Gavi

Nala buru-buru membuka pintu unit apartemennya saat suara bel berbunyi nyaring. Dia yakin kalau Gavi lah yang telah datang. Dan benar saja, hal pertama yang dia dapati saat pintu terbuka adalah Gavi yang justu berada di dalam gendongan Arsen, sedang Gandi berdiri di sisi Arsen. Sontak Nala terbelalak bersama rasa heran.

“Kok Gavi digendong, Sayang?”

“Tadi Om Arsen kalah dari Gavi sama Om Gandi waktu lagi main game di mobil, Papa.” jawab Gavi.

“Jadi Om Arsen dihukum buat gendong Gavi sampai di rumah,” timpalnya diikuti tawa renyah.

“Ya udah, sekarang Gavi turun.”

Gavi mengangguk lalu menoleh ke Arsen, “Om Arsen, Gavi turun di sini aja ya. Biar Om gak capek.”

“Iya, ganteng.” Arsen tersenyum lembut mendengar ucapan Gavi sebelum menurunkan anak laki-laki itu dari gendongannya. Dia benar-benar dibuat kagum akan cara Gavi berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh lebih tua; seperti padanya dan Gandi tadi.

“Gavi masuk duluan gih,” titah Nala yang seketika dipatuhi oleh sang anak, sementara Arsen dan Gandi masih berdiri di depannya.

“Lo juga masuk, Di. Gue pengen ngobrol berdua dulu sama dia.”

Gandi melirik Arsen sejenak lalu mengangguk, “Jangan berantem.”

Sepeninggal Gandi, Nala yang tak henti-henti memandangi Arsen sedari tadi pun lantas bersuara.

“Lo boleh pulang sekarang.”

“Kok pulang?” Arsen keberatan.

“Pengen ngobrol berdua sama ngusir itu beda loh,” timpalnya.

“Selagi udah ada percakapan di antara kita, namanya ya ngobrol.” Nala menunjuk ke arah koridor di depan pintu unit. “Lo pulang gih.”

“Tadi gue udah beli HokBen loh buat makan di sini sama kalian. Lo liat tas yang dibawa Gandi tadi kan?” kata Arsen. “Biarin gue makan dulu kek. Gue laper, Nal.”

“Om Arsen! Ayo masuk!” Gavi tiba-tiba kembali ke arah pintu lalu bergelayut di jemari Arsen. “Gavi punya mainan Spiderman.”

Seringai tipis terukir di sudut bibir Arsen. Dia menatap Nala dengan raut bangga, seolah dia baru saja memenangkan lomba.

“Tanyain ke Papanya dulu dong, Om Arsen dibolehin masuk gak?” tanya Arsen sambil melirik Nala.

Gavi mendongak ke Nala, “Papa, Om Arsen boleh masuk kan?”

Melihat raut memohon Gavi juga harap yang terpancar di matanya membuat Nala tak bisa berkutik. Dia selalu lemah untuk anaknya.

“Iya, boleh.”

Gavi pun berseru riang sebelum menarik tangan Arsen juga Nala. Ketiganya kemudian berjalan ke ruang tengah bersama, dimana Gandi sudah menunggu dengan HokBen yang kini juga telah dia keluarkan dari tasnya ke meja.

“Om Arsen, liat!” Gavi mengambil action figure Spiderman yang dia punya. “Om juga punya ini gak?”

“Iya, punya.” sahut Arsen sesaat setelah duduk melantai di depan meja. “Nanti Om Arsen fotoin ya kalau Om udah sampai di rumah.”

Gavi mengangguk antusias. Bibir tipisnya masih dihiasi senyuman.

“Nanti Spiderman Gavi berteman sama Spiderman Om Arsen ya?”

Arsen begitu juga Gandi yang tau alasan dibalik kedekatan antara Gavi dan Arsen—meski mereka baru berkenalan—pun terkekeh.

“Iya, ganteng. Nanti Om kirimin fotonya ke Papa,” kata Arsen lalu mengusap puncak kepala Gavi. “Supaya kenalan terus berteman sama Spiderman punyanya Gavi.”

“Kalian ni emang cocok temenan meski beda generasi,” kata Gandi. “Kalau udah ngomongin action figure aja langsung lupa sekitar.”

Arsen hanya tersenyum tipis. Sementara itu, Nala yang sedari tadi duduk di sofa sambil diam-diam mengamati interaksi sang anak dan Arsen lantas memicing. Dia heran mengapa Arsen kini terlihat ramah pada anak kecil.

“Gavi ganti baju dulu ya, Sayang.” Nala mengusap bahu Gavi yang kemudian dibalas anggukan.

“Ayo, biar Om Gandi temenin.”

Gandi bersama Gavi pun berlalu. Mereka meninggalkan Arsen dan Nala berdua di ruang tengah itu.

“Sejak kapan lo suka sama anak kecil?” tanya Nala dengan sorot mata yang tertuju kepada Arsen. “Perasaan, dulu lo lari kalau udah liat ada anak kecil even kek Gavi.”

“Kayaknya sejak gue punya dan sering main sama ponakan gue deh, Nal.” kekeh Arsen. “Dari situ gue jadi tau gimana komunikasi sama anak kecil yang awalnya selalu gue pikir biang keributan.”

But surprisingly, the more I know them, the more I adore every little convo with them.”

“Apalagi kalau mereka nih udah ngomong dengan seribu bahasa polosnya,” kata Arsen. “Gue gak bisa berhenti ketawa, gemes.”

“Keponakan darimana?” Skeptis Nala, “Lo-nya aja anak tunggal.”

“Dari Kakak sepupu gue, Nal. Lo inget Kak Roby nggak? Sekarang dia udah punya anak tau. Udah gede malah,” balas Arsen. “Kok lo kayak gak percaya? Lo takut gue manfaatin Gavi buat deketin lo?”

Arsen menyeringai, “Tanpa Gavi pun gue bisa kok nyuri hati lo.”

Nala tidak menjawab, dia hanya memutar bola matanya sebelum membantu Arsen yang kini mulai membuka kotak HokBen mereka.

“Nih,” Arsen meletakkan salad di kotak HokBen yang berada tepat di hadapan Nala. “Ambil aja salad punya gue. Lo masih suka kan?”

“Gak.”

“Serius? Kok bisa sih lo udah gak suka salad si Hokben lagi, Nal?”

“Bukan saladnya, tapi elo.” balas Nala, tapi Arsen yang mendengar hal itu justru menahan tawanya.

“Okee,” Arsen menghela napas. “Berarti ini bakal dimakan kan?”

“Mm.”

Tidak lama berselang, Gandi dan Gavi akhirnya kembali ke ruang tengah. Keduanya kemudian ikut duduk melantai di depan meja layaknya Arsen juga Nala yang sibuk mempersiapkan makanan.

“Udah boleh dimakan gak nih?”

“Makan aja, Di. Itu buat lo kok,” balas Arsen lalu menyodorkan satu kotak untuk Gavi. “Kalau yang ini buat Gavi. Tadi katanya Gavi suka makan Ebi Furai kan?”

“Iya, Om Arsen.”

“Nih, Om kasih punya Om juga.”

“Terus Om Arsen makan apa?”

“Ini ada chicken teriyaki sama egg chicken roll. Om suka ini.”

Gavi mengangguk, namun sesaat setelahnya wajah anak lelaki itu tiba-tiba sedu. “Ayah Gavi juga suka egg chicken roll, tapi Ayah belum pulang-pulang juga. Kalau aja Ayah pulang, pasti kita makan sama Ayah juga. Iya kan, Papa?”

Nala memaksakan senyumnya lalu mengangguk, “Iya, Sayang.”

“Udah, sekarang Gavi makan ya? Entar Papa bilangin ke Ayah loh kalau Gavi males makan,” titah Nala yang seketika diamini Gavi.

Gandi dan Arsen lantas menatap lamat wajah Nala, sedang yang diperlakukan demikian berdecak.

“Kalian juga, makan. Abis makan, langsung pulang.” tutur Nala.