Genggam

“Wah, gila. Starlight trending di Twitter,” ujar Endra dengan mata melotot sebelum melebarkan mulutnya. “Responnya juga pada bagus-bagus. Kaget gak sih lo?”

Arsen dan Nala yang duduk tepat di seberang Endra lantas melukis senyum di bibir mereka. Pun Gandi yang baru saja datang dari dapur sambil membawa empat kaleng bir. Gandi meletakkan bir itu di atas meja sebelum memilih duduk di samping kanan Endra.

“Padahal, awalnya tuh gak sedikit juga gak sih yang nolak series ini tayang?” timpal Endra. “Ternyata malah banyak banget yang suka.”

“Mm,” gumam Gandi setuju. “Gue liat tadi ada yang bilang Starlight itu series BL pertama yang orang itu tonton. Berarti target pasar yang tadinya cuma ke pecinta BL udah meluas kan? That’s great.”

“Bisa aja kan, abis ini, genre BL bukan lagi soal selera orang yang emang ada dalam komunitas itu sendiri. BL bakalan setara sama series straight yang isi ceritanya juga lebih beragam,” jelas Gandi.

Endra pun mengangguk setuju, namun melihat Arsen dan Nala hanya terdiam membuat mata Endra lantas memicing heran.

“Tapi ini kenapa ya dua bintang utamanya malah diem-diem aja dari tadi?” sindir Endra, sedang Gandi terkekeh mendengarnya.

“Iya,” Gandi menimpali. “Lo pada gak seneng series lo trending?”

“Justru karena gue sama Nala seneng banget, makanya kita gak bisa berkata-kata.” sahut Arsen.

“Iya kan, Nal?” tanyanya ke Nala.

“Mm,” Nala tersenyum tipis. “Gue udah expect kalau respon series ini bakal bagus apalagi soal plot.”

“Tapi gue bener-bener masih gak nyangka bakal se-rame ini.” lanjutnya, “Padahal ini juga series BL pertama di negara kita kan?”

You guys deserves all the hype,” kata Endra. “Akting kalian emang se-keren itu tau. Arsen aja yang dulu suka kaku kalau udah akting sama lawan mainnya bisa se-jago ini ternyata pas bareng Nala.”

“Jadi intinya lo lagi muji gue apa ngatain gue?” Arsen mendengus, sedang Nala, Endra serta Gandi seketika menertawai sang aktor.

“Kan kalau sama Nala dia gak perlu akting, Ra.” ledek Gandi yang membuat Arsen refleks melempar bantal sofa ke arah sahabat karibnya dan Nala itu.

Di tengah-tengah keributan antara Gandi dan Arsen, suara gawai Nala tiba-tiba menggema. Nala pun buru-buru meraihnya hingga mendapati bahwa Bagas lah yang kini menelponnya. Nala lalu melirik Arsen sesaat sebelum dia berdiri dari sofa dan berkata.

“Gue angkat telepon dulu ya.”

“Obrolan kalian se-rahasia itu ya, sampai-sampai harus telponan di tempat lain?” kata Arsen bahkan sebelum Nala mengangkat kaki.

Nala pun hanya menoleh pada Arsen dengan tampang datar sebelum melenggang pergi dari sana. Arsen sendiri seketika menghela napas panjang lalu menenggak rakus sekaleng bir seperti tidak ada lagi hari esok.

“Sen, pelan-pelan.” kata Gandi.

Arsen tidak menjawab. Dia justru meletakkan kaleng birnya yang telah kosong di atas meja lalu bangkit dari sofa. Dia pun ikut meninggalkan ruang tengah dan menyusul Nala yang nyatanya sedang berdiri di belakang pintu apartemennya. Di sana pula Nala sedang asik berbincang dengan Bagas melalui panggilan telepon.

“Makasih ya, Gas. Kalau gitu, gue matiin teleponnya. Bye.” Tutur Nala lalu menoleh ke arah Arsen yang berdiri sambil bersandar di tembok. Arsen melipat kedua lengannya di depan dada sambil menatap Nala dengan raut datar.

Nala pun sudah siap jika setelah ini Arsen lagi-lagi akan menyulut api di antara mereka. Namun, di luar dugaan Nala, Arsen justru hanya melewatinya tanpa sedikit pun suara terbebas dari belahan bibirnya. Arsen membuka pintu apartemennya tepat setelah Nala minggir dan memberinya jalan.

“Lo mau ke mana?”

“Kenapa lo gak ikut aja kalau lo pengen tau,” jawab Arsen tanpa menoleh sedikit pun ke Nala.

Nala berpikir sejenak, tapi pada akhirnya dia mengikuti Arsen yang kini berjalan menuju lift. Saat mereka sama-sama telah di dalam lift, Nala lantas mencuri-curi pandang ke arah Arsen dari pantulan pintu lift di depannya.

Nala masih heran kenapa Arsen diam saja. Padahal, Nala sudah menyiapkan jawaban terbaiknya andai saja tadi Arsen lagi-lagi menunjukkan sikap posesifnya.

Sesampainya di lantai dasar, Nala lantas kembali mengikuti Arsen. Sampai pada akhirnya, Nala tahu bahwa mantan pacarnya itu akan ke kolam renang. Nala pun ikut duduk di tepi kolam saat Arsen yang lebih dahulu mendaratkan bokong memberinya instruksi tersirat melalui tatapan mata.

“Dia bilang apa ke lo?”

Nala yang paham bahwa orang yang dimaksud Arsen adalah Bagas pun seketika menjawab.

“Bukan urusan lo.”

“Jawab, atau gue yang langsung nanya ke dia,” ujar Arsen tenang.

Nala menghela napas. “Bagas ngucapin selamat karena series kita dapat respon yang positif.”

Arsen mengangguk lalu menatap kosong ke arah kolam renang.

“Ngeliat respon orang-orang tuh justru bikin gue ngerasa kasihan sama diri gue sendiri deh, Nal.”

“Kenapa?”

Arsen menoleh dengan senyum hambar di garis bibir penuhnya.

“Waktu kita pacaran dulu, kita musti sembunyi-sembunyi dari orang lain, bahkan orang tua kita sendiri. Butuh waktu lama buat coming out ke mereka,” katanya.

“Gak sekali dua kali juga kita berantem karena gue udah pengen coming out, tapi lo sebaliknya.” Arsen menimpali.

“Tapi sekarang, our society udah jauh lebih ramah ke orang-orang kayak kita. Bahkan hal yang dulu gak pengen mereka lihat karena jijik justru udah jadi tontonan…”

“Andai aja waktu itu gue udah bisa ngeredam ego gue kayak sekarang, pasti gue udah bisa meluk lo di depan orang banyak bahkan nge-genggam tangan lo ke mana pun kita pergi…” Arsen berkaca-kaca, namun dia tetap memaksakan senyum tipisnya.

“Gue juga pasti udah gak perlu bersaing kayak gini sama Bagas bahkan Tristan kalau aja nanti dia kembali ke lo. Kita mungkin udah bahagia ya sama keluarga kecil kita,” timpalnya, sementara Nala refleks tersenyum meledek.

“Perasaan baru kemarin lo jelasin panjang lebar soal apa yang bikin lo gak suka kalau Bagas deketin gue,” kata Nala. “Kok sekarang lo udah terima bersaing sama dia?”

“Karena lo milih buat tetep biarin dia deketin lo,” sahut Arsen. “Gue cuma bisa bilang kalau gue gak suka lo dideketin sama dia, tapi pilihan lo tetep ada di tangan lo kan? Ya udah, gue harus terima.”

Arsen kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Nala lalu mengulas seringai tipis sebelum berbisik, “Lagian, meski posisi gue sama Bagas sekarang sama-sama lagi bersaing buat dapetin hati lo, gue yakin lo bakalan milih gue. Lo cuma masih ragu, Nal.”

Nala memutar bola matanya lalu membuang muka ke arah kolam renang. Saat itu pula Nala diam-diam menahan senyumnya. Dia, jujur saja, tak berekspektasi kalau Arsen akan se-tenang ini. Apalagi saat masih di dalam apartemen tadi, Arsen terlihat sangat marah.

“Kata siapa kalau posisi lo sama Bagas itu sama?” Nala kembali menoleh dan memandang Arsen.

“Gue gak pernah bilang ke Bagas kalau gue ngasih dia kesempatan buat nunjukin usahanya,” timpal Nala. “Jadi gue gak nunggu apa-apa dari dia. Beda sama lo, Sen...”

“Gue udah ngasih lo kesempatan, jadi gue nunggu sampai kapan lo bakalan menyalahi prinsip lo dan kapan lo bakalan meledak terus akhirnya gak yakin buat balikan lagi sama gue.” seringai Nala.

Mendengar penuturan Nala membuat Arsen mati-matian menahan senyum. Dia merasa mendapat lampu hijau dari Nala meski dengan kata-kata sarkas.

“Sayangnya gue gak bakal pernah meledak, Nal.” Arsen ikut melukis seringai di bibirnya. “Justru cinta kita yang nanti bakalan meledak.”

“Pfffttt!”

Arsen melotot saat Nala tiba-tiba menyemburkan tawanya. Nala tertawa lantang sambil sedikit membungkuk dengan tangannya yang menekan perut. Melihat hal itu lantas membuat sesuatu di balik dada Arsen menghangat. Sebab, baru kali ini dia melihat Nala kembali tertawa amat lepas.

“Kok ketawa sih? Apa yang lucu?” kekeh Arsen lalu mencubit pipi Nala yang masih juga tergelak.

“Kapan ya terakhir kali gue denger kalimat katrok kek tadi,” Nala dengan sisa-sisa tawanya menatap Arsen dengan tampang geli. “Cinta kita yang meledak? Lo dapet kalimat itu darimana?”

“Lo masih receh banget ya,” kata Arsen diikuti kekehan. “Apa yang lucu sih dari cinta kita meledak?”

“Lucu aja,” Nala menghela napas panjang guna meredam tawanya.

“Emang sih ya, kalau lagi bareng sama orang yang kita sayang tuh, dia mau ngomong apa aja pasti bakalan kedengeran lucu.” ledek Arsen, sedang Nala mendengus.

“Sekarang Gavi udah tidur gak ya kira-kira, Nal?” tanya Arsen.

“Udah, anaknya selalu tidur di bawah jam sepuluh malem.”

Arsen mengangguk.

“Kita balik ke unit lo yuk,” ajak Nala. “Gue mau pulang abis ini. Sekalian ambilin laptop lo yang mau gue pinjem buat ngedit.”

“Emang gue pernah bilang kalau lo boleh bawa laptop gue pulang ya?” Arsen memicing usil. “Gue cuma bilang kalau lo boleh pake punya gue, perasaan. Iya kan?”

Nala menghela napasnya pasrah, “Seharusnya gue emang gak usah percaya sama omongan lo, Sen.”

“Kalau mau ngedit, ke apartemen gue aja, pake laptop gue. Sama kayak tadi pas lo pake kamera gue waktu take reaction video.”

Nala mendelik, namun Arsen yang melihat hal itu semakin melebarkan senyum usilnya.

“Atau gini deh. Biar gue aja yang ngeditin video lo, tapi sebagai gantinya, lo musti nyium gue.”

“Gak.”

Arsen tidak peduli. Dia justru mendekatkan wajahnya ke arah Nala seolah ingin menciumnya.

“Apaan sih, Sen? Entar ada orang yang liat,” Nala mendorong dada Arsen, namun yang diperlakukan demikian justru tersenyum lebar.

“Berarti kalau gak ada orang yang liat, kita bisa ciuman?”

“Gak.”

“Ayo,” Arsen menarik lengan Nala dan menuntunnya untuk berdiri.

“Sen, lo mau ke mana sih?” Nala mendesis saat Arsen menarik lengannya guna meninggalkan kolam renang. “Lepasin gue.”

“Tadi katanya mau pulang,” ujar Arsen. “Biar gue yang nganterin.”

“Tapi kita belum pamit ke Endra sama Gandi, brengsek.” decak Nala saat Arsen justru menarik lengannya ke lift dan menekan tombol untuk menuju basement.

“Ngapain pamit? Kan yang punya unit gue,” Arsen tersenyum tipis.

Lagi-lagi Nala hanya bisa pasrah bersama helaan napas panjang. Lengannya masih dicengkeram oleh Arsen. Namun, saat Arsen perlahan melepas cengkeraman itu dan beralih menggenggam tangannya, Nala lantas menoleh ke sang mantan. Saat itu pula pandangan mereka berjumpa.

Awalnya, Nala terlihat berpikir. Sampai tidak lama berselang, Nala pun membalas genggaman tangan Arsen sebelum menoleh ke arah pintu lift. Pun Arsen yang melakukan hal serupa sambil mati-matian menahan senyum.