Vitamin

Nala yang semula tengah sibuk merapikan seragam sekolah Gavi lantas menoleh ke sumber suara saat bel apartemennya berbunyi. Dia lalu kembali menatap si buah hati dengan senyum di bibirnya.

“Om Gandi udah dateng tuh, kita berangkat sekarang ya, Sayang?”

“Oke, Papa!”

Diusapnya puncak kepala Gavi dengan sayang sebelum Nala berdiri dan menggandeng tangan kecil sang anak. Mereka berjalan beriringan hingga akhirnya Nala membuka pintu apartemennya. Namun, bukannya mendapati Gandi, Nala justru dibuat kaget saat melihat Arsen lah yang kini sedang berdiri di hadapannya.

“Om Arsen!”

Gavi berseru saat melihat Arsen, sedang Arsen refleks tersenyum sambil mengusap kepala Gavi.

“Pagi, ganteng. Udah siap ke sekolah belum?” tanya Arsen.

“Udah, Om Arsen.” Gavi lantas celingukan sejenak sebelum kembali menatap Arsen. “Tapi Om Gandi belum datang, Om.”

“Kata Papa, Om Gandi yang mau jemput Gavi sama Papa.” katanya.

“Kalau Om Arsen yang nganterin Gavi ke sekolah, gak apa-apa ya? Om Arsen udah ngomong sama Om Gandi kok tadi,” tutur Arsen.

“Soalnya Om Gandi musti kerja sama Om Endra. Itu loh temen Om Arsen yang cubit pipi Gavi pas nganterin Papa ke tempat kerja dulu. Ingat gak?” timpalnya yang dibalas anggukan oleh Gavi.

“Gandi mana?” Nala memotong percakapan Arsen dan anaknya. Dia menatap wajah Arsen datar.

“Udah ke lokasi bareng Endra,” Arsen senyum. “Mereka butuh waktu lebih banyak buat ngatur schedule kita as couple, jadi gue nyuruh mereka duluan aja. Biar bisa ngomongin kerjaan di jalan.”

Mata Nala memicing tidak suka. Dia tahu betul kalau itu hanyalah alibi dan alasan tidak masuk akal Arsen agar dia bisa bertemu lagi dengan Gavi dan menjemputnya.

Sementara itu, Arsen yang sudah paham akan maksud tatapan tak suka Nala justru melukis senyum kemenangan. Arsen lalu kembali memandangi Gavi sambil sedikit membungkuk diikuti senyum.

“Gimana? Gavi mau gak kalau dianterin sama Om Arsen?”

Gavi mengangguk, “Mau!”

“Gavi izin ke Papa dulu,” titah Arsen dengan sengaja. Sebab, Arsen tahu bahwa Nala tidak akan pernah mampu menolak permintaan anak tercintanya.

“Papa, boleh kan?” tanya Gavi sambil mendongak kepada Nala.

Meski harus dengan berat hati, pada akhirnya Nala pun berkata.

“Boleh, Sayang.”

“Ayo, Om Arsen!”

Okay, let’s go!”

Nala hanya bisa geleng-geleng kepala melihat satu tangan Gavi digandeng oleh Arsen, sedang tangan yang satunya lagi masih Nala genggam. Alhasil, mereka berjalan beriringan dengan Gavi yang berada di tengah-tengah.

Sampai saat mereka telah tiba di basemen dimana mobil Arsen terparkir, Arsen lantas membuka pintu di jok belakang. Arsen lalu menuntun Gavi agar masuk dan duduk dengan nyaman di sana. Setelahnya, Arsen buru-buru membuka pintu jok penumpang di samping kemudi untuk Nala. Beruntung, tidak ada penolakan dari si lawan main seperti biasa.

Selama dalam perjalanan, Arsen dan Gavi nyaris tak pernah diam. Pasalnya, Arsen selalu mengajak Gavi bercerita tentang apa saja yang anak itu lakukan beberapa hari terakhir saat mereka tidak berjumpa. Seperti saat ini, Arsen pun mengajukan pertanyaan lain.

“Semalem pas Papa belum balik kerja, Gavi di rumah Oma ya?”

“Iya, Om Arsen.” sahut Gavi. “Om Gandi sama Papa jemput Gavi pas Gavi tidur di rumah Oma.”

“Kenapa Gavi gak nginep aja di rumah Oma?” tanya Arsen lagi.

“Soalnya hari ini Papa mau nganterin Gavi ke sekolah,” katanya. “Rumah Oma jauh dari sekolah Gavi. Nanti Gavi telat ke sekolah. Papa juga telat kerja.”

“Mm, gitu yaa.” Arsen melirik ke spion tengah mobil. Dia refleks tersenyum saat pandangannya bertemu dengan Gavi di sana.

“Gavi pinter banget sih gak mau telat sekolah, gak mau Papanya jadi telat kerja juga.” puji Arsen. “Siapa yang ngajarin, ganteng?”

“Ayah,” kata Gavi. “Kalau Gavi telat, nanti Ayah marah. Ayah kan harus nganterin Papa kerja juga.”

“Emang Ayahnya Gavi sering marah ya?” alis Arsen bertaut.

“Iya, tapi kata Ayah, Ayah marah karena Ayah sayang sama Gavi.”

Arsen lantas melirik Nala di sisi kirinya. Lawan mainnya itu sibuk menatap kosong ke luar jendela. Seolah tidak ingin ikut terlibat dalam percakapannya dan Gavi.

“Ayahnya Gavi pasti gak pengen Gavi jadi anak yang males,” kata Arsen. “Jadi Gavi diajarin supaya gak telat sama Ayahnya. Iya kan?”

“Iya, Om Arsen.” Gavi senyum.

Perjalan menuju sekolah Gavi pun kembali berlanjut hingga mereka akhirnya tiba di tujuan. Nala lantas menyempatkan diri untuk turun dari mobil lalu mengantarkan Gavi hingga ke depan gerbang sekolahnya.

Sementara itu, Arsen yang setia menunggu di dalam mobil tak henti-henti memandangi Nala dan Gavi di luar sana. Dia diam-diam tersenyum tipis melihat bagaimana Nala memberikan kecupan sayang kepada Gavi sebelum anaknya itu masuk ke sekolah bersama sang Ibu guru.

“Gavi lebih dewasa dari umurnya kalau lagi ngomong,” ujar Arsen saat Nala telah kembali masuk ke mobil. “Apa perasaan gue aja ya?”

“Kenapa?” Nala menatap kosong ke arah depan. “Lo mau bilang kalau cara didik gue salah, Sen?”

“Gak salah,” kata Arsen. “Lo itu orang tuanya, lo yang paling tau cara didik mana yang tepat buat Gavi. Cuman… Gue khawatir aja kalau misal dia dipaksa berpikir dewasa di umurnya yang segitu.”

“Padahal di umur-umur segitu, dia boleh kok nge-rengek atau ngelakuin kesalahan. Gavi gak harus selalu dituntut buat gak ngelakuin kesalahan, that’s how kids learn from their mistakes.”

“Makasih ya,” ucap Nala sebelum menoleh ke Arsen. Dia menatap wajah Arsen lamat, “Makasih lo udah jelasin ke Gavi juga kalau Ayahnya marah buat ngajar dia.”

“Mas Tristan gak pernah bilang kayak gitu,” lirih Nala. “Dia cuma selalu ngasih tau Gavi kalau dia marah karena sayang. Sampai-sampai gue takut yang tertanam di pikiran anak gue sampai dia gede nanti itu juga marah tanda sayang. Padahal marah itu emosi. Gak semua marah tanda sayang.”

“Gue bersyukur ada orang lain yang ngasih tau Gavi selain gue,” timpalnya. “Jadi dia tau kalau gue gak cuma sekedar nenangin pas dia nangis abis dimarahin dulu.”

Arsen tidak mengatakan apa-apa lagi sebagai respon. Dia hanya menghela napas sambil merogoh celananya. Saat itu pula Arsen mengeluarkan gelang Nala yang sempat tertinggal di set syuting.

Nala pun sedikit tersentak kala Arsen meraih tangannya. Arsen lalu memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Nala tanpa ada penolakan. Nala hanya diam dan sesekali melirik wajah Arsen.

Seusai memasangkan gelang itu, Arsen lantas kembali bersuara.

“Lo udah minum vitamin?”

“Belum.”

“Kok belum?”

Nala mendengus, “Vitamin gue abis, kemaren gue lupa beli lagi.”

Arsen berdecak lalu membuka dashboard mobilnya. Dia meraih vitamin dengan kemasan botol juga air mineral dari dalam sana.

“Nih, minum dulu.” titan Arsen sambil menyodorkannya ke Nala.

“Gak usah,” tolak Nala. “Gue bisa beli terus minum di lokasi entar.”

“Gue gak nerima penolakan, Nal.”

“Kok lo maksa sih?” sungut Nala.

Arsen menatap Nala dengan raut datar. “Minum sekarang atau gue yang bantu lo minum vitamin ini dari mulut gue. So? Wanna try?”

Malas membuang-buang waktu untuk adu mulut dengan Arsen, pada akhirnya Nala menurut. Dia meminum satu kapsul vitamin itu sebelum dia mengembalikan vitamin itu kepada sang empu.

Namun, bukannya menerimanya, Arsen justru memasukkan botol kecil berisi vitamin itu ke dalam tas Nala yang ada di sampingnya. Sebelum Nala protes, Arsen pun seketika kembali angkat bicara.

“Vitamin buat gue udah ada di samping gue,” katanya. “Jadi gue udah gak perlu vitamin itu lagi.”

“Oh,” sarkas Nala dengan penuh penekanan sebelum membuang pandangannya ke luar jendela.

Arsen pun hanya terkekeh lalu kembali menancap gas, sedang Nala diam-diam tersenyum tipis.