Heidelberg
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Berlin ke Heidelberg menggunakan kereta, kini Sagara dan Angkasa lantas menumpangi taksi menuju apartemen dimana mereka akan menginap selama beberapa hari. Angkasa pun tak henti-hentinya bergumam takjub ketika melihat setiap bangunan yang mereka lewati menuju apartemen. Sagara yang mengamati tingkah sang suami pun diam-diam tersenyum lalu memotret Angkasa dengan gawainya saat Angkasa sedang menatap ke luar jendela taksi.
“Mas! Mas Gara! Abis ini aku mau jalan-jalan ke tempat yang ada di sana ya?” Angkasa bersemangat sambil menunjuk sebuah kastil yang berada di ketinggian. “Di sana kayaknya bagus banget.”
“Tadi katanya capek.”
Angkasa menggeleng, “Capeknya udah hilang kok, Mas. Beneran.”
Sagara senyum lalu mengusap lembut belakang kepala sang suami. “Besok aja, Sa. Hari ini istirahat dulu. Lagian tempat yang di sana itu udah hampir tutup kalau jam segini. Kamu enggak bakalan puas keliling.”
“Kamu udah sering jalan-jalan ke sini sebelumnya ya? Kayaknya kamu udah hapal banget sama Heidelberg,” kekeh Angkasa, sebab sedari tadi Sagara kerap memperkenalkan beberapa spot yang cocok untuk dikunjungi.
“Mhm, aku pernah liburan ke sini bareng pacar aku.” sahut Sagara lalu membuang muka ke jendela.
Mendengar Sagara menyebutkan mendiang pacarnya itu, Angkasa seketika paham alasan Sagara memilih Heidelberg sebagai tujuan honeymoon mereka. Kota ini mungkin menyimpan banyak kenangan Sagara dengan Bumi, namun entah kenapa Angkasa tidak ingin tahu lebih jauh lagi.
Alhasil, perjalanan mereka ke apartemen mendadak hening. Angkasa hanya membiarkan Sagara menikmati suasana kota sekaligus mengenang masa-masa indahnya bersama Bumi. Sementara Angkasa sendiri bergelut dengan isi kepalanya.
Sampai tidak lama berselang, Sagara dan Angkasa akhirnya tiba di apartemen yang sangat luas itu; meski tak seluas rumah mereka. Ada dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan ruang keluarga di dekat jendela yang mengarah langsung ke balkon.
“Kamu bersih-bersih dulu gih,” kata Sagara. “Kita tidur di kamar yang ada di sana. Bed-nya luas.”
“Kamu juga nginep di apartemen ini pas liburan sama pacar kamu ya, Mas?” Tanya Angkasa yang dibalas anggukan oleh Sagara.
“Kita tidur terpisah aja kalau gitu,” Angkasa memaksakan senyum. “Aku yakin kamu ke Heidelberg buat mengenang kembali masa-masa pas kamu sama pacar kamu liburan dulu. Aku gak mau ngeganggu, Mas. Mungkin dengan gitu juga kamu bisa mulai maafin dan enggak nyalahin diri kamu sendiri lagi.”
Tanpa mendengar respon dari suaminya lebih dulu, Angkasa lantas menarik kopernya ke salah satu kamar. Dia masuk ke sana sebelum menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi terlentang. Angkasa menghela napas pelan sambil memejamkan matanya. Ada banyak hal yang memenuhi kepalanya saat ini dan sedang berusaha untuk dia usir, namun fakta bahwa Sagara masih terjebak dengan masa lalunya justru mengganggu Angkasa.
“Gue kenapa sih?” batinnya. “Kok gue tiba-tiba ngerasa kayak gini?”
Angkasa mendesis pelan lalu buru-buru bangkit dari tempat tidur itu. Dia kemudian bergegas ke kamar mandi. Mungkin saja membersihkan tubuhnya juga dapat membuat otaknya kembali jernih seperti semula, pikirnya.
Angkasa melenguh ketika indera penciumannya menangkap wangi masakan. Saat membuka mata, Angkasa lantas tersadar bahwa hari sudah semakin gelap di luar sana. Nyatanya dia telah tertidur cukup lama setelah sore tadi dia membersihkan dirinya.
Angkasa pun perlahan bangkit dan keluar dari kamarnya. Kala dia berjalan ke dapur, Angkasa mendapati Sagara tengah sibuk memasak sesuatu di sana.
“Wangi banget,” kata Angkasa lalu duduk di kursi kitchen bar, “Kamu lagi masak apa tuh, Mas?”
“Aku bikin pasta,” Sagara melirik Angkasa diikuti senyum. “Kamu tidurnya lama banget, Sa. Aku sampai ngecek ke kamar kamu berkali-kali, takut kamu pingsan.”
Angkasa hanya mendengus sebelum mencicip roti gandum yang ada di atas kitchen bar itu. Terlelap dalam waktu yang lama membuat perutnya keroncongan bahkan sedikit perih. Sementara itu, Sagara yang telah selesai membuat pasta lantas membawa dua piring makanan utama itu ke kitchen bar. Dia meletakkannya di depan Angkasa sambil berkata.
“Malam ini kita makan pasta dulu ya,” kata Sagara. “Besok aku ajak kamu nyari makanan yang enak.”
“Ini juga enak kok,” kata Angkasa usai mencicipi pasta carbonara buatan Sagara. “Aku suka, Mas.”
Sagara tersenyum. Terlebih saat melihat Angkasa makan dengan begitu lahap hingga mulutnya sedikit berantakan. Sagara pun mengikuti intrusive thoughts-nya dengan membersihkan noda makanan di ujung bibir Angkasa.
Mendapat perlakuan demikian sontak membuat Angkasa kaget. Dia dan Sagara saling bertukar pandangan sejenak sebelum Angkasa buru-buru menepis tangan Sagara sambil berdeham.
“Kenapa kamu gak ikutan makan sih, Mas?” Angkasa menghindari tatapan Sagara. “Don’t mind me.”
“Aku gemes lihat orang yang cara makannya berantakan,” kekeh Sagara lalu duduk di samping Angkasa, “Pelan-pelan aja, Sa. Kalau kamu masih mau, ambil punyaku aja nih. Gak apa-apa.”
“Kamu yang bilang ya,” Angkasa menarik piring berisi pasta milik Sagara itu ke depannya. “Rasain, sekarang kamu gak makan pasta.”
“Ngelihat kamu makan lahap aja udah bikin aku kenyang kok, Sa.”
Angkasa mendengus pelan lalu mengembalikan piring Sagara ke tempatnya semula, “Aku becanda doang padahal. Nih, Mas makan. Aku gak bisa ngabisin semuanya.”
Sagara pun terkekeh lalu ikut menyantap pasta buatannya. Kedua anak manusia itu pun menghabiskan waktu makan malam mereka dalam hening, seolah sama-sama sibuk dengan dunia mereka masing-masing.
Sampai saat Sagara telah selesai dengan makan malamnya, dia lantas berkata. “Aku ke kamar dulu ya, Sa. Aku mau mandi.”
“Mm, taroh aja piringnya di situ, Mas. Biar aku yang cuci entar.”
“Nah gitu dong, tau diri.” kata Sagara sambil mengacak-acak rambut Angkasa sebelum pergi dari dapur. Sementara Angkasa yang diperlakukan demikian oleh sang suami justru makin gelisah.
Sagara yang telah selesai mandi pun keluar dari kamarnya sambil membawa kartu game truth or dare yang dibawa dari Indonesia. Papi lah yang menjadi otak di balik alasan Sagara membawa benda itu. Bahkan Papi pula yang membeli kartu itu jauh-jauh hari untuknya sebelum dia dan sang suami berangkat ke Jerman. Papi mengaku, hubungan mereka—Sagara dan Angkasa—akan makin harmonis jika saling terbuka, dan hal itu bisa dimulai dari game.
Sagara pun manut-manut saja. Nyatanya kartu itu bisa sedikit berguna saat dia dan Angkasa sedang memiliki waktu santai seperti sekarang. Sebab, malam ini mereka memutuskan untuk beristirahat di apartemen saja sebelum menjelajah Heidelberg esok hari. Dan rasanya ada yang kurang jika dia dan Angkasa hanya menghabiskan semalam untuk rebahan atau sekedar duduk dan menikmati camilan.
Angkasa yang telah duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap iPad-nya pun melirik Sagara yang kini justru duduk melantai pada karpet tebal di depan sofa. Sagara lalu menepuk-nepuk sisi kosong di hadapannya sambil berkata, “Sa, duduk di sini. Kita main game yuk. Aku bosen nih.”
“Itu kartu apaan, Mas? Uno?”
Angkasa sontak penasaran saat Sagara membuka kemasan kartu game itu. Dia pun meletakkan iPad-nya di sofa sebelum ikut duduk tepat di depan Sagara.
“Bukan Uno, ini truth or dare.” Sagara melirik Angkasa diikuti senyum, “Papi yang beli buat kita, katanya biar kita makin harmonis. Ada-ada aja emang.”
Angkasa terkekeh. “Kayaknya Papi yang paling excited pas tau kita bakal honeymoon ya, Mas.”
“Mhm,” gumam Sagara sambil meletakkan kartu truth dan dare itu di hadapannya dan Angkasa. “Lumayan sih biar kita gak bosen malem ini. Kita mulai sekarang ya. Kamu dulu, apa aku dulu?”
“Mas dulu deh.”
“Berarti aku yang ngambil kartu terus ngasih pilihan ke kamu ya.”
“Iyaaa.”
Sagara pun mengambil dua kartu di hadapannya, masing-masing kartu truth atau pertanyaan dan dare atau perintah yang harus Angkasa lakukan jika dia tidak memilih opsi truth, begitupula sebaliknya. Sagara yang telah melihat bacaan dari kartu itu pun refleks tertawa, membuat Angkasa mengernyitkan alis.
“Kenapa, Mas?” Angkasa curiga. “Jangan bilang isinya aneh-aneh.”
“Kamu pilih dulu, truth or dare?”
“Truth.”
Sagara mengulum senyum lalu berdeham, “Oke, pertanyaannya. Sebutin lima bagian tubuh aku yang menurut kamu paling sexy?”
“Gak ada!”
“Kok gak ada sih? Curang.”
“Ya emang gak ada,” Angkasa menjulurkan lidahnya meledek.
“Harus ada, Sa. Kalau gak, kamu musti ngelakuin dare-nya juga.”
“Emang dare-nya apa, Mas?”
Sagara menyodorkan kartu dare itu agar Angkasa membacanya sendiri. Saat itu pula Angkasa refleks menganga. Pasalnya, hal yang harus dia lakukan jika dia tidak menjawab pertanyaan sang suami tadi yakni berdesah erotis selama satu menit. Sagara yang melihat ekspresi shock Angkasa pun kembali tertawa amat puas.
“Iya, iya, aku jawab.” Angkasa pasrah, “Lima bagian tubuh kamu yang paling sexy itu… lesung pipi, bibir, alis, mata, sama hidung kamu. Udah.”
“Oke, sekarang giliran kamu.”
Angkasa bersemangat meraih dua kartu sama seperti Sagara sebelumnya. Namun, melihat kedua opsi yang ada di kartu itu justru membuatnya menghela napas hingga Sagara terkekeh. Terlebih ekspresi wajah Angkasa yang terlihat tak begitu puas.
“Kenapa, Sa?” Goda Sagara.
“Gak apa-apa,” decak Angkasa. “Sekarang Mas pilih. Mau apa?”
“Aku pilih dare.”
Angkasa tiba-tiba terbahak. Sangat berbanding terbalik dengan ekspresinya ketika membuka kartu itu tadi.
“Oke, dare-nya itu, Mas harus nunjukin sexy dance, tapi pake satu kaki.” Angkasa kembali melanjutkan tawanya, sedang Sagara membeku beberapa saat.
Sagara akhirnya sadar bahwa dia telah dikelabui oleh Angkasa. Dia yang berpikir bahwa dare yang Angkasa baca tidak akan begitu menyusahkannya—karena sang suami nampak tidak puas usai melihatnya—justru sangat di luar ekspektasinya. Angkasa licik.
“Kamu bener-bener ya, Sa. Aku kegocek,” Sagara mendengus. “Ganti deh. Aku pilih truth aja. Aku gak tau nge-dance sexy, apalagi cuma pakai satu kaki.”
“Gak boleh ganti, Mas. Ayo dong, buktiin kalau jiwa kamu tu lakik!” guyon Angkasa yang membuat Sagara tertawa, tapi juga pasrah.
Akhirnya Sagara pun berdiri. Satu kakinya dia angkat, sedang yang satunya menapak di atas karpet. Sagara kemudian mulai meliuk-liukkan tubuhnya kaku sambil sesekali mengusap dada dan perutnya dengan tangannya. Angkasa yang melihat hal tidak biasa itu dari suaminya seketika menjatuhkan diri di atas karpet. Perutnya sakit karena tertawa.
“Kamu puas banget ya ngetawain aku,” decak Sagara lalu kembali duduk di hadapan sang suami.
“Aduh, Mas. Kamu lucu banget. Kok aku gak ngerekam ya tadi.”
Sagara mendelik, namun pada akhirnya dia justru tersenyum melihat bagaimana Angkasa nyaris menangis karena tertawa. Baru kali ini Sagara melihat sang suami tertawa begitu lepas, dan hal itu membuatnya ikut senang.
“Udah, sekarang giliran aku. Kamu pilih kartu yang mana?” tanya Sagara lalu tersenyum.
“Aku pilih truth,” kata Angkasa.
“Oke, jadi pertanyaannya, berapa orang yang udah pernah having sex sama kamu?” seringai Sagara. “Harus dijawab jujur loh ya, Sa.”
Angkasa menghela napas, “Satu orang. Mantan pacar aku. Itupun karena aku diperkosa sama dia pas masih pacaran dulu. Kamu mungkin mikirnya aku aneh kan, Mas? Aku nyebut mantan pacar aku merkosa aku, padahal waktu itu aku masih sayang sama dia.”
“But still… He did it without my consent at all. Walaupun aku sama dia saling sayang, tapi kalau aku belum siap buat having sex dan dia tetep maksa, berarti dia merkosa aku kan?” timpalnya.
Sagara mengangguk. Dia lantas mengingat bagaimana Angkasa menangis di dalam kamar usai dicium paksa olehnya. Sagara merasa bersalah waktu itu, tapi kini, setelah tahu bahwa sang suami memiliki pengalaman tak baik serupa, rasa bersalah Sagara pun semakin besar. Dia seketika merasa telah menjadi penjahat.
“Aku minta maaf ya, Sa. Waktu pertama kali kamu datang ke rumah dulu, aku juga nyium kamu bahkan ngancem bakal ngelakuin yang lebih ke kamu. Aku gak bermaksud nyakitin kamu atau bikin kamu inget sama pengalaman gak baik itu.”
Angkasa tersenyum meledek, “Jadi kamu masih mau ngancem pengen nyium aku nggak, Mas?”
“Iya kalau kamu gak nurut.” kata Sagara, “Waktu itu aku juga gak bakalan nyium kamu andai kamu gak banyak tingkah dan batu.”
“Kamu ikhlas gak sih minta maaf sama aku, Mas?” protes Angkasa.
“Ikhlas, tapi kamu kalau gak aku gituin gak bakalan takut. Kamu beneran cuma takut dicium loh sampai aku gak punya ancaman lain buat kamu,” dengus Sagara, sedang Angkasa terkekeh pelan.
“Iya, iya, aku juga bakalan nurut sama kamu.” tutur Angkasa, “Eh tapi ya, Mas. Untung pertanyaan truth ini aku yang milih. Coba aja kamu yang milih, kamu bingung gak sih ngitung orang yang udah having sex sama kamu berapa?”
“Kamu mikirnya aku se-haus sex itu apa, Sa?” decak Sagara, “Aku emang suka gonta-ganti cowok buat nemenin aku, tapi aku making out doang sama mereka, gak sampai having sex. Udah paling mentok aku suruh blow job. Itu pun gak sembarang cowok yang boleh ngelakuin.”
“Aku sama kayak kamu. Cuma pernah having sex sama pacar aku,” timpal Sagara. “Dan aku cuma pengen having sex sama orang yang aku sayang doang.”
Angkasa mendesis, “Berarti Mas Bintang bohongin aku ya waktu itu. Soalnya dia bilang kamu tuh suka gonta-ganti cowok buat ditidurin doang abis itu dibuang.”
Sagara tertawa, “Kenapa kamu gak nanya ke dia, kok kamu tau Mas Sagara suka nidurin cowok-cowok itu? Emang pernah lihat ya? Apa pernah ditidurin juga?”
“Mungkin dia mikir gitu karena sering liat kamu bawa pulang cowok ke apartemen kali, Mas.” Angkasa berdeham, “Aku aja mikirnya kamu abis having sex sama cowok lain sehari sebelum kita nikah. Makanya kamu gak pulang buat ikut makan malam. Besoknya aku juga ngeliat kamu lagi bareng cowok itu kan ya?”
“Sebenarnya… Malam itu aku ke rumah pacar aku,” jujur Sagara. “Aku ketemu orang tuanya dan pengen ngabisin waktu di sana sebentar sebelum aku menikah sama orang lain. Dan itu kamu, Sa. Karena gimana pun juga, aku pernah janji ke pacar aku kalau aku bakal nikahin dia. Tapi takdir berkata lain. Kami gak berjodoh.”
Angkasa kembali merasakan sensasi menganggu itu kala Sagara bercerita tentang Bumi. Sangat jelas bahwa Sagara amat mencintai Bumi hingga saat ini.
“Sepulang dari sana, aku mampir ke club. Jujur aja keputusan buat nikah bikin pikiran aku penuh, jadi aku minum-minum di club sampai pagi buta, terus cowok yang kamu lihat di apartemen aku itu nganterin aku pulang.” timpal Sagara, “Waktu itu aku juga ngasih tau dia kalau yang terjadi pagi itu udah jadi sesi making out terakhir aku sama dia sebelum aku nikah besoknya.”
“Kenapa, Mas? Padahal kamu masih bisa loh making out sama cowok lain pas udah nikah. Toh kita cuma nikah kontrak dan gak saling suka kan?” sela Angkasa.
Sagara menggeleng, “Dengan aku menikah, berarti aku juga bakal jadi CEO. Kalau aja aku ketahuan making out sama cowok lain atau dituduh selingkuhin kamu, bisa aja jabatan aku dicopot sebelum aku nemuin apa yang aku cari. Aku cuma mau fokus nyari tau akar masalah di hidup aku, Sa.”
Angkasa mengangguk paham lalu memaksakan senyum, “Lanjutin game-nya yuk. Sekarang giliran aku, Mas. Mau pilih yang mana?”
“Aku pilih dare.”
Angkasa menelan ludah saat dia melihat tulisan di kartu dare itu. Angkasa sebenarnya kaget, tapi dia tetap berusaha untuk tenang.
“Pilih truth aja, Mas.”
Sagara terkekeh, “Kok maksa?”
“Gak maksa, tapi serius deh. Kamu bakal nyesel kalau pilih dare,” kata Angkasa. “Ini aku baik loh udah ngasih kamu hint, Mas.”
“Aku tetep pilih dare.”
“Truth aja,” kata Angkasa sambil menyembunyikan kartu dare itu di belakang punggungnya. “Ya?”
Sagara yang curiga dengan sang suami pun memicing sebelum mencondongkan badannya ke arah Angkasa. Dia lalu berusaha merebut kartu yang Angkasa ingin sembunyikan itu hingga akhirnya berhasil dia dapatkan usai menggelitik pinggang sang suami; agar Angkasa menyerah.
Sampai saat Sagara telah melihat tulisan di kartu itu, dia seketika tertawa. Pasalnya, perintah yang ada di kartu itu adalah Sagara harus mencium orang yang ada di depannya sebelum memberi kalimat pujian untuk orang itu. Dan satu-satunya orang yang berada di sana adalah Angkasa.
“Mas, kamu baru aja minta maaf sama aku karena pernah nyium aku loh.” Desis Angkasa. “Masa kamu pengen nyium aku lagi?”
“Tapi kan sekarang kita lagi main game, Sa. Kita harus fair dong. Tunjukkin kalau jiwa kamu lakik!” Sagara membalikkan kalimat yang Angkasa ucapkan padanya sebelumnya itu sambil tertawa.
“Ya udah,” Angkasa pasrah lalu menutup matanya dengan alis saling bertautan tidak nyaman.
Sagara yang melihat hal itu pun tersenyum lalu mendekatkan wajahnya dengan sang suami. Satu tangan Sagara kemudian membelai pipi Angkasa sebelum dia mengecup kening suaminya.
Sadar bahwa Sagara sama sekali tak menyentuh bibirnya sontak membuat Angkasa membuka mata. Terlebih ketika Sagara masih setia mengusap lembut pipi kanannya dengan ibu jari sambil berkata, “Kamu cantik banget pas ketawa lepas kayak tadi, Sa. Kamu jangan nangis, cemberut, apalagi marah-marah yaa? Nanti cantiknya ilang loh.”
Angkasa berdeham lalu buru-buru menepis tangan Sagara dari wajahnya. “Mas, aku haus deh. Kamu pengen nitip minum gak?”
“Boleh, tolong ambilin bir kaleng yang ada di kulkas ya, Sa.” Kata Sagara yang dibalas anggukan pelan oleh Angkasa. Setelahnya, Angkasa pun bergegas ke dapur.
Sesampainya di dapur, Angkasa lantas duduk di kursi kitchen bar. Dia memijat keningnya beberapa saat sambil mencoba untuk mengumpulkan akal sehatnya. Namun, pada akhirnya, Angkasa merasa semakin hilang dan tak bisa menemukan jalan keluar. Kegelisahan kembali mendera Angkasa bersama kebimbangan.
Di satu sisi, Angkasa semakin merasa nyaman ketika Sagara berada di sekitarnya. Dia merasa lebih leluasa dan menjadi dirinya sendiri, terlebih ketika Sagara memberikan perhatian kecil dan memperlakukannya seperti orang yang sangat dekat dan mengerti dirinya—yang bahkan orang tuanya sangat jarang berikan. Angkasa merasa ada di rumah yang selama ini dia cari dan ingin dia huni sampai mati.
Namun, di sisi lain, ada sebuah tembok yang Angkasa rasa amat tinggi dan tak mampu dia gapai. Selain fakta bahwa semesta ini bukanlah dunianya, yang mana artinya dia dan Sagara akan tetap berpisah pada akhirnya, Angkasa juga berpikir bahwa sang suami belum selesai dengan masa lalunya; atau bahkan cintanya telah habis pada sosok Bumi.
Angkasa memang belum yakin dengan perasaannya sendiri, tapi rasa untuk tinggal lebih lama lagi dengan Sagara justru tiba-tiba menghantui. Entah karena dia menemukan sosok yang dia rasa seperti rumah, atau dia justru telah jatuh hati pada Sagara.