Surya

Seperti yang telah Sagara dan sepakati sebelumnya, atau lebih tepatnya pagi tadi, Surya lantas menyambangi ruang kerja sang sahabat tepat pada jam istirahat makan siang. Namun, ketika dia masuk ke dalam ruangan itu, Surya justru dibuat heran, sebab tidak ada Sagara di sana. Surya pun seketika mempertahankan agenda makan siang bersama mereka. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda bahwa Sagara telah memesan makanan atau sekedar menyiapkan minuman di atas meja—seperti kebiasaan Sagara.

Apa jangan-jangan Sagara lupa? Pikir Surya sambil meraih gawai di sakunya, berniat menelpon Sagara yang kini entah ke mana.

Namun, tepat sebelum Surya menekan opsi panggil, suara pintu ruang kerja Sagara yang dibuka dari luar lantas mencuri atensinya. Surya berbalik badan, mendapati Sagara kini berjalan menghampirinya. Kedua alis Surya pun saling bertaut melihat Sagara membawa sebuah balok yang entah dia dapat darimana dan ingin digunakan untuk apa.

Sampai ketika Sagara tiba-tiba menyodorkan balik itu padanya, Surya bertanya. “Buat apa, Ra? Kok kamu ngasih balok ke aku?”

“Pukul aku kalau waktu itu kamu belum puas,” kata Sagara dengan suara yang tenang, namun Surya bisa merasakan ada deru ombak yang mencoba menghantamnya di balik ekspresi datar Sagara.

“Maksud kamu apa?”

Sagara melemparkan balok yang sedari tadi dia pegang itu hingga tergeletak di lantai. Sagara lalu beralih menatap Surya lamat, ada hening yang sejenak tercipta di antara dua anak manusia itu. Pada setiap detik yang terlewat dalam keheningan mulai timbul percikan api di mata keduanya.

“Kamu selalu bilang kalau aku terlalu tertutup sama kamu sampai kamu gak tau banyak soal aku,” sahut Sagara. “Mungkin kamu merasa aku gak nganggap kamu teman dekat karena itu, tapi kalau kamu bertanya, siapa orang yang bakal aku cari setelah Mami, Papi dan Asa, itu kamu…”

Surya menelan ludah. Meskipun kalimat yang diucapkan Sagara sebenarnya terdengar sebagai bentuk apresiasi padanya, tapi Surya tahu, ada kemarahan di sana. Dia pun hanya memilih diam sambil mendengarkan Sagara kembali bersuara. “Aku emang gak seterbuka itu sama kamu, tapi aku ngerasa kamu lebih kenal aku. Kamu selalu baik sama aku dan gak pernah sekali pun aku berpikir kamu ngelakuin itu karena kamu ada niat buruk.”

Surya membuang muka sejenak, “Apa yang sebenernya pengen kamu bilang sih, Ra? Aku gak ngerti kamu lagi bahas apa.”

Garis bibir Sagara sedikit ditarik ke atas, menciptakan seringai yang menyiratkan luka sekaligus rasa tak percaya. Terlebih, Surya masih enggan ‘tuk mengakuinya.

“Malam itu, pas aku mau ketemu ketua RW Kampung Mawar, kamu kan yang mukulin aku?”

“Bisa-bisanya kamu nuduh aku kayak gini, Ra? Alasan aku buat mukulin kamu apa, coba?” Elak Surya dengan mata terbelalak.

“Seharusnya aku yang nanya gitu ke kamu kan? Alasan kamu apa?” Sagara menatap Surya sedu, “Apa karena aku pernah nyakitin hati kamu tanpa aku sadari, Ya? Atau karena kamu udah tau masa lalu Opa aku sama Oma kamu yaa?”

Surya kembali terdiam, sedang Sagara refleks melirik ke arah tangan Surya yang mengepal di samping paha. Saat itu pula dia merasa telah mendapat jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Kamu udah tau rupanya.” Surya tersenyum miring, sementara itu Surya langsung mencengkeram erat kerah kemeja sahabatnya.

“Jadi selama ini kamu juga udah tau gimana bejatnya Opa kamu? Tapi kenapa, Sagara?” Napas Surya mulai memburu, seperti dikejar sesuatu yang selama ini menakutinya. “Kenapa kamu pura-pura gak tau dan diem aja?”

Sagara tetap tenang, “Aku baru tau kemarin, karena aku nyari tau background keluarga kamu, termasuk Oma kamu. Jadi aku nanya langsung ke Opa sampai dia mengakui dosa itu. Sekarang kamu pengen aku ngapain, Ya?” tanyanya. “Apa aku harus mati buat menebus dosa Opa aku?”

Surya tertawa hambar, “Kamu pikir dengan kamu mati, kamu bisa ngembaliin nyawa Ibu sama Oma aku?” Surya semakin kuat mencengkeram kerah kemeja Sagara hingga sahabatnya itu nyaris tercekik. “Kamu pikir dengan kamu mati, kamu bisa ngebayar gimana penderitaan mereka pas dibuang Opa kamu dulu?” Surya menggeleng pelan.

“Aku pengen Opa kamu, anak-anaknya, samai cucunya tahu gimana rasanya menderita dan gak punya siapa-siapa! Aku pengen kalian semua hancur!”

Sagara tetap tenang meski Surya masih setia mencengkeram erat kerah bajunya hingga badannya kini bergoyang-goyang. Sagara, sama sekali, tak pernah melepas kontak mata mereka. Dari mata Surya pun Sagara bisa melihat luka sekaligus rasa putus asa. Netra yang mulai memerah di hadapannya itu jelas sedang berjuang menahan tangis, dan Sagara rasakan hal yang sama.

“Lakuin apapun yang bisa bikin sakit hati kamu terbayar. Maaf aku belum bisa jadi teman yang baik buat kamu.” Tutur Sagara sambil menuntun kedua tangan Surya, yang cengkeramannya mulai melemah, agar terlepas dari sana. Setelahnya, Sagara pun berbalik, hendak keluar dari ruang kerjanya, tapi Surya tiba-tiba berkata. “Kamu sendiri yang datang ke lingkaran ini, Sagara.”

Sagara berbalik sambil memberi tatapan penuh tanya ke Surya, “Sejak temenan sama kamu, aku enggak pernah berniat nargetin kamu. Terlepas Papi kamu dan kamu itu anak cucu Pak Atmodjo juga, tapi aku tau betul gimana menderitanya kalian sejak Mami kandung kamu dan Bumi pergi waktu itu. Aku juga tau gimana Papi kamu memisahkan diri dari perusahaan Opa kamu karena hubungannya sama Om kamu yang serakah itu kurang baik…”

“Dan aku rasa itu udah cukup. Aku cuma perlu ngeliat keluarga Atmodjo sama perusahaan ini hancur di depan mata aku. Tapi kamu yang awalnya udah nolak buat jadi pewaris di sini justru tiba-tiba datang, kerja di sini bahkan sampai pengen jadi CEO.” Surya mengeraskan rahangnya. “Kamu tiba-tiba pengen jadi penyelamat kantor ini di saat aku udah nemuin celah buat bikin Atmodjo Group, Opa kamu dan nama keluarga kalian hancur.”

“Jadi aku gak punya pilihan lain lagi,” timpal Surya. “Malam itu… Aku, mau gak mau, harus nyegat kamu supaya gak jadi penghalang terus bikin warga sana tenang.”

Sagara masih terdiam, sementara Surya menghela napas, “Aku tau siapa dalang dibalik pemalsuan surat perjanjian itu. Aku juga yang kerjasama sama salah satu warga buat mancing warga lain demo terus-terusan supaya nama Atmodjo Group jatuh sampai akhirnya dalangnya itu ditangkap dan bikin nama baik Atmodjo juga buruk di mata orang, tapi kamu malah jadi pahlawan buat nyelamatin reputasi kantor Opa kamu.”

Sagara menarik napas, “Aku gak ngelakuin ini buat nyelamatin reputasi kantor. Sama kayak kamu yang menuntut keadilan buat Ibu dan Opa kamu, aku juga ngelakuin semua ini cuma demi menuntut keadilan buat Mami kandung aku sama Bumi.” Kata Sagara, “Dan kuncinya ada di kantor ini, Surya. Jadi kalau kamu pengen ngelihat perusahaan ini sama keluarga Opa hancur, it’s your choice. Silakan. Do what you want. Tapi aku juga bakal tetep ngelakuin hal yang aku pengen lakuin buat tau alasan kematian Mami kandung aku sama Bumi.”

Surya akhirnya memutus kontak mata antara dirinya dengan sang sahabat. Sagara yang tahu bahwa tangis Surya sudah di pangkal tenggorokannya pun berkata,

“Good luck, jaga diri kamu. Make sure to not get caught. Maaf aku gak bisa bantuin kamu,” ucapnya sebelum meninggalkan Surya di ruang kerjanya. Sementara itu, tepat setelah figur Sagara hilang di balik pintu, pertahanan Surya akhirnya runtuh. Dia menangis dalam diam sambil mencerna bagaimana Sagara yang masih memikirkannya meski Sagara telah tahu perbuatan busuknya.