Pelukan
Nala membuka pintu apartemen saat belnya berbunyi. Nala sudah bisa menebak kalau hanya Gandi yang akan datang se-pagi ini ke huniannya guna menjemputnya sebelum mengantarnya ke lokasi syuting. Saat pintu terbuka, Nala pun dibuat kaget kala Arsen lah yang justru berdiri di depannya.
Alhasil, buru-buru Nala menutup pintu apartemennya itu dari luar. Nala takut jika saja Mamanya dan Gavi melihat Arsen datang. Nala tidak ingin mereka bertemu lagi. Sudah cukup dirinya saja yang berurusan dengan mantannya itu, pikir Nala yang kini berdiri tepat di hadapan si lawan main.
“Lo ngapain ke sini?”
“Gue mau nge-jemput lo,” sahut Arsen. “Sekalian balikin hp lo.”
“Gandi mana?”
“Si Gandi udah ke lokasi duluan bareng Endra, gue yang nyuruh.”
Nala mendengus. Dia kemudian menengadahkan tangannya ke arah Arsen. “Mana sini hp gue?”
Arsen merogoh saku celananya. Dia meraih gawai Nala sebelum meletakkannya di atas telapak tangan mantan pacarnya itu.
Namun, baru beberapa detik sejak Nala menggenggam gawai miliknya, Arsen tiba-tiba beralih menarik pergelangan tangannya. Arsen lalu memeluk erat tubuh Nala. Kedua lengan kokoh Arsen melingkar sempurna di pinggang ramping Nala, sedang dagunya bersandar di pundak si mantan pacar. Nala pun sudah siap untuk berontak, tapi gumaman Arsen membuat ia mengurungkan niat.
“Nal, dengerin gue sekali ini aja.”
Nala terdiam. Dia membiarkan Arsen melanjutkan ucapannya.
“Gue minta maaf karena cara gue nunjukin rasa sayang gue ke elo dulu malah nyakitin lo.” katanya.
“Rasa cinta gue ke lo waktu itu udah lebih besar dari akal sehat gue, sampai-sampai gue enggak pengen siapapun berani nyentuh lo, apalagi punya niat manfaatin lo terus bikin lo sakit.” timpalnya.
“Gue tau, gue egois. Gue cuma mikirin apa yang menurut gue benar waktu itu tanpa ngomong atau minta pendapat dulu ke lo.”
“Tapi sejak pisah sama lo tujuh tahun lalu, gue udah nyoba kok buat melihat ke dalam diri gue.”
“Gue udah nyoba menyadari apa kesalahan gue dan apa aja yang bisa gue perbaiki…” lirih Arsen.
“Dan sekarang, gue udah dapet kesempatan buat memperbaiki semuanya, Nal.” lanjutnya. “Gue gak mau bilang kalau gue nggak bakal posesif ke elo lagi setelah ini, but i’ll try to understand you more. I promise.” Arsen kemudian menarik dirinya dari pelukannya dengan Nala. Dia menatap lamat wajah sosok terkasihnya dengan pipi yang telah berderai air mata.
“Kembali sama gue ya, Nal? Gue yakin masih ada sedikit ruang di hati lo buat gue,” pintanya. “Kita bisa sama-sama belajar lagi buat saling ngerti satu sama lain. Ya?”
Sama seperti Arsen, kedua pipi Nala pun telah berderai air mata.
“Kenapa baru sekarang?”
Nala tersenyum miring. Dia pun berusaha memelankan suaranya meski ada hasrat untuk berteriak sekaligus membebaskan isaknya tepat di depan wajah si mantan.
“Lo tau gak sih, Sen? Semarah-marahnya gue sama lo sejak hari dimana kita putus, gue tuh gak pernah berhenti nunggu lo buat datang dan minta maaf ke gue.”
“Gue juga sadar kalau gue salah. Gue keras kepala, nggak pengen diatur, gak ngehargain ketakutan lo dan gak mau nyoba ngertiin lo. Tapi sebagai orang yang udah elo bohongin dan kepercayaannya lo rusak karena impiannya tiba-tiba lo renggut, gue pengen lo datang dan minta maaf duluan.” katanya.
“Dulu lo ke mana?” Nala nyaris membebaskan isaknya, “Lo gak pengen datang duluan kan waktu itu? Lo gak ada niat buat dateng.”
Nala meletakkan telunjuknya di atas dada Arsen, “Di sini, Sen...”
“Karena di sini.” timpalnya. “Lo egois, lo gak mau kalah, harus kemauan lo aja yang diturutin, pokoknya cuma lo yang bener.”
“Padahal, dibalik sifat keras kepala gue dan gimana gue selalu memberontak kalau lo mulai posesif, pada akhirnya gue yang selalu dateng ke elo kan?”
“Makanya lo mikir kalau gue lagi-lagi bakalan kembali datang ke lo.” Nala lantas tertawa hambar. “Lo salah. Gue udah nyerah buat selalu nyuapin ego lo itu, Arsen.”
Nala menarik napasnya dalam-dalam lalu menyeka air mata di pipi sebelum kembali bersuara.
“Udah nggak ada yang perlu kita perbaiki,” ujar Nala. “Maksain diri buat nyatuin dua hal yang nggak cocok cuma bakalan nyiksa kita.”
“Kita cukup jadiin semua yang udah kita lewatin itu pelajaran buat hubungan kita sama orang lain nanti,” kata Nala. “Sekarang gue pengen berdamai dengan tenang, Sen. Semua dendam gue ke lo juga udah berakhir di sini.”
“Lagian gue udah puas banget ngeliat lo ngelawan ego lo buat minta maaf duluan ke gue. Lo bahkan bertekuk lutut buat minta gue kembali, desperately.”
“So, I won.” timpal Nala diikuti seringai, tapi sesaat setelahnya Arsen justru ikut menyeringai sambil mengikis jarak antara tubuh mereka. Alhasil, punggung Nala berakhir menubruk pintu.
“Gue anggap kisah kita yang lalu itu series lama,” kata Arsen. “Dan iya, lo menang di series kali ini.”
“Tapi kisah kita belum berakhir, Nal. I’ll win over you on the sequel series.” timpalnya dengan bisikan. “Gue akan menangin hati lo lagi.”
“Keep dreaming,” ujar Nala sinis sambil mendorong dada Arsen.
“Lo udah siap belum sih? Kalau udah, kita berangkat sekarang.” tanya Arsen. “Oh iya, elo juga belum balikin handphone gue.”
“Bentar, gue mau pamit ke Mama gue sama Gavi bentar. Sekalian ngambil hp lo,” Nala kemudian berbalik, hendak masuk ke dalam apartemennya, tapi satu lengan Nala tiba-tiba dijegal oleh Arsen. Alhasil, tubuh Nala pun kembali berbalik ke arah si mantan pacar.
“Ada apa lagi sih?”
“Ada serangga di kepala lo.” kata Arsen, “Diem dulu, jangan gerak.”
Nala menahan napas saat dia mendengar kata serangga. Nala berusaha untuk tidak berteriak dan melompat, sebab dia sangat geli jika itu tentang serangga. Dia pun hanya berpasrah saat Arsen mendekat sambil memegangi kepalanya. Nala berharap agar serangga itu segera menghilang.
Namun, di luar perkiraan Nala, Arsen justru tiba-tiba mengecup keningnya. Setelahnya, si lawan main kembali menatap wajahnya dengan senyum usil di bibirnya. Saat itu pula Nala baru tersadar jika Arsen telah mengelabuinya.
“Sialan.” Nala lantas menginjak kaki Arsen sebelum buru-buru masuk ke dalam apartemennya, sementara Arsen hanya terkekeh pelan sambil mendesis kesakitan.
Saat masuk ke apartemen guna berpamitan sekaligus mengambil gawai Arsen, tatapan Nala lantas tertuju ke handphone-nya yang kini tengah digenggamnya. Nala baru saja tersadar jika case hitam dengan motif bintang berwarna putih telah terpasang di sana. Nala pun seketika menduga jika Arsen lah yang memasangnya.
Tanpa sadar, senyum terukir di bibir tipis Nala. Namun, hanya persekian detik setelahnya, dia buru-buru mengulum senyum bersamaan dengan sang Mama yang datang menghampirinya.
“Kirain kamu udah berangkat.”
“Belum, Ma. Ini Nala baru mau pamitan sekalian ngambil HP.”
“Terus yang dateng tadi siapa?” tanya si Mama penasaran. “Kok kamu lama banget di luar, Nal?”
“Gandi, Ma. Cuman kita ngobrol dulu,” Nala berdeham. “Ayo, Ma. Aku pengen pamitan sama Gavi.”
“Oke.”