Bintang
Sagara mendatangi kediaman sang Om dengan dada yang terasa amat berat. Usai kemarin dia dibuat terkejut atas fakta bahwa Opa pernah menikahi Oma Surya, hari ini Sagara harus kembali menelan pil pahit bahwa sang Om adalah dalang di balik permasalahan warga Kampung Mawar. Meskipun selama ini Sagara kerap sekali mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Omnya itu, namun tak ada sedikitpun terbesit niat untuk balas dendam, apalagi dengan cara menjatuhkan si paruh baya.
Padahal, jika Sagara mau, dia bisa langsung melaporkan Omnya itu. Semua bukti sudah ada padanya. Namun, Sagara masih punya hati nurani agar sang Om mengakui semua kesalahannya itu sebelum mempertanggungjawabkannya; tidak dengan cara dipermalukan. Bintang pun menjadi salah satu alasan mengapa Sagara masih menghargai Omnya, terlepas dari banyaknya perlakuan tak baik yang Sagara terima darinya.
Sejak kecil, hubungan Sagara dan Bintang sebagai sepupu sangat jauh dari kata persaingan bahkan pertentangan. Keduanya tumbuh menjadi dua pribadi yang saling memahami dan mendukung satu sama lain. Sayangnya, hubungan mereka menjadi rumit layaknya benang kusut yang tidak mampu diperbaiki lagi saat Sagara, yang awalnya menolak untuk menjadi pewaris Atmodjo Group, justru datang dan melewati jalan mulus hingga ditunjuk sebagai calon CEO yang akan menggantikan Omnya. Sementara Bintang yang selama ini sudah mengerahkan seluruh kapasitas dalam dirinya agar sang Opa bisa bangga dan menjadikannya sebagai penerus sang Papa justru tersingkirkan begitu saja. Timbulnya rasa ketidakadilan pun menjadi jembatan bagaimana sikap Bintang terhadap Sagara akhirnya perlahan berubah.
Sagara pun sangat paham akan hal itu. Sagara juga berharap dia bisa menjelaskan semuanya pada Bintang. Namun, hal-hal tragis yang menimpanya membuat dia tidak hanya kehilangan orang-orang tersayangnya, tapi juga kehilangan sebagian dirinya. Sagara bahkan tidak mampu menaruh kepercayaan lagi pada sepupunya. Sampai akhirnya, hubungannya dengan Bintang pun semakin berantakan. Meski begitu, jauh di lubuk hatinya, Sagara tidak bisa membenci Bintang. Sebab Sagara tahu, semua ini bermula karenanya.
Saat ini Sagara telah duduk di sofa panjang ruang tamu Omnya. Si paruh baya yang ternyata baru tiba beberapa menit yang lalu di rumah usai bermain golf pun menghampiri Sagara dengan pakaiannya yang belum diganti. Papa Bintang duduk di sofa yang berseberangan dengan Sagara. Sejenak dia memandangi Sagara dengan sorot mata yang datar sebelum bertanya, “Ada apa?”
“Udah cukup main sembunyi-sembunyinya, Om.” kata Sagara diikuti helaan napas. “Apa yang Om lakuin tuh gak bener. Lagian apa lagi sih yang Om cari? Opa udah ngasih ini itu ke keluarga Om, tapi Om justru ngambil hak orang-orang kecil buat muasin keserakahan Om sendiri.”
“Maksud kamu apa, Gara?” Papa Bintang mengeraskan rahangnya, “Kalau kamu bilang gini karena laporan Om itu, harusnya kamu tahu kalau Om yang dirugikan di sini. Mereka yang ambil hak Om.”
Sagara memutar bola matanya sebelum meletakkan beberapa lembar berkas penting yang dia dapatkan dari Angkasa tadi di atas meja di hadapannya. Sagara sengaja mencetaknya terlebih dahulu guna menunjukkan bukti-bukti akurat itu kepada sang Om.
“Semua ini udah lebih dari cukup buat dijadiin bukti kalau Om itu dalang di balik surat perjanjian palsu itu,” kata Sagara. “Sekarang tinggal gimana Om bisa nentuin sendiri, Om mau mengakui dan balikin hak-hak mereka atau Om pengen aku laporin ini ke Opa.”
Mata si paruh baya berapi-api. Kedua tangannya pun telah dia kepal di atas paha sambil terus memandangi Sagara yang entah menemukan bukti itu darimana.
“Berani kamu ngancem Om?”
“Aku nggak ngancem, justru aku mau Om memilih karena aku gak pengen ngejatuhin saudara Papi aku sendiri. Aku ini masih punya hati buat mikirin Om sama masa depannya Bintang. Kalau aja Om dinilai buruk, Bintang juga yang bakal kena. Apalagi di mata Opa.”
Papa Bintang tertawa hambar. Ada sarkasme yang tersirat di dalam nada suaranya. “Kalau kamu masih punya hati, kamu gak akan datang dan merebut apa yang seharusnya jadi milik Om sama Bintang. Kamu bilang Om serakah, tapi kamu dan Papi kamu sendiri jauh lebih serakah.”
“Aku bakal mundur dari jabatan aku dan ngasih semuanya ke Bintang kalau aku udah nemuin apa yang aku cari,” kata Sagara yang membuat si paruh baya mengernyit tak suka. “Aku gak butuh harta warisan Opa. Aku juga gak haus jabatan. Aku cuma butuh keadilan atas apa yang aku alami dan cuma dengan cara ini aku bisa mencari tau, juga nyari keadilan, karena Om sendiri gak pernah peduli aku dan Papi kan?”
“Jadi, untuk kali ini aja, aku mau egois dan serakah buat dapetin jabatan di kantor.” Timpal Sagara.
Papa Bintang menyeringai diikuti tatapan tak percaya. “Kamu mau menuntut keadilan, sementara Om sendiri dapetin perlakuan gak adil dari Opa kamu karena kamu dan Papi kamu, Sagara.”
“Om sama Bintang yang butuh keadilan di sini!” Suara Papa Bintang akhirnya meninggi bersama napasnya yang mulai memburu. “Keadilan apa lagi yang pengen kamu cari, hah? Belum cukup kamu dan Papi kamu jadi anak emasnya Opa?”
Sagara menghela napas sambil berusaha untuk tetap tenang. Jika Omnya hanya mengungkit tentang perlakuan Opa, maka masalah utama yang menjadi alasan kedatangan Sagara di rumah ini pun tak akan selesai.
“Jadi Om gak mau ngaku? Kalau gitu aku ketemu Opa sekarang. Ini peringatan terakhir aku, Om.”
Sagara kemudian beranjak dari sofa dan berjalan meninggalkan ruang tamu itu. Namun, sang Om yang sudah kepalang kesal lantas ikut bangkit dan meraih salah satu tongkat golfnya sebelum mengikuti Sagara. Akal sehat si paruh baya mulai sirna. Bohong jika dia tidak merasa terancam andai saja Sagara benar-benar memberitahu semua perbuatan dosanya itu pada Opa. Alhasil, satu-satunya hal yang kini ada di kepalanya hanyalah bagaimana agar ia bisa melenyapkan Sagara.
Ketika pria paruh baya itu hendak melayangkan tongkat golfnya ke arah Sagara. Bintang yang sedari tadi menguping dan diam-diam bersembunyi di balik tembok ruang tamu buru-buru mendorong kuat tubuh Sagara kala melihat apa yang ingin sang Papa lakukan. “Sagara, minggir!”
Sontak Sagara terjatuh di lantai, buat Sagara terkejut. Namun, hal selanjutnya yang Sagara dapati adalah bagaimana sepupunya berteriak kesakitan, tepat saat Omnya tidak sengaja memukul bagian belakang kepala Bintang.
Bintang pun ikut terjatuh di lantai, tepat di sebelah Sagara yang dengan sigap menghampiri sepupunya. Sagara menangkup wajah Bintang yang mendadak pucat, bersamaan dengan darah yang mulai mengucur di balik kepalanya. “Bintang? Kamu bisa dengerin aku kan? Jawab, Bi...”
Bintang mengangguk kecil, tapi hanya beberapa detik setelahnya, Bintang lantas hilang kesadaran. Sang Papa yang masih mencoba mencerna apa yang baru saja dia lakukan pun refleks bersimpuh di depan tubuh anaknya yang saat ini telah tergeletak lemas.