Hujan

Tito sebenarnya sangat malas untuk hadir di acara yang mana mengharuskannya ‘tuk bertemu banyak orang . Jika bukan karena Derry, sepupunya sendiri, yang memohon agar dia datang, maka Tito mungkin tak akan hadir di rumah Tantenya seperti saat ini.

Acara lamaran Derry tak terlalu meriah dan mewah, sebab sang sepupu sendiri menginginkan konsep intimate untuk lamaran. Hanya sanak saudara juga orang-orang terdekat saja yang hadir di sana; termasuk Jepi, Sastra dan orang tua mereka. Meski begitu, Tito tetap saja merasa ingin cepat-cepat pergi dari sana. Tito merasa ia seperti sedang ada di penjara, terlebih saat beberapa sanak saudara juga tetangga orang tuanya yang juga turut hadir di sana kerap bertanya tentang hal-hal pribadinya.

“Tito kenapa gak kerja di kantor Papanya aja? Apa gak sayang udah kuliah mahal-mahal, tapi malah jadi pedagang dimsum?”

Entah sudah berapa kali Tito mendengarkan pertanyaan itu. Padahal sudah empat tahun sejak Tito menjalankan bisnis dimsum hingga kini warungnya sudah semakin besar dan dikenal oleh banyak orang. Namun, beberapa sanak saudara juga tetangganya masih berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu bukanlah sebuah profesi yang bisa dibanggakan.

Tito sudah terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang. Alhasil, ia hanya memberi respon senyum tipis lalu berpura-pura menyibukkan diri dengan gawai di tangannya.

Sayangnya, hal itu lantas tidak membuat mulut-mulut penuh tanya di sana menjadi diam. Seperti sekarang, Tito bisa mendengar bagaimana beberapa orang berbisik-bisik di belakang tubuhnya, yang Tito jelas tahu bahwa mereka menggunjingnya.

“Anak-anak jaman sekarang pada kenapa ya? Udah dikuliahin sama orang tua, pas lulus malah jualan. Kalau pengen jualan doang mah, gak kuliah juga bisa.” Kata salah satu wanita paruh baya yang kemudian ditimpali oleh wanita paruh baya lain yang ada di sana.

“Iya, itu si Tito Papanya padahal punya bisnis arsitektur, dia pas kuliah juga kayaknya ngambil jurusan arsitektur, lah sekarang malah jualan dimsum.” Katanya diikuti tawa yang jelas ditahan.

“Anaknya Bu Elen juga gitu tuh. Si Jepi. Kuliah di ITB, tapi pas lulus malah jualan jus. Untung adeknya gak ikut-ikutan jualan. Si Sastra itu kerjaannya bagus.”

“Nah pinter dia. Entar jodohnya pasti kerjaannya bagus juga, kek Derry. Dia bisa dapetin cowok sukses karena dia juga sukses, kerjanya bagus, di kantor gede.”

Tito mendengar semuanya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menanggapi. Diam adalah kunci agar setelah ini dia hanya perlu pergi dan tak akan kembali lagi. Sebab, untuk berharap mendapat dukungan dari orang tuanya pun hanyalah bunga mimpi. Papa dan Mama Tito jelas mendengarkan semua pertanyaan-pertanyaan bernada menjatuhkan itu sedari tadi, namun mereka seolah tidak peduli, bahkan mungkin sengaja membiarkan orang-orang yang ada di sana untuk mengusiknya agar Tito berubah pikiran.

Bukan rahasia lagi jika Papa dan Mamanya sangat menentang jalan yang Tito pilih. Banyak hal yang telah orang tuanya itu coba lakukan agar Tito menyerah dan mengubur niatnya menjalankan bisnis dimsum. Mulai dari Papa yang menarik paksa mobil yang awalnya diberikan kepada Tito, hingga ada satu waktu dimana Mamanya tak lagi memanggil Tito untuk makan bersama di meja makan. Alhasil, Tito sampai pada keputusan dimana dia akan menyewa ruko yang sekaligus akan menjadi tempat tinggal barunya. Beruntung, Opa Tito mau membantunya dengan memberi pinjaman uang yang cukup menjadi modal sekaligus bayaran awal ruko yang ia sewa.

Selagi Tito mencoba pura-pura tuli dan bodo amat, ia justru dibuat kaget saat seseorang tiba-tiba menyenggol tubuhnya. Saat itu pula Tito mendapati jas yang ia pakai telah basah. Mendongak, Tito lantas mendapati bahwa orang yang baru saja menubruk tubuhnya adalah Jepi, membuat minuman yang Jepi bawa tumpah dan membasahi sebagian jasnya.

Sorry,” Jepi mendesis. “Mau gue temenin ke kamar mandi gak?”

“Gak perlu,” sahut Tito dengan wajah dan nada suara yang datar sebelum melenggang ke toilet rumah Derry, meninggalkan keramaian yang berlangsung di ruang tengah kediaman itu.

Tanpa Tito sadari, Jepi nyatanya ikut dan mengekorinya. Namun, Jepi hanya menunggu Tito tepat di depan pintu toilet. Tak lama berselang, Tito pun keluar dari sana sambil menenteng jasnya hingga tatapannya dan Jepi berjumpa. Wajah Tito tertekuk, amarah terlihat di raut wajahnya.

“Minggir,” kata Tito ketus, sebab Jepi tiba-tiba menghadangnya.

“Lo marah sama gue?” tanya Jepi, sedang Tito hanya mendengus lalu mencoba mendorong tubuh bongsor Jepi yang menahannya.

“Gue males berantem sama lo.”

“Emang siapa yang ngajakin lo berantem?” Decak Jepi. “Lo tuh harusnya bilang makasih ke gue, tau gak? Kalau aja tadi gue gak sengaja numpahin minuman ke jas lo, pasti sekarang lo masih berdiri kek orang bego sambil dengerin Ibu-ibu tadi gibahin lo.”

Tito mengeraskan rahangnya sambil menatap tajam ke arah netra madu Jepi. “Gue enggak minta dan gak butuh bantuan lo.”

Jepi menganga sesaat dengan tampang tak percaya. “Gue pikir lo udah berubah, tapi ternyata lo masih kayak gini ya? Lo selalu ngerasa gak butuh siapa-siapa, ngerasa lo paling bisa berdiri di atas kaki lo sendiri. Lo manusia bukan sih, To? Lo pikir lo bisa hidup tanpa orang lain? Hah?”

“Kenapa jadi lo yang marah sih?” Tito mendelik tajam, “Harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jas gue basah kayak gini.”

Jepi menghela napasnya kasar, sementara Tito buru-buru pergi dari sana saat Jepi tidak lagi menahannya. Tito kembali ke tengah-tengah acara lamaran yang sudah hampir selesai. Namun, Tito yang sudah tidak tahan lagi untuk tetap di sana lantas meminta izin kepada Om dan Tantenya bahwa ia harus segera pulang. Tito pun sempat melambaikan tangannya kepada sang sepupu, yang masih sibuk berfoto-foto ria dengan calon suaminya, mengisyaratkan kalau dirinya harus pergi saat itu juga.

Sayangnya, ketika Tito berhasil keluar dari rumah Derry, air langit justru berlomba-lomba menjatuhi bumi. Sangat deras hingga Tito yang kini tak lagi mengenakan jas merasa cukup kedinginan. Belum lagi tak ada satupun supir taksi online yang menerima orderannya. Ingin meminta tolong Sastra untuk mengantarnya pulang ke warung pun rasanya sudah sungkan. Tito merasa sudah terlampau sering merepotkan yang lebih muda.

“Kenapa? Orderan lo di-cancel sama driver ojol?” Tito terkejut saat suara itu terdengar tepat di belakang telinganya. Tanpa Tito harus menoleh pun, ia telah tau bahwa Jepi lah yang bersuara.

Jepi kemudian berdiri di samping Tito sambil melipat lengan, “Gue mau balik ke warung. Mau ikut?”

“Naik apa?”

“Naik anjing,” ucap Jepi dengan tampang malas. “Ya naik mobil.”

“Tapi kan semalem lo gak bawa mobil,” Tito mengernyit heran.

“Yang bilang gua bakalan make mobil gue siapa? Mobil Sastra, entar biar dia ambil di warung. Gimana? Lo mau ikut apa gak?”

Meski Tito masih merasa kesal pada Jepi, tapi dia tak ada pilihan lain lagi saat ini. “Iya, gue ikut.”

“Ngomong yang bener,” decak Jepi. “Coba lo bilang gini, Kak Jepi, aku mau ikut, boleh gak?”

“Kakak mata lu.”

“Lah kan gue emang lebih tua dari lo. Gue lahirnya Februari, kalau lo baru lahir pas Juli.” kata Jepi. “Cepetan. Gue buru-buru.”

Helaan napas pasrah dibebaskan oleh Tito. Ia menatap Jepi datar sesaat sebelum bersuara, “Kak Jepi, aku mau ikut, boleh gak?”

Jepi tertawa puas. Ia benar-benar menikmati bagaimana pasrahnya Tito hingga lelaki yang biasanya batu itu menurut.

“Ya udah lo tunggu di sini bentar, gue ambil mobil si Sastra dulu.”

Tito mengangguk kecil sambil memerhatikan Jepi yang kini memayungi dirinya sendiri dengan jas dan berlari keluar dari halaman rumah Derry. Sampai tak lama berselang, Jepi akhirnya kembali, membawa mobil Sastra. Ia menjemput Tito tepat di depan rumah Derry, membuat Tito tak perlu ikut menembus hujan. Tito kemudian masuk dan duduk di sebelah Jepi yang memegang kendali setir.

Ketika mobil Sastra yang kini Jepi kemudikan telah meninggalkan area rumah Derry, keheningan justru tercipta di antara Jepi dan Tito. Hanya suara AC mobil yang jadi penghilang sunyi di sana.

“Gue minta maaf… Soal yang tadi,” Jepi akhirnya buka suara.

Tito melirik Jepi lalu tersenyum meledek, “Geli banget dah gue dengerin elo minta maaf, Jep.”

“Terus lo pengen gue ngapain? Tadi aja lo kesel,” decak Jepi.

Tito tersenyum tipis sebelum kembali membuang muka ke arah jendela. Ia menatap kosong ke arah jalanan yang nyaris tak bisa terlihat karena derasnya air hujan. “Makasih banyak ya, Jep.”

Jepi yang paham maksud Tito mengangguk pelan lalu melirik sekilas ke arah Tito, “Gitu dong.”

Tito menghela napas. Entah sudah yang keberapa kali ia menghembuskan napas berat yang mengindikasikan rasa lelah.

“Enak banget ya jadi lo, Jep.” Tito bergumam pelan, masih sambil menatap kosong ke luar jendela mobil. “Lo tetep bisa ngelakuin apa yang lo suka, mana orang tua lo ngedukung. Jadi kalaupun ada yang ngejelekin pilihan hidup lo, you won’t even care. Soalnya ada orang tua lo yang nge-support.”

“Mau nyoba jadi gue sehari gak?” Kekeh Jepi. “Tetep ada enggak enaknya juga kok. Walaupun orang tua gue supportive, tapi mereka juga masih suka nanya, gue nyesel gak banting setir jadi tukang jus? Bahkan kadang gue ngerasa gak enak hati tiap kali orang tua gue muji adek gue...”

“Soalnya gue ngerasa belum bisa bikin mereka bangga kayak yang Sastra lakuin.” Timpal Jepi lalu melirik Tito sekilas, “Apalagi pas temen kantor Ayah gue dateng, terus ngobrol sama Sastra. Gue berasa diasingin. Gak dianggap. Dikira tukang jus gak paham alur cash flow juga kali yak? Heran.”

“Tapi bodo amat lah,” kekeh Jepi. “Gue lebih nyaman punya bisnis gini. Gue gak cocok jadi anak buah, gue pengennya jadi bos.”

Tito ikut terkekeh, buat Jepi kembali meliriknya sekilas sambil tersenyum lega. Sebab, wajah Tito yang tadi muram seperti langit Ibukota yang membawa hujan akhirnya perlahan cerah.

“Jep.”

“Mhm?”

“Semalem Bintara ngechat gue...” Tito menatap Jepi lamat-lamat meski kakak dari Sastra itu tetap fokus ke jalan di depan mereka. “Kayaknya dia naksir si Sastra.”

“Lah? Dia tau Sastra dari mana?”

“Gak sengaja ketemu di warung gue, terus katanya dia pengen ngenalin adek lo lebih jauh.” kata Tito lalu menyandarkan kepala di jendela mobil, “Selamat bersaing sama adek lo sendiri dah, Jep.”

“Lo juga bersaing sama si Sastra berarti,” Jepi menyeringai tipis.

“Gak. Gue udah gak mau deketin Bintara,” Tito tertawa hambar. “Selera dia pasti tinggi, bukan tukang dimsum kayak gue. Dia pantes dapet cowok yang setara.”

“Ini lo bilang gini supaya gue juga ikutan insecure?” Jepi memicing, “Lo licik juga ya. Gak mau kalah sendiri. Mau gue nyerah juga?”

“Apaan sih?” Tito mendengus, “Lo kalau ngerasa pantes buat dia, ya lanjutin aja. Mana tau si Bintara malah nerima lo kan? Kalau gue emang udah angkat tangan. Gue ngerasa gak pantes. Gue juga gak mau kalau nantinya gue cuma bikin dia malu. Gue aja gak bisa ngebela diri gue sendiri, gimana gue bisa ngebelain dia?”

“Ah, cupu lo.” Ledek Jepi, “Gue sebenernya penasaran doang sih sama si Bintara. Apalagi dadanya tuh padet banget, enak diken—”

Jepi memekik keras ketika lengan kirinya tiba-tiba dicubit oleh Tito. Cubitan kecil itu sukses menimbulkan sensasi perih dan nyeri, buat Jepi mendesis pelan.

“Lo kok nyubit gue sih, Tot?”

Tito mendelik, “Bisa nggak sih sehari aja lo gak mikir mesum?”

“Gue bercanda doang, anjir. Elo nyubitnya gak ada bercandanya.”

Tito geleng-geleng kepala lalu kembali menyamankan posisi dengan menyandarkan kepala di jendela mobil. Dia kemudian memejamkan mata lalu berkata.

“Bangunin gue kalau udah nyampe di warung ya, Jep.”

“Mm,” gumam Jepi.

Perjalanan Tito dan Jepi menuju warung mereka pun berlanjut dengan Tito yang kini telah berlabuh ke alam mimpi, sedang Jepi masih fokus menyetir. Jepi sesekali melirik Tito saat lelaki di sampingnya itu melenguh dalam tidurnya. Melihat wajah damai Tito membuat Jepi merasa tak tega jika tidur Tito terganggu.

Alhasil, saat mereka telah tiba di tempat tujuan, lebih tepatnya di depan warung Tito, Jepi justru tidak membangunkannya. Jepi hanya mematikan mesin mobil lalu melipat lengannya sendiri di atas setir dan menjadikannya bantal. Kepala Jepi menoleh ke arah Tito yang masih setia di alam mimpi, membuatnya bisa leluasa mengamati lekukan wajah Tito yang menurutnya cantik. Dan ini bukan pertama kalinya Jepi memuji paras Tito. Dia selalu mengagumi keindahan Tito sejak di bangku SMA, namun ia terlalu gengsi untuk mengutarakannya.

Lambat laun, tatapan memuja Jepi pada wajah rupawan Tito lantas terfokus pada bibir Tito. Bibir merah muda dan nampak segar itu merekah, membuat Jepi diam-diam menelan ludah. Entah sudah berapa kali Jepi berpikir untuk mencicipi bibir sehat itu, terlebih saat Tito mengomelinya. Jepi ingin, sekali saja, mencoba untuk membungkam ocehan Tito dengan ciuman. Tapi dia siapa? Memangnya mereka apa? Jepi tidak punya alasan untuk melakukan hal itu pada lelaki yang bahkan tak ingin dipanggil teman olehnya. Tito sangat membencinya, yang anehnya justru sangat Jepi nikmati dan memicu semangatnya ‘tuk terus menggoda dan mengganggu Tito hingga kini mereka telah dewasa.

Jepi selama ini mampu menahan hasratnya. Namun, kali ini, Jepi memutuskan untuk mengikuti intrusive thought-nya. Perlahan, Jepi mendekatkan wajahnya ke arah Tito. Ia persempit jarak di antara mereka hingga Jepi bisa merasakan hembusan napas tenang Tito. Di detik berikutnya, satu kecupan lembut nan ringan pun berhasil mendarat di bibir tipis Tito dan bertahan di sana selama beberapa saat sebelum Jepi buru-buru menjauhkan wajahnya. Jantung Jepi berdetak kencang, tak karuan. Posisinya saat ini pun telah kembali duduk tegak. Jepi takut andai saja Tito terbangun karena ulahnya itu.

Berdeham pelan guna mengusir rasa gugupnya, Jepi justru dibuat kaget saat Tito membuka mata. Nampak Tito agak terusik karena suaranya. Jepi gelagapan, tapi dia berusaha tetap terlihat tenang.

“Gue baru aja mau bangunin lo.”

Tito mengangguk, “Makasih.”

Jepi menggigit bibir bawahnya melihat Tito kini bersiap-siap untuk turun dari mobil. Ingin sekali ia mengatakan sesuatu, namun lidahnya kelu. Alhasil, Jepi hanya mampu memandangi Tito yang telah meninggalkan mobil dan masuk ke warung.