Suspicious
Bina dan Sandy telah tiba di kediaman sang sepupu yang kemudian langsung dijamu oleh Baskara juga Harith—yang turut meramaikan—di ruang tamu. Tak lama berselang, Tara yang sedari tadi sibuk menyiapkan makan siang untuk sepupunya di meja makan dan dibantu oleh Ersya pun akhirnya menyusul ke ruang tamu. Sontak Tara mendekap erat Bina saat mereka berjumpa kembali setelah hampir setahun lamanya hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat WhatsApp. Bina yang berprofesi sebagai model dan kini telah membentangkan sayapnya ke ranah internasional pun harus bolak-balik ke luar negeri untuk pemotretan hingga berjalan di atas catwalk untuk acara-acara fashion ternama. Belum lagi usaha parfum yang dibangunnya pun semakin dikenal hingga tak jarang ketika Bina kembali ke Indonesia, hal pertama yang dia lakukan adalah mengunjungi store parfumnya terlebih dahulu.
Namun, kali ini berbeda, Bina datang ke Indonesia tak sekedar untuk melepas rindu dengan orang tua dan sanak saudaranya, termasuk Tara. Bukan pula untuk mendatangi store-nya semata. Bina datang bersama niat baik kekasihnya yang ingin melamar dan menikahinya di depan kedua orang tuanya secara langsung. Setelah sang pacar melamarnya di depan Ayah dan Bunda-nya kemarin, kini Bina pun ingin memperkenalkan Sandy kepada sang kakak sepupu juga iparnya.
“Bin, kenalin ini Ersya. Tetangga aku. Dia seumuran sama kamu,” Tara memperkenalkan Ersya ke Bina usai berpelukan dengan sepupunya itu. “Sya, ini adik sepupu aku. Namanya Bina.”
“Halo, Ersya. Nice to meet you.”
Bina menyapa Ersya dengan senyum manisnya. Dia lalu menoleh ke sang calon suami dan menarik lengannya agar Sandy berdiri di sisinya, “Oh iya, kenalin ini Sandy, calon suami aku. Mas Tara udah kenal, tapi baru kali ini ketemu langsung.”
“Akhirnya kita ketemu juga ya, San.” kata Tara sambil menjabat tangan Sandy, “Selamat ya, kamu udah bikin Ayah Bundanya Bina percayain anaknya ini ke kamu.”
“Makasih, Mas. Aku seneng bisa ketemu sama Mas Tara,” Sandy kemudian melirik Ersya. “Hai?”
Ersya menjulurkan tangannya ke arah Sandy, “Aku Ersya, salam kenal. Aku tetangga Mas Tara.”
Sandy terlihat kebingungan. Seperti ada frasa yang ingin keluar dari celah bibirnya, tapi pada akhirnya dia hanya diam dan menjabat tangan Ersya.
“Gimana, Tar? Makan siangnya udah siap belum?” Baskara tiba-tiba berceletuk. “Bina sama Sandy pasti udah laper tuh.”
“Udah kok. Yuk, Bin, San, kita makan siang dulu. Aku udah masak banyak buat kalian.”
Bina tersenyum lalu kembali memeluk Tara dari samping, sedikit bergumam manja pada kakak sepupunya itu, seperti kebiasaannya saat masih kecil dulu. “Ayo, aku udah kangen masakan kamu banget, Mas.”
“Bin, itu ada calon suami kamu loh. Kok malah peluk-peluk suami aku sih?” Protes Baskara.
“Emang kenapa? Sandy nggak cemburuan kok, gak kayak Mas Bas.” Bina menjulurkan lidahnya mengejek ke arah Baskara lalu menuntun Tara agar segera bergegas meninggalkan ruang tamu. Sementara itu Baskara hanya geleng-geleng kepala lalu mempersilakan Sandy, Harith juga Ersya agar menyusul ke ruang makan. Namun, kedua alis Baskara saling bertaut ketika dia melihat Ersya yang biasanya sangat banyak tingkah dan bicara justru terlihat lebih tenang bahkan pendiam saat ini.
“Kamu kenapa, Sya?” Tanya Baskara saat berjalan di sisi Ersya menuju ruang makan, “Kamu juga cemburu ngeliat Bina manja banget ke temen curhat kamu?” kekeh Baskara, sebab dia tahu Ersya juga dekat dengan Tara.
“Gak kok, Mas.” Ersya cengar-cengir, namun Baskara entah kenapa semakin merasa bahwa ada yang aneh dengan suami Harith itu. Harith sendiri ikut memandangi Ersya yang juga tidak seperti biasanya sambil sesekali bertanya apa suaminya itu baik-baik saja. Namun, Ersya tetap memberi jawab yang sama.
Ketika mereka berenam telah tiba di meja makan dan mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan, Bina dan Tara lantas berbagi cerita, khususnya Bina yang berkeluh-kesah pada kakak sepupunya tentang kehidupan yang dia jalani di negeri orang satu tahun belakangan. Harith juga Baskara sesekali ikut dalam percakapan mereka. Di tengah percakapan yang terus tumbuh hingga menjalar ke beberapa topik menarik itu, ada sebuah awan hitam yang justru tengah menyelimuti Ersya dan Sandy. Keduanya sesekali tertawa kala percakapan di meja makan itu diselingi dengan humor yang kebanyakan dilontarkan oleh Baskara, tapi tawa mereka tak bisa menutupi kecanggungan yang sialnya Baskara perhatikan.
“Oh iya, San. Aku denger dari Bina, katanya kamu pernah sekolah di Korea ya?” Tanya Baskara yang sengaja ingin memancing Sandy juga Ersya agar lebih aktif berbincang.
“Iya, Mas. Aku sekolah di Korea pas SMA. Kebetulan Papaku sempet kerja di perusahaan Korea terus ditempatin di sana tiga tahun, abis itu pindah ke Indonesia lagi pas aku lulus.”
“Loh, sama dong kayak Ersya? Dia juga SMA-nya di Korea,” sahut Harith, “Iya kan, babe?”
“Iya,” Ersya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Tapi Korea luas banget, Kak.”
“Eh serius? Baru tau loh, aku.” Baskara menatap Ersya dengan raut tak percaya. “Tau gitu, aku minta diajarin bakor sama kamu, Sya. Biar si Tara kalo lagi nonton drakor nggak ngomong sendiri.”
Bina tertawa, “Emang Mas Tara ngomong apa aja biasanya, Mas?”
“Dia tuh kadang nyeletuk, ‘omo!’ atau gak ‘shibal saekkiya!’ gitu.”
“Aku gak ngomong gitu ya,” Tara memberi perlawanan, “Ngaco.”
“Kamu mana sadar kalau udah keasikan nonton, Tar. Mau aku videoin besok-besok?” Baskara meledek suaminya, sedangkan yang diperlukan demikian hanya memutar bola matanya malas.
“Eh ayo dong Ersya sama Sandy ngomong pake bakor,” Baskara menatap keduanya bergantian.
“Aku gak terlalu bisa bakor, Mas. Soalnya, dulu aku sekolahnya di Internasional School,” kata Ersya.
“Eh, tapi Sandy juga sekolah di Internasional School loh. Kamu di mana sekolahnya, Sya?” Bina menatap Ersya dengan sorot mata antusias dan penasaran.
Namun, hal sebaliknya justru menimpa Ersya. Sebab, dia benar-benar ingin menghindari pertanyaan itu. Beruntung, saat Ersya mencoba mencari jawaban yang tepat, gawai di saku celana jeans-nya tiba-tiba berdering. Buru-buru Ersya meraihnya lalu meminta izin untuk menjawab panggilan itu terlebih dahulu di luar ruang makan. Saat itu pula Ersya akhirnya bisa bernapas lega. Meskipun panggilan yang dia terima itu datang dari client yang meminta agar video endorse buatan Ersya direvisi, namun Ersya tidak merasa terbebani sama sekali. Justru Ersya lebih mengkhawatirkan tentang hal-hal yang akan dia hadapi di meja makan saat dia kembali nanti.
Alhasil, setelah berpikir panjang, Ersya pun kembali ke ruang makan dan duduk di kursinya seperti semula. Dan benar saja, Ersya disambut dengan tanya oleh Tara yang penasaran akan siapa sosok yang menelponnya.
“Client aku yang nelpon, Mas. Dia minta aku revisi video endorse,” Ersya mendesis. “Maaf banget ya, Mas Tara aku harus pulang ke rumah sekarang. Soalnya client aku minta aku kirim secepatnya.”
“Loh, Sya. Kamu nggak makan dulu?” Tara menatap Ersya khawatir, “Emang kamu gak ngasih ketentuan kalau kamu ngerevisi butuh waktu juga?”
“Aku udah makan nih, Mas.” Ersya cengar-cengir, “Maaf banget, aku beneran musti pamit sekarang. Soalnya client aku ini banyak banget permintaannya.”
Ersya beralih menatap Harith, “Kak, kamu ikut aku pulang ya? Bantuin aku take ulang konten.”
“Oke,” jawab Harith yang meski kebingungan, namun dia tetap menuruti titah si suami tercinta.