobilnya.

Setelahnya, buru-buru Dikta bukain pintu penumpang di samping kemudi buat Dipta. Namun, cuma persekian detik berselang setelah Dipta masuk ke mobil, dia pun dibuat kaget.

Gimana enggak?

Di jok belakang mobil Dikta udah dipasang begitu banyak balon berbagai macam warna. Dikta bahkan nyetak banner ucapan selamat buat Dipta lengkap sama foto mereka berdua. Belum lagi boneka kucing yang lagi pakai topi wisuda juga duduk di sana.

“Siapa yang nyiapin ini semua sih?” tanya Dipta pas Dikta juga udah masuk ke mobil dan duduk di sisinya. “Perasaan, pas kita ke kampus tadi gak ada ginian deh.”

“Kamu sama anak-anak yang lain juga gak pernah jauh-jauh dari aku sebelum ujian,” kekeh Dipta.

“Anak-anak PR Club yang aku minta buat hias mobil aku kek gini buat kamu,” Dikta pun ikut terkekeh. “Gimana? Suka gak?”

“Mm, suka. Suka banget,” Dipta kembali noleh ke jok belakang.

Dipta natap semua yang udah Dikta siapin dan entah kenapa dia lagi-lagi dibuat emosional. Dipta gak mau nangis lagi, tapi ngeliat gimana Dikta bener-bener berusaha buat nyenengin dia hari ini bikin Dipta terharu.

“Dip? Kamu nangis?”

“Gak kok,” Dipta kembali natap pacarnya. “Dikit lagi sih tapi.”

Dikta senyum sambil membelai pipi Dipta. “Senyum dong, Dip.”

Titah Dikta lantas Dipta turutin. Dia senyum manis sampai lesung pipi kecilnya nampak. Tapi Dipta kemudian tiba-tiba teringat akan sesuatu. Alhasil, dia natap Dikta dengan raut wajah memelasnya.

“Tapi aku sebenernya nungguin hadiah dari kamu,” rengek Dipta.

“Hadiah?” Dikta ngangkat alis.

Dipta ngangguk sebelum deketin wajahnya ke wajah Dikta. Sambil senyum, Dipta kemudian nutup kedua matanya. Sementara itu, Dikta yang udah paham sama maksud pacarnya pun ngulum senyum. Dia noleh ke kanan dan ke kiri mobilnya buat mastiin apa ada yang bakalan ngeliat mereka atau gak sesaat sebelum mulai nyium wajah Dipta. Dikta ngecup dahi, kedua pipi, hidung sampai akhirnya ke bibir merah Dipta.

“Udah?”

Dipta buka mata, dia manyun.

“Kok yang di bibir bentar banget, Ta?” protesnya. “Kamu nyiumnya yang kek ‘mmmuaah!’ gitu dong.”

Ngeliat gimana Dipta meragain suara kecupan sambil monyong-monyong bikin Dikta ketawa. Dia pun nyubit gemas kedua pipi si pacar sebelum beralih nangkup wajah Dipta. Nggak perlu waktu lama buat Dikta mengikis jarak wajah mereka sebelum memagut bibir bawah Dipta. Dikta nyium lembut celah ranum pacarnya itu sambil nutup matanya. Pun Dipta yang diam-diam senyum di sela-sela aksi ciuman manis mereka.

“Gitu?” tanya Dikta setelahnya.

Dipta ngangguk sambil senyum. Dipta kemudian meluk tubuh si pacar sambil nyium wangi Dikta yang selalu bikin Dipta tenang.

“Kita pulang sekarang ya, Dip?” ajak Dikta. “Si Mama pasti udah nungguin kamu deh di rumah.”

Dipta ngangguk sebelum lepasin tautannya sama Dikta. Dipta lalu benerin posisi duduknya supaya ngadep ke depan, pun Dikta yang kini udah nyalain mesin mobil.

Namun, Dipta dibuat heran pas Dikta tiba-tiba menengadahkan satu tangannya di depan Dipta. Dia mikir apa yang Dikta minta. Sampai saat Dikta gerak-gerakin jemarinya, Dipta seketika paham kalau Dikta pengen ngegenggam tangan dia. Sontak Dipta nurut, dia naroh telapak tangannya di atas telapak tangan pacarnya itu.

Senyum tipis Dipta pun kembali terukir pas Dikta ngecup lembut punggung tangannya. Bahkan di saat Dikta udah mulai menancap gas mobil dan fokus ke jalan, dia tetap ngecup spot itu sesekali.

Gak usah ditanya gimana reaksi Dipta. Dia berusaha nahan diri buat nggak loncat kegirangan. Pasalnya, meskipun Dikta udah sering ngasih perlakuan manis sesederhana nyium punggung tangannya, tetep aja Dipta masih ngerasain sensasi menggelitik di perutnya seolah ada kupu-kupu lucu berterbangan di dalam sana.

Dikta benar-benar bikin Dipta jatuh cinta lagi setiap harinya. Begitu juga sebaliknya, Dikta gak pernah berhenti jatuh cinta sama Dipta meski mereka udah jadian sejak masih di semester lima lalu.

Nala membuka pintu apartemen saat belnya berbunyi. Nala sudah bisa menebak kalau hanya Gandi yang akan datang se-pagi ini ke huniannya guna menjemputnya sebelum mengantarnya ke lokasi syuting. Saat pintu terbuka, Nala pun dibuat kaget kala Arsen lah yang justru berdiri di depannya.

Alhasil, buru-buru Nala menutup pintu apartemennya itu dari luar. Nala takut jika saja Mamanya dan Gavi melihat Arsen datang. Nala tidak ingin mereka bertemu lagi. Sudah cukup dirinya saja yang berurusan dengan mantannya itu, pikir Nala yang kini berdiri tepat di hadapan si lawan main.

“Lo ngapain ke sini?”

“Gue mau nge-jemput lo,” sahut Arsen. “Sekalian balikin hp lo.”

“Gandi mana?”

“Si Gandi udah ke lokasi duluan bareng Endra, gue yang nyuruh.”

Nala mendengus. Dia kemudian menengadahkan tangannya ke arah Arsen. “Mana sini hp gue?”

Arsen merogoh saku celananya. Dia meraih gawai Nala sebelum meletakkannya di atas telapak tangan mantan pacarnya itu.

Namun, baru beberapa detik sejak Nala menggenggam gawai miliknya, Arsen tiba-tiba beralih menarik pergelangan tangannya. Arsen lalu memeluk erat tubuh Nala. Kedua lengan kokoh Arsen melingkar sempurna di pinggang ramping Nala, sedang dagunya bersandar di pundak si mantan pacar. Nala pun sudah siap untuk berontak, tapi gumaman Arsen membuat ia mengurungkan niat.

“Nal, dengerin gue sekali ini aja.”

Nala terdiam. Dia membiarkan Arsen melanjutkan ucapannya.

“Gue minta maaf karena cara gue nunjukin rasa sayang gue ke elo dulu malah nyakitin lo.” katanya.

“Rasa cinta gue ke lo waktu itu udah lebih besar dari akal sehat gue, sampai-sampai gue enggak pengen siapapun berani nyentuh lo, apalagi punya niat manfaatin lo terus bikin lo sakit.” timpalnya.

“Gue tau, gue egois. Gue cuma mikirin apa yang menurut gue benar waktu itu tanpa ngomong atau minta pendapat dulu ke lo.”

“Tapi sejak pisah sama lo tujuh tahun lalu, gue udah nyoba kok buat melihat ke dalam diri gue.”

“Gue udah nyoba menyadari apa kesalahan gue dan apa aja yang bisa gue perbaiki…” lirih Arsen.

“Dan sekarang, gue udah dapet kesempatan buat memperbaiki semuanya, Nal.” lanjutnya. “Gue gak mau bilang kalau gue nggak bakal posesif ke elo lagi setelah ini, but i’ll try to understand you more. I promise.” Arsen kemudian menarik dirinya dari pelukannya dengan Nala. Dia menatap lamat wajah sosok terkasihnya dengan pipi yang telah berderai air mata.

“Kembali sama gue ya, Nal? Gue yakin masih ada sedikit ruang di hati lo buat gue,” pintanya. “Kita bisa sama-sama belajar lagi buat saling ngerti satu sama lain. Ya?”

Sama seperti Arsen, kedua pipi Nala pun telah berderai air mata.

“Kenapa baru sekarang?”

Nala tersenyum miring. Dia pun berusaha memelankan suaranya meski ada hasrat untuk berteriak sekaligus membebaskan isaknya tepat di depan wajah si mantan.

“Lo tau gak sih, Sen? Semarah-marahnya gue sama lo sejak hari dimana kita putus, gue tuh gak pernah berhenti nunggu lo buat datang dan minta maaf ke gue.”

“Gue juga sadar kalau gue salah. Gue keras kepala, nggak pengen diatur, gak ngehargain ketakutan lo dan gak mau nyoba ngertiin lo. Tapi sebagai orang yang udah elo bohongin dan kepercayaannya lo rusak karena impiannya tiba-tiba lo renggut, gue pengen lo datang dan minta maaf duluan.” katanya.

“Dulu lo ke mana?” Nala nyaris membebaskan isaknya, “Lo gak pengen datang duluan kan waktu itu? Lo gak ada niat buat dateng.”

Nala meletakkan telunjuknya di atas dada Arsen, “Di sini, Sen...”

“Karena di sini.” timpalnya. “Lo egois, lo gak mau kalah, harus kemauan lo aja yang diturutin, pokoknya cuma lo yang bener.”

“Padahal, dibalik sifat keras kepala gue dan gimana gue selalu memberontak kalau lo mulai posesif, pada akhirnya gue yang selalu dateng ke elo kan?”

“Makanya lo mikir kalau gue lagi-lagi bakalan kembali datang ke lo.” Nala lantas tertawa hambar. “Lo salah. Gue udah nyerah buat selalu nyuapin ego lo itu, Arsen.”

Nala menarik napasnya dalam-dalam lalu menyeka air mata di pipi sebelum kembali bersuara.

“Udah nggak ada yang perlu kita perbaiki,” ujar Nala. “Maksain diri buat nyatuin dua hal yang nggak cocok cuma bakalan nyiksa kita.”

“Kita cukup jadiin semua yang udah kita lewatin itu pelajaran buat hubungan kita sama orang lain nanti,” kata Nala. “Sekarang gue pengen berdamai dengan tenang, Sen. Semua dendam gue ke lo juga udah berakhir di sini.”

“Lagian gue udah puas banget ngeliat lo ngelawan ego lo buat minta maaf duluan ke gue. Lo bahkan bertekuk lutut buat minta gue kembali, desperately.”

“So, I won.” timpal Nala diikuti seringai, tapi sesaat setelahnya Arsen justru ikut menyeringai sambil mengikis jarak antara tubuh mereka. Alhasil, punggung Nala berakhir menubruk pintu.

“Gue anggap kisah kita yang lalu itu series lama,” kata Arsen. “Dan iya, lo menang di series kali ini.”

“Tapi kisah kita belum berakhir, Nal. I’ll win over you on the sequel series.” timpalnya dengan bisikan. “Gue akan menangin hati lo lagi.”

Keep dreaming,” ujar Nala sinis sambil mendorong dada Arsen.

“Lo udah siap belum sih? Kalau udah, kita berangkat sekarang.” tanya Arsen. “Oh iya, elo juga belum balikin handphone gue.”

“Bentar, gue mau pamit ke Mama gue sama Gavi bentar. Sekalian ngambil hp lo,” Nala kemudian berbalik, hendak masuk ke dalam apartemennya, tapi satu lengan Nala tiba-tiba dijegal oleh Arsen. Alhasil, tubuh Nala pun kembali berbalik ke arah si mantan pacar.

“Ada apa lagi sih?”

“Ada serangga di kepala lo.” kata Arsen, “Diem dulu, jangan gerak.”

Nala menahan napas saat dia mendengar kata serangga. Nala berusaha untuk tidak berteriak dan melompat, sebab dia sangat geli jika itu tentang serangga. Dia pun hanya berpasrah saat Arsen mendekat sambil memegangi kepalanya. Nala berharap agar serangga itu segera menghilang.

Namun, di luar perkiraan Nala, Arsen justru tiba-tiba mengecup keningnya. Setelahnya, si lawan main kembali menatap wajahnya dengan senyum usil di bibirnya. Saat itu pula Nala baru tersadar jika Arsen telah mengelabuinya.

“Sialan.” Nala lantas menginjak kaki Arsen sebelum buru-buru masuk ke dalam apartemennya, sementara Arsen hanya terkekeh pelan sambil mendesis kesakitan.

Saat masuk ke apartemen guna berpamitan sekaligus mengambil gawai Arsen, tatapan Nala lantas tertuju ke handphone-nya yang kini tengah digenggamnya. Nala baru saja tersadar jika case hitam dengan motif bintang berwarna putih telah terpasang di sana. Nala pun seketika menduga jika Arsen lah yang memasangnya.

Tanpa sadar, senyum terukir di bibir tipis Nala. Namun, hanya persekian detik setelahnya, dia buru-buru mengulum senyum bersamaan dengan sang Mama yang datang menghampirinya.

“Kirain kamu udah berangkat.”

“Belum, Ma. Ini Nala baru mau pamitan sekalian ngambil HP.”

“Terus yang dateng tadi siapa?” tanya si Mama penasaran. “Kok kamu lama banget di luar, Nal?”

“Gandi, Ma. Cuman kita ngobrol dulu,” Nala berdeham. “Ayo, Ma. Aku pengen pamitan sama Gavi.”

“Oke.”

Selepas membaca chat dari sang manager, Arsen lantas menahan senyum lalu meletakkan gawai di atas meja; tepat di samping milik Nala. Kini, atensi Arsen seketika tertuju pada Nala yang sedang sibuk membaca script-nya untuk scene terakhir sebelum pulang.

“Di, entar gue nebeng sama lo ya?” tanya Arsen kepada Gandi yang duduk di seberangnya dan Nala, tapi matanya justru masih tertuju kepada sang lawan main.

Sontak hal itu membuat kening dan alis Gandi berkerut heran. Gandi seketika berpikir kalau Arsen mungkin ingin mengusili Nala yang sejak jam makan siang tadi bersikap cuek kepada Arsen.

“Emang mobil lo kenapa?”

“Gak kenapa-napa,” jawab Arsen. “Tapi Endra udah gue izinin buat pulang duluan tadi pake mobil gue. Ibunya masuk Rumah Sakit.”

“Sekarang udah banyak taxi sama ojek online,” sindir Nala tanpa menoleh sedikitpun ke Arsen.

“Tapi gue maunya pulang sama lo,” bisik Arsen diikuti seringai.

Nala mendelik, setelahnya dia lantas meraih handphone di atas meja, memasukkannya ke dalam saku sebelum berdiri. Nala lalu meninggalkan tempat itu guna bersiap-siap ke set dimana dia akan beradu peran dengan Arsen tepat setelah waktu break habis.

Sama halnya dengan Nala, Arsen pun meraih handphone di atas meja lalu mengantonginya. Arsen kemudian berdiri dari duduknya, tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Hal itu membuat Arsen nyaris oleng, beruntung Gandi dengan sigap berdiri lalu menahannya.

“Lo pasti udah lemes kan?” tebak Gandi yang tau jika Arsen sama sekali belum makan sejak siang tadi, “Udah lah, Sen. Bisa gak lo sama Nala gak sama-sama keras kepala dan nggak mau dibilangin gini? Gue yang capek ngeliatnya.”

“Gue gak apa-apa,” ujar Arsen sambil menepuk pundak Gandi.

Gandi hanya mampu menghela napasnya pasrah. Membuat dua orang yang kepalanya sekeras batu menjadi penurut memang lah tidak semudah melihat es krim mencair. Arsen dan Nala adalah tipikal yang tidak ingin menyerah akan sesuatu yang sangat mereka inginkan sebelum berhasil mendapatkan hal itu.

Beruntung, selama syuting untuk scene terakhir hari ini, Arsen dan Nala bisa menyelesaikan adegan demi adegan dengan amat baik. Alhasil, Gandi akhirnya juga bisa membawa kedua sahabatnya itu untuk pulang lebih awal. Belum lagi, Gandi kepikiran soal Arsen yang tetap kekeh untuk menahan lapar. Sejujurnya, Gandi khawatir. Tapi membujuk Nala supaya Nala mengingatkan Arsen agar segara makan bukan lah opsi yang tepat.

Jelas, Nala akan tetap menolak.

Sesampainya di parkiran, dimana mobil Gandi berada, Arsen pun berdiri di samping pintu jok depan untuk penumpang. Alhasil, Nala yang mengira bahwa Arsen akan duduk di samping Gandi pun memilih untuk duduk di jok belakang. Namun, hanya sesaat setelah Nala mendaratkan pantat dengan nyaman, Arsen justru tiba-tiba membuka pintu mobil yang bersebelahan dengan Nala.

“Lo kenapa gak di depan aja sih?”

“Gue pengen di samping lo.” kata Arsen, “Tapi gue tau lo bakalan nolak kalau gue kasih tau duluan, jadi gue pura-pura mau duduk di depan tadi. Kenapa? Kaget yaa?”

Arsen tersenyum usil sebelum melirik Gandi yang kini juga telah masuk ke dalam mobilnya, sedang Nala yang sudah sangat lelah untuk sekedar adu mulut dengan Arsen hanya mendengus lalu menatap ke luar jendela.

“Ayo, Di. Jalan.” kata Arsen.

“Lo gak mau mampir makan dulu di mana kek?” Gandi melirik kaca spion tengah mobilnya, berharap hati Nala akan luluh untuk segera membujuk Arsen. “Lo gak laper?”

“Laper sih, tapi ada yang enggak mau makan sama gue tadi. Jadi ya udah, gue nggak mau makan sampai dia yang ngingetin gue.”

Arsen melirik Nala, tapi si lawan main justru telah menutup mata. Gandi pun geleng-geleng kepala.

Selama dalam perjalan, Arsen tak henti-henti menatap wajah Nala sambil tersenyum tipis. Mantan pacarnya itu nampak kelelahan hingga tertidur sangat nyenyak. Nala bahkan tidak terusik sedikit pun saat kepalanya membentur jendela mobil. Arsen yang tidak ingin Nala kesakitan saat bangun nanti pun menuntun kepala Nala agar bersandar di bahunya.

“Gavi lagi di rumah Mamanya Nala gak, Di?” Arsen penasaran.

“Gak,” sahut Gandi. “Mamanya Nala yang ke apartemen Nala.”

Gandi lalu melirik spion tengah mobilnya hingga pandangannya dengan Arsen bertemu sesaat.

“Kenapa, Sen?” timpalnya.

“Kirain Gavi nggak di apartemen, Papanya pengen gue bawa kabur ke apartemen gue.” kekeh Arsen, “Mumpung Nala lagi tidur pules.”

“Gila lo,” Gandi geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil.

“Mamanya Nala bakal nginep di apartemen Nala kok, jadi Gavi ada yang nemenin.” lanjut Gandi. “Gimana? Lo pengen bawa Nala gak? Gue kangen liat lo diamuk.”

Arsen tersenyum tipis, “Bukan soal Gavi ada yang nemenin apa gak, tapi kalau dia di apartemen, pasti Gavi bakal nunggu Papanya pulang. Kasian kalau besok pagi dia bangun terus gak liat Nala.”

“Gue gak nyangka Gavi bisa jadi alasan lo buat gak nekat,” kekeh Gandi. “Biasanya lo terabas aja.”

Lagi, Arsen kembali tersenyum tipis. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya dan memilih untuk memandangi wajah Nala.

Sama seperti Nala, Arsen yang sudah diserang rasa kantuk dan lelah pun ikut tertidur tak lama setelahnya. Sementara itu, Gandi yang diam-diam memerhatikan bagaimana kedua sahabatnya terlelap dengan posisi kepala saling bersandar nyaman lantas menghela napasnya pelan. Ada rasa tidak tega melihat Nala dan Arsen harus sejauh saat ini, tapi Gandi tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan mereka. Sebab, hanya Nala dan Arsen lah yang paling tau apa yang mereka inginkan dan jadi pilihan terbaik.

Menit demi menit berlalu, laju mobil Gandi pun telah membawa kedua aktor itu nyaris sampai di apartemen Nala. Pada saat yang bersamaan, mata Nala seketika terusik dengan cahaya lampu di pinggir jalan. Alhasil, Nala lantas terbangun dan menyadari bahwa dirinya bersandar di bahu Arsen.

Sejenak, Nala memandangi wajah Arsen. Pikirannya tiba-tiba saja berlabuh pada kenangan dimana dahulu mereka kerap terlelap dengan posisi seperti saat ini.

“Lo udah bangun, Nal?”

Nala buru-buru bangkit ke posisi duduk tegak lurus ketika Gandi bersuara. Nala bergumam kecil sebagai jawaban sambil melihat jalanan di sekitarnya. Seketika Nala sadar bahwa sebentar lagi dia akan sampai di apartemen. Setelahnya, Nala berpikir sesaat.

“Lo abis nganterin si Arsen mau pulang ke rumah lo?” tanyanya. “Sekarang udah jam berapa loh.”

“Kayaknya gak sih,” sahut Gandi. “Gue juga udah capek soalnya.”

Nala berdeham, “Mm, mending lo nginep aja di apartemen dia.”

“Ingetin dia juga buat makan,” timpal Nala. “Bisa berabe kalau besok dia sakit terus gak ikut syuting. Gue juga yang susah.”

“Udah gue ingetin, Nal. Tapi dia nggak mau kalau bukan lo yang ngingetin,” Gandi mendengus.

“Lo bilang aja kalau gue yang nyuruh pas dia tidur,” usul Nala bersamaan dengan berhentinya laju mobil Gandi tepat di depan gedung apartemennya. “Oke?”

“Iya, entar gue coba.”

“Kalau gitu, gue masuk dulu. Lo hati-hati nyetirnya.” pamit Nala.

“Salam sama Mama ya, Nal.”

Baik itu Nala maupun Gandi refleks menoleh ke arah Arsen dengan tampang amat terkejut. Pasalnya, dengan kondisi mata yang masih tertutup rapat, Arsen justru tiba-tiba bersuara bahkan menitip salam untuk Mama Nala.

Nala pun hanya mendesis pelan sebelum buru-buru keluar dari mobil Gandi. Sementara itu, Arsen yang telah membuka mata lantas tersenyum manis sembari memerhatikan Nala di luar sana. Nala berjalan tergesa memasuki lobi apartemen tanpa menoleh sekali pun ke arah mobil Gandi.

“Lo udah denger kan tadi?” ledek Gandi. “Abis ini kita drive thru aja dulu ya? Biar perut lo ada isinya.”

Arsen terkekeh, “Oke.”

“Oke, sekarang scene di meja Binar ya.” ucap sang sutradara kepada Arsen dan Nala yang kini telah bersiap-siap untuk kembali beradu akting di depan kamera.

Kedua aktor itu kemudian mulai mengatur posisinya. Arsen dan Nala berdiri saling berhadapan sambil bertatapan di depan meja yang ada di set ruang kerja Binar; tokoh yang diperankan Arsen.

Camera, rolling, action!

“Ini laporan yang kamu minta kemarin,” ucap Nala sembari menyodorkan map ke Arsen.

Tanpa melepas tatapannya dari Nala, Arsen lalu meraih map itu. Setelahnya, dia meletakkan map yang diberikan Nala di atas meja.

“Maju sedikit,” titah Arsen.

Nala mengernyit, namun pada akhirnya dia tetap menuruti titah Arsen yang kini berperan sebagai Binar, pacar dari tokoh Bintang.

“Gini?” tanya Nala setelah dia telah berdiri dengan jarak yang semakin minim dengan Arsen. Ujung sepatu keduanya nyaris bersentuhan di bawah sana.

Dalam hitungan detik saja, Arsen lantas memeluk erat pinggang Nala dengan satu lengannya. Sementara itu, satu tangannya yang lain menahan pipi Nala.

Arsen kemudian memiringkan kepalanya guna mencium Nala, seperti yang telah tertuang di dalam script. Namun, di script itu pula tertulis kalau Nala harus menahan pergerakan Arsen lebih dulu. Alhasil, kini Nala menutup mulut Arsen dengan satu tangan.

“Nar, entar ada yang ngeliat kita.”

“Gak ada,” bisik Arsen sebelum buru-buru melanjutkan aksinya.

Saat itu pula Nala memejamkan matanya dan menerima ciuman Arsen. Keduanya lantas berbagi pagutan lembut yang kemudian berangsur menjadi lebih cepat.

Sutradara maupun penulis script sama sekali tidak memberitahu atau mengarahkan Arsen juga Nala tentang adegan ciuman itu. Mereka membebaskan Arsen dan Nala untuk mengekspresikan diri mereka sendiri dalam perannya.

Alhasil, melihat bagaimana Arsen dan Nala berciuman amat intens tanpa ada gelagat kaku membuat semua kru yang menyaksikannya diam-diam berdecak kagum akan kualitas akting hingga chemistry Arsen dan Nala. Hanya Gandi lah satu-satunya yang tau jika kedua sahabatnya itu sudah tidak asing lagi berciuman seperti sekarang.

Cukup lama berciuman dengan posisi berdiri, Arsen pun ambil inisiatif untuk menggendong si lawan main. Arsen mengangkat tubuh Nala lalu meletakkannya di atas meja tanpa melepas tautan bibir mereka. Nala yang tadinya refleks memeluk tengkuk Arsen pun kian memperdalam ciuman mereka hingga suara decak lidah menggema bersama deru napas.

Tanpa sadar, keduanya seolah dibawa kembali ke ingatan kala mereka masih bersama dahulu. Arsen sendiri merasa cara Nala membalas lumatannya itu masih sama, pun Nala yang menyadari bahwa cara Arsen menciuminya tidak berubah. Arsen tau bahwa Nala suka jika bibirnya digigit di sela-sela ciuman mereka dan kini dia kembali melakukannya.

Cut!”

Suara Bang Ian selaku sutradara menggema, menandakan bahwa Arsen dan Nala sudah bisa untuk keluar dari peran tokoh mereka. Saat itu pula Arsen dan Nala melepas tautan bibir mereka. Sejenak, keduanya saling beradu pandang sebelum Nala akhirnya mendorong pelan tubuh Arsen.

Good job! That was great!” puji si sutradara series itu yang dengan sigap menghampiri kedua aktor.

Arsen dan Nala tersenyum tipis. Sesekali keduanya mencuri-curi pandang ke arah satu sama lain sebelum kembali buang muka.

“Chemistry kalian beneran nggak main-main loh,” lanjut Bang Ian.

“Makasih ya, Bang.” ucap Arsen, sedang Nala merespon dengan senyum manis di bibir tipisnya.

“Ya udah, kalian boleh break lagi. Gue mau ambil scene Papa sama Mamanya Binar dulu,” pamit sang sutradara sebelum meninggalkan Arsen dan Nala berdua di sana.

“Rasanya masih sama ya,” bisik Arsen di samping telinga Nala.

Nala menoleh lalu menyeringai tipis, “Improve your kissing skill.”

“Kalau cara lo nyium bibir semua lawan main lo kayak gini, mereka gak bakalan mau sih akting sama lo lagi.” Nala berlagak angkuh.

Meski begitu, Arsen justru tetap tenang dan membalas seringai Nala. Dia lalu mendekatkan bibir penuhnya di samping telinga si lawan main sebelum berbisik.

Help me to improve my kissing skill then. Kayaknya lo guru yang tepat buat ngajarin gue kissing.”

“Apa kita cari tempat yang sepi aja ya sekarang? Mumpung lagi break,” timpal Arsen, sedang Nala hanya mendengus pelan sebelum berjalan—meninggalkan Arsen—ke arah Gandi yang memandangi mereka dengan raut meledek.

“Apa lo liat-liat?” tegur Nala lalu duduk di kursi lipat di sisi Gandi.

“Yang tadi kayak bukan akting.”

Shut up,” decak Nala.

Gandi menghela napasnya pelan. Hanya dalam hitungan detik saja, ekspresinya yang semula sangat jenaka kini tiba-tiba jadi serius.

“Jujur sama gue deh, Nal.”

“Soal apa?” tanya Nala yang baru selesai menenggak air mineral.

“Lo masih sayang sama dia kan?”

“Gue gak pengen bahas ini lagi,” sahut Nala sebelum berdiri dari kursinya. “Gue ke toilet dulu ya.”

Gandi pasrah, “Oke.”

Nala buru-buru membuka pintu unit apartemennya saat suara bel berbunyi nyaring. Dia yakin kalau Gavi lah yang telah datang. Dan benar saja, hal pertama yang dia dapati saat pintu terbuka adalah Gavi yang justu berada di dalam gendongan Arsen, sedang Gandi berdiri di sisi Arsen. Sontak Nala terbelalak bersama rasa heran.

“Kok Gavi digendong, Sayang?”

“Tadi Om Arsen kalah dari Gavi sama Om Gandi waktu lagi main game di mobil, Papa.” jawab Gavi.

“Jadi Om Arsen dihukum buat gendong Gavi sampai di rumah,” timpalnya diikuti tawa renyah.

“Ya udah, sekarang Gavi turun.”

Gavi mengangguk lalu menoleh ke Arsen, “Om Arsen, Gavi turun di sini aja ya. Biar Om gak capek.”

“Iya, ganteng.” Arsen tersenyum lembut mendengar ucapan Gavi sebelum menurunkan anak laki-laki itu dari gendongannya. Dia benar-benar dibuat kagum akan cara Gavi berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh lebih tua; seperti padanya dan Gandi tadi.

“Gavi masuk duluan gih,” titah Nala yang seketika dipatuhi oleh sang anak, sementara Arsen dan Gandi masih berdiri di depannya.

“Lo juga masuk, Di. Gue pengen ngobrol berdua dulu sama dia.”

Gandi melirik Arsen sejenak lalu mengangguk, “Jangan berantem.”

Sepeninggal Gandi, Nala yang tak henti-henti memandangi Arsen sedari tadi pun lantas bersuara.

“Lo boleh pulang sekarang.”

“Kok pulang?” Arsen keberatan.

“Pengen ngobrol berdua sama ngusir itu beda loh,” timpalnya.

“Selagi udah ada percakapan di antara kita, namanya ya ngobrol.” Nala menunjuk ke arah koridor di depan pintu unit. “Lo pulang gih.”

“Tadi gue udah beli HokBen loh buat makan di sini sama kalian. Lo liat tas yang dibawa Gandi tadi kan?” kata Arsen. “Biarin gue makan dulu kek. Gue laper, Nal.”

“Om Arsen! Ayo masuk!” Gavi tiba-tiba kembali ke arah pintu lalu bergelayut di jemari Arsen. “Gavi punya mainan Spiderman.”

Seringai tipis terukir di sudut bibir Arsen. Dia menatap Nala dengan raut bangga, seolah dia baru saja memenangkan lomba.

“Tanyain ke Papanya dulu dong, Om Arsen dibolehin masuk gak?” tanya Arsen sambil melirik Nala.

Gavi mendongak ke Nala, “Papa, Om Arsen boleh masuk kan?”

Melihat raut memohon Gavi juga harap yang terpancar di matanya membuat Nala tak bisa berkutik. Dia selalu lemah untuk anaknya.

“Iya, boleh.”

Gavi pun berseru riang sebelum menarik tangan Arsen juga Nala. Ketiganya kemudian berjalan ke ruang tengah bersama, dimana Gandi sudah menunggu dengan HokBen yang kini juga telah dia keluarkan dari tasnya ke meja.

“Om Arsen, liat!” Gavi mengambil action figure Spiderman yang dia punya. “Om juga punya ini gak?”

“Iya, punya.” sahut Arsen sesaat setelah duduk melantai di depan meja. “Nanti Om Arsen fotoin ya kalau Om udah sampai di rumah.”

Gavi mengangguk antusias. Bibir tipisnya masih dihiasi senyuman.

“Nanti Spiderman Gavi berteman sama Spiderman Om Arsen ya?”

Arsen begitu juga Gandi yang tau alasan dibalik kedekatan antara Gavi dan Arsen—meski mereka baru berkenalan—pun terkekeh.

“Iya, ganteng. Nanti Om kirimin fotonya ke Papa,” kata Arsen lalu mengusap puncak kepala Gavi. “Supaya kenalan terus berteman sama Spiderman punyanya Gavi.”

“Kalian ni emang cocok temenan meski beda generasi,” kata Gandi. “Kalau udah ngomongin action figure aja langsung lupa sekitar.”

Arsen hanya tersenyum tipis. Sementara itu, Nala yang sedari tadi duduk di sofa sambil diam-diam mengamati interaksi sang anak dan Arsen lantas memicing. Dia heran mengapa Arsen kini terlihat ramah pada anak kecil.

“Gavi ganti baju dulu ya, Sayang.” Nala mengusap bahu Gavi yang kemudian dibalas anggukan.

“Ayo, biar Om Gandi temenin.”

Gandi bersama Gavi pun berlalu. Mereka meninggalkan Arsen dan Nala berdua di ruang tengah itu.

“Sejak kapan lo suka sama anak kecil?” tanya Nala dengan sorot mata yang tertuju kepada Arsen. “Perasaan, dulu lo lari kalau udah liat ada anak kecil even kek Gavi.”

“Kayaknya sejak gue punya dan sering main sama ponakan gue deh, Nal.” kekeh Arsen. “Dari situ gue jadi tau gimana komunikasi sama anak kecil yang awalnya selalu gue pikir biang keributan.”

But surprisingly, the more I know them, the more I adore every little convo with them.”

“Apalagi kalau mereka nih udah ngomong dengan seribu bahasa polosnya,” kata Arsen. “Gue gak bisa berhenti ketawa, gemes.”

“Keponakan darimana?” Skeptis Nala, “Lo-nya aja anak tunggal.”

“Dari Kakak sepupu gue, Nal. Lo inget Kak Roby nggak? Sekarang dia udah punya anak tau. Udah gede malah,” balas Arsen. “Kok lo kayak gak percaya? Lo takut gue manfaatin Gavi buat deketin lo?”

Arsen menyeringai, “Tanpa Gavi pun gue bisa kok nyuri hati lo.”

Nala tidak menjawab, dia hanya memutar bola matanya sebelum membantu Arsen yang kini mulai membuka kotak HokBen mereka.

“Nih,” Arsen meletakkan salad di kotak HokBen yang berada tepat di hadapan Nala. “Ambil aja salad punya gue. Lo masih suka kan?”

“Gak.”

“Serius? Kok bisa sih lo udah gak suka salad si Hokben lagi, Nal?”

“Bukan saladnya, tapi elo.” balas Nala, tapi Arsen yang mendengar hal itu justru menahan tawanya.

“Okee,” Arsen menghela napas. “Berarti ini bakal dimakan kan?”

“Mm.”

Tidak lama berselang, Gandi dan Gavi akhirnya kembali ke ruang tengah. Keduanya kemudian ikut duduk melantai di depan meja layaknya Arsen juga Nala yang sibuk mempersiapkan makanan.

“Udah boleh dimakan gak nih?”

“Makan aja, Di. Itu buat lo kok,” balas Arsen lalu menyodorkan satu kotak untuk Gavi. “Kalau yang ini buat Gavi. Tadi katanya Gavi suka makan Ebi Furai kan?”

“Iya, Om Arsen.”

“Nih, Om kasih punya Om juga.”

“Terus Om Arsen makan apa?”

“Ini ada chicken teriyaki sama egg chicken roll. Om suka ini.”

Gavi mengangguk, namun sesaat setelahnya wajah anak lelaki itu tiba-tiba sedu. “Ayah Gavi juga suka egg chicken roll, tapi Ayah belum pulang-pulang juga. Kalau aja Ayah pulang, pasti kita makan sama Ayah juga. Iya kan, Papa?”

Nala memaksakan senyumnya lalu mengangguk, “Iya, Sayang.”

“Udah, sekarang Gavi makan ya? Entar Papa bilangin ke Ayah loh kalau Gavi males makan,” titah Nala yang seketika diamini Gavi.

Gandi dan Arsen lantas menatap lamat wajah Nala, sedang yang diperlakukan demikian berdecak.

“Kalian juga, makan. Abis makan, langsung pulang.” tutur Nala.

Nala menghela napasnya gusar tepat setelah dia membaca chat Arsen. Meski apa yang baru saja Arsen tuduhkan padanya sama sekali tidak benar, tapi dengan memberitahu satpam bahwa dia membawa obat-obatan terlarang jelas akan membuat unitnya akan diperiksa, yang mana artinya, Arsen juga akan tetap mengambil kesempatan itu untuk masuk ke huniannya. Belum lagi gosip dan kehebohan yang pastinya akan tercipta di antara para penghuni apartemen setelahnya. Nala amat kenal dengan Arsen. Laki-laki itu tidak akan main-main dengan ucapan juga tingkah gilanya.

Alhasil, dengan berat hati, Nala akhirnya membuka pintu unitnya itu. Dia pun seketika mendapati Arsen berdiri di hadapannya. Si pemilik lesung pipi menyeringai tipis lalu memajukan langkahnya guna masuk ke unit Nala tanpa dipersilahkan. Sontak si pemilik unit menghadang jalan Arsen.

“Lo ada urusan apa lagi sih sama gue?” sorot matanya amat tajam.

“Kata Bang Ian pas lagi workshop tadi kan, kita musti sering-sering jalan atau ngobrol bareng.” jawab Arsen, “Supaya chemistry kita tuh makin kuat sebelum syuting.”

“Tapi gue gak suka bahas kerjaan apalagi bangun chemistry sama lawan main gue pas udah sampai di rumah,” tegas Nala. “Mending sekarang lo pergi dari unit gue.”

“Kita bahas yang lain aja kalau gitu,” Arsen enggan menyerah.

Dengan sigap Arsen mengangkat tubuh Nala. Dia menggendong si lawan main seperti karung beras di pundaknya. Arsen yang sedari tadi memegang paper bag pun tetap berusaha hati-hati agar si lawan main tidak jatuh karena beban lain di satu tangannya.

Nala yang hanya bisa meronta pun memukul kuat punggung Arsen. Andai saja Gavi tidak tidur, Nala akan berteriak sekencang-kencangnya saat ini hingga didengar penghuni lain.

Tapi apa boleh buat, Nala kalah.

“Arsen! Turunin gue, sialan!”

Saat Arsen akhirnya telah sampai di ruang tengah apartemen Nala, dia lantas menurunkan si lawan main dari gendongannya. Arsen kemudian mendesis pelan saat merasakan ngilu di punggung. Pukulan Nala benar-benar kuat.

“Kenapa harus mukul-mukul sih? Kayak gak pernah gue gendong aja sebelumnya,” seringai Arsen.

“Oh iya,” Arsen menyodorkan paper bag yang sedari tadi dia bawa. “Ini buat lo sama Gavi.”

Nala hendak merespon ucapan Arsen, tapi atensinya tiba-tiba teralihkan ke arah gawai yang dia genggam. Nala pun seketika bisa membaca pesan dari Bagas yang terpampang di layar kuncinya. Saat itu pula dibuat terbelalak.

“Anjing,” gumam Nala pelan lalu kembali memandangi Arsen. “Lo sembunyi dulu. Bagas di depan.”

“Kenapa gue harus sembunyi?”

“Gue bilang sembunyi, Arsen!”

Arsen memicing, “Emang elo ada hubungan apa sih sama dia, Nal?”

“Lo gak usah banyak tanya.”

“Ya udah, lo ambil ini dulu.” kata Arsen lalu kembali menyodorkan paper bag di tangannya ke Nala.

Nala mendesis kesal. Dia lantas meraih paper bag itu sebelum meletakkannya di atas sofa. Nala lalu mendorong tubuh si lawan mainnya ke arah dapur yang tak jauh dari ruang tengahnya. Nala menuntun Arsen agar segera bersembunyi di samping pantri.

“Awas kalau lo keluar dari sini,” Nala memperingati. “Gue nggak bakalan segan-segan ngancurin karir lo sampai lo di-banned.”

Arsen hanya menahan senyum saat mendengar ancaman Nala. Sementara itu, Nala yang telah mendengar suara bel unitnya berbunyi pun hendak berbalik guna membukakan pintu untuk Bagas. Namun, Arsen justru tiba-tiba menahan lengannya hingga kini mereka kembali berhadapan.

Perlakuan Arsen membuat Nala telah bersiap-siap mengutarakan kata kasarnya. Namun, niat Nala itu terhenti ketika sang lawan main memasang kancing piyama teratas Nala yang terlepas hingga mengekspos sebagian dadanya.

“Udah,” kata Arsen setelahnya. “Lo tau kan, kalau gue gak suka liat lo pakai baju yang terbuka?”

“Gue gak peduli,” bisik Nala lalu bergegas ke arah pintu unitnya.

Bukan tanpa sebab Nala tak ingin Bagas tau bahwa Arsen sedang di apartemennya. Pasalnya, sejak Bagas menjemput Nala siang tadi, nampak kalau si asisten sutradara amat penasaran akan hubungan Nala dengan Arsen.

Apalagi Bagas tau bahwa Gandi juga berteman baik dengan si lawan main. Ditambah dengan fakta bahwa mereka bertiga—Nala, Gandi dan Arsen—satu almamater bahkan satu jurusan saat masih di bangku kuliah dulu.

Alhasil, saat Bagas bertanya apa dia dekat dengan Arsen, Nala hanya memberi jawaban singkat,

“Tidak.”

Meski Nala sudah mengenal Bagas cukup lama, namun dia masih tidak ingin terlalu terbuka tentang kehidupan pribadinya ke asisten sutradara itu. Apalagi jika menyangkut soal dia dan Arsen.

Sebisa mungkin, Nala akan selalu berusaha untuk berhati-hati. Dia tidak bisa memercayai siapa pun kecuali Gavi, Mama dan Gandi. Sebab, di balik hingar bingar dunia hiburan, begitu banyak niat terselebung dari para pelaku seni untuk saling menjatuhkan.

Sejenak, Nala mengatur deru napasnya sebelum membuka pintu untuk Bagas. Si asisten sutradara yang sudah Nala kenal sejak membintangi seriesnya tiga tahun lalu itu berdiri di hadapan Nala sambil mengulas senyum.

“Kayaknya lo udah siap-siap buat tidur ya?” tanya Bagas setelah melihat penampilan Nala saat ini.

Nala tersenyum kikuk. “Gak kok.”

“Ayo masuk dulu, Gas.”

Bagas mengangguk kecil saat Nala mempersilahkannya untuk masuk. Dia kemudian mengikuti langkah kaki sang empu unit apartemen itu hingga mereka berakhir di sofa ruang tengah.

“Maaf ya, tadi gue bener-bener cuma nganterin lo ke sekolah Gavi sebelum pergi lagi.” ucap Bagas lalu duduk di sofa panjang.

“Gak apa-apa,” kata Nala. “Justru gue yang harusnya minta maaf karena malah nyuruh lo buat jemput gue padahal lo lagi kerja.”

“Santai aja kali, Nal.” kekeh Bagas.

“Lagian lokasi take gue siang tadi juga deket banget kok dari lokasi workshop series lo.” timpalnya.

Nala mengangguk. “Lo duduk dulu ya, biar gue bikin minum.”

“Eh, gak usah.” kata Bagas. “Gue ke sini kan cuma mau nganterin script lo yang ketinggalan tadi.”

Bagas menyodorkan script yang tidak sengaja Nala tinggalkan di mobilnya. Nala pun meraihnya.

Thanks ya, Gas.” ucap Nala yang dibalas anggukan oleh Bagas.

“Gue sekalian mau liat Gavi juga sebenernya,” Bagas kemudian celingak-celinguk ke arah lain. “Anaknya udah tidur ya, Nal?”

“Udah, pulang dari lomba tadi dia bilang capek. Tau-tau pas abis makan malem langsung bobo.”

“Yah, telat nih gue.” kekeh Bagas. “Terus gimana hasil lombanya?”

“Gavi dapet juara dua,” kata Nala yang kini telah ikut duduk tepat di samping Bagas. “Dia bahagia banget, sampai loncat-loncat.”

Nala selalu bersemangat ketika berbicara tentang sang anak. Terlebih lagi, Gavi yang telah berumur empat tahun semakin pintar dan banyak berceloteh.

Dan Bagas tau betul akan hal itu.

“Lo abis belanja?” tanya Bagas.

Alis Nala berkerut heran ketika mendengar pertanyaan Bagas.

“Gak,” katanya. “Kenapa?”

“Terus itu paper bag apaan, Nal?”

“Itu dari temen gue. Dia mampir tadi,” Nala terpaksa berbohong.

Bagas mengangguk kecil dengan senyum manis di bibirnya. Sejenak, keduanya pun terjebak dalam hening. Nala sibuk dengan pikirannya jika saja Arsen nekat untuk keluar dari tempat sang lawan main bersembunyi saat ini, sedang Bagas terlihat berpikir.

“Nal?”

“Mm?” Nala mengangkat alis.

“Gue… Mau ngomong sesuatu sama lo,” Bagas terlihat ragu.

“Ngomong aja kali,” Nala senyum.

“Gue tau, sekarang bukan waktu yang tepat buat gue bilang ini…” Bagas mengulum bibirnya sesaat, “Apalagi baru beberapa bulan sejak lo ditinggal sama suami lo.”

“Tapi gue udah lama nyimpen perasaan ke lo, Nal.” jujur Bagas, tapi Nala tetap terlihat tenang.

“Gue diam-diam jatuh hati sama lo pas kita kerja sama di series, cuman waktu itu gue sadar kalau lo punya suami. Lo milik Tristan.”

“Gue paham kalau lo… Mungkin masih punya luka bahkan trauma karena ditinggal suami lo,” lanjut Bagas. “Tapi gue harap lo ngasih gue izin buat nyembuhin luka lo. Gue pengen jagain lo sama Gavi.”

“Gue pengen selalu ada di sisi lo, Nal.” katanya. “Gue juga berharap lo mau ngebuka hati lo buat gue.”

Nala menghela napasnya pelan.

“Makasih banyak ya udah punya niat baik buat jagain gue sama Gavi, Gas.” tutur Nala. “Tapi gue pengen lo tau kalau bukan tugas lo kok buat nyembuhin luka gue.”

“Jadi, untuk sekarang, gue belum bisa ngasih lo jawaban apalagi harapan.” tegas Nala, “Dan jujur aja, selama ini gue nganggep lo sebagai teman. Bisa atau gaknya gue ngebuka hati buat lo pun gak bisa gue prediksi dari sekarang.”

“Biarin gue nyembuhin diri gue sendiri dulu ya?” Nala menatap lamat kedua netra cokelat Bagas.

“Gak mudah buat dekat, apalagi menjalin hubungan sama orang yang belum bisa lepas dari masa lalunya, Gas.” timpal Nala, “Gue gak pengen bikin lo terluka juga.”

Bagas mengangguk, “Gue ngerti kok, Nal. Gue hargain respon lo.”

“Tapi dengan lo udah tau soal perasaan gue ini, gue harap lo gak bersikap asing sama gue ya?”

Nala mengangguk kecil sebagai respon, sedang Bagas menghela napas sebelum berdiri dari sofa.

“Kalau gitu, gue pulang dulu ya, Nal? Lo juga musti istirahat.”

“Oke.”

Nala pun ikut bangkit sebelum mengantarkan Bagas hingga ke depan pintu apartemennya itu. Setelahnya, Nala lalu kembali ke ruang tengah. Di sana pula Nala seketika mendapati Arsen telah berdiri tepat di samping sofanya.

“Dia ngebet banget ya pengen dapetin lo,” decih Arsen. “Lo aja belum resmi pisah dari Tristan.”

“Gue kira Bagas baik kayak gitu sama lo karena dia temen baik lo, ternyata ada maunya.” timpalnya.

Nala kemudian berjalan ke arah Arsen hingga kini dia berdiri di hadapan lawan mainnya itu.

“Bukan urusan lo,” kata Nala. “Mending sekarang lo pergi.”

Arsen tidak merespon dengan frasa. Dia justru sibuk menatap lamat wajah Nala sesaat dalam hening. Setelahnya, dia berkata.

“Nal, yang tadi lo bilang ke Bagas kalau lo belum bisa lepas dari masa lalu lo itu siapa?” tanyanya.

“Tristan…” Arsen mengarahkan telunjuk ke dadanya. “Atau gue?”

Nala mengepalkan tangannya di samping paha. “Pergi dari sini sebelum gue panggilin satpam.”

“Jawab gue dulu.”

“Pergi, Arsen.” usir Nala lagi dengan suara sedikit meninggi.

“Kalau gitu anterin gue ke depan, tadi lo juga nganterin Bagas loh.” balas Arsen, “Gue sama dia kan sama-sama tamu lo di sini, Nal.”

“Lo bukan tamu, tapi penyusup.” kata Nala sebelum mengubah posisinya hingga berdiri tepat di belakang tubuh Arsen. Dia lalu mendorong tubuh bongsor sang lawan sambil berkata, “Pergi lo.”

Arsen pun hanya tersenyum tipis sebelum mengambil satu langkah kecil, seolah hendak pergi dari ruang tengah. Namun persekian detik setelahnya, Arsen justru tiba-tiba berbalik lalu mengecup sekilas bibir Nala. Sontak Nala hanya mampu terbelalak karena aksi Arsen di luar perkiraannya.

See you, love.”

Fuck you.”

Nala berjalan beriringan dengan Gandi sang manager. Keduanya memasuki gedung Production House yang menaungi series boys love dimana Nala dan Arsen akan beradu peran nantinya.

Nala yang mengenakan dalaman sleeveless hitam dengan outer jenis cardigan berwarna senada pun mencuri perhatian beberapa karyawan dari Production House yang berlalu-lalang di sana.

Selain karena parasnya yang tidak diragukan lagi, sorot mata orang-orang itu pun jelas amat terpanah pada lekuk tubuh sang aktor. Dalaman Nala yang sedikit ketat membuat dada bidangnya terbentuk dengan apik. Meski tubuh Nala tidak se-atletis pria yang aktif ke gym, namun otot-ototnya yang padat sudah cukup membuat siapa saja berteriak.

Tidak peduli sesederhana apa penampilannya, Nala selalu sukses membuat orang yang melihat presensinya terpanah.

Sesampainya di depan ruang rapat yang akan menjadi tempat workshop berlangsung, Nala kemudian mempersiapkan senyum manisnya. Sampai saat Gandi membuka pintu untuknya dan mempersilahkannya untuk masuk lebih dulu, Nala kemudian melangkah ke dalam ruangan itu dengan senyum ramah di bibir.

“Pagi, Bang.” sapa Nala kepada sang Sutradara juga Produser yang seketika menyambutnya.

Sekilas, Nala melirik ke arah meja rapat dimana para pemeran dari series itu telah duduk di kursinya masing-masing. Termasuk Arsen yang saat ini memandangi Nala dengan sorot mata yang tajam. Sontak Nala menyeringai tipis.

“Nah, ini nih yang dari tadi Arsen tunggu.” kata si Sutradara yang kerap disapa Bang Ian. “Arsen udah nggak sabar pengen baca naskah, Nal. Kamu duduk gih.”

Nala cuma tersenyum tipis lalu duduk di salah satu kursi kosong yang tersisa tepat di samping si lawan main. Sementara Gandi lantas menghampiri Endra—yang notabenenya adalah manager Arsen—di sudut lain ruangan itu.

Tepat setelah Nala duduk di kursi, dia lantas meraih script yang berada tepat di depannya. Nala pun bisa membaca judul dari series yang akan dia dan Arsen bintangi nantinya. Series yang berjudul ‘Starlight’ itu menceritakan kisah tentang dua tokoh utama bernama Binar dan Bintang. Keduanya dikisahkan harus menjalin hubungan secara diam-diam karena status sosial. Nala sendiri berperan sebagai Bintang, sosok yang datang dari keluarga sederhana namun bisa meluluhkan hati Binar, seorang CEO juga anak dari konglomerat.

“Peran ini pasti mudah banget buat lo,” gumam Arsen tanpa melepas tatapannya dari script.

Nala yang mendengar gumaman sang lawan main pun tersenyum remeh. Sama seperti Arsen, Nala juga tetap menatap ke scriptnya.

“Peran apapun bakalan mudah buat gue,” katanya. “Kecuali kalau lawan main gue yang bikin susah karena harus take berulangkali.”

Arsen akhirnya menoleh ke arah Nala sambil mendekatkan wajah tepat di samping telinga si lawan main. Dia pun kembali berbisik.

“Kalau gitu, gue mau minta maaf duluan ya?” ucap Arsen, “Soalnya gue bakal bikin adegan ciuman kita harus di-take berkali-kali.”

Nala menoleh hingga pandangan mereka bertemu, “Oh ya? Emang lo yakin bisa lanjut main di series ini sampe syuting dimulai nanti?”

“Maksud lo?”

Nala tidak menjawab pertanyaan Arsen, sebab sang sutradara juga produser telah membuka proses workshop dimana sebentar lagi mereka akan segera berlatih ‘tuk membaca hingga memerankan dialog tokohnya masing-masing.


Workshop perdana untuk series ‘Starlight’ telah selesai. Nala yang sedari tadi harus menahan untuk tak izin ke toilet pada detik-detik terakhir workshop pun kini telah membebaskan hasrat buang air kecilnya. Setelahnya, Nala lantas mencuci tangan di wastafel, tapi mata Nala refleks memicing kala melihat Arsen menghampirinya. Arsen ikut mencuci tangan tepat di samping Nala. Mereka berbagi pandangan melalui cermin toilet.

“Maksud lo tadi apa, Nal?”

Nala mengangkat alis, “Apanya?”

“Kalau gue yakin apa nggak buat lanjut main di series ini sampai proses syuting dimulai?” jelas Arsen, sedang Nala menyeringai.

“Lihat kemampuan lo sama gue,” kata Nala. “Kelas kita beda, Sen.”

“Lo cuma bakalan permaluin diri lo sendiri dengan jadi lawan main gue.” timpalnya, “Gue cuma lagi ngingetin baik-baik kok, biar elo juga gak bawa masalah buat gue dan nyusahin gue pas syuting.”

Nala melipat lengannya di depan dada. “Lagian gue penasaran deh kesepakatan macam apalagi yang lo bikin sama Production House series ini sampai lo dapet peran main lead. Apa jangan-jangan lo pake power orang dalam lagi ya kayak tujuh tahun yang lalu?”

Arsen membalikkan tubuhnya ke arah Nala, pun Nala yang lantas melakukan hal serupa. Mereka kini saling berhadapan dengan sorot mata saling menantang.

“Sejak kapan bibir manis lo itu bisa ngucapin kata-kata angkuh, hm?” Arsen menyeringai. “Gue jadi makin pengen latihan buat scene ciuman kita nanti deh, Nal.”

“Oh, apa kita latihan di sini aja kali ya? Mumpung lagi gak ada orang,” timpal Arsen sambil perlahan memajukan langkah hingga ujung sepatunya dan Nala di bawah sana pun bersentuhan.

Nala tidak berkutik, seolah tidak takut dengan apa yang ingin si lawan main lakukan. Sampai saat Arsen mendekatkan bibirnya ke bibir Nala, pintu toilet tiba-tiba terbuka. Buru-buru Arsen juga Nala saling menjauhkan tubuh mereka. Setelahnya, Nala pun bergegas keluar dari toilet itu.

“Kita pulang sekarang,” kata Nala ke Gandi yang telah menunggu tidak jauh dari toilet, sementara si manager yang melihat Nala melangkahkan lebih dulu hanya geleng-geleng lalu menyusul.

Sejak meninggalkan gedung Production House hingga kini mereka sudah ada di dalam mobil, Nala yang duduk di jok belakang tak pernah berceloteh kepada Gandi. Nala justru asik senyam-senyum sendiri sambil menatap ke luar jendela mobil. Gandi yang diam-diam melirik Nala dari spion tengah seketika dibuat amat heran lalu bertanya.

“Lo kayaknya lagi bahagia banget ya, Nal?” tebak Gandi. “Ada apa?”

“Gue puas banget liat tampang si Arsen hari ini,” Nala tertawa kecil lalu melirik spion tengah mobil hingga tatapannya dengan sang manager sekaligus sahabatnya itu bertemu. “Gue gak nyangka kalau dengan ngambil role di series ini, gue bisa ngomong ke Arsen kalau gue jauh di atas dia dan ngebales kata-kata angkuh dia tujuh tahun lalu soal gue.”

“Dan lo pikir Arsen peduli soal itu?” sela Gandi, sedang Nala memutar bola matanya malas.

“Jelas dia peduli lah, dari dulu kan dia selalu nge—” Nala tidak melanjutkan ucapannya ketika laju mobil Gandi tiba-tiba saja berhenti. “Mobil lo kenapa, Di?”

“Gak tau, ini mesinnya tiba-tiba mati.” Gandi mengacak rambut frustrasi. “Lo tunggu di sini ya.”

Nala hanya mengangguk sambil memerhatikan Gandi yang kini keluar dari mobil. Managernya itu kemudian mengecek bagian kap mobil dengan membukanya.

Sampai tidak lama berselang, sebuah mobil lantas berhenti di samping mobil Gandi. Dan hanya persekian sekon setelahnya, Nala bisa melihat Arsen juga manager lawan mainnya itu turun dari mobil lalu menghampiri Gandi.

Nala yang masih berada di dalam mobil lantas tak bisa mendengar percakapan ketiga orang di luar sana. Alhasil, dia pun ikut keluar lalu berdiri di samping Gandi.

“Kenapa, Di?” tanya Nala.

“Mogok, Nal. Musti dibongkar dulu sih ini,” Gandi mendesis.

“Kalau lo bisa nunggu, gue mau bantu Gandi benerin mobilnya.” Arsen ikut buka suara, “Tapi kalo lo gak bisa nunggu, lo pulangnya ikut gue sama Endra aja. Biar si Gandi nunggu orang bengkel.”

“Gak perlu,” balas Nala. “Gue bisa nyuruh temen gue buat jemput.”

“Temen lo yang mane?” Gandi berdecak. “Udah, lo ikut sama Arsen aja. Daripada lo nunggu lama di sini. Belum lagi macet.”

“Gue mau ngabarin Bagas,” kata Nala lalu memusatkan atensinya ke handphone, sementara Gandi hanya geleng-geleng kepala lalu kembali memeriksa mobilnya itu.

“Lo bawa alat-alat reparasi lo gak, Di?” tanya Arsen sambil sesekali melirik ke arah Nala.

“Iya, bentar gue ambil di bagasi.”

Gandi bergegas mengambil alat-alat reparasi mobilnya sebelum berakhir mengutak-atik mobil itu bersama Arsen. Endra pun ikut membantu dengan menyodorkan alat yang diminta baik itu oleh Arsen maupun Gandi. Sementara itu, Nala tetap menunggu Bagas.

“Mana sih temen lo itu?” sindir Arsen, “Jangan-jangan datengnya pas mobil Gandi udah bener lagi.”

Nala tak merespon dengan frasa, dia hanya mendelik sesaat pada Arsen sebelum kembali menatap layar gawainya. Sampai tak lama berselang, sosok yang sedari tadi Nala nantikan akhirnya datang. Mobil Bagas terparkir tepat di samping mobil si manager yang masih belum selesai diperbaiki.

“Di, kalau gitu gue duluan ya.” pamit Nala, “Gue mau nemenin Gavi ikut lomba abis ini soalnya.”

“Oke, lo hati-hati tapi.”

“Iya, bye!”

Nala melirik Endra lalu mengulas senyum ramah, “Duluan ya, Ra.”

“Oke,” Endra cengar-cengir.

“Gak pamit ke gue juga?” tanya Arsen saat melihat Nala justru berbalik setelah pamit ke Endra.

Namun, Nala tidak meresponnya dan langsung masuk ke dalam mobil Bagas. Gandi yang melihat tingkah dua sahabatnya itu pun hanya geleng-geleng kepala, sedang Endra yang tak tau apa-apa cuma menggaruk kepalanya.

“Diliat-liat, penampilan lo keknya lebih artis dari gue ya.” komentar Arsen yang baru saja melangkah ke dalam gedung dimana proses audisi casting akan berlangsung. Sementara itu, si manager yang berada di sisinya geleng-geleng.

Bukan tanpa alasan sang aktor berkomentar demikian. Sebab, Endra memakai jaket branded, celana pendek, juga kaca mata hitam. Lalu Arsen sendiri hanya mengenakan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.

“Terus lo pengen gue ganti baju sekarang? Gitu?” balas Endra.

Arsen hanya merespon dengan senyum tipis yang nyaris seperti seringai sebelum mereka masuk ke dalam sebuah studio. Arsen pun seketika bisa melihat begitu banyak peserta audisi yang telah datang dan mempersiapkan diri.

Ada sedikit rasa tidak percaya di benak Arsen ketika mendapati bahwa ruang audisi nyaris sesak karena peserta. Awalnya, Arsen berpikir kalau saingannya tidak akan sebanyak ini mengingat series dengan genre boys love belum pernah dirilis sebelumnya. Terlebih lagi, hubungan romansa antara pria dengan pria masih cukup tabu di negara tercinta meski sudah cukup banyak yang mengakui dan menerimanya.

Peserta yang datang ke studio itu pun didominasi oleh anak muda. Arsen memperkirakan kalau rata-rata umur mereka mungkin sekitaran sembilan belas hingga dua puluh tiga tahunan. Diam-diam Arsen merasa jadi peserta paling tua mengingat umurnya yang dua tahun lagi akan memasuki kepala tiga. Sekarang Arsen tak percaya diri dan merasa ingin segera lari.

Sampai saat pandangan Arsen terhenti pada seorang pria yang duduk di salah satu kursi paling depan, ketakutannya itu tiba-tiba lenyap. Pria itu adalah Nala Reswara, sosok yang selama ini hanya bisa Arsen lihat dari jauh meski mereka ada di industri yang sama selama tujuh tahun. Selama itu pula mereka sudah tak pernah lagi bertegur sapa.

“Kok lo malah ngelamun sih?” tegur Endra yang menyadari kalau sang artis termenung di tempat. “Ayo, duduk di sana.”

Arsen mengangguk kecil lalu mengikuti Endra. Managernya itu menuntunnya untuk segera duduk di salah satu kursi yang tak jauh di belakang kursi Nala.

Tidak lama berselang, beberapa kru Production House pun kini mulai mengarahkan peserta yang masih di luar studio agar segera masuk. Pasalnya, proses audisi akan dimulai dalam lima menit.

Arsen yang telah ditinggal Endra untuk berdiri di sudut lain studio pun hanya terdiam di tempatnya. Dia sama sekali tak peduli untuk sekedar berbincang dengan para peserta yang ada di sisi kiri dan kanannya, sebab pandangannya hanya tertuju ke presensi Nala.

Bahkan, saking sibuknya Arsen memandangi lelaki yang juga seumuran dengannya itu, dia nyaris tidak sadar kalau sang sutradara sekaligus juri di depan sana memanggil nomor urutnya. Beruntung salah satu peserta di sampingnya menepuk bahunya.

Arsen kemudian berdeham pelan lalu bangkit dari posisinya. Arsen berjalan ke arah panggung yang ada di sana, naik, lalu berdiri di hadapan ratusan peserta audisi.

Namun, lagi dan lagi pandangan Arsen hanya tertuju ke seseorang yang tak lain adalah Nala. Arsen bisa melihat raut kaget di wajah Nala. Jelas kalau Nala pun tidak menyangka bahwa Arsen akan datang dan mengikuti audisi itu.

“Halo, Sen. Apa kabar?” tanya si sutradara yang tadi memanggil Arsen. “I’m glad to see you here.”

I’m good,” balas Arsen yang kini telah memusatkan atensinya ke arah sang sutradara. Sebenarnya Arsen tidak ingat kalau dia kenal dengan pria bertubuh tambun itu, tapi Arsen segera sadar kalau relasi para sutradara bahkan PD hanya berputar di situ-situ saja. Wajar jika mereka mengenalnya.

“Sen, saya pilihin pasangan dulu ya buat jadi lawan acting kamu.”

Arsen mengangguk mendengar penuturan si sutradara. Dia pun kembali melirik Nala yang juga masih menatapnya lekat-lekat.

“Oh? Ternyata ada Nala juga ya?” sutradara itu kembali bersuara. “Nal, boleh maju ke depan gak?”

Nala yang ditanyai mengangguk, sedang Arsen yang melihat sang aktor berjalan ke arahnya diam-diam menyeringai tipis. Sampai saat Nala telah berdiri di sisinya, Arsen lantas menoleh ke Nala. Keduanya berbagi tatap tanpa ekspresi sesaat sebelum kembali memandangi sang sutradara.

“Oke, udah ada dua aktor senior nih di sini.” kekeh sang sutradara.

“Saya langsung aja ya. Karena di series nanti plot utamanya soal pasangan yang backstreet-an di kantor, saya pengen lihat acting kalian nih kalau lagi ada di situasi kalian berantem gara-gara yang satu pengen go public, satunya lagi pengen tetep backstreet…”

“Terserah kalau kalian pengen ngembangin plotnya,” katanya.

Arsen dan Nala lantas kompak mengangguk. Sutradara senyum.

“Sip, kita coba ya. Ready! Action!”

Nala menarik napasnya dalam-dalam sebelum menghadap ke arah Arsen. Kini mereka telah berdiri dengan posisi saling berhadapan dan beradu tatap.

“Aku gak bisa nyembunyiin status kita kayak gini terus-terusan,” Arsen lebih dahulu berdialog. “Aku pengen semua orang tau kalau kamu itu milik aku. Aku gak suka ngeliat orang lain deketin kamu sementara aku cuma bisa diam seolah-olah aku gak peduli. Aku tersiksa tau gak?”

Nala mengumpulkan emosinya sejenak sebelum ikut berdialog.

“Kamu tau alasan aku gak mau orang lain tau hubungan kita. Harus berapa kali aku jelasin?” katanya. “Ayah kamu atasan di sini. Kamu anak seorang bos.”

“Sedangkan aku?” mata Nala berkaca-kaca, “Aku cuma staff yang datang dari keluarga biasa.”

“Aku gak mau orang-orang akan menilai kalau aku bisa dapetin posisi yang tinggi karena pacar aku anak atasan. Aku juga gak mau dengerin omongan orang-orang kalau aku cuma penjilat yang macarin kamu karena kamu kaya raya,” air matanya menetes.

“Kamu pikir cuma kamu yang tersiksa?” Nala tersenyum miring di sela tangisnya, “Aku juga sama tersiksanya. Apalagi dengan sifat kamu yang gak mau ngerti posisi aku karena keposesifan kamu.”

Sama seperti Nala, kini Arsen pun ikut meneteskan air mata. Emosi keduanya terpancar dari netra masing-masing, membuat seluruh audiens di sana terdiam.

“Kalau emang hubungan kita ini gak bisa bikin kamu bahagia lagi, lebih baik kita akhiri sampai sini.” timpalnya, “Aku siap buat putus.”

Cut!”

Sutradara berseru, menandakan bahwa Nala dan Arsen sudah bisa keluar dari situasi acting mereka. Saat itu pula riuh tepuk tangan menggema, memenuhi studio.

Arsen dan Nala sendiri buru-buru menyeka air mata di pipi mereka. Setelahnya, kedua aktor tampan itu lantas dipersilahkan untuk turun dari panggung. Nala kemudian mengambil langkah lebih dulu, dia tidak ingin terlalu lama berada di sekitar Arsenio.

Sayangnya, saat Nala baru saja menginjak dua anak tangga, kaki kirinya justru terpeleset. Namun, tanpa Nala duga, Arsen yang ada di belakangnya dengan sigap menahan tubuhnya. Alhasil, kini mereka berdua kembali saling bertatapan dengan posisi satu lengan Arsen melingkar erat di pinggang Nala. Sementara itu, Nala yang tadinya terkejut pun refleks memeluk tengkuk Arsen.

Sekali lagi audiens dibuat riuh karena keduanya. Tak terkecuali Gandi yang juga melihat kedua sahabatnya itu dari kejauhan, sementara Bagas yang tadi turut menemani Nala hanya terdiam.

Jery yang baru aja pulang dari kampus lantas masuk ke dalam apartemennya sambil sesekali meregangkan lehernya. Ngajar dari pagi sampai sore dengan jadwal penuh jelas bikin capek.

Sampai saat Jery udah sampai di ruang tengah, langkahnya lantas terhenti. Kedua matanya refleks terbelalak pas Jery mendapati Dante lagi duduk di sofa sambil ngasih cemilan ke kucingnya.

Jery lalu buru-buru nyamperin Dante, duduk di samping sang mahasiswa juga calon suaminya sebelum meluk tubuh Dante dari samping erat-erat. Dante yang kaget karena aksi Jery itu pun cuma terdiam sejenak, masih dengan Tom di pangkuannya.

“Saya senang kamu pulang.” lirih Jery. “Saya kangen sama kamu.”

Dante tersenyum. “Kan kemarin kamu udah ngeliatin aku mulu di kelas, kok masih kangen aja sih?”

“Ngeliatin kamu tiga jam di kelas aja gak cukup, Dante.” kata Jery.

Dante geleng-geleng. “Sekarang lepasin pelukan kamu, Kak. Ini kasian Tom jadi kejepit tau gak?”

Jery ngelepasin pelukannya lalu terkekeh sambil ngacak-acak bulu Tom. Setelahnya, dia pun kembali musatin atensi ke Dante.

“Siapa yang nganterin kamu ke sini, Dek?” tanya Jery lembut.

“Jordan, Kak.”

“Kamu bakal tinggal di sini lagi kan sama saya?” ada harap di mata Jery. “Kamu mau ya, Dek?”

Dante ngelirik Tom sejenak. Dia ngusap lembut bulu putih Tom sambil ngehela napasnya pelan. Setelahnya, dia kembali natap wajah Jery lalu mengangguk.

Jery gak bisa nyembunyiin rasa bahagianya. Dia senyum manis lalu nuntun kepala Dante hingga bersandar di dada bidangnya. Sesekali Jery mengusap pelan rambut lelaki yang lebih muda.

“Makasih ya, Dek.” ucapnya.

Lagi, Dante cuma ngangguk.

“Jadi sekarang gimana?” tanya Jery. “Kamu udah suka saya?”

Pertanyaan Jery sukses bikin Dante terkekeh. Alhasil, dia mendongak, natap wajah Jery. Sejenak dia mengamati indahnya rupa sang dosen sebelum bilang.

“Beberapa hari terakhir. Aku… nyoba buat mikir, apa aku bener-bener suka sama kamu atau gak, Kak.” kata Dante, “Aku berusaha buat mengabaikan kebaikan yang pengen kamu berikan. Aku juga berusaha gak mau ngechat dan ketemu lagi secara intens gini.”

“Tapi ternyata, aku ngerasa ada yang kurang dalam diri aku tanpa kamu.” lanjutnya, “Aku bisa kok, ngapa-ngapain sendiri kek yang kamu bilang, tapi semuanya gak sama kalau ada kamu di sisi aku.”

“Aku pengen ngeliat kamu setiap pagi. Aku mau ditemenin nugas lagi. Aku juga pengen masak buat kamu terus dipuji,” kekeh Dante.

“Aku juga pengen kita nemenin Tom main kayak gini,” timpalnya.

“Hal-hal yang aku lakuin bareng kamu bikin aku bahagia,” katanya diikuti senyum. “Dan aku pengen ngelakuin semua itu sama kamu dalam waktu yang lama, Kak.”

“Jadi aku rasa… Aku bener-bener udah jatuh sama kamu,” katanya.

“Aku sayang kamu, Kak.”

Jery membelai pipi Dante dengan ibu jarinya bersama senyum tipis di bibirnya. Perlahan, pandangan Jery kemudian turun ke celah ranum Dante. Jery lalu berbisik.

“Boleh gak kalau bibir saya ketemu sama bibir kamu?”

Dante nahan senyumnya. Tanpa ngejawab pertanyaan Jery, Dante lantas menutup kedua matanya.

Jery yang udah paham sama hal itu pun seketika mengikis jarak wajah mereka. Sampai ketika dia udah nyaris mempertemukan kedua belah bibir mereka, Jery justru dibuat mendesis. Sebab, Tom yang berada di pangkuan Dante tiba-tiba aja melompat, bikin Dante kaget dan buka mata.

“Kamu gak kena cakar kan, Dek?”

Dante gak menjawab, dia justru buru-buru ngalungin lengannya di tengkuk Jery sebelum nyium bibir dosen gantengnya itu. Jery yang semula kaget pun perlahan mengikuti tempo ciuman Dante.

Cukup lama saling berbagi kecup hingga lumatan mesra, Jery dan Dante pun melepas tautan bibir mereka. Keduanya saling natap lamat netra satu sama lain sambil senyum tipis dan tersipu malu.

“Jadi… Kita nikahnya kapan?”

“Kak Jery bisa pelan-pelan dulu gak sih?” decak Dante, “Aku baru pulang nih, udah ngomongin soal nikah aja. Aku gak bakalan kabur.”

Jery terkekeh. “Ya udah, iya.”

“Kamu pulang ke sini aja, saya udah seneng kok.” timpalnya.

“Tapi janji jangan pergi lagi ya?”

“Iyaaa,” Dante senyum. “Oh iya, Kak. Aku udan ngikutin saran kamu kemarin. Aku keterima jadi part-time copy writer. Jadi aku bisa kerja sambil tetep kuliah.”

“Gajinya juga lumayan buat jajan aku,” katanya. “Nanti kamu lapor ke Papi ya, Kak? Biar si Papi tau kalau aku bisa ngapa-ngapain sendiri, gak taunya boros doang.”

Jery geleng-geleng, “Papi kamu udah tau kok kalau kamu bisa ini itu tanpa bantuan lagi sekarang.”

“Kamu udah buktiin kalau kamu punya cara kamu sendiri buat bikin mereka bangga,” katanya.

“Besok kita ketemu Papi Mami kamu ya?” ajak Jery. “Katanya mereka udah kangen banget.”

“Mm,” gumam Dante.

Kalau boleh jujur, Dante pun sebenarnya udah kangen sama Mami Papinya. Meskipun sering kena omel kalau abis bertingkah, tapi Mami Papinya itu juga selalu nyurahin cinta dan kasih sayang dengan cara mereka tersendiri.

“Sekarang Kak Jery mandi gih,” titah Dante. “Aku mau masak.”

“Panggil aku pake ‘Mas’ dulu.”

“Ngapain?” desis Dante.

“Aku cuma pengen denger, Dek. Sekali aja. Ya?” Jery memohon.

“Iya, iya. Sekarang Mas mandi.”

Tersenyum puas, Jery kemudian ngecup sekilas pipi kanan Dante.

“Lucu banget calon suami aku.”

Dante tersipu, “Udaaah cepetan mandi. Mas udah bau keringet.”

“Iya, Sayang.”