Confess

Nala menghela napasnya gusar tepat setelah dia membaca chat Arsen. Meski apa yang baru saja Arsen tuduhkan padanya sama sekali tidak benar, tapi dengan memberitahu satpam bahwa dia membawa obat-obatan terlarang jelas akan membuat unitnya akan diperiksa, yang mana artinya, Arsen juga akan tetap mengambil kesempatan itu untuk masuk ke huniannya. Belum lagi gosip dan kehebohan yang pastinya akan tercipta di antara para penghuni apartemen setelahnya. Nala amat kenal dengan Arsen. Laki-laki itu tidak akan main-main dengan ucapan juga tingkah gilanya.

Alhasil, dengan berat hati, Nala akhirnya membuka pintu unitnya itu. Dia pun seketika mendapati Arsen berdiri di hadapannya. Si pemilik lesung pipi menyeringai tipis lalu memajukan langkahnya guna masuk ke unit Nala tanpa dipersilahkan. Sontak si pemilik unit menghadang jalan Arsen.

“Lo ada urusan apa lagi sih sama gue?” sorot matanya amat tajam.

“Kata Bang Ian pas lagi workshop tadi kan, kita musti sering-sering jalan atau ngobrol bareng.” jawab Arsen, “Supaya chemistry kita tuh makin kuat sebelum syuting.”

“Tapi gue gak suka bahas kerjaan apalagi bangun chemistry sama lawan main gue pas udah sampai di rumah,” tegas Nala. “Mending sekarang lo pergi dari unit gue.”

“Kita bahas yang lain aja kalau gitu,” Arsen enggan menyerah.

Dengan sigap Arsen mengangkat tubuh Nala. Dia menggendong si lawan main seperti karung beras di pundaknya. Arsen yang sedari tadi memegang paper bag pun tetap berusaha hati-hati agar si lawan main tidak jatuh karena beban lain di satu tangannya.

Nala yang hanya bisa meronta pun memukul kuat punggung Arsen. Andai saja Gavi tidak tidur, Nala akan berteriak sekencang-kencangnya saat ini hingga didengar penghuni lain.

Tapi apa boleh buat, Nala kalah.

“Arsen! Turunin gue, sialan!”

Saat Arsen akhirnya telah sampai di ruang tengah apartemen Nala, dia lantas menurunkan si lawan main dari gendongannya. Arsen kemudian mendesis pelan saat merasakan ngilu di punggung. Pukulan Nala benar-benar kuat.

“Kenapa harus mukul-mukul sih? Kayak gak pernah gue gendong aja sebelumnya,” seringai Arsen.

“Oh iya,” Arsen menyodorkan paper bag yang sedari tadi dia bawa. “Ini buat lo sama Gavi.”

Nala hendak merespon ucapan Arsen, tapi atensinya tiba-tiba teralihkan ke arah gawai yang dia genggam. Nala pun seketika bisa membaca pesan dari Bagas yang terpampang di layar kuncinya. Saat itu pula dibuat terbelalak.

“Anjing,” gumam Nala pelan lalu kembali memandangi Arsen. “Lo sembunyi dulu. Bagas di depan.”

“Kenapa gue harus sembunyi?”

“Gue bilang sembunyi, Arsen!”

Arsen memicing, “Emang elo ada hubungan apa sih sama dia, Nal?”

“Lo gak usah banyak tanya.”

“Ya udah, lo ambil ini dulu.” kata Arsen lalu kembali menyodorkan paper bag di tangannya ke Nala.

Nala mendesis kesal. Dia lantas meraih paper bag itu sebelum meletakkannya di atas sofa. Nala lalu mendorong tubuh si lawan mainnya ke arah dapur yang tak jauh dari ruang tengahnya. Nala menuntun Arsen agar segera bersembunyi di samping pantri.

“Awas kalau lo keluar dari sini,” Nala memperingati. “Gue nggak bakalan segan-segan ngancurin karir lo sampai lo di-banned.”

Arsen hanya menahan senyum saat mendengar ancaman Nala. Sementara itu, Nala yang telah mendengar suara bel unitnya berbunyi pun hendak berbalik guna membukakan pintu untuk Bagas. Namun, Arsen justru tiba-tiba menahan lengannya hingga kini mereka kembali berhadapan.

Perlakuan Arsen membuat Nala telah bersiap-siap mengutarakan kata kasarnya. Namun, niat Nala itu terhenti ketika sang lawan main memasang kancing piyama teratas Nala yang terlepas hingga mengekspos sebagian dadanya.

“Udah,” kata Arsen setelahnya. “Lo tau kan, kalau gue gak suka liat lo pakai baju yang terbuka?”

“Gue gak peduli,” bisik Nala lalu bergegas ke arah pintu unitnya.

Bukan tanpa sebab Nala tak ingin Bagas tau bahwa Arsen sedang di apartemennya. Pasalnya, sejak Bagas menjemput Nala siang tadi, nampak kalau si asisten sutradara amat penasaran akan hubungan Nala dengan Arsen.

Apalagi Bagas tau bahwa Gandi juga berteman baik dengan si lawan main. Ditambah dengan fakta bahwa mereka bertiga—Nala, Gandi dan Arsen—satu almamater bahkan satu jurusan saat masih di bangku kuliah dulu.

Alhasil, saat Bagas bertanya apa dia dekat dengan Arsen, Nala hanya memberi jawaban singkat,

“Tidak.”

Meski Nala sudah mengenal Bagas cukup lama, namun dia masih tidak ingin terlalu terbuka tentang kehidupan pribadinya ke asisten sutradara itu. Apalagi jika menyangkut soal dia dan Arsen.

Sebisa mungkin, Nala akan selalu berusaha untuk berhati-hati. Dia tidak bisa memercayai siapa pun kecuali Gavi, Mama dan Gandi. Sebab, di balik hingar bingar dunia hiburan, begitu banyak niat terselebung dari para pelaku seni untuk saling menjatuhkan.

Sejenak, Nala mengatur deru napasnya sebelum membuka pintu untuk Bagas. Si asisten sutradara yang sudah Nala kenal sejak membintangi seriesnya tiga tahun lalu itu berdiri di hadapan Nala sambil mengulas senyum.

“Kayaknya lo udah siap-siap buat tidur ya?” tanya Bagas setelah melihat penampilan Nala saat ini.

Nala tersenyum kikuk. “Gak kok.”

“Ayo masuk dulu, Gas.”

Bagas mengangguk kecil saat Nala mempersilahkannya untuk masuk. Dia kemudian mengikuti langkah kaki sang empu unit apartemen itu hingga mereka berakhir di sofa ruang tengah.

“Maaf ya, tadi gue bener-bener cuma nganterin lo ke sekolah Gavi sebelum pergi lagi.” ucap Bagas lalu duduk di sofa panjang.

“Gak apa-apa,” kata Nala. “Justru gue yang harusnya minta maaf karena malah nyuruh lo buat jemput gue padahal lo lagi kerja.”

“Santai aja kali, Nal.” kekeh Bagas.

“Lagian lokasi take gue siang tadi juga deket banget kok dari lokasi workshop series lo.” timpalnya.

Nala mengangguk. “Lo duduk dulu ya, biar gue bikin minum.”

“Eh, gak usah.” kata Bagas. “Gue ke sini kan cuma mau nganterin script lo yang ketinggalan tadi.”

Bagas menyodorkan script yang tidak sengaja Nala tinggalkan di mobilnya. Nala pun meraihnya.

Thanks ya, Gas.” ucap Nala yang dibalas anggukan oleh Bagas.

“Gue sekalian mau liat Gavi juga sebenernya,” Bagas kemudian celingak-celinguk ke arah lain. “Anaknya udah tidur ya, Nal?”

“Udah, pulang dari lomba tadi dia bilang capek. Tau-tau pas abis makan malem langsung bobo.”

“Yah, telat nih gue.” kekeh Bagas. “Terus gimana hasil lombanya?”

“Gavi dapet juara dua,” kata Nala yang kini telah ikut duduk tepat di samping Bagas. “Dia bahagia banget, sampai loncat-loncat.”

Nala selalu bersemangat ketika berbicara tentang sang anak. Terlebih lagi, Gavi yang telah berumur empat tahun semakin pintar dan banyak berceloteh.

Dan Bagas tau betul akan hal itu.

“Lo abis belanja?” tanya Bagas.

Alis Nala berkerut heran ketika mendengar pertanyaan Bagas.

“Gak,” katanya. “Kenapa?”

“Terus itu paper bag apaan, Nal?”

“Itu dari temen gue. Dia mampir tadi,” Nala terpaksa berbohong.

Bagas mengangguk kecil dengan senyum manis di bibirnya. Sejenak, keduanya pun terjebak dalam hening. Nala sibuk dengan pikirannya jika saja Arsen nekat untuk keluar dari tempat sang lawan main bersembunyi saat ini, sedang Bagas terlihat berpikir.

“Nal?”

“Mm?” Nala mengangkat alis.

“Gue… Mau ngomong sesuatu sama lo,” Bagas terlihat ragu.

“Ngomong aja kali,” Nala senyum.

“Gue tau, sekarang bukan waktu yang tepat buat gue bilang ini…” Bagas mengulum bibirnya sesaat, “Apalagi baru beberapa bulan sejak lo ditinggal sama suami lo.”

“Tapi gue udah lama nyimpen perasaan ke lo, Nal.” jujur Bagas, tapi Nala tetap terlihat tenang.

“Gue diam-diam jatuh hati sama lo pas kita kerja sama di series, cuman waktu itu gue sadar kalau lo punya suami. Lo milik Tristan.”

“Gue paham kalau lo… Mungkin masih punya luka bahkan trauma karena ditinggal suami lo,” lanjut Bagas. “Tapi gue harap lo ngasih gue izin buat nyembuhin luka lo. Gue pengen jagain lo sama Gavi.”

“Gue pengen selalu ada di sisi lo, Nal.” katanya. “Gue juga berharap lo mau ngebuka hati lo buat gue.”

Nala menghela napasnya pelan.

“Makasih banyak ya udah punya niat baik buat jagain gue sama Gavi, Gas.” tutur Nala. “Tapi gue pengen lo tau kalau bukan tugas lo kok buat nyembuhin luka gue.”

“Jadi, untuk sekarang, gue belum bisa ngasih lo jawaban apalagi harapan.” tegas Nala, “Dan jujur aja, selama ini gue nganggep lo sebagai teman. Bisa atau gaknya gue ngebuka hati buat lo pun gak bisa gue prediksi dari sekarang.”

“Biarin gue nyembuhin diri gue sendiri dulu ya?” Nala menatap lamat kedua netra cokelat Bagas.

“Gak mudah buat dekat, apalagi menjalin hubungan sama orang yang belum bisa lepas dari masa lalunya, Gas.” timpal Nala, “Gue gak pengen bikin lo terluka juga.”

Bagas mengangguk, “Gue ngerti kok, Nal. Gue hargain respon lo.”

“Tapi dengan lo udah tau soal perasaan gue ini, gue harap lo gak bersikap asing sama gue ya?”

Nala mengangguk kecil sebagai respon, sedang Bagas menghela napas sebelum berdiri dari sofa.

“Kalau gitu, gue pulang dulu ya, Nal? Lo juga musti istirahat.”

“Oke.”

Nala pun ikut bangkit sebelum mengantarkan Bagas hingga ke depan pintu apartemennya itu. Setelahnya, Nala lalu kembali ke ruang tengah. Di sana pula Nala seketika mendapati Arsen telah berdiri tepat di samping sofanya.

“Dia ngebet banget ya pengen dapetin lo,” decih Arsen. “Lo aja belum resmi pisah dari Tristan.”

“Gue kira Bagas baik kayak gitu sama lo karena dia temen baik lo, ternyata ada maunya.” timpalnya.

Nala kemudian berjalan ke arah Arsen hingga kini dia berdiri di hadapan lawan mainnya itu.

“Bukan urusan lo,” kata Nala. “Mending sekarang lo pergi.”

Arsen tidak merespon dengan frasa. Dia justru sibuk menatap lamat wajah Nala sesaat dalam hening. Setelahnya, dia berkata.

“Nal, yang tadi lo bilang ke Bagas kalau lo belum bisa lepas dari masa lalu lo itu siapa?” tanyanya.

“Tristan…” Arsen mengarahkan telunjuk ke dadanya. “Atau gue?”

Nala mengepalkan tangannya di samping paha. “Pergi dari sini sebelum gue panggilin satpam.”

“Jawab gue dulu.”

“Pergi, Arsen.” usir Nala lagi dengan suara sedikit meninggi.

“Kalau gitu anterin gue ke depan, tadi lo juga nganterin Bagas loh.” balas Arsen, “Gue sama dia kan sama-sama tamu lo di sini, Nal.”

“Lo bukan tamu, tapi penyusup.” kata Nala sebelum mengubah posisinya hingga berdiri tepat di belakang tubuh Arsen. Dia lalu mendorong tubuh bongsor sang lawan sambil berkata, “Pergi lo.”

Arsen pun hanya tersenyum tipis sebelum mengambil satu langkah kecil, seolah hendak pergi dari ruang tengah. Namun persekian detik setelahnya, Arsen justru tiba-tiba berbalik lalu mengecup sekilas bibir Nala. Sontak Nala hanya mampu terbelalak karena aksi Arsen di luar perkiraannya.

See you, love.”

Fuck you.”