Rahasia
Seperti pesan Ayahnya, Angkasa pun datang ke pemakaman Opa. Meski Angkasa tiba di saat satu-persatu orang yang mengantar Opa ke tempat peristirahatan terakhirnya mulai meninggalkan tempat itu, tapi dia bisa melihat bahwa anak dan cucu mendiang Opa masih ada di sana, termasuk suaminya. Angkasa kemudian memberanikan dirinya untuk menghampiri guna memberi salam terakhirnya. Kedatangan Angkasa pun disambut hangat oleh sang mertua. Papi dengan sigap memeluknya, berkali-kali mengucap kata maaf dengan air mata yang masih bercucuran. Pun Mami yang mengusap pelan punggung Angkasa selagi Papi masih mendekapnya amat erat.
Usai berbagi peluk dengan Papi, Angkasa memilih duduk di sisi Sagara—tepat di samping pusara Opa—yang sedari tadi juga masih belum bangkit. Sagara yang raut wajahnya memancarkan sedih dan sesal pun tersenyum tipis ketika Angkasa akhirnya mau menatapnya sebelum bersuara.
“Maaf, Mas. Aku telat.”
Sagara mengangguk. “Makasih banyak udah datang ya, Sayang. Kamu ke sini dianterin siapa?”
“Aku nyetir sendiri, Mas.”
Sagara bergumam paham lalu mendongak ke arah Papi, Mami, juga Bintang dan kedua orang tuanya yang telah berdiri dan sedari tadi bersiap-siap untuk pergi. “Bentar lagi ujan. Kalau mau duluan gak apa-apa, entar aku baliknya bareng Angkasa.”
Merasa Sagara dan Angkasa memang butuh waktu untuk berbincang empat mata, Papi, Mami, Bintang serta Papa dan Mamanya akhirnya melenggang pergi. Menyisakan Sagara dan Angkasa yang tiba-tiba terjebak dalam hening beberapa saat.
“Sa, udah gerimis.” Kata Sagara saat setitik demi setitik air langit perjalan jatuh ke bumi, mengenai tubuh mereka. “Mobil kamu di mana? Kita pulang sekarang ya?”
Angkasa mengangguk setuju lalu ikut bangkit setelah sang suami berdiri lebih dulu dan dengan sigap menjulurkan tangannya untuk membantu Angkasa. Usai mengucap pesan terakhir pada Opa, keduanya pun pergi dari area makam Opa dengan Angkasa yang menuntun Sagara menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka tadi.
“Biar aku yang nyetir, Sa.” kata Sagara seraya meraih kunci yang baru saja Angkasa keluarkan dari saku celananya. Angkasa lantas menurut saja ketika sang suami akhirnya mengambil alih. Mereka masuk ke dalam mobil hingga hingga kendaraan roda empat itu meninggalkan area pemakaman.
Keheningan di antara mereka pun kembali berlanjut beberapa menit setelah mobil yang Sagara kemudikan melaju. Angkasa yang awalnya ragu untuk buka suara lebih dahulu pun memberanikan diri mengutarakan hal yang ada di kepalanya guna mengusir rasa canggung di antara mereka.
“Aku belum ngucapin salam terakhir aku ke Pak Yanto,” gumam Angkasa dengan kepala menunduk, sementara kedua tangannya mencengkram erat ujung jas yang kini dipakainya.
Sagara yang melihat hal itu pun meraih tangan kanan Angkasa lalu menggenggamnya, masih dengan satu tangannya yang sibuk memegang kendali setir.
“Nanti, kita jengukin makam Pak Yanto di kampungnya bareng ya? Mau kan, Sa?” tanyanya, sedang Angkasa lantas mengangguk.
Perjalan mereka pun kembali berlanjut dengan keheningan yang masih menyiratkan rasa canggung. Baik Angkasa maupun Sagara seolah amat berhati-hati untuk mengatakan apa yang kini memenuhi kepala mereka. Sampai saat Angkasa menyadari bahwa laju mobilnya yang sedang dikemudikan Sagara melewati jalan menuju rumahnya, Angkasa bertanya. “Kita mau ke mana?”
“Ke apartemen aku, Sa.”
Angkasa tidak mengerti kenapa Sagara justru ingin ke apartemen dan tak kembali ke rumah saja. Namun, Angkasa hanya memilih diam hingga mereka akhirnya tiba di apartemen suaminya. Angkasa pun hanya mengikut saja kala Sagara mengajaknya untuk masuk ke dalam hunian yang masih terawat itu. Sagara seolah menjadikan apartemen miliknya sebagai tempat pelarian ketika sedang tak ingin di rumah.
Sagara kemudian menuntun Angkasa yang mengekor di belakangnya menuju ruang tengah. Ruangan itu temaram, hanya lampu hias yang menyala dan Sagara nampak tidak berniat untuk menyalakan penerangan utama di sana. Sebab, dia kini menyuruh Angkasa duduk di sisinya yang sudah lebih dulu mendaratkan bokong di sofa.
Keduanya pun berakhir duduk bersisian dengan Sagara yang menyadarkan punggungnya di badan sofa, sementara Angkasa menyamankan posisinya sambil memeluk kedua lutut. Di tengah minimnya pencahayaan dalam ruangan itu, Angkasa masih bisa melihat raut wajah Sagara. Sang suami menatap kosong ke depan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Mas, kamu udah makan belum hari ini?” Tanya Angkasa yang dibalas gelengan oleh Sagara.
“Udah beberapa hari belakangan selera makan aku hilang karena mikirin kamu, Sa.” Sagara meraih tangan Angkasa, “Ngomong sama Mas, Sayang. Mas harus gimana supaya kita gak pisah?” Lirihnya.
Angkasa paham Sagara masih membahas tentang kata cerai yang dia ucapkan kemarin. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk membocorkan sebuah rahasia—yang selama ini telah dia simpan—pada suaminya itu.
“Mas, aku pengen cerita sesuatu sama kamu. Mungkin kamu bakal anggap aku orang gila, karena aku awalnya juga gak percaya sama apa yang aku alami.” Kata Angkasa, “Tapi jujur… Dunia ini bukan tempat asal aku, Mas. Aku datang dari dunia lain yang mana kisah kamu ini justru sebuah AU.”
“AU? Cerita fiksi yang pernah kamu bilang ke Mas itu, Sa?”
Angkasa mengangguk, “Di AU itu, orang yang dijodohin sama kamu namanya Sky, bukan aku. Tapi hari itu, pas terakhir kali aku baca AU tentang kisah kamu, aku ada masalah di dunia aku…”
“Ayah marah sampai mukulin aku karena dia ngelihat foto aku lagi ciuman sama mantan pacar aku. Indra,” jelasnya. “Di dunia aku, hubungan sesama jenis masih tabu, jadi Ayah menentang itu dan marah besar ke aku sampai nyuruh aku pergi dari rumah.”
“Lalu, pas aku pergi dan pengen nemuin Indra, aku kecelakaan di jalan. Mobil aku tabrakan. Terus pas aku bangun, aku udah pindah ke dunia ini.” Ada helaan napas frustasi di sela-sela kalimat yang Angkasa utarakan itu. “Semua yang ada di dunia ini sama kayak kehidupan aku di dunia asli aku. Orang tua aku, temen-temen aku, pekerjaanku, semuanya sama, kecuali kamu. Alur hidup aku ada yang berubah karena tiba-tiba dijodohin sama kamu, padahal di kehidupan asliku gak kayak gitu. Kamu tokoh utama di dunia ini, Mas. Jadi kamu punya pengaruh besar dalam plot hidup aku di dunia ini.” timpal Angkasa.
Sagara masih mendengarkan dengan seksama meski awalnya alisnya berkerut kebingungan.
“Aku ngerasa suatu saat nanti aku bakal balik ke dunia aku, Mas. Dan Sky juga akan kembali ke sini buat gantiin posisi aku.” Angkasa melanjutkan, “Jujur, aku ngerasa gak siap untuk itu. Aku gak sanggup kalau harus mikir gimana pas aku ninggalin kamu.”
“Mungkin saat Sky udah balik nanti, kamu bakalan lupa sama aku dan ngejalanin hidup kalian yang bahagia. Dan aku juga bakal lupa sama kamu pas udah balik ke dunia aku. Atau mungkin aku masih inget? Kamu doang yang lupa?” Angkasa sendiri pun jelas tak tahu apa yang akan terjadi padanya, pada mereka. Sagara bisa melihat keputusasaan itu di wajah cantiknya. Terlebih saat Angkasa kembali bersuara, “Tapi kenapa ya rasanya sakit banget, Mas? Aku gak bisa ngebayangin, semua hal yang udah aku lewatin sama kamu bakal jadi kenangan indah kamu sama Sky. Jadi aku berpikir buat cerai sama kamu aja, sebelum aku kembali. Biar kisah kita berakhir sedih aja sekalian, daripada aku harus hilang gitu aja dalam ingatan kamu dan terganti sama Sky.”
“Gitu juga sama aku,” Angkasa menunduk. “Aku gak mau kamu hilang gitu aja dari ingatan aku, terus jadi bacaan aku semata.”
Sagara menghela napas pelan. Kini dia paham kenapa tingkah Angkasa sangat aneh di awal-awal pernikahan mereka. Sang suami terkesan tidak tahu hal apa saja yang telah mereka lewati sebelum dijodohkan. Angkasa juga beberapa kali menanyakan hal yang sebenarnya tak akan mungkin dilupakan dalam kurun waktu yang cukup singkat saja. Tapi waktu itu Sagara percaya ingatan Angkasa memang buruk.
“Kamu udah tau kapan kamu bakal balik ke dunia kamu, Sa?”
Angkasa menggeleng, “Aku gak tau, Mas. Aku bisa aja pergi hari ini, besok, lusa, atau seterusnya. Aku gak tahu dan enggak akan pernah tau kapan pastinya…”
“Makanya kemarin aku minta cerai, karena aku takut bakal pergi kapan aja tanpa diduga.” timpal Angkasa lirih, membuat Sagara menarik dagunya agar dia menoleh ke arah suaminya itu.
“Kamu sayang sama aku kan?” Tanya Sagara, Angkasa lantas mengangguk. “Sekarang kamu janji sama aku. Walaupun nanti kamu balik ke dunia kamu dan lupa sama semua yang udah kita lewatin di sini, tolong sisain satu ruang di hati kamu buat aku ya?”
“Gitu juga aku. Walaupun nanti posisi kamu digantikan dan yang ngelanjutin hidup sama aku di sini bukan kamu lagi, di hati aku bakal ada satu ruang kecil buat kamu. Meski kita sama-sama gak tau untuk siapa ruang kecil itu, tapi aku pengen perasaan kita abadi di dalam sana selamanya.” Sagara mengusap pipi Angkasa yang sudah basah karena air matanya tiba-tiba mengalir.
“Kita jalanin sisa waktu kita di sini sampai saat itu tiba ya, Sa? Aku mau kisah kita berakhir indah, setidaknya untuk kita simpan di ruang hati kecil kita selamanya. Mau ya, Sayang?”
Angkasa akhirnya mengangguk setuju sebelum memeluk erat Sagara. Diusapnya belakang kepala Angkasa dengan lembut oleh Sagara sambil berkata, “Mas gak bakal bilang ‘jangan tinggalin Mas’ lagi, karena itu pasti akan bikin kamu ngerasa terbebani.”
“Sekarang Mas cuma akan bilang, tetap di sisi Mas sampai kamu harus kembali nanti. Ya, Sayang?”
Angkasa kembali mengangguk dalam dekapan Sagara. Meski Angkasa juga Sagara tidak tahu bagaimana caranya, tapi kedua anak manusia itu seolah telah memasrahkan diri pada takdir yang entah akan membawanya ke mana. Dalam kepasrahan itu keduanya berbagi peluk dalam diam hingga malam menjemput.