Nebeng
Selepas membaca chat dari sang manager, Arsen lantas menahan senyum lalu meletakkan gawai di atas meja; tepat di samping milik Nala. Kini, atensi Arsen seketika tertuju pada Nala yang sedang sibuk membaca script-nya untuk scene terakhir sebelum pulang.
“Di, entar gue nebeng sama lo ya?” tanya Arsen kepada Gandi yang duduk di seberangnya dan Nala, tapi matanya justru masih tertuju kepada sang lawan main.
Sontak hal itu membuat kening dan alis Gandi berkerut heran. Gandi seketika berpikir kalau Arsen mungkin ingin mengusili Nala yang sejak jam makan siang tadi bersikap cuek kepada Arsen.
“Emang mobil lo kenapa?”
“Gak kenapa-napa,” jawab Arsen. “Tapi Endra udah gue izinin buat pulang duluan tadi pake mobil gue. Ibunya masuk Rumah Sakit.”
“Sekarang udah banyak taxi sama ojek online,” sindir Nala tanpa menoleh sedikitpun ke Arsen.
“Tapi gue maunya pulang sama lo,” bisik Arsen diikuti seringai.
Nala mendelik, setelahnya dia lantas meraih handphone di atas meja, memasukkannya ke dalam saku sebelum berdiri. Nala lalu meninggalkan tempat itu guna bersiap-siap ke set dimana dia akan beradu peran dengan Arsen tepat setelah waktu break habis.
Sama halnya dengan Nala, Arsen pun meraih handphone di atas meja lalu mengantonginya. Arsen kemudian berdiri dari duduknya, tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Hal itu membuat Arsen nyaris oleng, beruntung Gandi dengan sigap berdiri lalu menahannya.
“Lo pasti udah lemes kan?” tebak Gandi yang tau jika Arsen sama sekali belum makan sejak siang tadi, “Udah lah, Sen. Bisa gak lo sama Nala gak sama-sama keras kepala dan nggak mau dibilangin gini? Gue yang capek ngeliatnya.”
“Gue gak apa-apa,” ujar Arsen sambil menepuk pundak Gandi.
Gandi hanya mampu menghela napasnya pasrah. Membuat dua orang yang kepalanya sekeras batu menjadi penurut memang lah tidak semudah melihat es krim mencair. Arsen dan Nala adalah tipikal yang tidak ingin menyerah akan sesuatu yang sangat mereka inginkan sebelum berhasil mendapatkan hal itu.
Beruntung, selama syuting untuk scene terakhir hari ini, Arsen dan Nala bisa menyelesaikan adegan demi adegan dengan amat baik. Alhasil, Gandi akhirnya juga bisa membawa kedua sahabatnya itu untuk pulang lebih awal. Belum lagi, Gandi kepikiran soal Arsen yang tetap kekeh untuk menahan lapar. Sejujurnya, Gandi khawatir. Tapi membujuk Nala supaya Nala mengingatkan Arsen agar segara makan bukan lah opsi yang tepat.
Jelas, Nala akan tetap menolak.
Sesampainya di parkiran, dimana mobil Gandi berada, Arsen pun berdiri di samping pintu jok depan untuk penumpang. Alhasil, Nala yang mengira bahwa Arsen akan duduk di samping Gandi pun memilih untuk duduk di jok belakang. Namun, hanya sesaat setelah Nala mendaratkan pantat dengan nyaman, Arsen justru tiba-tiba membuka pintu mobil yang bersebelahan dengan Nala.
“Lo kenapa gak di depan aja sih?”
“Gue pengen di samping lo.” kata Arsen, “Tapi gue tau lo bakalan nolak kalau gue kasih tau duluan, jadi gue pura-pura mau duduk di depan tadi. Kenapa? Kaget yaa?”
Arsen tersenyum usil sebelum melirik Gandi yang kini juga telah masuk ke dalam mobilnya, sedang Nala yang sudah sangat lelah untuk sekedar adu mulut dengan Arsen hanya mendengus lalu menatap ke luar jendela.
“Ayo, Di. Jalan.” kata Arsen.
“Lo gak mau mampir makan dulu di mana kek?” Gandi melirik kaca spion tengah mobilnya, berharap hati Nala akan luluh untuk segera membujuk Arsen. “Lo gak laper?”
“Laper sih, tapi ada yang enggak mau makan sama gue tadi. Jadi ya udah, gue nggak mau makan sampai dia yang ngingetin gue.”
Arsen melirik Nala, tapi si lawan main justru telah menutup mata. Gandi pun geleng-geleng kepala.
Selama dalam perjalan, Arsen tak henti-henti menatap wajah Nala sambil tersenyum tipis. Mantan pacarnya itu nampak kelelahan hingga tertidur sangat nyenyak. Nala bahkan tidak terusik sedikit pun saat kepalanya membentur jendela mobil. Arsen yang tidak ingin Nala kesakitan saat bangun nanti pun menuntun kepala Nala agar bersandar di bahunya.
“Gavi lagi di rumah Mamanya Nala gak, Di?” Arsen penasaran.
“Gak,” sahut Gandi. “Mamanya Nala yang ke apartemen Nala.”
Gandi lalu melirik spion tengah mobilnya hingga pandangannya dengan Arsen bertemu sesaat.
“Kenapa, Sen?” timpalnya.
“Kirain Gavi nggak di apartemen, Papanya pengen gue bawa kabur ke apartemen gue.” kekeh Arsen, “Mumpung Nala lagi tidur pules.”
“Gila lo,” Gandi geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil.
“Mamanya Nala bakal nginep di apartemen Nala kok, jadi Gavi ada yang nemenin.” lanjut Gandi. “Gimana? Lo pengen bawa Nala gak? Gue kangen liat lo diamuk.”
Arsen tersenyum tipis, “Bukan soal Gavi ada yang nemenin apa gak, tapi kalau dia di apartemen, pasti Gavi bakal nunggu Papanya pulang. Kasian kalau besok pagi dia bangun terus gak liat Nala.”
“Gue gak nyangka Gavi bisa jadi alasan lo buat gak nekat,” kekeh Gandi. “Biasanya lo terabas aja.”
Lagi, Arsen kembali tersenyum tipis. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya dan memilih untuk memandangi wajah Nala.
Sama seperti Nala, Arsen yang sudah diserang rasa kantuk dan lelah pun ikut tertidur tak lama setelahnya. Sementara itu, Gandi yang diam-diam memerhatikan bagaimana kedua sahabatnya terlelap dengan posisi kepala saling bersandar nyaman lantas menghela napasnya pelan. Ada rasa tidak tega melihat Nala dan Arsen harus sejauh saat ini, tapi Gandi tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan mereka. Sebab, hanya Nala dan Arsen lah yang paling tau apa yang mereka inginkan dan jadi pilihan terbaik.
Menit demi menit berlalu, laju mobil Gandi pun telah membawa kedua aktor itu nyaris sampai di apartemen Nala. Pada saat yang bersamaan, mata Nala seketika terusik dengan cahaya lampu di pinggir jalan. Alhasil, Nala lantas terbangun dan menyadari bahwa dirinya bersandar di bahu Arsen.
Sejenak, Nala memandangi wajah Arsen. Pikirannya tiba-tiba saja berlabuh pada kenangan dimana dahulu mereka kerap terlelap dengan posisi seperti saat ini.
“Lo udah bangun, Nal?”
Nala buru-buru bangkit ke posisi duduk tegak lurus ketika Gandi bersuara. Nala bergumam kecil sebagai jawaban sambil melihat jalanan di sekitarnya. Seketika Nala sadar bahwa sebentar lagi dia akan sampai di apartemen. Setelahnya, Nala berpikir sesaat.
“Lo abis nganterin si Arsen mau pulang ke rumah lo?” tanyanya. “Sekarang udah jam berapa loh.”
“Kayaknya gak sih,” sahut Gandi. “Gue juga udah capek soalnya.”
Nala berdeham, “Mm, mending lo nginep aja di apartemen dia.”
“Ingetin dia juga buat makan,” timpal Nala. “Bisa berabe kalau besok dia sakit terus gak ikut syuting. Gue juga yang susah.”
“Udah gue ingetin, Nal. Tapi dia nggak mau kalau bukan lo yang ngingetin,” Gandi mendengus.
“Lo bilang aja kalau gue yang nyuruh pas dia tidur,” usul Nala bersamaan dengan berhentinya laju mobil Gandi tepat di depan gedung apartemennya. “Oke?”
“Iya, entar gue coba.”
“Kalau gitu, gue masuk dulu. Lo hati-hati nyetirnya.” pamit Nala.
“Salam sama Mama ya, Nal.”
Baik itu Nala maupun Gandi refleks menoleh ke arah Arsen dengan tampang amat terkejut. Pasalnya, dengan kondisi mata yang masih tertutup rapat, Arsen justru tiba-tiba bersuara bahkan menitip salam untuk Mama Nala.
Nala pun hanya mendesis pelan sebelum buru-buru keluar dari mobil Gandi. Sementara itu, Arsen yang telah membuka mata lantas tersenyum manis sembari memerhatikan Nala di luar sana. Nala berjalan tergesa memasuki lobi apartemen tanpa menoleh sekali pun ke arah mobil Gandi.
“Lo udah denger kan tadi?” ledek Gandi. “Abis ini kita drive thru aja dulu ya? Biar perut lo ada isinya.”
Arsen terkekeh, “Oke.”