jaesweats

Seperti pesan Ayahnya, Angkasa pun datang ke pemakaman Opa. Meski Angkasa tiba di saat satu-persatu orang yang mengantar Opa ke tempat peristirahatan terakhirnya mulai meninggalkan tempat itu, tapi dia bisa melihat bahwa anak dan cucu mendiang Opa masih ada di sana, termasuk suaminya. Angkasa kemudian memberanikan dirinya untuk menghampiri guna memberi salam terakhirnya. Kedatangan Angkasa pun disambut hangat oleh sang mertua. Papi dengan sigap memeluknya, berkali-kali mengucap kata maaf dengan air mata yang masih bercucuran. Pun Mami yang mengusap pelan punggung Angkasa selagi Papi masih mendekapnya amat erat.

Usai berbagi peluk dengan Papi, Angkasa memilih duduk di sisi Sagara—tepat di samping pusara Opa—yang sedari tadi juga masih belum bangkit. Sagara yang raut wajahnya memancarkan sedih dan sesal pun tersenyum tipis ketika Angkasa akhirnya mau menatapnya sebelum bersuara.

“Maaf, Mas. Aku telat.”

Sagara mengangguk. “Makasih banyak udah datang ya, Sayang. Kamu ke sini dianterin siapa?”

“Aku nyetir sendiri, Mas.”

Sagara bergumam paham lalu mendongak ke arah Papi, Mami, juga Bintang dan kedua orang tuanya yang telah berdiri dan sedari tadi bersiap-siap untuk pergi. “Bentar lagi ujan. Kalau mau duluan gak apa-apa, entar aku baliknya bareng Angkasa.”

Merasa Sagara dan Angkasa memang butuh waktu untuk berbincang empat mata, Papi, Mami, Bintang serta Papa dan Mamanya akhirnya melenggang pergi. Menyisakan Sagara dan Angkasa yang tiba-tiba terjebak dalam hening beberapa saat.

“Sa, udah gerimis.” Kata Sagara saat setitik demi setitik air langit perjalan jatuh ke bumi, mengenai tubuh mereka. “Mobil kamu di mana? Kita pulang sekarang ya?”

Angkasa mengangguk setuju lalu ikut bangkit setelah sang suami berdiri lebih dulu dan dengan sigap menjulurkan tangannya untuk membantu Angkasa. Usai mengucap pesan terakhir pada Opa, keduanya pun pergi dari area makam Opa dengan Angkasa yang menuntun Sagara menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka tadi.

“Biar aku yang nyetir, Sa.” kata Sagara seraya meraih kunci yang baru saja Angkasa keluarkan dari saku celananya. Angkasa lantas menurut saja ketika sang suami akhirnya mengambil alih. Mereka masuk ke dalam mobil hingga hingga kendaraan roda empat itu meninggalkan area pemakaman.

Keheningan di antara mereka pun kembali berlanjut beberapa menit setelah mobil yang Sagara kemudikan melaju. Angkasa yang awalnya ragu untuk buka suara lebih dahulu pun memberanikan diri mengutarakan hal yang ada di kepalanya guna mengusir rasa canggung di antara mereka.

“Aku belum ngucapin salam terakhir aku ke Pak Yanto,” gumam Angkasa dengan kepala menunduk, sementara kedua tangannya mencengkram erat ujung jas yang kini dipakainya.

Sagara yang melihat hal itu pun meraih tangan kanan Angkasa lalu menggenggamnya, masih dengan satu tangannya yang sibuk memegang kendali setir.

“Nanti, kita jengukin makam Pak Yanto di kampungnya bareng ya? Mau kan, Sa?” tanyanya, sedang Angkasa lantas mengangguk.

Perjalan mereka pun kembali berlanjut dengan keheningan yang masih menyiratkan rasa canggung. Baik Angkasa maupun Sagara seolah amat berhati-hati untuk mengatakan apa yang kini memenuhi kepala mereka. Sampai saat Angkasa menyadari bahwa laju mobilnya yang sedang dikemudikan Sagara melewati jalan menuju rumahnya, Angkasa bertanya. “Kita mau ke mana?”

“Ke apartemen aku, Sa.”

Angkasa tidak mengerti kenapa Sagara justru ingin ke apartemen dan tak kembali ke rumah saja. Namun, Angkasa hanya memilih diam hingga mereka akhirnya tiba di apartemen suaminya. Angkasa pun hanya mengikut saja kala Sagara mengajaknya untuk masuk ke dalam hunian yang masih terawat itu. Sagara seolah menjadikan apartemen miliknya sebagai tempat pelarian ketika sedang tak ingin di rumah.

Sagara kemudian menuntun Angkasa yang mengekor di belakangnya menuju ruang tengah. Ruangan itu temaram, hanya lampu hias yang menyala dan Sagara nampak tidak berniat untuk menyalakan penerangan utama di sana. Sebab, dia kini menyuruh Angkasa duduk di sisinya yang sudah lebih dulu mendaratkan bokong di sofa.

Keduanya pun berakhir duduk bersisian dengan Sagara yang menyadarkan punggungnya di badan sofa, sementara Angkasa menyamankan posisinya sambil memeluk kedua lutut. Di tengah minimnya pencahayaan dalam ruangan itu, Angkasa masih bisa melihat raut wajah Sagara. Sang suami menatap kosong ke depan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Mas, kamu udah makan belum hari ini?” Tanya Angkasa yang dibalas gelengan oleh Sagara.

“Udah beberapa hari belakangan selera makan aku hilang karena mikirin kamu, Sa.” Sagara meraih tangan Angkasa, “Ngomong sama Mas, Sayang. Mas harus gimana supaya kita gak pisah?” Lirihnya.

Angkasa paham Sagara masih membahas tentang kata cerai yang dia ucapkan kemarin. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk membocorkan sebuah rahasia—yang selama ini telah dia simpan—pada suaminya itu.

“Mas, aku pengen cerita sesuatu sama kamu. Mungkin kamu bakal anggap aku orang gila, karena aku awalnya juga gak percaya sama apa yang aku alami.” Kata Angkasa, “Tapi jujur… Dunia ini bukan tempat asal aku, Mas. Aku datang dari dunia lain yang mana kisah kamu ini justru sebuah AU.”

“AU? Cerita fiksi yang pernah kamu bilang ke Mas itu, Sa?”

Angkasa mengangguk, “Di AU itu, orang yang dijodohin sama kamu namanya Sky, bukan aku. Tapi hari itu, pas terakhir kali aku baca AU tentang kisah kamu, aku ada masalah di dunia aku…”

“Ayah marah sampai mukulin aku karena dia ngelihat foto aku lagi ciuman sama mantan pacar aku. Indra,” jelasnya. “Di dunia aku, hubungan sesama jenis masih tabu, jadi Ayah menentang itu dan marah besar ke aku sampai nyuruh aku pergi dari rumah.”

“Lalu, pas aku pergi dan pengen nemuin Indra, aku kecelakaan di jalan. Mobil aku tabrakan. Terus pas aku bangun, aku udah pindah ke dunia ini.” Ada helaan napas frustasi di sela-sela kalimat yang Angkasa utarakan itu. “Semua yang ada di dunia ini sama kayak kehidupan aku di dunia asli aku. Orang tua aku, temen-temen aku, pekerjaanku, semuanya sama, kecuali kamu. Alur hidup aku ada yang berubah karena tiba-tiba dijodohin sama kamu, padahal di kehidupan asliku gak kayak gitu. Kamu tokoh utama di dunia ini, Mas. Jadi kamu punya pengaruh besar dalam plot hidup aku di dunia ini.” timpal Angkasa.

Sagara masih mendengarkan dengan seksama meski awalnya alisnya berkerut kebingungan.

“Aku ngerasa suatu saat nanti aku bakal balik ke dunia aku, Mas. Dan Sky juga akan kembali ke sini buat gantiin posisi aku.” Angkasa melanjutkan, “Jujur, aku ngerasa gak siap untuk itu. Aku gak sanggup kalau harus mikir gimana pas aku ninggalin kamu.”

“Mungkin saat Sky udah balik nanti, kamu bakalan lupa sama aku dan ngejalanin hidup kalian yang bahagia. Dan aku juga bakal lupa sama kamu pas udah balik ke dunia aku. Atau mungkin aku masih inget? Kamu doang yang lupa?” Angkasa sendiri pun jelas tak tahu apa yang akan terjadi padanya, pada mereka. Sagara bisa melihat keputusasaan itu di wajah cantiknya. Terlebih saat Angkasa kembali bersuara, “Tapi kenapa ya rasanya sakit banget, Mas? Aku gak bisa ngebayangin, semua hal yang udah aku lewatin sama kamu bakal jadi kenangan indah kamu sama Sky. Jadi aku berpikir buat cerai sama kamu aja, sebelum aku kembali. Biar kisah kita berakhir sedih aja sekalian, daripada aku harus hilang gitu aja dalam ingatan kamu dan terganti sama Sky.”

“Gitu juga sama aku,” Angkasa menunduk. “Aku gak mau kamu hilang gitu aja dari ingatan aku, terus jadi bacaan aku semata.”

Sagara menghela napas pelan. Kini dia paham kenapa tingkah Angkasa sangat aneh di awal-awal pernikahan mereka. Sang suami terkesan tidak tahu hal apa saja yang telah mereka lewati sebelum dijodohkan. Angkasa juga beberapa kali menanyakan hal yang sebenarnya tak akan mungkin dilupakan dalam kurun waktu yang cukup singkat saja. Tapi waktu itu Sagara percaya ingatan Angkasa memang buruk.

“Kamu udah tau kapan kamu bakal balik ke dunia kamu, Sa?”

Angkasa menggeleng, “Aku gak tau, Mas. Aku bisa aja pergi hari ini, besok, lusa, atau seterusnya. Aku gak tahu dan enggak akan pernah tau kapan pastinya…”

“Makanya kemarin aku minta cerai, karena aku takut bakal pergi kapan aja tanpa diduga.” timpal Angkasa lirih, membuat Sagara menarik dagunya agar dia menoleh ke arah suaminya itu.

“Kamu sayang sama aku kan?” Tanya Sagara, Angkasa lantas mengangguk. “Sekarang kamu janji sama aku. Walaupun nanti kamu balik ke dunia kamu dan lupa sama semua yang udah kita lewatin di sini, tolong sisain satu ruang di hati kamu buat aku ya?”

“Gitu juga aku. Walaupun nanti posisi kamu digantikan dan yang ngelanjutin hidup sama aku di sini bukan kamu lagi, di hati aku bakal ada satu ruang kecil buat kamu. Meski kita sama-sama gak tau untuk siapa ruang kecil itu, tapi aku pengen perasaan kita abadi di dalam sana selamanya.” Sagara mengusap pipi Angkasa yang sudah basah karena air matanya tiba-tiba mengalir.

“Kita jalanin sisa waktu kita di sini sampai saat itu tiba ya, Sa? Aku mau kisah kita berakhir indah, setidaknya untuk kita simpan di ruang hati kecil kita selamanya. Mau ya, Sayang?”

Angkasa akhirnya mengangguk setuju sebelum memeluk erat Sagara. Diusapnya belakang kepala Angkasa dengan lembut oleh Sagara sambil berkata, “Mas gak bakal bilang ‘jangan tinggalin Mas’ lagi, karena itu pasti akan bikin kamu ngerasa terbebani.”

“Sekarang Mas cuma akan bilang, tetap di sisi Mas sampai kamu harus kembali nanti. Ya, Sayang?”

Angkasa kembali mengangguk dalam dekapan Sagara. Meski Angkasa juga Sagara tidak tahu bagaimana caranya, tapi kedua anak manusia itu seolah telah memasrahkan diri pada takdir yang entah akan membawanya ke mana. Dalam kepasrahan itu keduanya berbagi peluk dalam diam hingga malam menjemput.

Sudah terhitung sepuluh hari sejak Angkasa mengurung diri dalam kamarnya seperti mayat hidup. Selama itu pula Sagara telah ditahan di balik jeruji besi. Rasanya separuh jiwa Angkasa telah hilang. Pun rasa bersalah yang kian membuatnya bimbang hingga Angkasa terpuruk seperti sekarang. Dia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ayahnya seolah melumpuhkan Angkasa dengan tidak membiarkan siapa pun menemuinya sementara, bahkan Chandra, sahabatnya. Ayahnya selalu beralasan bahwa Angkasa masih amat trauma usai insiden penculikan itu. Padahal, Angkasa tahu, Ayahnya hanya tak ingin dia meminta pertolongan untuk menyelamatkan Sagara.

Pun pada saat kedua mertuanya datang dan meminta agar Ayah mau menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan, tanpa melibatkan polisi, Angkasa hanya bisa mendengar Mami menangis tersedu-sedu dari luar kamar. Angkasa juga hanya mampu menangis dalam diam karena Ayahnya tak mengizinkannya untuk bertemu Mami dan Papi, apalagi membebaskan Sagara.

Diisolasi dari dunia luar seperti saat ini jelas membuat Angkasa semakin frustasi dan beberapa kali berpikir untuk bunuh diri. Tapi ketika niat itu datang lagi, Angkasa kembali teringat akan pesan sang suami. Sagara selalu memberitahunya agar Angkasa tak pernah lagi berpikir untuk mati. Dan Angkasa pun percaya, bahwa akan ada jalan untuknya bisa menyelamatkan Sagara dari tuduhan palsu Ayah setelah ini; meski Angkasa tak tahu kapan.

Satu-satunya pengusir sepi Angkasa di dalam kamarnya hanyalah iPad pemberian sang Ayah, dimana Angkasa hanya diizinkan untuk menggambar. Sebab, jika Angkasa berani menggunakannya untuk angkat bicara, Angkasa khawatir sang Ayah akan melakukan hal yang lebih gila kepada suaminya.

Miris rasanya, pikir Angkasa. Sebab sang Ayah yang dulunya sangat menentang cita-citanya menjadi designer kini justru memaksanya mengusir sepi dan rasa bersalahnya dengan hobi sekaligus profesi yang ia cintai. Hal itu pula yang perlahan buat Angkasa tidak bisa menggambar sketsa secara utuh lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Sebab, dia tidak melakukannya dari hati. Alhasil, seluruh sketsa yang beberapa hari terakhir Angkasa coba buat selalu berujung tak selesai. Seperti sekarang, dimana dia tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar menarik garis.

“Kenapa makan siangnya belum dimakan?” Angkasa tersadar dari lamunan yang entah sejak kapan menghipnotisnya. Dia menoleh, mendapati sang Ayah masuk ke kamarnya sebelum berakhir duduk di tepi ranjangnya. “Kamu masih mikirin suami kamu itu?”

Angkasa menghela napas pelan lalu menunduk, memandangi iPad yang sedang dipangkunya. “Gimana kabar Mas Sagara, Yah?”

“Besok lusa dia bakalan disidang, dan kamu harus datang ngasih kesaksian buat nguatin bukti kalau emang Sagara pelakunya.”

Angkasa beralih menatap Ayah dengan tatapan kosong, “Kalau aku gak datang, gimana, Yah?”

“Jangan pernah berpikir buat gak datang,” tegas sang Ayah seperti sebuah perintah. “Ayah bisa bikin dia makin menderita kalau kamu gak nurut kata Ayah, Sa. Setelah dia cukup menderita, Ayah juga bisa bikin Sagara mati di penjara.”

“Ayah belum puas ngancam aku supaya ngasih kesaksian palsu hari itu? Ayah tau gak gimana tersiksanya aku?” kata Angkasa dengan mata yang berkaca-kaca, “Apa yang Ayah bilang ke orang-orang yang pengen ketemu sama aku bener kok. Aku emang masih trauma, bukan karena Mas Gara, tapi karena Ayah. Karena Ayah yang udah nyulik aku terus minta aku ngorbanin suamiku sendiri.”

“Jadi kamu mau ngorbanin Ayah kamu sendiri demi laki-laki yang baru kamu kenal beberapa bulan itu? Iya?” Sela Ayah, “Kamu baik-baik aja kalau Ayah yang selalu menderita karena keluarganya?”

Angkasa mengusap kasar air mata di pipinya lalu menatap pria paruh baya di hadapannya lamat-lamat, “Oke, aku siap kok datang ke sidang besok. Asalkan Ayah mau jelasin semuanya ke aku kenapa Ayah benci banget sama Opa dan anak cucunya. Waktu itu Ayah juga janji kan bakal jelasin semuanya ke aku?”

Ayah menarik napasnya dalam-dalam sejenak, “Ceritanya bakal panjang, tapi Ayah harus ceritain semuanya dari awal sama kamu.”

“Gak apa-apa. Asa dengerin.”

“Opa sama Oma kamu itu bukan orang tua kandung Ayah, mereka ngadopsi Ayah dari panti asuhan pas Ayah umur delapan tahun. Gak lama setelah Mama sama Papa kandung Ayah meninggal...”

Angkasa menyadari raut wajah sang Ayah menjadi sendu. Dan ini menjadi kali pertama Angkasa melihat Ayahnya begitu rapuh.

“Mama sama Papa kandung Ayah meninggal gara-gara kecelakaan. Mereka berdua ditabrak pas mau jemput Ayah yang waktu itu lagi di rumah teman Kakek kandung kamu itu, mereka titipin Ayah di sana, karena Kakek sama Nenek kandung kamu kerja di pabrik,” timpal si paruh baya, membuat Angkasa lantas menahan napas.

“Pabrik kemarin tempat Ayah nyekap aku?” Sela Angkasa dan dibalas anggukan oleh Ayah. “Terus yang nabrak mereka…”

“Iya, Atmodjo,” Ayah seolah telah tahu bahwa Angkasa kini mulai menemukan benang merah atas dendamnya pada Atmodjo. “Dia yang nabrak motor Kakek kamu sampai Kakek dan Nenek kamu terseret jauh sebelum meninggal dunia. Dan Ayah melihat kejadian itu di depan mata Ayah, Sa. Ayah lihat gimana Atmodjo keluar dari mobilnya dan lari karena panik.”

“Setelah Papa sama Mama Ayah dinyatakan meninggal, orang suruhan Atmodjo datang sambil memberi uang bela sungkawa, tapi waktu itu Ayah gak tau kalau itu ternyata uang tutup mulut.” Lanjut Ayah, “Dan yang nerima uang itu temen Kakek kandung kamu. Mereka ngasih kesaksian palsu kalau yang nabrak Papa sama Mama Ayah itu supirnya, bukan Atmodjo. Setelah Ayah lihat wajah supir itu masuk ke TV, Ayah coba buat bilang kalau bukan orang itu yang nabrak Papa sama Mama Ayah, tapi temen Kakek kamu yang waktu itu secara gak langsung udah jadi wali Ayah, marah, sampai Ayah diancam mau dibunuh kalau aja Ayah berani macam-macam. Gak lama setelahnya, temen Kakek kamu dan istrinya itu bawa Ayah ke panti asuhan di Jakarta. Di sana juga Ayah ketemu Oma dan Opa kamu sebelum Ayah dibawa ke London, ikut sama mereka.”

Kedua tangan Angkasa bergetar hebat mendengar cerita masa lalu sang Ayah, termasuk dosa Opa yang membuat Ayahnya itu menyimpan dendam. Sekarang Angkasa bisa mengerti alasan di balik sikap tempramental sang Ayah. Tumbuh di lingkungan yang bahkan menggampangkan ancaman pembunuhan jelas amat memengaruhi sikap Ayah. Pria paruh baya itu juga punya trauma yang sayangnya tidak disembuhkan dengan semestinya

“Tapi kenapa Ayah dititipin ke temen Kakek? Emang orang tua Kakek sama Nenek di mana?” Tanya Angkasa, suaranya lirih.

“Kakek sama Nenek kamu itu juga yatim piatu, mereka berdua ketemu di panti asuhan sebelum akhirnya bisa sekolah dan cari kerja bareng sampai akhirnya menikah.” Sahut Ayah, “Mereka nggak punya siapa-siapa selain Ayah, gitu juga sama Ayah dulu.”

Angkasa menunduk sejenak, tak sanggup melihat Ayahnya tiba-tiba mengusap matanya yang berair. Lagi, baru kali ini Angkasa melihat sisi rapuh Ayah yang lain.

“Aku ngerti kok gimana sakitnya Ayah,” Angkasa menggigit bibir bawahnya sejenak guna menahan tangis. “Tapi kenapa Ayah harus berbuat sejauh ini? Kenapa Ayah sampai nargetin orang tua Mas Sagara, Mas Bumi, bahkan Mas Sagara sendiri yang gak tau apa-apa? Kenapa Ayah bunuh Mami kandung Mas Sagara sama Mas Bumi?” Tanya Angkasa bertubi-tubi lalu mengusap wajahnya kasar. Kini dia semakin frustasi.

“Awalnya Ayah pengen bunuh Papi Sagara dalam kecelakaan itu, karena dia anak kebanggaan Atmodjo. Bukan tanpa sebab, tapi Papinya Sagara pinter, jadi kalau dia yang jadi petinggi di sana, dia pasti bakal bikin Atmodjo Group makin maju. Dan susah juga buat Ayah ngehancurin nama mereka.” Jelas Ayah, “Sedangkan Papanya Bintang emang udah blangsak dan iri ke kakaknya sejak dulu. Ayah tau itu. Makanya Ayah gak akan khawatir kalau dia yang jadi CEO. Seperti kemarin, dia rela pakai cara licik dengan gelapin dana pembangunan di Kampung Mawar cuma buat dipandang lebih tinggi dari Papinya Sagara.”

“Tapi ternyata yang mati dalam kecelakaan itu cuma Maminya Sagara. Sebenernya itu nggak sesuai rencana Ayah. Untungnya pas abis kecelakaan itu, Papinya Sagara batal buat jadi CEO baru.”

“Alasan Ayah bikin pacar Sagara waktu itu kecelakaan sampai mati juga gak jauh berbeda. Ayah tau Sagara itu lebih pinter dari Bintang, dan waktu itu Sagara udah punya pacar duluan. Ayah tau, Atmodjo bikin persyaratan kalau cucunya yang lebih dulu nikah yang bakal jadi CEO buat gantiin Papanya Bintang.” Ayah menghela napas, “Makanya Ayah bunuh Bumi, supaya Sagara gak nikah sama dia. Dan Ayah bisa ngejodohin kalian supaya Ayah bisa masuk ke keluarga Atmodjo.”

“Mungkin bagi kamu Ayah egois dan mikir kalau Ayah ngelakuin ini semua cuma demi membalas dendam Ayah sampai manfaatin kamu,” si paruh baya menatap Angkasa lamat-lamat. “Ayah minta maaf…” Untuk pertama kalinya kalimat itu terucap dari bibir Ayah, buat Angkasa diam.

“Tapi kayak yang Ayah selalu bilang sama kamu sejak awal, waktu kamu udah nikah sama Sagara, Ayah juga mikirin kamu. Ayah pengen kamu dipandang baik di keluarga itu supaya kamu juga bisa punya relasi yang luas dengan kolega mereka yang gak cuma dari dalam negeri,” lanjut Ayah. “Andai aja kamu gak jatuh cinta sedalam ini sama Sagara, Ayah cuma perlu bikin kalian pisah setelah suami kamu itu jadi CEO, supaya semua mata naruh simpati ke kamu yang dinikahi cuma buat dapetin jabatan itu. Ayah pengen bikin kamu dapet dukungan dari publik termasuk kolega mereka, yang juga bisa bikin karir kamu semakin naik, sementara nama baik Sagara dan keluarga Atmodjo bakal hancur.”

Angkasa tidak mampu lagi untuk bersuara. Dia menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangannya sambil menahan isakan. Si paruh baya yang melihatnya menghela napas sebelum kembali bersuara.

“Ayah tau Ayah bukan orang tua yang baik untuk kamu, Sa. Sejak kamu masih kecil, Ayah selalu aja takut ngebiarin kamu ngelakuin hal yang kamu pengen dan sukai karena Ayah gak mau lihat kamu gagal atau kesulitan sampai jadi orang gak berguna kayak Ayah,” tutur Ayah. “Abis sidang besok, kamu cuma perlu minta cerai sama Sagara. Ayah janji, akan biarin kamu ngelanjutin hidup kamu dengan baik dan sesuai pilihan kamu setelahnya. Ya?”

Angkasa masih tidak menjawab. Hanya isakan yang mampu dia bebaskan dari celah bibirnya.

“Kamu pantas dapetin laki-laki yang lebih baik dari Sagara, Sa.” kata Ayah lalu mengusap puncak kepala Angkasa. “Jangan nangis.”

Ayah merogoh saku celananya. Mengeluarkan gawai Angkasa yang sudah sepuluh hari berada di tangannya. Ayah meletakkan gawai itu di depan Angkasa lalu berkata, “Ini, Ayah kembaliin HP kamu. Semua kontak keluarga Sagara udah Ayah blokir, jangan coba-coba buat kabarin mereka.”

Si pria paruh baya kemudian berdiri dari tempat tidur sang anak sebelum melenggang pergi dari kamar. Sedangkan, Angkasa yang masih berusaha meredam tangisnya pun kembali menatap iPad di pangkuannya, menekan salah satu opsi di sana sebelum memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya itu.

Tito sebenarnya sangat malas untuk hadir di acara yang mana mengharuskannya ‘tuk bertemu banyak orang . Jika bukan karena Derry, sepupunya sendiri, yang memohon agar dia datang, maka Tito mungkin tak akan hadir di rumah Tantenya seperti saat ini.

Acara lamaran Derry tak terlalu meriah dan mewah, sebab sang sepupu sendiri menginginkan konsep intimate untuk lamaran. Hanya sanak saudara juga orang-orang terdekat saja yang hadir di sana; termasuk Jepi, Sastra dan orang tua mereka. Meski begitu, Tito tetap saja merasa ingin cepat-cepat pergi dari sana. Tito merasa ia seperti sedang ada di penjara, terlebih saat beberapa sanak saudara juga tetangga orang tuanya yang juga turut hadir di sana kerap bertanya tentang hal-hal pribadinya.

“Tito kenapa gak kerja di kantor Papanya aja? Apa gak sayang udah kuliah mahal-mahal, tapi malah jadi pedagang dimsum?”

Entah sudah berapa kali Tito mendengarkan pertanyaan itu. Padahal sudah empat tahun sejak Tito menjalankan bisnis dimsum hingga kini warungnya sudah semakin besar dan dikenal oleh banyak orang. Namun, beberapa sanak saudara juga tetangganya masih berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu bukanlah sebuah profesi yang bisa dibanggakan.

Tito sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang. Alhasil, ia hanya memberi respon senyum tipis lalu berpura-pura menyibukkan diri dengan gawai di tangannya.

Sayangnya, hal itu lantas tidak membuat mulut-mulut penuh tanya di sana menjadi diam. Seperti sekarang, Tito bisa mendengar bagaimana beberapa orang berbisik-bisik di belakang tubuhnya, yang Tito jelas tahu bahwa mereka menggunjingnya.

“Anak-anak jaman sekarang pada kenapa ya? Udah dikuliahin sama orang tua, pas lulus malah jualan. Kalau pengen jualan doang mah, gak kuliah juga bisa.” Kata salah satu wanita paruh baya yang kemudian ditimpali oleh wanita paruh baya lain yang ada di sana.

“Iya, itu si Tito Papanya padahal punya bisnis arsitektur, dia pas kuliah juga kayaknya ngambil jurusan arsitektur, lah sekarang malah jualan dimsum.” Katanya diikuti tawa yang jelas ditahan.

“Anaknya Bu Elen juga gitu tuh. Si Jepi. Kuliah di ITB, tapi pas lulus malah jualan jus. Untung adeknya gak ikut-ikutan jualan. Si Sastra itu kerjaannya bagus.”

“Nah pinter dia. Entar jodohnya pasti kerjaannya bagus juga, kek Derry. Dia bisa dapetin cowok sukses karena dia juga sukses, kerjanya bagus, di kantor gede.”

Tito mendengar semuanya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menanggapi. Diam adalah kunci agar setelah ini dia hanya perlu pergi dan tak akan kembali lagi. Sebab, untuk berharap mendapat dukungan dari orang tuanya pun hanyalah bunga mimpi. Papa dan Mama Tito jelas mendengarkan semua pertanyaan-pertanyaan bernada menjatuhkan itu sedari tadi, namun mereka seolah tidak peduli, bahkan mungkin sengaja membiarkan orang-orang yang ada di sana untuk mengusiknya agar Tito berubah pikiran.

Bukan rahasia lagi jika Papa dan Mamanya sangat menentang jalan yang Tito pilih. Banyak hal yang telah orang tuanya itu coba lakukan agar Tito menyerah dan mengubur niatnya menjalankan bisnis dimsum. Mulai dari Papa yang menarik paksa mobil yang awalnya diberikan kepada Tito, hingga ada satu waktu dimana Mamanya tak lagi memanggil Tito untuk makan bersama di meja makan. Alhasil, Tito sampai pada keputusan dimana dia akan menyewa ruko yang sekaligus akan menjadi tempat tinggal barunya. Beruntung, Opa Tito mau membantunya dengan memberi pinjaman uang yang cukup menjadi modal sekaligus bayaran awal ruko yang ia sewa.

Selagi Tito mencoba pura-pura tuli dan bodo amat, ia justru dibuat kaget saat seseorang tiba-tiba menyenggol tubuhnya. Saat itu pula Tito mendapati jas yang ia pakai telah basah. Mendongak, Tito lantas mendapati bahwa orang yang baru saja menubruk tubuhnya adalah Jepi, membuat minuman yang Jepi bawa tumpah dan membasahi sebagian jasnya.

Sorry,” Jepi mendesis. “Mau gue temenin ke kamar mandi gak?”

“Gak perlu,” sahut Tito dengan wajah dan nada suara yang datar sebelum melenggang ke toilet rumah Derry, meninggalkan keramaian yang berlangsung di ruang tengah kediaman itu.

Tanpa Tito sadari, Jepi nyatanya ikut dan mengekorinya. Namun, Jepi hanya menunggu Tito tepat di depan pintu toilet. Tak lama berselang, Tito pun keluar dari sana sambil menenteng jasnya hingga tatapannya dan Jepi berjumpa. Wajah Tito tertekuk, amarah terlihat di raut wajahnya.

“Minggir,” kata Tito ketus, sebab Jepi tiba-tiba menghadangnya.

“Lo marah sama gue?” tanya Jepi, sedang Tito hanya mendengus lalu mencoba mendorong tubuh bongsor Jepi yang menahannya.

“Gue males berantem sama lo.”

“Emang siapa yang ngajakin lo berantem?” Decak Jepi. “Lo tuh harusnya bilang makasih ke gue, tau gak? Kalau aja tadi gue gak sengaja numpahin minuman ke jas lo, pasti sekarang lo masih berdiri kek orang bego sambil dengerin Ibu-ibu tadi gibahin lo.”

Tito mengeraskan rahangnya sambil menatap tajam ke arah netra madu Jepi. “Gue enggak minta dan gak butuh bantuan lo.”

Jepi menganga sesaat dengan tampang tak percaya. “Gue pikir lo udah berubah, tapi ternyata lo masih kayak gini ya? Lo selalu ngerasa gak butuh siapa-siapa, ngerasa lo paling bisa berdiri di atas kaki lo sendiri. Lo manusia bukan sih, To? Lo pikir lo bisa hidup tanpa orang lain? Hah?”

“Kenapa jadi lo yang marah sih?” Tito mendelik tajam, “Harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jas gue basah kayak gini.”

Jepi menghela napasnya kasar, sementara Tito buru-buru pergi dari sana saat Jepi tidak lagi menahannya. Tito kembali ke tengah-tengah acara lamaran yang sudah hampir selesai. Namun, Tito yang sudah tidak tahan lagi untuk tetap di sana lantas meminta izin kepada Om dan Tantenya bahwa ia harus segera pulang. Tito pun sempat melambaikan tangannya kepada sang sepupu, yang masih sibuk berfoto-foto ria dengan calon suaminya, mengisyaratkan kalau dirinya harus pergi saat itu juga.

Sayangnya, ketika Tito berhasil keluar dari rumah Derry, air langit justru berlomba-lomba menjatuhi bumi. Sangat deras hingga Tito yang kini tak lagi mengenakan jas merasa cukup kedinginan. Belum lagi tak ada satupun supir taksi online yang menerima orderannya. Ingin meminta tolong Sastra untuk mengantarnya pulang ke warung pun rasanya sudah sungkan. Tito merasa sudah terlampau sering merepotkan yang lebih muda.

“Kenapa? Orderan lo di-cancel sama driver ojol?” Tito terkejut saat suara itu terdengar tepat di belakang telinganya. Tanpa Tito harus menoleh pun, ia telah tau bahwa Jepi lah yang bersuara.

Jepi kemudian berdiri di samping Tito sambil melipat lengan, “Gue mau balik ke warung. Mau ikut?”

“Naik apa?”

“Naik anjing,” ucap Jepi dengan tampang malas. “Ya naik mobil.”

“Tapi kan semalem lo gak bawa mobil,” Tito mengernyit heran.

“Yang bilang gua bakalan make mobil gue siapa? Mobil Sastra, entar biar dia ambil di warung. Gimana? Lo mau ikut apa gak?”

Meski Tito masih merasa kesal pada Jepi, tapi dia tak ada pilihan lain lagi saat ini. “Iya, gue ikut.”

“Ngomong yang bener,” decak Jepi. “Coba lo bilang gini, Kak Jepi, aku mau ikut, boleh gak?”

“Kakak mata lu.”

“Lah kan gue emang lebih tua dari lo. Gue lahirnya Februari, kalau lo baru lahir pas Juli.” kata Jepi. “Cepetan. Gue buru-buru.”

Helaan napas pasrah dibebaskan oleh Tito. Ia menatap Jepi datar sesaat sebelum bersuara, “Kak Jepi, aku mau ikut, boleh gak?”

Jepi tertawa puas. Ia benar-benar menikmati bagaimana pasrahnya Tito hingga lelaki yang biasanya batu itu menurut.

“Ya udah lo tunggu di sini bentar, gue ambil mobil si Sastra dulu.”

Tito mengangguk kecil sambil memerhatikan Jepi yang kini memayungi dirinya sendiri dengan jas dan berlari keluar dari halaman rumah Derry. Sampai tak lama berselang, Jepi akhirnya kembali, membawa mobil Sastra. Ia menjemput Tito tepat di depan rumah Derry, membuat Tito tak perlu ikut menembus hujan. Tito kemudian masuk dan duduk di sebelah Jepi yang memegang kendali setir.

Ketika mobil Sastra yang kini Jepi kemudikan telah meninggalkan area rumah Derry, keheningan justru tercipta di antara Jepi dan Tito. Hanya suara AC mobil yang jadi penghilang sunyi di sana.

“Gue minta maaf… Soal yang tadi,” Jepi akhirnya buka suara.

Tito melirik Jepi lalu tersenyum meledek, “Geli banget dah gue dengerin elo minta maaf, Jep.”

“Terus lo pengen gue ngapain? Tadi aja lo kesel,” decak Jepi.

Tito tersenyum tipis sebelum kembali membuang muka ke arah jendela. Ia menatap kosong ke arah jalanan yang nyaris tak bisa terlihat karena derasnya air hujan. “Makasih banyak ya, Jep.”

Jepi yang paham maksud Tito mengangguk pelan lalu melirik sekilas ke arah Tito, “Gitu dong.”

Tito menghela napas. Entah sudah yang keberapa kali ia menghembuskan napas berat yang mengindikasikan rasa lelah.

“Enak banget ya jadi lo, Jep.” Tito bergumam pelan, masih sambil menatap kosong ke luar jendela mobil. “Lo tetep bisa ngelakuin apa yang lo suka, mana orang tua lo ngedukung. Jadi kalaupun ada yang ngejelekin pilihan hidup lo, you won’t even care. Soalnya ada orang tua lo yang nge-support.”

“Mau nyoba jadi gue sehari gak?” Kekeh Jepi. “Tetep ada enggak enaknya juga kok. Walaupun orang tua gue supportive, tapi mereka juga masih suka nanya, gue nyesel gak banting setir jadi tukang jus? Bahkan kadang gue ngerasa gak enak hati tiap kali orang tua gue muji adek gue...”

“Soalnya gue ngerasa belum bisa bikin mereka bangga kayak yang Sastra lakuin.” Timpal Jepi lalu melirik Tito sekilas, “Apalagi pas temen kantor Ayah gue dateng, terus ngobrol sama Sastra. Gue berasa diasingin. Gak dianggap. Dikira tukang jus gak paham alur cash flow juga kali yak? Heran.”

“Tapi bodo amat lah,” kekeh Jepi. “Gue lebih nyaman punya bisnis gini. Gue gak cocok jadi anak buah, gue pengennya jadi bos.”

Tito ikut terkekeh, buat Jepi kembali meliriknya sekilas sambil tersenyum lega. Sebab, wajah Tito yang tadi muram seperti langit Ibukota yang membawa hujan akhirnya perlahan cerah.

“Jep.”

“Mhm?”

“Semalem Bintara ngechat gue...” Tito menatap Jepi lamat-lamat meski kakak dari Sastra itu tetap fokus ke jalan di depan mereka. “Kayaknya dia naksir si Sastra.”

“Lah? Dia tau Sastra dari mana?”

“Gak sengaja ketemu di warung gue, terus katanya dia pengen ngenalin adek lo lebih jauh.” kata Tito lalu menyandarkan kepala di jendela mobil, “Selamat bersaing sama adek lo sendiri dah, Jep.”

“Lo juga bersaing sama si Sastra berarti,” Jepi menyeringai tipis.

“Gak. Gue udah gak mau deketin Bintara,” Tito tertawa hambar. “Selera dia pasti tinggi, bukan tukang dimsum kayak gue. Dia pantes dapet cowok yang setara.”

“Ini lo bilang gini supaya gue juga ikutan insecure?” Jepi memicing, “Lo licik juga ya. Gak mau kalah sendiri. Mau gue nyerah juga?”

“Apaan sih?” Tito mendengus, “Lo kalau ngerasa pantes buat dia, ya lanjutin aja. Mana tau si Bintara malah nerima lo kan? Kalau gue emang udah angkat tangan. Gue ngerasa gak pantes. Gue juga gak mau kalau nantinya gue cuma bikin dia malu. Gue aja gak bisa ngebela diri gue sendiri, gimana gue bisa ngebelain dia?”

“Ah, cupu lo.” Ledek Jepi, “Gue sebenernya penasaran doang sih sama si Bintara. Apalagi dadanya tuh padet banget, enak diken—”

Jepi memekik keras ketika lengan kirinya tiba-tiba dicubit oleh Tito. Cubitan kecil itu sukses menimbulkan sensasi perih dan nyeri, buat Jepi mendesis pelan.

“Lo kok nyubit gue sih, Tot?”

Tito mendelik, “Bisa nggak sih sehari aja lo gak mikir mesum?”

“Gue bercanda doang, anjir. Elo nyubitnya gak ada bercandanya.”

Tito geleng-geleng kepala lalu kembali menyamankan posisi dengan menyandarkan kepala di jendela mobil. Dia kemudian memejamkan mata lalu berkata.

“Bangunin gue kalau udah nyampe di warung ya, Jep.”

“Mm,” gumam Jepi.

Perjalanan Tito dan Jepi menuju warung mereka pun berlanjut dengan Tito yang kini telah berlabuh ke alam mimpi, sedang Jepi masih fokus menyetir. Jepi sesekali melirik Tito saat lelaki di sampingnya itu melenguh dalam tidurnya. Melihat wajah damai Tito membuat Jepi merasa tak tega jika tidur Tito terganggu.

Alhasil, saat mereka telah tiba di tempat tujuan, lebih tepatnya di depan warung Tito, Jepi justru tidak membangunkannya. Jepi hanya mematikan mesin mobil lalu melipat lengannya sendiri di atas setir dan menjadikannya bantal. Kepala Jepi menoleh ke arah Tito yang masih setia di alam mimpi, membuatnya bisa leluasa mengamati lekukan wajah Tito yang menurutnya cantik. Dan ini bukan pertama kalinya Jepi memuji paras Tito. Dia selalu mengagumi keindahan Tito sejak di bangku SMA, namun ia terlalu gengsi untuk mengutarakannya.

Lambat laun, tatapan memuja Jepi pada wajah rupawan Tito lantas terfokus pada bibir Tito. Bibir merah muda dan nampak segar itu merekah, membuat Jepi diam-diam menelan ludah. Entah sudah berapa kali Jepi berpikir untuk mencicipi bibir sehat itu, terlebih saat Tito mengomelinya. Jepi ingin, sekali saja, mencoba untuk membungkam ocehan Tito dengan ciuman. Tapi dia siapa? Memangnya mereka apa? Jepi tidak punya alasan untuk melakukan hal itu pada lelaki yang bahkan tak ingin dipanggil teman olehnya. Tito sangat membencinya, yang anehnya justru sangat Jepi nikmati dan memicu semangatnya ‘tuk terus menggoda dan mengganggu Tito hingga kini mereka telah dewasa.

Jepi selama ini mampu menahan hasratnya. Namun, kali ini, Jepi memutuskan untuk mengikuti intrusive thought-nya. Perlahan, Jepi mendekatkan wajahnya ke arah Tito. Ia persempit jarak di antara mereka hingga Jepi bisa merasakan hembusan napas tenang Tito. Di detik berikutnya, satu kecupan lembut nan ringan pun berhasil mendarat di bibir tipis Tito dan bertahan di sana selama beberapa saat sebelum Jepi buru-buru menjauhkan wajahnya. Jantung Jepi berdetak kencang, tak karuan. Posisinya saat ini pun telah kembali duduk tegak. Jepi takut andai saja Tito terbangun karena ulahnya itu.

Berdeham pelan guna mengusir rasa gugupnya, Jepi justru dibuat kaget saat Tito membuka mata. Nampak Tito agak terusik karena suaranya. Jepi gelagapan, tapi dia berusaha tetap terlihat tenang.

“Gue baru aja mau bangunin lo.”

Tito mengangguk, “Makasih.”

Jepi menggigit bibir bawahnya melihat Tito kini bersiap-siap untuk turun dari mobil. Ingin sekali ia mengatakan sesuatu, namun lidahnya kelu. Alhasil, Jepi hanya mampu memandangi Tito yang telah meninggalkan mobil dan masuk ke warung.

Sagara datang ke Rumah Sakit bersama Angkasa, Papi, Mami juga Opa. Mereka tiba di sana tepat saat Bintang baru saja masuk ke ruang operasi. Papa dan Mama Bintang serta Surya pun telah menunggu di depan ruangan yang seketika hening itu. Dalam sunyi dan sepinya di sudut rumah sakit berkumpul doa-doa yang amat tulus agar pasien bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Selagi menunggu operasi sang cucu, Opa kemudian duduk di samping Papa Bintang sebelum bertanya. “Sebenernya apa yang terjadi sampai Bintang kek gini?”

Papa Bintang yang semula sibuk menatap kosong ke arah pintu ruang operasi lantas menoleh ke arah sang Ayah. Dari matanya yang masih sembab tiba-tiba muncul percikan api dengan bumbu amarah yang menyala.

“Semua ini terjadi karena Ayah,” sahutnya pada Opa dengan nada suara amat datar. “Kalau aja Ayah adil sama anak-anak dan cucu-cucu Ayah, aku gak bakal mikir buat nyakitin Sagara sampai-sampai Bintang juga jadi korban.”

Opa terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan anak sulung di sampingnya sebelum bersuara.

“Ayah emang bukan sosok orang tua yang sempurna, tapi Ayah selalu berusaha buat adil sama kalian.” katanya, “Kalau kamu masih marah dan ngerasa gak adil karena dulu Ayah pengen nyerahin jabatan tertinggi di kantor ke Papinya Sagara, dan sekarang Sagara yang bakalan jadi CEO, Ayah punya alasan…”

“Ayah nyerahin jabatan ke Papi Sagara bukan berarti Ayah lebih sayang dia, tapi Ayah tau gimana kapasitas dan minat anak-anak Ayah. Ayah pengen ngasih aset yang lain ke kamu, karena Ayah tahu, jiwa kamu itu bukan untuk kerja kantoran. Kamu bosenan.”

Opa menghela napasnya. “Ayah selalu merhatiin kok kalau kamu lebih senang ngejalanin bisnis yang gak ngeharusin kamu di kantor tiap hari. Jadi Ayah pikir, warisan Ayah berupa gedung dan lain-lain di Bali sama Singapore itu buat kamu aja nanti. Kamu cukup ngelola bisnis properti, sedangkan Sagara ngelola head office perusahaan kita. Semua itu udah ada di surat wasiat yang harusnya kalian tahu pas Ayah udah gak ada. Karena Ayah mau lihat gimana keseriusan kalian dan usaha kalian, biar pas Ayah pergi semuanya baik-baik aja.”

“Ayah juga bikin syarat biar cucu Ayah yang nikah duluan yang jadi pengganti CEO pun karena Ayah tau, Sagara sama Bintang sama-sama pantas buat jadi pemimpin dan gantiin kamu.” Jelas Opa.

“Ayah bilang kayak gini bukan karena Ayah gak percaya sama kemampuan kamu,” timpalnya. “Kamu hebat udah mau belajar, dan Ayah bangga sama kamu, tapi apa selama ini kamu enjoy dan bahagia ngejalaninnya?”

Mendengar pertanyaan sang Ayah, Papa Bintang pun sadar bahwa selama ini dia memang hanya butuh pengakuan dari si paruh baya. Dia ingin diapresiasi, dia ingin mendengar kalimat bahwa usahanya bisa membuat Ayahnya bangga meski prestasi yang dia torehkan tak sebesar dan sementereng sang adik; Papi Sagara. Bahkan, hal yang telah dia lakukan ke warga Kampung Mawar pun semata-mata supaya Ayahnya itu bisa tau kalau dia mampu membangun proyek masa depan itu tanpa kendala.

“Ayah tau gak gimana marahnya aku karena Ayah tiba-tiba ngasih aku jabatan cuma karena Papinya Sagara nolak?” air mata Papa Bintang akhirnya mengalir di pipinya. “Ayah seolah pasrah dan gak ada pilihan lain, seakan-akan aku gak bisa ngelakuin apa-apa. Jadi aku berusaha keras sampai menghalalkan segala cara supaya Ayah gak mandang aku sebelah mata lagi, supaya Ayah bangga sama aku, gak cuma ke adik aku.”

Opa ikut meneteskan air mata sebelum memeluk anaknya itu, “Ayah minta maaf. Ayah salah. Ayah udah bikin kamu terluka.”

Melihat Opa juga Omnya itu saling berpelukan, Sagara tiba-tiba memikirkan perasaan sang sahabat; Surya. Dia pun melirik Surya hingga mendapati bahwa lelaki itu hanya diam sambil menunduk lesu. Sagara diam-diam berharap Opa melihatnya dan mulai mengungkapkan kebenaran tentang masa lalunya bersama Oma Surya dahulu.

Usai berbagi dekap hangat yang tidak hanya mencairkan kutub es di antara mereka, namun juga mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit yang ada di dada, baik itu Opa dan Papa Bintang lantas kembali duduk tegak di bangku tunggu rumah sakit. Sampai saat Opa tak sengaja bertemu tatap dengan Surya, si paruh baya seketika melambaikan tangan ke arah Surya, sebuah isyarat yang meminta Surya untuk datang dan duduk di samping kirinya. Sebab, kondisi tubuhnya yang sudah semakin lemah membuat Opa tidak mampu berdiri lagi sesuka hati. Sendi-sendinya bahkan sudah sakit sedari tadi meskipun dia masuk ke rumah sakit sambil memakai kursi roda.

Alhasil, setelah Surya duduk di sebelahnya, Opa lantas meraih satu tangan Surya sebelum menggenggamnya erat. “Opa juga minta maaf sama kamu ya. Meskipun udah terlambat, tapi Opa tahu apa yang Opa lakukan ke Oma dan Ibu kamu itu dosa besar yang bikin kalian sengsara.”

Opa kemudian menoleh ke Papa Bintang, juga Papi Sagara yang jelas bertanya-tanya sekaligus heran mendengar ucapan Opa.

“Ayah mau jujur ke kalian semua, karena Ayah ngerasa umur Ayah tinggal menghitung hari.” Tutur si paruh baya. “Surya ini ponakan kalian, sepupunya Sagara sama Bintang dari pernikahan kedua Opa sama Omanya Surya. Maaf Ayah baru berani cerita hari ini.”

Papa Bintang juga Papi Sagara sontak diam dalam keterkejutan. Tak ada kata yang bisa mereka ucapkan, sebab pengakuan Opa yang begitu tiba-tiba. Apalagi selama ini sosok Opa dikenal sangat mencintai sang istri.

Sementara itu, Surya yang tak kuasa menahan gejolak amarah di dadanya melepaskan tautan jemarinya dengan Opa. Sorot mata Surya datar, namun penuh luka. “Ibu sama Oma saya nggak akan bisa hidup lagi dengan kata maaf Opa, apalagi ngobatin rasa sakit dan penderitaan mereka.”

“Kalau emang Opa benar-benar nyesel, buktiin.” Timpal Surya. “Bilang ke semua orang kalau Oma wanita yang pernah Opa buang, gitu juga Ibu saya. Bilang juga ke semua orang kalau anak Opa ini kriminal.” kata Surya lalu menatap datar Papa Bintang.

“Surya!” Sagara akhirnya angkat bicara dan menegur Surya, “Aku tau kamu terluka, tapi saat ini Bintang lagi berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Kalau kamu gak bisa ngehargain Papanya, hargain Bintang, Ya.”

“Apa maksud kamu kalau Papa Bintang kriminal?” Tanya Opa heran, sebab dia belum tahu menahu tentang dalang di balik permasalahan Atmodjo Group dengan warga Kampung Mawar.

Surya pun heran, sebab dia pikir si paruh baya sudah mengetahui semuanya, namun tak kunjung mengambil tindakan. Alhasil, karena Surya tak kunjung buka suara dan menjelaskannya, Papa Bintang tiba-tiba mengakuinya.

“Aku yang udah ngide malsuin surat perjanjian sama Kampung Mawar, Yah.” jujurnya. Sontak hal itu memicu sesak di dada Opa.

Si paruh baya tiba-tiba lemas, wajahnya yang telah pucat kini semakin memutih seperti kapas. Dipijatnya dahi juga pelipisnya saat rasa pusing mendera dan hampir membuat Opa pingsan. Opa bahkan tidak mampu lagi berkata-kata. Papi Sagara pun buru-buru menghampiri si paruh baya bersama kursi rodanya lalu membawa Opa pergi dari sana untuk mendapat perawatan di IGD. Surya yang melihat kondisi Opa diam-diam bergelut dengan isi kepalanya. Surya menunduk lesu sambil memikirkan apa yang telah dia lakukan. Tujuan awal Surya jelas untuk membalaskan rasa sakit hatinya kepada anak dan cucu Atmodjo. Dia selalu berpikir, dengan melihat Opa beserta anak cucunya menderita akan memuaskannya. Nyatanya, melihat keluarga Atmodjo berada di ambang kehancuran tetap tak bisa membuatnya lega. Dia justru tiba-tiba merasa bersalah.

“Maaf, Om.” Ucap Surya kepada Papa Bintang yang kembali duduk di bangku yang sama dengannya usai membantu Papi Sagara membopong Opa ke kursi roda sebelum membawanya ke IGD tadi. Sagara pun telah pergi dari sana, sebab dia membantu Papi juga Maminya membawa si paruh baya yang nyaris pingsan.

Kini, di depan ruang operasi itu hanya tersisa Surya, Papa dan Mama Bintang juga Angkasa yang sedari tadi mengamati sekaligus mendengar percakapan mereka.

“Jadi kamu orangnya?” Tanya Papa Bintang sambil menatap Surya lamat-lamat “Kamu yang udah meneror anak cucu Opa?”

“Maksud Om saya meneror itu apa ya?” Surya heran, “Saya akui selama ini mata-matain Om dan ngumpulin bukti pemalsuan surat itu, tapi saya gak neror.”

Angkasa mengernyit, begitu pula Papa Bintang. “Anak cucu Opa dapet surat teror dan isinya bilang kalau seharusnya Opa mati sejak lama dan semua anak cucu Opa bakalan menderita.”

“Aku nggak pernah ngirim surat gitu, Om. Aku berani sumpah.”

Angkasa menahan napasnya.

Kalau bukan Surya, terus siapa?

Bina dan Sandy telah tiba di kediaman sang sepupu yang kemudian langsung dijamu oleh Baskara juga Harith—yang turut meramaikan—di ruang tamu. Tak lama berselang, Tara yang sedari tadi sibuk menyiapkan makan siang untuk sepupunya di meja makan dan dibantu oleh Ersya pun akhirnya menyusul ke ruang tamu. Sontak Tara mendekap erat Bina saat mereka berjumpa kembali setelah hampir setahun lamanya hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat WhatsApp. Bina yang berprofesi sebagai model dan kini telah membentangkan sayapnya ke ranah internasional pun harus bolak-balik ke luar negeri untuk pemotretan hingga berjalan di atas catwalk untuk acara-acara fashion ternama. Belum lagi usaha parfum yang dibangunnya pun semakin dikenal hingga tak jarang ketika Bina kembali ke Indonesia, hal pertama yang dia lakukan adalah mengunjungi store parfumnya terlebih dahulu.

Namun, kali ini berbeda, Bina datang ke Indonesia tak sekedar untuk melepas rindu dengan orang tua dan sanak saudaranya, termasuk Tara. Bukan pula untuk mendatangi store-nya semata. Bina datang bersama niat baik kekasihnya yang ingin melamar dan menikahinya di depan kedua orang tuanya secara langsung. Setelah sang pacar melamarnya di depan Ayah dan Bunda-nya kemarin, kini Bina pun ingin memperkenalkan Sandy kepada sang kakak sepupu juga iparnya.

“Bin, kenalin ini Ersya. Tetangga aku. Dia seumuran sama kamu,” Tara memperkenalkan Ersya ke Bina usai berpelukan dengan sepupunya itu. “Sya, ini adik sepupu aku. Namanya Bina.”

“Halo, Ersya. Nice to meet you.”

Bina menyapa Ersya dengan senyum manisnya. Dia lalu menoleh ke sang calon suami dan menarik lengannya agar Sandy berdiri di sisinya, “Oh iya, kenalin ini Sandy, calon suami aku. Mas Tara udah kenal, tapi baru kali ini ketemu langsung.”

“Akhirnya kita ketemu juga ya, San.” kata Tara sambil menjabat tangan Sandy, “Selamat ya, kamu udah bikin Ayah Bundanya Bina percayain anaknya ini ke kamu.”

“Makasih, Mas. Aku seneng bisa ketemu sama Mas Tara,” Sandy kemudian melirik Ersya. “Hai?”

Ersya menjulurkan tangannya ke arah Sandy, “Aku Ersya, salam kenal. Aku tetangga Mas Tara.”

Sandy terlihat kebingungan. Seperti ada frasa yang ingin keluar dari celah bibirnya, tapi pada akhirnya dia hanya diam dan menjabat tangan Ersya.

“Gimana, Tar? Makan siangnya udah siap belum?” Baskara tiba-tiba berceletuk. “Bina sama Sandy pasti udah laper tuh.”

“Udah kok. Yuk, Bin, San, kita makan siang dulu. Aku udah masak banyak buat kalian.”

Bina tersenyum lalu kembali memeluk Tara dari samping, sedikit bergumam manja pada kakak sepupunya itu, seperti kebiasaannya saat masih kecil dulu. “Ayo, aku udah kangen masakan kamu banget, Mas.”

“Bin, itu ada calon suami kamu loh. Kok malah peluk-peluk suami aku sih?” Protes Baskara.

“Emang kenapa? Sandy nggak cemburuan kok, gak kayak Mas Bas.” Bina menjulurkan lidahnya mengejek ke arah Baskara lalu menuntun Tara agar segera bergegas meninggalkan ruang tamu. Sementara itu Baskara hanya geleng-geleng kepala lalu mempersilakan Sandy, Harith juga Ersya agar menyusul ke ruang makan. Namun, kedua alis Baskara saling bertaut ketika dia melihat Ersya yang biasanya sangat banyak tingkah dan bicara justru terlihat lebih tenang bahkan pendiam saat ini.

“Kamu kenapa, Sya?” Tanya Baskara saat berjalan di sisi Ersya menuju ruang makan, “Kamu juga cemburu ngeliat Bina manja banget ke temen curhat kamu?” kekeh Baskara, sebab dia tahu Ersya juga dekat dengan Tara.

“Gak kok, Mas.” Ersya cengar-cengir, namun Baskara entah kenapa semakin merasa bahwa ada yang aneh dengan suami Harith itu. Harith sendiri ikut memandangi Ersya yang juga tidak seperti biasanya sambil sesekali bertanya apa suaminya itu baik-baik saja. Namun, Ersya tetap memberi jawab yang sama.

Ketika mereka berenam telah tiba di meja makan dan mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan, Bina dan Tara lantas berbagi cerita, khususnya Bina yang berkeluh-kesah pada kakak sepupunya tentang kehidupan yang dia jalani di negeri orang satu tahun belakangan. Harith juga Baskara sesekali ikut dalam percakapan mereka. Di tengah percakapan yang terus tumbuh hingga menjalar ke beberapa topik menarik itu, ada sebuah awan hitam yang justru tengah menyelimuti Ersya dan Sandy. Keduanya sesekali tertawa kala percakapan di meja makan itu diselingi dengan humor yang kebanyakan dilontarkan oleh Baskara, tapi tawa mereka tak bisa menutupi kecanggungan yang sialnya Baskara perhatikan.

“Oh iya, San. Aku denger dari Bina, katanya kamu pernah sekolah di Korea ya?” Tanya Baskara yang sengaja ingin memancing Sandy juga Ersya agar lebih aktif berbincang.

“Iya, Mas. Aku sekolah di Korea pas SMA. Kebetulan Papaku sempet kerja di perusahaan Korea terus ditempatin di sana tiga tahun, abis itu pindah ke Indonesia lagi pas aku lulus.”

“Loh, sama dong kayak Ersya? Dia juga SMA-nya di Korea,” sahut Harith, “Iya kan, babe?”

“Iya,” Ersya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Tapi Korea luas banget, Kak.”

“Eh serius? Baru tau loh, aku.” Baskara menatap Ersya dengan raut tak percaya. “Tau gitu, aku minta diajarin bakor sama kamu, Sya. Biar si Tara kalo lagi nonton drakor nggak ngomong sendiri.”

Bina tertawa, “Emang Mas Tara ngomong apa aja biasanya, Mas?”

“Dia tuh kadang nyeletuk, ‘omo!’ atau gak ‘shibal saekkiya!’ gitu.”

“Aku gak ngomong gitu ya,” Tara memberi perlawanan, “Ngaco.”

“Kamu mana sadar kalau udah keasikan nonton, Tar. Mau aku videoin besok-besok?” Baskara meledek suaminya, sedangkan yang diperlukan demikian hanya memutar bola matanya malas.

“Eh ayo dong Ersya sama Sandy ngomong pake bakor,” Baskara menatap keduanya bergantian.

“Aku gak terlalu bisa bakor, Mas. Soalnya, dulu aku sekolahnya di Internasional School,” kata Ersya.

“Eh, tapi Sandy juga sekolah di Internasional School loh. Kamu di mana sekolahnya, Sya?” Bina menatap Ersya dengan sorot mata antusias dan penasaran.

Namun, hal sebaliknya justru menimpa Ersya. Sebab, dia benar-benar ingin menghindari pertanyaan itu. Beruntung, saat Ersya mencoba mencari jawaban yang tepat, gawai di saku celana jeans-nya tiba-tiba berdering. Buru-buru Ersya meraihnya lalu meminta izin untuk menjawab panggilan itu terlebih dahulu di luar ruang makan. Saat itu pula Ersya akhirnya bisa bernapas lega. Meskipun panggilan yang dia terima itu datang dari client yang meminta agar video endorse buatan Ersya direvisi, namun Ersya tidak merasa terbebani sama sekali. Justru Ersya lebih mengkhawatirkan tentang hal-hal yang akan dia hadapi di meja makan saat dia kembali nanti.

Alhasil, setelah berpikir panjang, Ersya pun kembali ke ruang makan dan duduk di kursinya seperti semula. Dan benar saja, Ersya disambut dengan tanya oleh Tara yang penasaran akan siapa sosok yang menelponnya.

Client aku yang nelpon, Mas. Dia minta aku revisi video endorse,” Ersya mendesis. “Maaf banget ya, Mas Tara aku harus pulang ke rumah sekarang. Soalnya client aku minta aku kirim secepatnya.”

“Loh, Sya. Kamu nggak makan dulu?” Tara menatap Ersya khawatir, “Emang kamu gak ngasih ketentuan kalau kamu ngerevisi butuh waktu juga?”

“Aku udah makan nih, Mas.” Ersya cengar-cengir, “Maaf banget, aku beneran musti pamit sekarang. Soalnya client aku ini banyak banget permintaannya.”

Ersya beralih menatap Harith, “Kak, kamu ikut aku pulang ya? Bantuin aku take ulang konten.”

“Oke,” jawab Harith yang meski kebingungan, namun dia tetap menuruti titah si suami tercinta.

Sagara mendatangi kediaman sang Om dengan dada yang terasa amat berat. Usai kemarin dia dibuat terkejut atas fakta bahwa Opa pernah menikahi Oma Surya, hari ini Sagara harus kembali menelan pil pahit bahwa sang Om adalah dalang di balik permasalahan warga Kampung Mawar. Meskipun selama ini Sagara kerap sekali mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Omnya itu, namun tak ada sedikitpun terbesit niat untuk balas dendam, apalagi dengan cara menjatuhkan si paruh baya.

Padahal, jika Sagara mau, dia bisa langsung melaporkan Omnya itu. Semua bukti sudah ada padanya. Namun, Sagara masih punya hati nurani agar sang Om mengakui semua kesalahannya itu sebelum mempertanggungjawabkannya; tidak dengan cara dipermalukan. Bintang pun menjadi salah satu alasan mengapa Sagara masih menghargai Omnya, terlepas dari banyaknya perlakuan tak baik yang Sagara terima darinya.

Sejak kecil, hubungan Sagara dan Bintang sebagai sepupu sangat jauh dari kata persaingan bahkan pertentangan. Keduanya tumbuh menjadi dua pribadi yang saling memahami dan mendukung satu sama lain. Sayangnya, hubungan mereka menjadi rumit layaknya benang kusut yang tidak mampu diperbaiki lagi saat Sagara, yang awalnya menolak untuk menjadi pewaris Atmodjo Group, justru datang dan melewati jalan mulus hingga ditunjuk sebagai calon CEO yang akan menggantikan Omnya. Sementara Bintang yang selama ini sudah mengerahkan seluruh kapasitas dalam dirinya agar sang Opa bisa bangga dan menjadikannya sebagai penerus sang Papa justru tersingkirkan begitu saja. Timbulnya rasa ketidakadilan pun menjadi jembatan bagaimana sikap Bintang terhadap Sagara akhirnya perlahan berubah.

Sagara pun sangat paham akan hal itu. Sagara juga berharap dia bisa menjelaskan semuanya pada Bintang. Namun, hal-hal tragis yang menimpanya membuat dia tidak hanya kehilangan orang-orang tersayangnya, tapi juga kehilangan sebagian dirinya. Sagara bahkan tidak mampu menaruh kepercayaan lagi pada sepupunya. Sampai akhirnya, hubungannya dengan Bintang pun semakin berantakan. Meski begitu, jauh di lubuk hatinya, Sagara tidak bisa membenci Bintang. Sebab Sagara tahu, semua ini bermula karenanya.

Saat ini Sagara telah duduk di sofa panjang ruang tamu Omnya. Si paruh baya yang ternyata baru tiba beberapa menit yang lalu di rumah usai bermain golf pun menghampiri Sagara dengan pakaiannya yang belum diganti. Papa Bintang duduk di sofa yang berseberangan dengan Sagara. Sejenak dia memandangi Sagara dengan sorot mata yang datar sebelum bertanya, “Ada apa?”

“Udah cukup main sembunyi-sembunyinya, Om.” kata Sagara diikuti helaan napas. “Apa yang Om lakuin tuh gak bener. Lagian apa lagi sih yang Om cari? Opa udah ngasih ini itu ke keluarga Om, tapi Om justru ngambil hak orang-orang kecil buat muasin keserakahan Om sendiri.”

“Maksud kamu apa, Gara?” Papa Bintang mengeraskan rahangnya, “Kalau kamu bilang gini karena laporan Om itu, harusnya kamu tahu kalau Om yang dirugikan di sini. Mereka yang ambil hak Om.”

Sagara memutar bola matanya sebelum meletakkan beberapa lembar berkas penting yang dia dapatkan dari Angkasa tadi di atas meja di hadapannya. Sagara sengaja mencetaknya terlebih dahulu guna menunjukkan bukti-bukti akurat itu kepada sang Om.

“Semua ini udah lebih dari cukup buat dijadiin bukti kalau Om itu dalang di balik surat perjanjian palsu itu,” kata Sagara. “Sekarang tinggal gimana Om bisa nentuin sendiri, Om mau mengakui dan balikin hak-hak mereka atau Om pengen aku laporin ini ke Opa.”

Mata si paruh baya berapi-api. Kedua tangannya pun telah dia kepal di atas paha sambil terus memandangi Sagara yang entah menemukan bukti itu darimana.

“Berani kamu ngancem Om?”

“Aku nggak ngancem, justru aku mau Om memilih karena aku gak pengen ngejatuhin saudara Papi aku sendiri. Aku ini masih punya hati buat mikirin Om sama masa depannya Bintang. Kalau aja Om dinilai buruk, Bintang juga yang bakal kena. Apalagi di mata Opa.”

Papa Bintang tertawa hambar. Ada sarkasme yang tersirat di dalam nada suaranya. “Kalau kamu masih punya hati, kamu gak akan datang dan merebut apa yang seharusnya jadi milik Om sama Bintang. Kamu bilang Om serakah, tapi kamu dan Papi kamu sendiri jauh lebih serakah.”

“Aku bakal mundur dari jabatan aku dan ngasih semuanya ke Bintang kalau aku udah nemuin apa yang aku cari,” kata Sagara yang membuat si paruh baya mengernyit tak suka. “Aku gak butuh harta warisan Opa. Aku juga gak haus jabatan. Aku cuma butuh keadilan atas apa yang aku alami dan cuma dengan cara ini aku bisa mencari tau, juga nyari keadilan, karena Om sendiri gak pernah peduli aku dan Papi kan?”

“Jadi, untuk kali ini aja, aku mau egois dan serakah buat dapetin jabatan di kantor.” Timpal Sagara.

Papa Bintang menyeringai diikuti tatapan tak percaya. “Kamu mau menuntut keadilan, sementara Om sendiri dapetin perlakuan gak adil dari Opa kamu karena kamu dan Papi kamu, Sagara.”

“Om sama Bintang yang butuh keadilan di sini!” Suara Papa Bintang akhirnya meninggi bersama napasnya yang mulai memburu. “Keadilan apa lagi yang pengen kamu cari, hah? Belum cukup kamu dan Papi kamu jadi anak emasnya Opa?”

Sagara menghela napas sambil berusaha untuk tetap tenang. Jika Omnya hanya mengungkit tentang perlakuan Opa, maka masalah utama yang menjadi alasan kedatangan Sagara di rumah ini pun tak akan selesai.

“Jadi Om gak mau ngaku? Kalau gitu aku ketemu Opa sekarang. Ini peringatan terakhir aku, Om.”

Sagara kemudian beranjak dari sofa dan berjalan meninggalkan ruang tamu itu. Namun, sang Om yang sudah kepalang kesal lantas ikut bangkit dan meraih salah satu tongkat golfnya sebelum mengikuti Sagara. Akal sehat si paruh baya mulai sirna. Bohong jika dia tidak merasa terancam andai saja Sagara benar-benar memberitahu semua perbuatan dosanya itu pada Opa. Alhasil, satu-satunya hal yang kini ada di kepalanya hanyalah bagaimana agar ia bisa melenyapkan Sagara.

Ketika pria paruh baya itu hendak melayangkan tongkat golfnya ke arah Sagara. Bintang yang sedari tadi menguping dan diam-diam bersembunyi di balik tembok ruang tamu buru-buru mendorong kuat tubuh Sagara kala melihat apa yang ingin sang Papa lakukan. “Sagara, minggir!”

Sontak Sagara terjatuh di lantai, buat Sagara terkejut. Namun, hal selanjutnya yang Sagara dapati adalah bagaimana sepupunya berteriak kesakitan, tepat saat Omnya tidak sengaja memukul bagian belakang kepala Bintang.

Bintang pun ikut terjatuh di lantai, tepat di sebelah Sagara yang dengan sigap menghampiri sepupunya. Sagara menangkup wajah Bintang yang mendadak pucat, bersamaan dengan darah yang mulai mengucur di balik kepalanya. “Bintang? Kamu bisa dengerin aku kan? Jawab, Bi...”

Bintang mengangguk kecil, tapi hanya beberapa detik setelahnya, Bintang lantas hilang kesadaran. Sang Papa yang masih mencoba mencerna apa yang baru saja dia lakukan pun refleks bersimpuh di depan tubuh anaknya yang saat ini telah tergeletak lemas.

Seperti yang telah Sagara dan sepakati sebelumnya, atau lebih tepatnya pagi tadi, Surya lantas menyambangi ruang kerja sang sahabat tepat pada jam istirahat makan siang. Namun, ketika dia masuk ke dalam ruangan itu, Surya justru dibuat heran, sebab tidak ada Sagara di sana. Surya pun seketika mempertahankan agenda makan siang bersama mereka. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda bahwa Sagara telah memesan makanan atau sekedar menyiapkan minuman di atas meja—seperti kebiasaan Sagara.

Apa jangan-jangan Sagara lupa? Pikir Surya sambil meraih gawai di sakunya, berniat menelpon Sagara yang kini entah ke mana.

Namun, tepat sebelum Surya menekan opsi panggil, suara pintu ruang kerja Sagara yang dibuka dari luar lantas mencuri atensinya. Surya berbalik badan, mendapati Sagara kini berjalan menghampirinya. Kedua alis Surya pun saling bertaut melihat Sagara membawa sebuah balok yang entah dia dapat darimana dan ingin digunakan untuk apa.

Sampai ketika Sagara tiba-tiba menyodorkan balik itu padanya, Surya bertanya. “Buat apa, Ra? Kok kamu ngasih balok ke aku?”

“Pukul aku kalau waktu itu kamu belum puas,” kata Sagara dengan suara yang tenang, namun Surya bisa merasakan ada deru ombak yang mencoba menghantamnya di balik ekspresi datar Sagara.

“Maksud kamu apa?”

Sagara melemparkan balok yang sedari tadi dia pegang itu hingga tergeletak di lantai. Sagara lalu beralih menatap Surya lamat, ada hening yang sejenak tercipta di antara dua anak manusia itu. Pada setiap detik yang terlewat dalam keheningan mulai timbul percikan api di mata keduanya.

“Kamu selalu bilang kalau aku terlalu tertutup sama kamu sampai kamu gak tau banyak soal aku,” sahut Sagara. “Mungkin kamu merasa aku gak nganggap kamu teman dekat karena itu, tapi kalau kamu bertanya, siapa orang yang bakal aku cari setelah Mami, Papi dan Asa, itu kamu…”

Surya menelan ludah. Meskipun kalimat yang diucapkan Sagara sebenarnya terdengar sebagai bentuk apresiasi padanya, tapi Surya tahu, ada kemarahan di sana. Dia pun hanya memilih diam sambil mendengarkan Sagara kembali bersuara. “Aku emang gak seterbuka itu sama kamu, tapi aku ngerasa kamu lebih kenal aku. Kamu selalu baik sama aku dan gak pernah sekali pun aku berpikir kamu ngelakuin itu karena kamu ada niat buruk.”

Surya membuang muka sejenak, “Apa yang sebenernya pengen kamu bilang sih, Ra? Aku gak ngerti kamu lagi bahas apa.”

Garis bibir Sagara sedikit ditarik ke atas, menciptakan seringai yang menyiratkan luka sekaligus rasa tak percaya. Terlebih, Surya masih enggan ‘tuk mengakuinya.

“Malam itu, pas aku mau ketemu ketua RW Kampung Mawar, kamu kan yang mukulin aku?”

“Bisa-bisanya kamu nuduh aku kayak gini, Ra? Alasan aku buat mukulin kamu apa, coba?” Elak Surya dengan mata terbelalak.

“Seharusnya aku yang nanya gitu ke kamu kan? Alasan kamu apa?” Sagara menatap Surya sedu, “Apa karena aku pernah nyakitin hati kamu tanpa aku sadari, Ya? Atau karena kamu udah tau masa lalu Opa aku sama Oma kamu yaa?”

Surya kembali terdiam, sedang Sagara refleks melirik ke arah tangan Surya yang mengepal di samping paha. Saat itu pula dia merasa telah mendapat jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Kamu udah tau rupanya.” Surya tersenyum miring, sementara itu Surya langsung mencengkeram erat kerah kemeja sahabatnya.

“Jadi selama ini kamu juga udah tau gimana bejatnya Opa kamu? Tapi kenapa, Sagara?” Napas Surya mulai memburu, seperti dikejar sesuatu yang selama ini menakutinya. “Kenapa kamu pura-pura gak tau dan diem aja?”

Sagara tetap tenang, “Aku baru tau kemarin, karena aku nyari tau background keluarga kamu, termasuk Oma kamu. Jadi aku nanya langsung ke Opa sampai dia mengakui dosa itu. Sekarang kamu pengen aku ngapain, Ya?” tanyanya. “Apa aku harus mati buat menebus dosa Opa aku?”

Surya tertawa hambar, “Kamu pikir dengan kamu mati, kamu bisa ngembaliin nyawa Ibu sama Oma aku?” Surya semakin kuat mencengkeram kerah kemeja Sagara hingga sahabatnya itu nyaris tercekik. “Kamu pikir dengan kamu mati, kamu bisa ngebayar gimana penderitaan mereka pas dibuang Opa kamu dulu?” Surya menggeleng pelan.

“Aku pengen Opa kamu, anak-anaknya, samai cucunya tahu gimana rasanya menderita dan gak punya siapa-siapa! Aku pengen kalian semua hancur!”

Sagara tetap tenang meski Surya masih setia mencengkeram erat kerah bajunya hingga badannya kini bergoyang-goyang. Sagara, sama sekali, tak pernah melepas kontak mata mereka. Dari mata Surya pun Sagara bisa melihat luka sekaligus rasa putus asa. Netra yang mulai memerah di hadapannya itu jelas sedang berjuang menahan tangis, dan Sagara rasakan hal yang sama.

“Lakuin apapun yang bisa bikin sakit hati kamu terbayar. Maaf aku belum bisa jadi teman yang baik buat kamu.” Tutur Sagara sambil menuntun kedua tangan Surya, yang cengkeramannya mulai melemah, agar terlepas dari sana. Setelahnya, Sagara pun berbalik, hendak keluar dari ruang kerjanya, tapi Surya tiba-tiba berkata. “Kamu sendiri yang datang ke lingkaran ini, Sagara.”

Sagara berbalik sambil memberi tatapan penuh tanya ke Surya, “Sejak temenan sama kamu, aku enggak pernah berniat nargetin kamu. Terlepas Papi kamu dan kamu itu anak cucu Pak Atmodjo juga, tapi aku tau betul gimana menderitanya kalian sejak Mami kandung kamu dan Bumi pergi waktu itu. Aku juga tau gimana Papi kamu memisahkan diri dari perusahaan Opa kamu karena hubungannya sama Om kamu yang serakah itu kurang baik…”

“Dan aku rasa itu udah cukup. Aku cuma perlu ngeliat keluarga Atmodjo sama perusahaan ini hancur di depan mata aku. Tapi kamu yang awalnya udah nolak buat jadi pewaris di sini justru tiba-tiba datang, kerja di sini bahkan sampai pengen jadi CEO.” Surya mengeraskan rahangnya. “Kamu tiba-tiba pengen jadi penyelamat kantor ini di saat aku udah nemuin celah buat bikin Atmodjo Group, Opa kamu dan nama keluarga kalian hancur.”

“Jadi aku gak punya pilihan lain lagi,” timpal Surya. “Malam itu… Aku, mau gak mau, harus nyegat kamu supaya gak jadi penghalang terus bikin warga sana tenang.”

Sagara masih terdiam, sementara Surya menghela napas, “Aku tau siapa dalang dibalik pemalsuan surat perjanjian itu. Aku juga yang kerjasama sama salah satu warga buat mancing warga lain demo terus-terusan supaya nama Atmodjo Group jatuh sampai akhirnya dalangnya itu ditangkap dan bikin nama baik Atmodjo juga buruk di mata orang, tapi kamu malah jadi pahlawan buat nyelamatin reputasi kantor Opa kamu.”

Sagara menarik napas, “Aku gak ngelakuin ini buat nyelamatin reputasi kantor. Sama kayak kamu yang menuntut keadilan buat Ibu dan Opa kamu, aku juga ngelakuin semua ini cuma demi menuntut keadilan buat Mami kandung aku sama Bumi.” Kata Sagara, “Dan kuncinya ada di kantor ini, Surya. Jadi kalau kamu pengen ngelihat perusahaan ini sama keluarga Opa hancur, it’s your choice. Silakan. Do what you want. Tapi aku juga bakal tetep ngelakuin hal yang aku pengen lakuin buat tau alasan kematian Mami kandung aku sama Bumi.”

Surya akhirnya memutus kontak mata antara dirinya dengan sang sahabat. Sagara yang tahu bahwa tangis Surya sudah di pangkal tenggorokannya pun berkata,

“Good luck, jaga diri kamu. Make sure to not get caught. Maaf aku gak bisa bantuin kamu,” ucapnya sebelum meninggalkan Surya di ruang kerjanya. Sementara itu, tepat setelah figur Sagara hilang di balik pintu, pertahanan Surya akhirnya runtuh. Dia menangis dalam diam sambil mencerna bagaimana Sagara yang masih memikirkannya meski Sagara telah tahu perbuatan busuknya.

“Dedek Hagiiiii!”

Danu berseru riang saat Davis, Dimas dan tentunya Hagi tiba di rumahnya. Deva yang melihat betapa senangnya sang anak sulung ketika menyambut sepupunya itu pun terkekeh.

“Raka mana, Sayang?” tanya Dimas sambil mempersilakan Danu untuk menggandeng tangan kanan Hagi yang kini sudah ikut meloncat-loncat kegirangan bersama Danu.

“Raka lagi main sama Papi, Om.” jawab Danu, “Dedek Hagi, ayo! Kita ikut main bareng Raka yuk!”

Deva pun geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis melihat Danu menuntun Hagi ke ruang keluarga. Setelahnya, Deva lalu mempersilakan Davis dan Dimas untuk menghampiri Arga juga si bungsu Raka di ruang keluarga sebelum nanti memulai agenda makan malam di meja makan.

Sesampainya mereka di ruang keluarga itu, Arga seketika menyambut Davis dan Dimas dengan decakan khas-nya. “Ck! Kalian ini kok lama banget sih di jalan? Kita udah kelaparan nih.”

“Ya kenapa gak makan duluan aja sih?” Jawab Davis santai sambil menghampiri Raka, Danu juga Hagi yang duduk melantai di depan Arga. Davis kemudian meletakkan tas belanja yang dia bawa di tengah-tengah ponakan dan anaknya, “Nih, Om bawain cemilan buat Danu sama Raka.”

“Asiiik! Makasih, Om Davis!” Seru Danu sebelum hendak membuka tas belanja berisi camilan itu, namun Arga lantas menegur.

“Dibukanya entar aja, Kak. Kan kita mau makan malam bareng Hagi, Om Davis sama Om Dimas.”

“Oke, Papi.” Danu menurut.

“Kalau gitu sekarang Danu ajakin adik-adiknya ke ruang makan ya, Sayang?” kata Deva. “Duduk yang manis, tungguin Papa, Papi, Om Davis sama Om Dimas di meja.”

Danu mengangguk patuh lalu menuntun Raka dan Hagi ke ruang makan. Arga pun bangkit dari posisinya hingga kini dia berdiri bersisian dengan Davis.

“Kamu kalau ke sini selalu aja bawa ini itu buat anak-anak,” katanya. “Gak usah repot-repot.”

Deva dan Dimas saling berbagi pandangan diikuti senyum kala mendengar ucapan Arga kepada Davis. Mereka seolah tau kalimat apa yang ada di kepala masing-masing melihat interaksi mereka.

Lebih tepatnya kalimat, “Tumben mereka berdua enggak berantem.”

Sayangnya, untaian kalimat itu seketika sirna saat Arga kembali melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Apalagi sekarang kamu ini lagi nganggur kan? Ck! Masih aja sok kaya, padahal lagi susah.”

“Mas Arga, kok ngomongnya gitu sih?” Tegur Deva, “Udah, kita ke meja makan sekarang. Anak-anak juga udah nungguin tuh di sana.”

“Bang, Dim, yuk.” ajak Deva, tapi Davis yang masih berdiri di sisi Arga tak henti-hentinya menatap wajah iparnya itu dengan lamat.

“Gue emang jadi pengangguran sekarang, tapi gue gak ngerasa lagi susah. Gue selalu bawa ini itu buat ponakan gue juga bukan karena sok kaya, tapi gue seneng setiap ngelihat anak-anak happy dibawain sesuatu, meskipun gak seberapa dan sederhana gini. Itu artinya mereka pinter dan tahu ngehargain pemberian orang lain. Lo sama Deva udah berhasil ngedidik anak-anak, tapi malah lo yang keknya perlu dididik lagi.”

“Tumben kamu jawabnya tenang, gak marah-marah. Cocok nih jadi kandidat sekertaris baru saya di kantor,” Arga melirik Deva yang diam-diam menahan senyum. “Gimana, Sayang? Setuju gak?”

“Kok nanya ke aku, Mas?” Kekeh Deva. “Kalau Bang Davis mau dan kamunya cocok, aku pasti setuju.”

“Lo kasian sama gue ya?” Davis mendengus diikuti senyum tipis, “Gue masih sehat, Ga. Masih bisa nyari kerjaan lain. Gue gak nolak bantuan lo kok, tapi lo gak perlu ngasih kerjaan yang bukan buat gue cuma karena lo itu ipar gue. Kasian orang-orang di luar sana yang capable, tapi gak bisa kerja karena gak punya orang dalam.”

“Make ni orang,” gumam Arga sambil menatap Davis sinis. “Yang kasian sama kamu siapa? Saya kan bilang kamu cocok jadi sekertaris baru saya buat gantiin Deva. Walaupun kamu ipar saya, tapi kalau kamu gak cocok sama role itu, ya saya juga gak bakalan mau ngerekrut kamu. Bodo amat lah kamu mau nganggur apa gak.”

Arga kemudian melipat lengan di depan dada, “Kamu nih ya, tadi aja ngatain saya kalau saya perlu dididik lagi. Ada cermin enggak? Kamu juga perlu dididik lagi tuh karena gak bisa ngehargain saya yang ngasih loker buat kamu.”

“Lo cerewet banget sih,” Davis membalas tatapan sinis Arga.

“Jadi kamu mau apa gak?”

Davis menghela napas, “Biar gue pikir-pikir dulu deh. Gue musti siap mental buat ngadepin elo.”

“Jangan lama-lama mikirnya, ini juga buat adik kamu, biar dia bisa cepet resign.” kata Arga sebelum meraih lengan Deva, “Ayo, kita ke ruang makan. Aku laper banget.”

Deva mengangguk lalu melirik Davis dan Dimas diikuti senyum. Arga dan Deva pun berjalan lebih dulu. Sementara itu Davis dan Dimas—yang mengekor—berada tidak jauh di belakang mereka. Pada kesempatan itu, Arga lantas berbisik di samping telinga Deva.

“Kamu gak ada bedanya ya sama Abang kamu,” seringai Arga. “Aku pas nawarin kamu bantuan dulu juga gitu. Mikirnya aku mau beli kamu lah, kasihin kamu lah. Ck!”

“Karena aku sama Abang dididik buat kerja keras supaya depetin sesuatu, Mas.” Deva tersenyum, “Tapi makasih yaa kamu udah nawarin bantuan ke Bang Davis. Padahal tadi aku udah sempet sebel karena Mas ngomongnya ceplas-ceplos banget ke Abang kalau dia nganggur. Aku takut Abang makin sedih karena itu.”

“Aku cuma pengen liat gimana dia ngerespon aku pas lagi ada masalah atau gak mood, biar aku ada gambaran gimana kalau dia kerja sama aku. Mana tau besok-besok kalau dia jadi sekertaris aku, terus dia ada masalah di rumah, si Davis malah ikut ngamukin aku di kantor lagi.”

Davis yang melihat bagaimana Arga dan Deva sedang berbisik-bisik pun memicingkan mata lalu bertanya, “Lo lagi gibahin gue?”

Sontak Arga menghentikan langkah kakinya lalu menoleh ke Davis. “Kamu bukan martabak, gak usah ngerasa spesial deh! Punya dua telor di celana aja udah kegeeran banget kamu.”

“Udah ah, entar malah berantem lagi.” Deva menengahi. “Anak-anak udah nunggu, Mas. Ayo.”

“Iya, Sayang.”

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Berlin ke Heidelberg menggunakan kereta, kini Sagara dan Angkasa lantas menumpangi taksi menuju apartemen dimana mereka akan menginap selama beberapa hari. Angkasa pun tak henti-hentinya bergumam takjub ketika melihat setiap bangunan yang mereka lewati menuju apartemen. Sagara yang mengamati tingkah sang suami pun diam-diam tersenyum lalu memotret Angkasa dengan gawainya saat Angkasa sedang menatap ke luar jendela taksi.

“Mas! Mas Gara! Abis ini aku mau jalan-jalan ke tempat yang ada di sana ya?” Angkasa bersemangat sambil menunjuk sebuah kastil yang berada di ketinggian. “Di sana kayaknya bagus banget.”

“Tadi katanya capek.”

Angkasa menggeleng, “Capeknya udah hilang kok, Mas. Beneran.”

Sagara senyum lalu mengusap lembut belakang kepala sang suami. “Besok aja, Sa. Hari ini istirahat dulu. Lagian tempat yang di sana itu udah hampir tutup kalau jam segini. Kamu enggak bakalan puas keliling.”

“Kamu udah sering jalan-jalan ke sini sebelumnya ya? Kayaknya kamu udah hapal banget sama Heidelberg,” kekeh Angkasa, sebab sedari tadi Sagara kerap memperkenalkan beberapa spot yang cocok untuk dikunjungi.

“Mhm, aku pernah liburan ke sini bareng pacar aku.” sahut Sagara lalu membuang muka ke jendela.

Mendengar Sagara menyebutkan mendiang pacarnya itu, Angkasa seketika paham alasan Sagara memilih Heidelberg sebagai tujuan honeymoon mereka. Kota ini mungkin menyimpan banyak kenangan Sagara dengan Bumi, namun entah kenapa Angkasa tidak ingin tahu lebih jauh lagi.

Alhasil, perjalanan mereka ke apartemen mendadak hening. Angkasa hanya membiarkan Sagara menikmati suasana kota sekaligus mengenang masa-masa indahnya bersama Bumi. Sementara Angkasa sendiri bergelut dengan isi kepalanya.

Sampai tidak lama berselang, Sagara dan Angkasa akhirnya tiba di apartemen yang sangat luas itu; meski tak seluas rumah mereka. Ada dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan ruang keluarga di dekat jendela yang mengarah langsung ke balkon.

“Kamu bersih-bersih dulu gih,” kata Sagara. “Kita tidur di kamar yang ada di sana. Bed-nya luas.”

“Kamu juga nginep di apartemen ini pas liburan sama pacar kamu ya, Mas?” Tanya Angkasa yang dibalas anggukan oleh Sagara.

“Kita tidur terpisah aja kalau gitu,” Angkasa memaksakan senyum. “Aku yakin kamu ke Heidelberg buat mengenang kembali masa-masa pas kamu sama pacar kamu liburan dulu. Aku gak mau ngeganggu, Mas. Mungkin dengan gitu juga kamu bisa mulai maafin dan enggak nyalahin diri kamu sendiri lagi.”

Tanpa mendengar respon dari suaminya lebih dulu, Angkasa lantas menarik kopernya ke salah satu kamar. Dia masuk ke sana sebelum menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi terlentang. Angkasa menghela napas pelan sambil memejamkan matanya. Ada banyak hal yang memenuhi kepalanya saat ini dan sedang berusaha untuk dia usir, namun fakta bahwa Sagara masih terjebak dengan masa lalunya justru mengganggu Angkasa.

“Gue kenapa sih?” batinnya. “Kok gue tiba-tiba ngerasa kayak gini?

Angkasa mendesis pelan lalu buru-buru bangkit dari tempat tidur itu. Dia kemudian bergegas ke kamar mandi. Mungkin saja membersihkan tubuhnya juga dapat membuat otaknya kembali jernih seperti semula, pikirnya.


Angkasa melenguh ketika indera penciumannya menangkap wangi masakan. Saat membuka mata, Angkasa lantas tersadar bahwa hari sudah semakin gelap di luar sana. Nyatanya dia telah tertidur cukup lama setelah sore tadi dia membersihkan dirinya.

Angkasa pun perlahan bangkit dan keluar dari kamarnya. Kala dia berjalan ke dapur, Angkasa mendapati Sagara tengah sibuk memasak sesuatu di sana.

“Wangi banget,” kata Angkasa lalu duduk di kursi kitchen bar, “Kamu lagi masak apa tuh, Mas?”

“Aku bikin pasta,” Sagara melirik Angkasa diikuti senyum. “Kamu tidurnya lama banget, Sa. Aku sampai ngecek ke kamar kamu berkali-kali, takut kamu pingsan.”

Angkasa hanya mendengus sebelum mencicip roti gandum yang ada di atas kitchen bar itu. Terlelap dalam waktu yang lama membuat perutnya keroncongan bahkan sedikit perih. Sementara itu, Sagara yang telah selesai membuat pasta lantas membawa dua piring makanan utama itu ke kitchen bar. Dia meletakkannya di depan Angkasa sambil berkata.

“Malam ini kita makan pasta dulu ya,” kata Sagara. “Besok aku ajak kamu nyari makanan yang enak.”

“Ini juga enak kok,” kata Angkasa usai mencicipi pasta carbonara buatan Sagara. “Aku suka, Mas.”

Sagara tersenyum. Terlebih saat melihat Angkasa makan dengan begitu lahap hingga mulutnya sedikit berantakan. Sagara pun mengikuti intrusive thoughts-nya dengan membersihkan noda makanan di ujung bibir Angkasa.

Mendapat perlakuan demikian sontak membuat Angkasa kaget. Dia dan Sagara saling bertukar pandangan sejenak sebelum Angkasa buru-buru menepis tangan Sagara sambil berdeham.

“Kenapa kamu gak ikutan makan sih, Mas?” Angkasa menghindari tatapan Sagara. “Don’t mind me.”

“Aku gemes lihat orang yang cara makannya berantakan,” kekeh Sagara lalu duduk di samping Angkasa, “Pelan-pelan aja, Sa. Kalau kamu masih mau, ambil punyaku aja nih. Gak apa-apa.”

“Kamu yang bilang ya,” Angkasa menarik piring berisi pasta milik Sagara itu ke depannya. “Rasain, sekarang kamu gak makan pasta.”

“Ngelihat kamu makan lahap aja udah bikin aku kenyang kok, Sa.”

Angkasa mendengus pelan lalu mengembalikan piring Sagara ke tempatnya semula, “Aku becanda doang padahal. Nih, Mas makan. Aku gak bisa ngabisin semuanya.”

Sagara pun terkekeh lalu ikut menyantap pasta buatannya. Kedua anak manusia itu pun menghabiskan waktu makan malam mereka dalam hening, seolah sama-sama sibuk dengan dunia mereka masing-masing.

Sampai saat Sagara telah selesai dengan makan malamnya, dia lantas berkata. “Aku ke kamar dulu ya, Sa. Aku mau mandi.”

“Mm, taroh aja piringnya di situ, Mas. Biar aku yang cuci entar.”

“Nah gitu dong, tau diri.” kata Sagara sambil mengacak-acak rambut Angkasa sebelum pergi dari dapur. Sementara Angkasa yang diperlakukan demikian oleh sang suami justru makin gelisah.


Sagara yang telah selesai mandi pun keluar dari kamarnya sambil membawa kartu game truth or dare yang dibawa dari Indonesia. Papi lah yang menjadi otak di balik alasan Sagara membawa benda itu. Bahkan Papi pula yang membeli kartu itu jauh-jauh hari untuknya sebelum dia dan sang suami berangkat ke Jerman. Papi mengaku, hubungan mereka—Sagara dan Angkasa—akan makin harmonis jika saling terbuka, dan hal itu bisa dimulai dari game.

Sagara pun manut-manut saja. Nyatanya kartu itu bisa sedikit berguna saat dia dan Angkasa sedang memiliki waktu santai seperti sekarang. Sebab, malam ini mereka memutuskan untuk beristirahat di apartemen saja sebelum menjelajah Heidelberg esok hari. Dan rasanya ada yang kurang jika dia dan Angkasa hanya menghabiskan semalam untuk rebahan atau sekedar duduk dan menikmati camilan.

Angkasa yang telah duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap iPad-nya pun melirik Sagara yang kini justru duduk melantai pada karpet tebal di depan sofa. Sagara lalu menepuk-nepuk sisi kosong di hadapannya sambil berkata, “Sa, duduk di sini. Kita main game yuk. Aku bosen nih.”

“Itu kartu apaan, Mas? Uno?”

Angkasa sontak penasaran saat Sagara membuka kemasan kartu game itu. Dia pun meletakkan iPad-nya di sofa sebelum ikut duduk tepat di depan Sagara.

“Bukan Uno, ini truth or dare.” Sagara melirik Angkasa diikuti senyum, “Papi yang beli buat kita, katanya biar kita makin harmonis. Ada-ada aja emang.”

Angkasa terkekeh. “Kayaknya Papi yang paling excited pas tau kita bakal honeymoon ya, Mas.”

“Mhm,” gumam Sagara sambil meletakkan kartu truth dan dare itu di hadapannya dan Angkasa. “Lumayan sih biar kita gak bosen malem ini. Kita mulai sekarang ya. Kamu dulu, apa aku dulu?”

“Mas dulu deh.”

“Berarti aku yang ngambil kartu terus ngasih pilihan ke kamu ya.”

“Iyaaa.”

Sagara pun mengambil dua kartu di hadapannya, masing-masing kartu truth atau pertanyaan dan dare atau perintah yang harus Angkasa lakukan jika dia tidak memilih opsi truth, begitupula sebaliknya. Sagara yang telah melihat bacaan dari kartu itu pun refleks tertawa, membuat Angkasa mengernyitkan alis.

“Kenapa, Mas?” Angkasa curiga. “Jangan bilang isinya aneh-aneh.”

“Kamu pilih dulu, truth or dare?”

Truth.”

Sagara mengulum senyum lalu berdeham, “Oke, pertanyaannya. Sebutin lima bagian tubuh aku yang menurut kamu paling sexy?”

“Gak ada!”

“Kok gak ada sih? Curang.”

“Ya emang gak ada,” Angkasa menjulurkan lidahnya meledek.

“Harus ada, Sa. Kalau gak, kamu musti ngelakuin dare-nya juga.”

“Emang dare-nya apa, Mas?”

Sagara menyodorkan kartu dare itu agar Angkasa membacanya sendiri. Saat itu pula Angkasa refleks menganga. Pasalnya, hal yang harus dia lakukan jika dia tidak menjawab pertanyaan sang suami tadi yakni berdesah erotis selama satu menit. Sagara yang melihat ekspresi shock Angkasa pun kembali tertawa amat puas.

“Iya, iya, aku jawab.” Angkasa pasrah, “Lima bagian tubuh kamu yang paling sexy itu… lesung pipi, bibir, alis, mata, sama hidung kamu. Udah.”

“Oke, sekarang giliran kamu.”

Angkasa bersemangat meraih dua kartu sama seperti Sagara sebelumnya. Namun, melihat kedua opsi yang ada di kartu itu justru membuatnya menghela napas hingga Sagara terkekeh. Terlebih ekspresi wajah Angkasa yang terlihat tak begitu puas.

“Kenapa, Sa?” Goda Sagara.

“Gak apa-apa,” decak Angkasa. “Sekarang Mas pilih. Mau apa?”

“Aku pilih dare.”

Angkasa tiba-tiba terbahak. Sangat berbanding terbalik dengan ekspresinya ketika membuka kartu itu tadi.

“Oke, dare-nya itu, Mas harus nunjukin sexy dance, tapi pake satu kaki.” Angkasa kembali melanjutkan tawanya, sedang Sagara membeku beberapa saat.

Sagara akhirnya sadar bahwa dia telah dikelabui oleh Angkasa. Dia yang berpikir bahwa dare yang Angkasa baca tidak akan begitu menyusahkannya—karena sang suami nampak tidak puas usai melihatnya—justru sangat di luar ekspektasinya. Angkasa licik.

“Kamu bener-bener ya, Sa. Aku kegocek,” Sagara mendengus. “Ganti deh. Aku pilih truth aja. Aku gak tau nge-dance sexy, apalagi cuma pakai satu kaki.”

“Gak boleh ganti, Mas. Ayo dong, buktiin kalau jiwa kamu tu lakik!” guyon Angkasa yang membuat Sagara tertawa, tapi juga pasrah.

Akhirnya Sagara pun berdiri. Satu kakinya dia angkat, sedang yang satunya menapak di atas karpet. Sagara kemudian mulai meliuk-liukkan tubuhnya kaku sambil sesekali mengusap dada dan perutnya dengan tangannya. Angkasa yang melihat hal tidak biasa itu dari suaminya seketika menjatuhkan diri di atas karpet. Perutnya sakit karena tertawa.

“Kamu puas banget ya ngetawain aku,” decak Sagara lalu kembali duduk di hadapan sang suami.

“Aduh, Mas. Kamu lucu banget. Kok aku gak ngerekam ya tadi.”

Sagara mendelik, namun pada akhirnya dia justru tersenyum melihat bagaimana Angkasa nyaris menangis karena tertawa. Baru kali ini Sagara melihat sang suami tertawa begitu lepas, dan hal itu membuatnya ikut senang.

“Udah, sekarang giliran aku. Kamu pilih kartu yang mana?” tanya Sagara lalu tersenyum.

“Aku pilih truth,” kata Angkasa.

“Oke, jadi pertanyaannya, berapa orang yang udah pernah having sex sama kamu?” seringai Sagara. “Harus dijawab jujur loh ya, Sa.”

Angkasa menghela napas, “Satu orang. Mantan pacar aku. Itupun karena aku diperkosa sama dia pas masih pacaran dulu. Kamu mungkin mikirnya aku aneh kan, Mas? Aku nyebut mantan pacar aku merkosa aku, padahal waktu itu aku masih sayang sama dia.”

“But stillHe did it without my consent at all. Walaupun aku sama dia saling sayang, tapi kalau aku belum siap buat having sex dan dia tetep maksa, berarti dia merkosa aku kan?” timpalnya.

Sagara mengangguk. Dia lantas mengingat bagaimana Angkasa menangis di dalam kamar usai dicium paksa olehnya. Sagara merasa bersalah waktu itu, tapi kini, setelah tahu bahwa sang suami memiliki pengalaman tak baik serupa, rasa bersalah Sagara pun semakin besar. Dia seketika merasa telah menjadi penjahat.

“Aku minta maaf ya, Sa. Waktu pertama kali kamu datang ke rumah dulu, aku juga nyium kamu bahkan ngancem bakal ngelakuin yang lebih ke kamu. Aku gak bermaksud nyakitin kamu atau bikin kamu inget sama pengalaman gak baik itu.”

Angkasa tersenyum meledek, “Jadi kamu masih mau ngancem pengen nyium aku nggak, Mas?”

“Iya kalau kamu gak nurut.” kata Sagara, “Waktu itu aku juga gak bakalan nyium kamu andai kamu gak banyak tingkah dan batu.”

“Kamu ikhlas gak sih minta maaf sama aku, Mas?” protes Angkasa.

“Ikhlas, tapi kamu kalau gak aku gituin gak bakalan takut. Kamu beneran cuma takut dicium loh sampai aku gak punya ancaman lain buat kamu,” dengus Sagara, sedang Angkasa terkekeh pelan.

“Iya, iya, aku juga bakalan nurut sama kamu.” tutur Angkasa, “Eh tapi ya, Mas. Untung pertanyaan truth ini aku yang milih. Coba aja kamu yang milih, kamu bingung gak sih ngitung orang yang udah having sex sama kamu berapa?”

“Kamu mikirnya aku se-haus sex itu apa, Sa?” decak Sagara, “Aku emang suka gonta-ganti cowok buat nemenin aku, tapi aku making out doang sama mereka, gak sampai having sex. Udah paling mentok aku suruh blow job. Itu pun gak sembarang cowok yang boleh ngelakuin.”

“Aku sama kayak kamu. Cuma pernah having sex sama pacar aku,” timpal Sagara. “Dan aku cuma pengen having sex sama orang yang aku sayang doang.”

Angkasa mendesis, “Berarti Mas Bintang bohongin aku ya waktu itu. Soalnya dia bilang kamu tuh suka gonta-ganti cowok buat ditidurin doang abis itu dibuang.”

Sagara tertawa, “Kenapa kamu gak nanya ke dia, kok kamu tau Mas Sagara suka nidurin cowok-cowok itu? Emang pernah lihat ya? Apa pernah ditidurin juga?”

“Mungkin dia mikir gitu karena sering liat kamu bawa pulang cowok ke apartemen kali, Mas.” Angkasa berdeham, “Aku aja mikirnya kamu abis having sex sama cowok lain sehari sebelum kita nikah. Makanya kamu gak pulang buat ikut makan malam. Besoknya aku juga ngeliat kamu lagi bareng cowok itu kan ya?”

“Sebenarnya… Malam itu aku ke rumah pacar aku,” jujur Sagara. “Aku ketemu orang tuanya dan pengen ngabisin waktu di sana sebentar sebelum aku menikah sama orang lain. Dan itu kamu, Sa. Karena gimana pun juga, aku pernah janji ke pacar aku kalau aku bakal nikahin dia. Tapi takdir berkata lain. Kami gak berjodoh.”

Angkasa kembali merasakan sensasi menganggu itu kala Sagara bercerita tentang Bumi. Sangat jelas bahwa Sagara amat mencintai Bumi hingga saat ini.

“Sepulang dari sana, aku mampir ke club. Jujur aja keputusan buat nikah bikin pikiran aku penuh, jadi aku minum-minum di club sampai pagi buta, terus cowok yang kamu lihat di apartemen aku itu nganterin aku pulang.” timpal Sagara, “Waktu itu aku juga ngasih tau dia kalau yang terjadi pagi itu udah jadi sesi making out terakhir aku sama dia sebelum aku nikah besoknya.”

“Kenapa, Mas? Padahal kamu masih bisa loh making out sama cowok lain pas udah nikah. Toh kita cuma nikah kontrak dan gak saling suka kan?” sela Angkasa.

Sagara menggeleng, “Dengan aku menikah, berarti aku juga bakal jadi CEO. Kalau aja aku ketahuan making out sama cowok lain atau dituduh selingkuhin kamu, bisa aja jabatan aku dicopot sebelum aku nemuin apa yang aku cari. Aku cuma mau fokus nyari tau akar masalah di hidup aku, Sa.”

Angkasa mengangguk paham lalu memaksakan senyum, “Lanjutin game-nya yuk. Sekarang giliran aku, Mas. Mau pilih yang mana?”

“Aku pilih dare.”

Angkasa menelan ludah saat dia melihat tulisan di kartu dare itu. Angkasa sebenarnya kaget, tapi dia tetap berusaha untuk tenang.

“Pilih truth aja, Mas.”

Sagara terkekeh, “Kok maksa?”

“Gak maksa, tapi serius deh. Kamu bakal nyesel kalau pilih dare,” kata Angkasa. “Ini aku baik loh udah ngasih kamu hint, Mas.”

“Aku tetep pilih dare.”

Truth aja,” kata Angkasa sambil menyembunyikan kartu dare itu di belakang punggungnya. “Ya?”

Sagara yang curiga dengan sang suami pun memicing sebelum mencondongkan badannya ke arah Angkasa. Dia lalu berusaha merebut kartu yang Angkasa ingin sembunyikan itu hingga akhirnya berhasil dia dapatkan usai menggelitik pinggang sang suami; agar Angkasa menyerah.

Sampai saat Sagara telah melihat tulisan di kartu itu, dia seketika tertawa. Pasalnya, perintah yang ada di kartu itu adalah Sagara harus mencium orang yang ada di depannya sebelum memberi kalimat pujian untuk orang itu. Dan satu-satunya orang yang berada di sana adalah Angkasa.

“Mas, kamu baru aja minta maaf sama aku karena pernah nyium aku loh.” Desis Angkasa. “Masa kamu pengen nyium aku lagi?”

“Tapi kan sekarang kita lagi main game, Sa. Kita harus fair dong. Tunjukkin kalau jiwa kamu lakik!” Sagara membalikkan kalimat yang Angkasa ucapkan padanya sebelumnya itu sambil tertawa.

“Ya udah,” Angkasa pasrah lalu menutup matanya dengan alis saling bertautan tidak nyaman.

Sagara yang melihat hal itu pun tersenyum lalu mendekatkan wajahnya dengan sang suami. Satu tangan Sagara kemudian membelai pipi Angkasa sebelum dia mengecup kening suaminya.

Sadar bahwa Sagara sama sekali tak menyentuh bibirnya sontak membuat Angkasa membuka mata. Terlebih ketika Sagara masih setia mengusap lembut pipi kanannya dengan ibu jari sambil berkata, “Kamu cantik banget pas ketawa lepas kayak tadi, Sa. Kamu jangan nangis, cemberut, apalagi marah-marah yaa? Nanti cantiknya ilang loh.”

Angkasa berdeham lalu buru-buru menepis tangan Sagara dari wajahnya. “Mas, aku haus deh. Kamu pengen nitip minum gak?”

“Boleh, tolong ambilin bir kaleng yang ada di kulkas ya, Sa.” Kata Sagara yang dibalas anggukan pelan oleh Angkasa. Setelahnya, Angkasa pun bergegas ke dapur.

Sesampainya di dapur, Angkasa lantas duduk di kursi kitchen bar. Dia memijat keningnya beberapa saat sambil mencoba untuk mengumpulkan akal sehatnya. Namun, pada akhirnya, Angkasa merasa semakin hilang dan tak bisa menemukan jalan keluar. Kegelisahan kembali mendera Angkasa bersama kebimbangan.

Di satu sisi, Angkasa semakin merasa nyaman ketika Sagara berada di sekitarnya. Dia merasa lebih leluasa dan menjadi dirinya sendiri, terlebih ketika Sagara memberikan perhatian kecil dan memperlakukannya seperti orang yang sangat dekat dan mengerti dirinya—yang bahkan orang tuanya sangat jarang berikan. Angkasa merasa ada di rumah yang selama ini dia cari dan ingin dia huni sampai mati.

Namun, di sisi lain, ada sebuah tembok yang Angkasa rasa amat tinggi dan tak mampu dia gapai. Selain fakta bahwa semesta ini bukanlah dunianya, yang mana artinya dia dan Sagara akan tetap berpisah pada akhirnya, Angkasa juga berpikir bahwa sang suami belum selesai dengan masa lalunya; atau bahkan cintanya telah habis pada sosok Bumi.

Angkasa memang belum yakin dengan perasaannya sendiri, tapi rasa untuk tinggal lebih lama lagi dengan Sagara justru tiba-tiba menghantui. Entah karena dia menemukan sosok yang dia rasa seperti rumah, atau dia justru telah jatuh hati pada Sagara.

Seperti yang disarankan Chandra jauh-jauh hari, photoshoot untuk katalog design pakaian buatan Angkasa pun berlangsung selama dua hari; yang dilakukan pagi hingga petang. Dan hari ini jadi hari terakhir pemotretan itu.

Namun, sebelum photoshoot dimulai, salah satu model tiba-tiba memberi kabar bahwa dia dilarikan ke rumah sakit karena badannya tidak fit. Angkasa pun dibuat panik dan kebingungan untuk mencari model pengganti dalam waktu singkat. Sagara, yang sedari kemarin ikut dan memantau langsung photoshoot itu, lantas mulai berpikir untuk menawarkan diri walaupun dia sebenarnya malu karena sudah cukup lama tak berpose layaknya model di depan kamera. Meski begitu, Sagara justru lebih tidak tega lagi jika harus melihat sang suami resah seperti sekarang. Alhasil, Sagara lantas bertanya.

“Kalau aku yang gantiin gimana?”

Tidak hanya Angkasa yang terkejut ketika Sagara tiba-tiba menawarkan diri, namun juga Surya, serta Chandra yang juga berada dalam studio di butik itu.

“Kamu serius, Mas?”

“Mm,” Sagara berdeham, “Tapi kalau menurut kamu aku gak cocok, biar aku bantu cari m—”

“Cocok!” sahut Chandra lebih dulu daripada Angkasa lalu cengar-cengir, “Daritadi aku tuh sebenernya ngeliatin Mas Sagara pas mikirin model pengganti, tapi aku agak takut ngasih tau.”

“Kalau gitu Mas ganti baju sekarang ya?” kata Angkasa sebelum menuntun sang suami ke ruang ganti diikuti Chandra sebagai fashion stylist-nya.

Setelah berganti pakaian dan diberikan sedikit polesan make up di wajahnya, Sagara lantas diintruksikan untuk bergabung dengan model lain. Angkasa yang diam-diam memerhatikan sang suami mengenakan baju design-nya yang berwarna dark navy pun tanpa sadar memuji Sagara dalam hati. Pasalnya, Sagara nampak cocok dengan baju itu. Angkasa pun berpikir ingin membuat jas berwarna serupa untuk Sagara kenakan saat peresmian jabatannya nanti.

Pemotretan itu pun dimulai dan berlangsung lancar. Sagara yang bersanding dengan para model profesional dapat mengimbangi hingga Chandra beberapa kali memberikan pujian, pun Surya yang menjadi fotografer. Namun, Angkasa justru sibuk mengamati bagaimana Surya berinteraksi dengan sang suami. Angkasa tidak bisa berbohong bahwa sejak melihat sepatu milik Surya kemarin, dia tidak bisa melihat Surya seperti sebelumnya lagi.

Waktu terus berjalan hingga hari perlahan berganti menjadi malam. Pemotretan pun berhasil diselesaikan tanpa sedikitpun kekurangan. Satu persatu model kemudian berpamitan untuk pulang, begitupula dengan Chandra yang sudah ditunggu oleh klien lain. Surya menjadi kru photoshoot terakhir yang meninggalkan butik usai mengemasi alat-alat fotografi yang dia gunakan sejak kemarin.

Kini, hanya Angkasa dan Sagara yang belum meninggalkan butik. Sebab, Angkasa masih perlu memeriksa beberapa hal di ruang kerja pribadinya, pun Sagara yang menemaninya. Selagi Angkasa tengah sibuk mengamati pekerjaan dan hasil pemotretan di MacBook-nya, Sagara lantas membersihkan make up-nya. Sesekali Angkasa melirik sang suami diikuti senyum tipis, terlebih saat mendapati Sagara menggosok wajahnya dengan kapas begitu kasar seolah tak ada hari esok.

“Mas, pelan-pelan. Wajah kamu bisa iritasi loh,” tegur Angkasa.

Angkasa yang gemas sendiri akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri Sagara di sofa dalam ruang kerjanya itu. Dia duduk di sebelah kanan Sagara dan mengintruksikan sang suami agar mengubah posisi duduknya sedikit agar mereka bisa saling berhadapan. Sagara pun hanya menurut, terlebih ketika Angkasa mulai meraih kapas lain dan membantunya membersihkan make up yang ada di wajahnya.

Angkasa yang semula sibuk menggeser pelan kapas yang telah dia basahi dengan micellar water itu pada wajah Sagara pun tiba-tiba teringat suatu hal. Dia amat penasaran hingga bertanya.

“Kamu sama Mas Surya pernah berantem gak sih, Mas? Maksud aku… berantem yang gede gitu.”

Sagara menggeleng pelan, “Gak. pernah. Kenapa emangnya, Sa?”

“Aku cuma penasaran aja sama pertemanan kalian,” Angkasa memaksakan senyum. “Kalian kelihatan deket banget soalnya.”

“Kalau dibilang deket sama dia, ya deket sih. Tapi aku tuh gak seterbuka itu ke Surya tau, Sa.”

Angkasa memicing, “Kenapa?”

Just some sort of boundary, I guess?” kata Sagara. “Bisa dibilang aku gak punya temen yang bener-bener tahu aku gimana. Surya aja pernah bilang kalau aku tuh private banget.”

“Tapi kamu kok suka cerita sama aku, Mas?” Angkasa berdecak, “Kamu naksir aku kan? Ngaku.”

Sagara tersenyum lembut, “Aku ngerasa lebih nyaman ngobrol sama kamu, Sa. Mungkin... Karena kamu orangnya apa adanya. Jadi aku gak takut di-judge sama kamu. Yaa walaupun kamu kadang gak bisa dipercaya, tapi aku justru yakin kalau kamu bisa menyimpan apa yang gak seharusnya dibagikan ke publik.”

“Jujur aja, pas aku booking resto buat kamu sama Chandra, aku udah siap kalau aja kamu nge-share di sosmed soal aku yang bayarin dan bikin media nyorot kamu. Tapi, ternyata gak ada. Kamu juga private. Kayaknya itu deh yang bikin aku relate dan ngerasa nyaman sama kamu.”

“Jadi Mas tau sosmed aku?”

“Tau lah, aku harus rajin mantau kamu, biar kamu gak aneh-aneh.”

“Followers IG aku banyak kan?”

“Hm.”

“Aku ini terkenal tau, Mas.”

“Kita ke psikiater abis ini.”

Angkasa terkekeh pelan lalu kembali fokus mengusap lembut wajah Sagara dengan kapas. Sagara sendiri lantas terpaku dan sibuk memandangi Angkasa lekat-lekat. Sampai tidak lama berselang, tatapan mereka lantas berjumpa dan terkunci beberapa detik. Respon mereka pun sama. Baik itu Sagara maupun Angkasa refleks tersenyum tipis, seolah tak ada lagi kecanggungan dan rasa tidak nyaman di antara mereka seperti sebelumnya.

“Aku gak ngerusak photoshoot tadi kan, Sa?” tanya Sagara.

“Gak lah, Mas.” Angkasa menepuk-nepuk pipi kanan Sagara dengan kapas—tepat di lesung pipi sang suami, “You did so well. Makasih banyak ya, Mas.”

“Mm, no worries.”

“Udah selesai nih, Mas.” Angkasa menghela napas. “Pulang yuk.”

“Kerjaan kamu udah selesai?”

“Belum, tapi kerjaan yang belum aku kelarin itu bisa aku cek di rumah kok, Mas.” kata Angkasa. “Udah malem nih. Di luar juga bakalan hujan gede kayaknya.”

Sagara mengangguk, sebab sedari tadi kilat memang mewarnai langit yang gelap di luar sana diikuti gemuruh petir. Keduanya kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan ruang kerja Angkasa, tapi saat mereka baru saja hendak melewati pintu, listrik tiba-tiba saja padam. Sontak Angkasa memekik keras sebelum memeluk erat Sagara yang berdiri di sisi kanannya.

“Kamu modus ya?” ledek Sagara.

“Sembarangan.” Angkasa buru-buru melepas pelukannya. “Aku... Kaget tadi. Makanya aku refleks.”

Sagara pun tersenyum meledek meski saat ini Angkasa tidak bisa melihat wajahnya. Sagara lalu merogoh saku celananya dan meraih gawai guna menyalakan flashlight. Satu tangannya yang terbebas kemudian merangkul pinggang ramping Angkasa.

“Ayo, jalannya pelan-pelan aja.” Kata Sagara, “Tunjukkin arah tangga butik musti ke mana.”

“Sekarang siapa yang modus sih.”

“Aku gak modus, aku pegangin kamu biar kamu gak jatuh, Sa.”

“Perhatian banget, naksir ya?”

“Ya udah deh kamu jalan sendiri aja,” Sagara hendak melepaskan tautan lengannya di pinggang Angkasa, namun sang suami sudah lebih dulu memeluknya dari samping diikuti kekehan.

“Aku bercanda, Mas.” Angkasa memelas, “Jangan tinggalin aku. Katanya kalau lagi hujan sambil mati lampu di tempat yang gede kayak butik aku ini, biasanya ada hantu. Mana bunyi geledek di luar suaranya gede banget lagi.”

“Ngawur,” kata Sagara sambil mengikuti langkah Angkasa yang kini menuntunnya ke tangga butik, sebab lift tak bisa dipakai. “Kamu gak bayar listrik kali, Sa. Makanya lampu butiknya mati.”

“Mas Sagara tuh yang ngawur. Dikira butik aku bangkrut apa?”

Sagara hanya tersenyum tipis bersamaan dengan sampainya mereka di tangga. Mereka pun menuruni satu persatu anak tangga itu dengan satu lengan Sagara yang masih melingkari pinggang Angkasa. Namun, di tengah-tengah perjalanan mereka menuju lantai dasar, suara petir kembali bergemuruh dengan keras. Alhasil, Angkasa yang amat terkejut nyaris tidak menginjak satu anak tangga dan membuatnya sedikit oleng.

Beruntung ada Sagara yang sigap menahannya. Angkasa kemudian refleks memeluk tengkuk Sagara hingga Angkasa bisa merasakan hembusan napas suaminya itu. Meski Angkasa tak bisa melihat jelas wajah Sagara, namun dia dapat merasakan bagaimana posisi mereka sangat dekat.

Persekian detik kemudian, listrik lantas kembali menyala. Saat itu pula Angkasa dan Sagara saling memandangi wajah satu sama lain dari jarak yang begitu tipis.

“Ini kenapa kayak adegan-adegan yang ada di cerita fiksi sih?” batin Angkasa, “Lah, tapi kan sekarang gue emang lagi ada di cerita fiksi.”

“Kamu ngebayangin apa, hm?”

“Hah?” Angkasa kaget lalu buru-buru melepaskan tautannya dengan Sagara. “Kamu ngomong apaan sih, Mas. Ayo, kita pulang.”

Angkasa melanjutkan langkahnya menuruni tangga lebih dahulu, sedang Sagara hanya tersenyum lembut geleng-geleng kepala.


Angkasa benar-benar memeriksa pekerjaannya di rumah, bahkan ketika dia telah berada di atas tempat tidurnya dan Sagara. Sang suami yang sedari tadi memerhatikan bagaimana mata Angkasa terfokus pada layar MacBook-nya pun mendengus pelan sambil mencoba untuk menutup layar MacBook itu.

“Mas Gara,” decak Angkasa kesal. Sebab, sudah beberapa kali sang suami berusaha mengganggunya. “Kamu ngapain sih? Tidur gih.”

“Seharusnya aku yang bilang gitu ke kamu, Sa.” Sagara menunjuk jam pada layar MacBook sang suami. “Tuh, liat. Udah malem banget. Dilanjutin besok aja ya?”

“Ini musti aku kelarin malam ini, Mas. Kalau udah aku revisi gini kan, aku bisa ke Jerman dengan tenang. Gak mikirin kerjaan aku. Anak-anak kantor juga gak bakal kelimpungan pas aku tinggalin.”

Sagara menatap wajah Angkasa lekat-lekat meski suaminya itu sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari layar MacBook. “Kamu kayaknya cinta banget ya sama kerjaan kamu, Sa. That’s good. Tapi kamu juga musti tau waktu istirahat, jangan sampai kamu jadi orang yang gila kerja, tapi kamu lupa kesehatan kamu.”

Angkasa akhirnya menoleh dan memandangi Sagara dengan segaris senyum meledek di bibirnya, “Lihat deh siapa yang lagi ngomong. Kamu juga sama, Mas. Kalau kamu gak gila kerja, kamu gak bakal jadi CEO kan? Kamu juga sering tuh ke kantor di luar jam kerja. Padahal nih ya, tanpa jadi CEO pun kamu bakal tetep kaya raya. But see? Kamu punya ambisi untuk kamu raih.”

“Jadi kamu juga mikir kalau aku ini serakah karena pengen jadi CEO ya?” Cebik Sagara sebelum memilih untuk berbaring dengan posisi tengkurap di samping Angkasa. Wajahnya mengarah ke Angkasa hingga dia bisa melihat suaminya itu dengan amat jelas.

“Aku gak bilang kamu serakah,” Angkasa melembutkan suaranya. “Tapi kita sama-sama gila kerja karena kita punya ambisi, Mas. Kamu pengen jadi CEO, dan aku mau brand aku makin terkenal.”

“Aku… Sebenarnya gak pengen ada di posisi ini, Sa.” kata Sagara, “Kerja di head office kantor Opa dan jadi CEO itu bukan impian aku. Aku punya mimpi lain yang pengen aku raih, tapi keadaan seolah maksa aku berambisi jadi CEO. Karena dengan masuk ke kantor Opa dan jadi salah satu petinggi di sana, aku bisa nyari tau hal-hal yang pengen aku tau. Termasuk musuh keluarga Opa yang mungkin aja jadi penyebab kematian Mama dan pacar aku. Aku pengen nyari tau semua itu.”

Angkasa menipiskan bibirnya. Sagara tak hanya melalui banyak hal berat dengan kehilangan orang-orang terkasihnya hingga menyisakan trauma mendalam, namun dia pun harus rela ‘tuk mengorbankan mimpinya demi mencari tahu sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabnya dan bukan pula kesalahannya.

Satu tangan Angkasa perlahan mengusap lembut rambut sang suami. Membuat Sagara yang diperlakukan demikian semakin tak bisa melepaskan pandangan dari wajah Angkasa. “Kalau boleh tau, mimpi kamu apa sih, Mas?”

“Aku pengen jalanin bisnisku sendiri, sama kayak Papi yang gak berharap dari harta dan perusahaan Opa terus jalanin bisnisnya sendiri.” kata Sagara, “Terus sebagian penghasilan dari bisnis aku itu pengen aku pakai buat nge-bentuk yayasan yang menampung anak-anak tanpa orang tua atau orang tuanya ada, tapi mereka gak berkecukupan sampai harus putus sekolah, Sa.”

“Semacam panti asuhan, Mas?”

“Mm, bener.”

“Kamu masih bisa kok ngeraih mimpi kamu itu meskipun kamu jadi CEO di kantor punya Opa, Mas.” kata Angkasa yang jemari lentiknya masih setia memainkan rambut lembut dan sehat Sagara. “Aku bakalan daftar jadi donatur.”

Sagara tersenyum. “Nanti ya, Sa. Kalau semua masalah aku udah selesai, kamu harus lihat mimpi aku itu jadi kenyataan. Aku janji.”

Angkasa mengangguk, meski ada keraguan dalam hatinya. Sebab, Angkasa tidak tahu, apakah dia masih tetap ada di dunia fiksi ini pada saat semua masalah Sagara telah usai atau justru dia telah kembali ke dunianya yang asli.

“Sa.”

“Mhm?”

“Aku suka.”

“Hah?”

Angkasa terkejut mendengar apa yang baru saja Sagara katakan. Terlebih saat suaminya itu tiba-tiba menggenggam tangannya yang masih di kepala Sagara.

“Aku suka kamu mainin rambut aku kayak gini,” kata Sagara. “Sekarang aku jadi ngantuk.”

Angkasa tersenyum lalu geleng-geleng kepala. “Ya udah, tidur.”

“Mainin rambut aku sampai aku tidur ya,” gumam Sagara sebelum perlahan memejamkan matanya.

Sejenak Angkasa memandangi wajah damai Sagara—masih sambil memainkan rambut suaminya itu. Melihat Sagara lebih banyak tersenyum dan bercerita padanya membuat Angkasa diam-diam merasa lega sekaligus bahagia, terlebih setelah Angkasa tahu bahwa sang suami menyimpan luka yang sangat besar seorang diri.

Entah magis apa yang Sagara miliki hingga Angkasa merasa kedekatan emosional mereka tumbuh begitu cepat. Sosok Sagara yang dulunya sangat Angkasa benci kini justru telah menjadi seseorang yang amat ingin dia lindungi. Sagara yang dulu selalu ingin Angkasa hindari agar dia bisa segera kembali ke dunianya yang asli, kini justru menjadi alasan Angkasa berpikir untuk tetap tinggal di dunia fiksi. Entah karena simpati atau justru dia telah perlahan jatuh hati, tapi satu yang Angkasa yakini, Sagara dan dirinya—are not meant to be.