Masa Lalu

Sudah terhitung sepuluh hari sejak Angkasa mengurung diri dalam kamarnya seperti mayat hidup. Selama itu pula Sagara telah ditahan di balik jeruji besi. Rasanya separuh jiwa Angkasa telah hilang. Pun rasa bersalah yang kian membuatnya bimbang hingga Angkasa terpuruk seperti sekarang. Dia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ayahnya seolah melumpuhkan Angkasa dengan tidak membiarkan siapa pun menemuinya sementara, bahkan Chandra, sahabatnya. Ayahnya selalu beralasan bahwa Angkasa masih amat trauma usai insiden penculikan itu. Padahal, Angkasa tahu, Ayahnya hanya tak ingin dia meminta pertolongan untuk menyelamatkan Sagara.

Pun pada saat kedua mertuanya datang dan meminta agar Ayah mau menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan, tanpa melibatkan polisi, Angkasa hanya bisa mendengar Mami menangis tersedu-sedu dari luar kamar. Angkasa juga hanya mampu menangis dalam diam karena Ayahnya tak mengizinkannya untuk bertemu Mami dan Papi, apalagi membebaskan Sagara.

Diisolasi dari dunia luar seperti saat ini jelas membuat Angkasa semakin frustasi dan beberapa kali berpikir untuk bunuh diri. Tapi ketika niat itu datang lagi, Angkasa kembali teringat akan pesan sang suami. Sagara selalu memberitahunya agar Angkasa tak pernah lagi berpikir untuk mati. Dan Angkasa pun percaya, bahwa akan ada jalan untuknya bisa menyelamatkan Sagara dari tuduhan palsu Ayah setelah ini; meski Angkasa tak tahu kapan.

Satu-satunya pengusir sepi Angkasa di dalam kamarnya hanyalah iPad pemberian sang Ayah, dimana Angkasa hanya diizinkan untuk menggambar. Sebab, jika Angkasa berani menggunakannya untuk angkat bicara, Angkasa khawatir sang Ayah akan melakukan hal yang lebih gila kepada suaminya.

Miris rasanya, pikir Angkasa. Sebab sang Ayah yang dulunya sangat menentang cita-citanya menjadi designer kini justru memaksanya mengusir sepi dan rasa bersalahnya dengan hobi sekaligus profesi yang ia cintai. Hal itu pula yang perlahan buat Angkasa tidak bisa menggambar sketsa secara utuh lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Sebab, dia tidak melakukannya dari hati. Alhasil, seluruh sketsa yang beberapa hari terakhir Angkasa coba buat selalu berujung tak selesai. Seperti sekarang, dimana dia tidak sanggup lagi bahkan untuk sekedar menarik garis.

“Kenapa makan siangnya belum dimakan?” Angkasa tersadar dari lamunan yang entah sejak kapan menghipnotisnya. Dia menoleh, mendapati sang Ayah masuk ke kamarnya sebelum berakhir duduk di tepi ranjangnya. “Kamu masih mikirin suami kamu itu?”

Angkasa menghela napas pelan lalu menunduk, memandangi iPad yang sedang dipangkunya. “Gimana kabar Mas Sagara, Yah?”

“Besok lusa dia bakalan disidang, dan kamu harus datang ngasih kesaksian buat nguatin bukti kalau emang Sagara pelakunya.”

Angkasa beralih menatap Ayah dengan tatapan kosong, “Kalau aku gak datang, gimana, Yah?”

“Jangan pernah berpikir buat gak datang,” tegas sang Ayah seperti sebuah perintah. “Ayah bisa bikin dia makin menderita kalau kamu gak nurut kata Ayah, Sa. Setelah dia cukup menderita, Ayah juga bisa bikin Sagara mati di penjara.”

“Ayah belum puas ngancam aku supaya ngasih kesaksian palsu hari itu? Ayah tau gak gimana tersiksanya aku?” kata Angkasa dengan mata yang berkaca-kaca, “Apa yang Ayah bilang ke orang-orang yang pengen ketemu sama aku bener kok. Aku emang masih trauma, bukan karena Mas Gara, tapi karena Ayah. Karena Ayah yang udah nyulik aku terus minta aku ngorbanin suamiku sendiri.”

“Jadi kamu mau ngorbanin Ayah kamu sendiri demi laki-laki yang baru kamu kenal beberapa bulan itu? Iya?” Sela Ayah, “Kamu baik-baik aja kalau Ayah yang selalu menderita karena keluarganya?”

Angkasa mengusap kasar air mata di pipinya lalu menatap pria paruh baya di hadapannya lamat-lamat, “Oke, aku siap kok datang ke sidang besok. Asalkan Ayah mau jelasin semuanya ke aku kenapa Ayah benci banget sama Opa dan anak cucunya. Waktu itu Ayah juga janji kan bakal jelasin semuanya ke aku?”

Ayah menarik napasnya dalam-dalam sejenak, “Ceritanya bakal panjang, tapi Ayah harus ceritain semuanya dari awal sama kamu.”

“Gak apa-apa. Asa dengerin.”

“Opa sama Oma kamu itu bukan orang tua kandung Ayah, mereka ngadopsi Ayah dari panti asuhan pas Ayah umur delapan tahun. Gak lama setelah Mama sama Papa kandung Ayah meninggal...”

Angkasa menyadari raut wajah sang Ayah menjadi sendu. Dan ini menjadi kali pertama Angkasa melihat Ayahnya begitu rapuh.

“Mama sama Papa kandung Ayah meninggal gara-gara kecelakaan. Mereka berdua ditabrak pas mau jemput Ayah yang waktu itu lagi di rumah teman Kakek kandung kamu itu, mereka titipin Ayah di sana, karena Kakek sama Nenek kandung kamu kerja di pabrik,” timpal si paruh baya, membuat Angkasa lantas menahan napas.

“Pabrik kemarin tempat Ayah nyekap aku?” Sela Angkasa dan dibalas anggukan oleh Ayah. “Terus yang nabrak mereka…”

“Iya, Atmodjo,” Ayah seolah telah tahu bahwa Angkasa kini mulai menemukan benang merah atas dendamnya pada Atmodjo. “Dia yang nabrak motor Kakek kamu sampai Kakek dan Nenek kamu terseret jauh sebelum meninggal dunia. Dan Ayah melihat kejadian itu di depan mata Ayah, Sa. Ayah lihat gimana Atmodjo keluar dari mobilnya dan lari karena panik.”

“Setelah Papa sama Mama Ayah dinyatakan meninggal, orang suruhan Atmodjo datang sambil memberi uang bela sungkawa, tapi waktu itu Ayah gak tau kalau itu ternyata uang tutup mulut.” Lanjut Ayah, “Dan yang nerima uang itu temen Kakek kandung kamu. Mereka ngasih kesaksian palsu kalau yang nabrak Papa sama Mama Ayah itu supirnya, bukan Atmodjo. Setelah Ayah lihat wajah supir itu masuk ke TV, Ayah coba buat bilang kalau bukan orang itu yang nabrak Papa sama Mama Ayah, tapi temen Kakek kamu yang waktu itu secara gak langsung udah jadi wali Ayah, marah, sampai Ayah diancam mau dibunuh kalau aja Ayah berani macam-macam. Gak lama setelahnya, temen Kakek kamu dan istrinya itu bawa Ayah ke panti asuhan di Jakarta. Di sana juga Ayah ketemu Oma dan Opa kamu sebelum Ayah dibawa ke London, ikut sama mereka.”

Kedua tangan Angkasa bergetar hebat mendengar cerita masa lalu sang Ayah, termasuk dosa Opa yang membuat Ayahnya itu menyimpan dendam. Sekarang Angkasa bisa mengerti alasan di balik sikap tempramental sang Ayah. Tumbuh di lingkungan yang bahkan menggampangkan ancaman pembunuhan jelas amat memengaruhi sikap Ayah. Pria paruh baya itu juga punya trauma yang sayangnya tidak disembuhkan dengan semestinya

“Tapi kenapa Ayah dititipin ke temen Kakek? Emang orang tua Kakek sama Nenek di mana?” Tanya Angkasa, suaranya lirih.

“Kakek sama Nenek kamu itu juga yatim piatu, mereka berdua ketemu di panti asuhan sebelum akhirnya bisa sekolah dan cari kerja bareng sampai akhirnya menikah.” Sahut Ayah, “Mereka nggak punya siapa-siapa selain Ayah, gitu juga sama Ayah dulu.”

Angkasa menunduk sejenak, tak sanggup melihat Ayahnya tiba-tiba mengusap matanya yang berair. Lagi, baru kali ini Angkasa melihat sisi rapuh Ayah yang lain.

“Aku ngerti kok gimana sakitnya Ayah,” Angkasa menggigit bibir bawahnya sejenak guna menahan tangis. “Tapi kenapa Ayah harus berbuat sejauh ini? Kenapa Ayah sampai nargetin orang tua Mas Sagara, Mas Bumi, bahkan Mas Sagara sendiri yang gak tau apa-apa? Kenapa Ayah bunuh Mami kandung Mas Sagara sama Mas Bumi?” Tanya Angkasa bertubi-tubi lalu mengusap wajahnya kasar. Kini dia semakin frustasi.

“Awalnya Ayah pengen bunuh Papi Sagara dalam kecelakaan itu, karena dia anak kebanggaan Atmodjo. Bukan tanpa sebab, tapi Papinya Sagara pinter, jadi kalau dia yang jadi petinggi di sana, dia pasti bakal bikin Atmodjo Group makin maju. Dan susah juga buat Ayah ngehancurin nama mereka.” Jelas Ayah, “Sedangkan Papanya Bintang emang udah blangsak dan iri ke kakaknya sejak dulu. Ayah tau itu. Makanya Ayah gak akan khawatir kalau dia yang jadi CEO. Seperti kemarin, dia rela pakai cara licik dengan gelapin dana pembangunan di Kampung Mawar cuma buat dipandang lebih tinggi dari Papinya Sagara.”

“Tapi ternyata yang mati dalam kecelakaan itu cuma Maminya Sagara. Sebenernya itu nggak sesuai rencana Ayah. Untungnya pas abis kecelakaan itu, Papinya Sagara batal buat jadi CEO baru.”

“Alasan Ayah bikin pacar Sagara waktu itu kecelakaan sampai mati juga gak jauh berbeda. Ayah tau Sagara itu lebih pinter dari Bintang, dan waktu itu Sagara udah punya pacar duluan. Ayah tau, Atmodjo bikin persyaratan kalau cucunya yang lebih dulu nikah yang bakal jadi CEO buat gantiin Papanya Bintang.” Ayah menghela napas, “Makanya Ayah bunuh Bumi, supaya Sagara gak nikah sama dia. Dan Ayah bisa ngejodohin kalian supaya Ayah bisa masuk ke keluarga Atmodjo.”

“Mungkin bagi kamu Ayah egois dan mikir kalau Ayah ngelakuin ini semua cuma demi membalas dendam Ayah sampai manfaatin kamu,” si paruh baya menatap Angkasa lamat-lamat. “Ayah minta maaf…” Untuk pertama kalinya kalimat itu terucap dari bibir Ayah, buat Angkasa diam.

“Tapi kayak yang Ayah selalu bilang sama kamu sejak awal, waktu kamu udah nikah sama Sagara, Ayah juga mikirin kamu. Ayah pengen kamu dipandang baik di keluarga itu supaya kamu juga bisa punya relasi yang luas dengan kolega mereka yang gak cuma dari dalam negeri,” lanjut Ayah. “Andai aja kamu gak jatuh cinta sedalam ini sama Sagara, Ayah cuma perlu bikin kalian pisah setelah suami kamu itu jadi CEO, supaya semua mata naruh simpati ke kamu yang dinikahi cuma buat dapetin jabatan itu. Ayah pengen bikin kamu dapet dukungan dari publik termasuk kolega mereka, yang juga bisa bikin karir kamu semakin naik, sementara nama baik Sagara dan keluarga Atmodjo bakal hancur.”

Angkasa tidak mampu lagi untuk bersuara. Dia menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangannya sambil menahan isakan. Si paruh baya yang melihatnya menghela napas sebelum kembali bersuara.

“Ayah tau Ayah bukan orang tua yang baik untuk kamu, Sa. Sejak kamu masih kecil, Ayah selalu aja takut ngebiarin kamu ngelakuin hal yang kamu pengen dan sukai karena Ayah gak mau lihat kamu gagal atau kesulitan sampai jadi orang gak berguna kayak Ayah,” tutur Ayah. “Abis sidang besok, kamu cuma perlu minta cerai sama Sagara. Ayah janji, akan biarin kamu ngelanjutin hidup kamu dengan baik dan sesuai pilihan kamu setelahnya. Ya?”

Angkasa masih tidak menjawab. Hanya isakan yang mampu dia bebaskan dari celah bibirnya.

“Kamu pantas dapetin laki-laki yang lebih baik dari Sagara, Sa.” kata Ayah lalu mengusap puncak kepala Angkasa. “Jangan nangis.”

Ayah merogoh saku celananya. Mengeluarkan gawai Angkasa yang sudah sepuluh hari berada di tangannya. Ayah meletakkan gawai itu di depan Angkasa lalu berkata, “Ini, Ayah kembaliin HP kamu. Semua kontak keluarga Sagara udah Ayah blokir, jangan coba-coba buat kabarin mereka.”

Si pria paruh baya kemudian berdiri dari tempat tidur sang anak sebelum melenggang pergi dari kamar. Sedangkan, Angkasa yang masih berusaha meredam tangisnya pun kembali menatap iPad di pangkuannya, menekan salah satu opsi di sana sebelum memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya itu.