Workshop

Nala berjalan beriringan dengan Gandi sang manager. Keduanya memasuki gedung Production House yang menaungi series boys love dimana Nala dan Arsen akan beradu peran nantinya.

Nala yang mengenakan dalaman sleeveless hitam dengan outer jenis cardigan berwarna senada pun mencuri perhatian beberapa karyawan dari Production House yang berlalu-lalang di sana.

Selain karena parasnya yang tidak diragukan lagi, sorot mata orang-orang itu pun jelas amat terpanah pada lekuk tubuh sang aktor. Dalaman Nala yang sedikit ketat membuat dada bidangnya terbentuk dengan apik. Meski tubuh Nala tidak se-atletis pria yang aktif ke gym, namun otot-ototnya yang padat sudah cukup membuat siapa saja berteriak.

Tidak peduli sesederhana apa penampilannya, Nala selalu sukses membuat orang yang melihat presensinya terpanah.

Sesampainya di depan ruang rapat yang akan menjadi tempat workshop berlangsung, Nala kemudian mempersiapkan senyum manisnya. Sampai saat Gandi membuka pintu untuknya dan mempersilahkannya untuk masuk lebih dulu, Nala kemudian melangkah ke dalam ruangan itu dengan senyum ramah di bibir.

“Pagi, Bang.” sapa Nala kepada sang Sutradara juga Produser yang seketika menyambutnya.

Sekilas, Nala melirik ke arah meja rapat dimana para pemeran dari series itu telah duduk di kursinya masing-masing. Termasuk Arsen yang saat ini memandangi Nala dengan sorot mata yang tajam. Sontak Nala menyeringai tipis.

“Nah, ini nih yang dari tadi Arsen tunggu.” kata si Sutradara yang kerap disapa Bang Ian. “Arsen udah nggak sabar pengen baca naskah, Nal. Kamu duduk gih.”

Nala cuma tersenyum tipis lalu duduk di salah satu kursi kosong yang tersisa tepat di samping si lawan main. Sementara Gandi lantas menghampiri Endra—yang notabenenya adalah manager Arsen—di sudut lain ruangan itu.

Tepat setelah Nala duduk di kursi, dia lantas meraih script yang berada tepat di depannya. Nala pun bisa membaca judul dari series yang akan dia dan Arsen bintangi nantinya. Series yang berjudul ‘Starlight’ itu menceritakan kisah tentang dua tokoh utama bernama Binar dan Bintang. Keduanya dikisahkan harus menjalin hubungan secara diam-diam karena status sosial. Nala sendiri berperan sebagai Bintang, sosok yang datang dari keluarga sederhana namun bisa meluluhkan hati Binar, seorang CEO juga anak dari konglomerat.

“Peran ini pasti mudah banget buat lo,” gumam Arsen tanpa melepas tatapannya dari script.

Nala yang mendengar gumaman sang lawan main pun tersenyum remeh. Sama seperti Arsen, Nala juga tetap menatap ke scriptnya.

“Peran apapun bakalan mudah buat gue,” katanya. “Kecuali kalau lawan main gue yang bikin susah karena harus take berulangkali.”

Arsen akhirnya menoleh ke arah Nala sambil mendekatkan wajah tepat di samping telinga si lawan main. Dia pun kembali berbisik.

“Kalau gitu, gue mau minta maaf duluan ya?” ucap Arsen, “Soalnya gue bakal bikin adegan ciuman kita harus di-take berkali-kali.”

Nala menoleh hingga pandangan mereka bertemu, “Oh ya? Emang lo yakin bisa lanjut main di series ini sampe syuting dimulai nanti?”

“Maksud lo?”

Nala tidak menjawab pertanyaan Arsen, sebab sang sutradara juga produser telah membuka proses workshop dimana sebentar lagi mereka akan segera berlatih ‘tuk membaca hingga memerankan dialog tokohnya masing-masing.


Workshop perdana untuk series ‘Starlight’ telah selesai. Nala yang sedari tadi harus menahan untuk tak izin ke toilet pada detik-detik terakhir workshop pun kini telah membebaskan hasrat buang air kecilnya. Setelahnya, Nala lantas mencuci tangan di wastafel, tapi mata Nala refleks memicing kala melihat Arsen menghampirinya. Arsen ikut mencuci tangan tepat di samping Nala. Mereka berbagi pandangan melalui cermin toilet.

“Maksud lo tadi apa, Nal?”

Nala mengangkat alis, “Apanya?”

“Kalau gue yakin apa nggak buat lanjut main di series ini sampai proses syuting dimulai?” jelas Arsen, sedang Nala menyeringai.

“Lihat kemampuan lo sama gue,” kata Nala. “Kelas kita beda, Sen.”

“Lo cuma bakalan permaluin diri lo sendiri dengan jadi lawan main gue.” timpalnya, “Gue cuma lagi ngingetin baik-baik kok, biar elo juga gak bawa masalah buat gue dan nyusahin gue pas syuting.”

Nala melipat lengannya di depan dada. “Lagian gue penasaran deh kesepakatan macam apalagi yang lo bikin sama Production House series ini sampai lo dapet peran main lead. Apa jangan-jangan lo pake power orang dalam lagi ya kayak tujuh tahun yang lalu?”

Arsen membalikkan tubuhnya ke arah Nala, pun Nala yang lantas melakukan hal serupa. Mereka kini saling berhadapan dengan sorot mata saling menantang.

“Sejak kapan bibir manis lo itu bisa ngucapin kata-kata angkuh, hm?” Arsen menyeringai. “Gue jadi makin pengen latihan buat scene ciuman kita nanti deh, Nal.”

“Oh, apa kita latihan di sini aja kali ya? Mumpung lagi gak ada orang,” timpal Arsen sambil perlahan memajukan langkah hingga ujung sepatunya dan Nala di bawah sana pun bersentuhan.

Nala tidak berkutik, seolah tidak takut dengan apa yang ingin si lawan main lakukan. Sampai saat Arsen mendekatkan bibirnya ke bibir Nala, pintu toilet tiba-tiba terbuka. Buru-buru Arsen juga Nala saling menjauhkan tubuh mereka. Setelahnya, Nala pun bergegas keluar dari toilet itu.

“Kita pulang sekarang,” kata Nala ke Gandi yang telah menunggu tidak jauh dari toilet, sementara si manager yang melihat Nala melangkahkan lebih dulu hanya geleng-geleng lalu menyusul.

Sejak meninggalkan gedung Production House hingga kini mereka sudah ada di dalam mobil, Nala yang duduk di jok belakang tak pernah berceloteh kepada Gandi. Nala justru asik senyam-senyum sendiri sambil menatap ke luar jendela mobil. Gandi yang diam-diam melirik Nala dari spion tengah seketika dibuat amat heran lalu bertanya.

“Lo kayaknya lagi bahagia banget ya, Nal?” tebak Gandi. “Ada apa?”

“Gue puas banget liat tampang si Arsen hari ini,” Nala tertawa kecil lalu melirik spion tengah mobil hingga tatapannya dengan sang manager sekaligus sahabatnya itu bertemu. “Gue gak nyangka kalau dengan ngambil role di series ini, gue bisa ngomong ke Arsen kalau gue jauh di atas dia dan ngebales kata-kata angkuh dia tujuh tahun lalu soal gue.”

“Dan lo pikir Arsen peduli soal itu?” sela Gandi, sedang Nala memutar bola matanya malas.

“Jelas dia peduli lah, dari dulu kan dia selalu nge—” Nala tidak melanjutkan ucapannya ketika laju mobil Gandi tiba-tiba saja berhenti. “Mobil lo kenapa, Di?”

“Gak tau, ini mesinnya tiba-tiba mati.” Gandi mengacak rambut frustrasi. “Lo tunggu di sini ya.”

Nala hanya mengangguk sambil memerhatikan Gandi yang kini keluar dari mobil. Managernya itu kemudian mengecek bagian kap mobil dengan membukanya.

Sampai tidak lama berselang, sebuah mobil lantas berhenti di samping mobil Gandi. Dan hanya persekian sekon setelahnya, Nala bisa melihat Arsen juga manager lawan mainnya itu turun dari mobil lalu menghampiri Gandi.

Nala yang masih berada di dalam mobil lantas tak bisa mendengar percakapan ketiga orang di luar sana. Alhasil, dia pun ikut keluar lalu berdiri di samping Gandi.

“Kenapa, Di?” tanya Nala.

“Mogok, Nal. Musti dibongkar dulu sih ini,” Gandi mendesis.

“Kalau lo bisa nunggu, gue mau bantu Gandi benerin mobilnya.” Arsen ikut buka suara, “Tapi kalo lo gak bisa nunggu, lo pulangnya ikut gue sama Endra aja. Biar si Gandi nunggu orang bengkel.”

“Gak perlu,” balas Nala. “Gue bisa nyuruh temen gue buat jemput.”

“Temen lo yang mane?” Gandi berdecak. “Udah, lo ikut sama Arsen aja. Daripada lo nunggu lama di sini. Belum lagi macet.”

“Gue mau ngabarin Bagas,” kata Nala lalu memusatkan atensinya ke handphone, sementara Gandi hanya geleng-geleng kepala lalu kembali memeriksa mobilnya itu.

“Lo bawa alat-alat reparasi lo gak, Di?” tanya Arsen sambil sesekali melirik ke arah Nala.

“Iya, bentar gue ambil di bagasi.”

Gandi bergegas mengambil alat-alat reparasi mobilnya sebelum berakhir mengutak-atik mobil itu bersama Arsen. Endra pun ikut membantu dengan menyodorkan alat yang diminta baik itu oleh Arsen maupun Gandi. Sementara itu, Nala tetap menunggu Bagas.

“Mana sih temen lo itu?” sindir Arsen, “Jangan-jangan datengnya pas mobil Gandi udah bener lagi.”

Nala tak merespon dengan frasa, dia hanya mendelik sesaat pada Arsen sebelum kembali menatap layar gawainya. Sampai tak lama berselang, sosok yang sedari tadi Nala nantikan akhirnya datang. Mobil Bagas terparkir tepat di samping mobil si manager yang masih belum selesai diperbaiki.

“Di, kalau gitu gue duluan ya.” pamit Nala, “Gue mau nemenin Gavi ikut lomba abis ini soalnya.”

“Oke, lo hati-hati tapi.”

“Iya, bye!”

Nala melirik Endra lalu mengulas senyum ramah, “Duluan ya, Ra.”

“Oke,” Endra cengar-cengir.

“Gak pamit ke gue juga?” tanya Arsen saat melihat Nala justru berbalik setelah pamit ke Endra.

Namun, Nala tidak meresponnya dan langsung masuk ke dalam mobil Bagas. Gandi yang melihat tingkah dua sahabatnya itu pun hanya geleng-geleng kepala, sedang Endra yang tak tau apa-apa cuma menggaruk kepalanya.