Lalu Siapa?
Sagara datang ke Rumah Sakit bersama Angkasa, Papi, Mami juga Opa. Mereka tiba di sana tepat saat Bintang baru saja masuk ke ruang operasi. Papa dan Mama Bintang serta Surya pun telah menunggu di depan ruangan yang seketika hening itu. Dalam sunyi dan sepinya di sudut rumah sakit berkumpul doa-doa yang amat tulus agar pasien bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Selagi menunggu operasi sang cucu, Opa kemudian duduk di samping Papa Bintang sebelum bertanya. “Sebenernya apa yang terjadi sampai Bintang kek gini?”
Papa Bintang yang semula sibuk menatap kosong ke arah pintu ruang operasi lantas menoleh ke arah sang Ayah. Dari matanya yang masih sembab tiba-tiba muncul percikan api dengan bumbu amarah yang menyala.
“Semua ini terjadi karena Ayah,” sahutnya pada Opa dengan nada suara amat datar. “Kalau aja Ayah adil sama anak-anak dan cucu-cucu Ayah, aku gak bakal mikir buat nyakitin Sagara sampai-sampai Bintang juga jadi korban.”
Opa terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan anak sulung di sampingnya sebelum bersuara.
“Ayah emang bukan sosok orang tua yang sempurna, tapi Ayah selalu berusaha buat adil sama kalian.” katanya, “Kalau kamu masih marah dan ngerasa gak adil karena dulu Ayah pengen nyerahin jabatan tertinggi di kantor ke Papinya Sagara, dan sekarang Sagara yang bakalan jadi CEO, Ayah punya alasan…”
“Ayah nyerahin jabatan ke Papi Sagara bukan berarti Ayah lebih sayang dia, tapi Ayah tau gimana kapasitas dan minat anak-anak Ayah. Ayah pengen ngasih aset yang lain ke kamu, karena Ayah tahu, jiwa kamu itu bukan untuk kerja kantoran. Kamu bosenan.”
Opa menghela napasnya. “Ayah selalu merhatiin kok kalau kamu lebih senang ngejalanin bisnis yang gak ngeharusin kamu di kantor tiap hari. Jadi Ayah pikir, warisan Ayah berupa gedung dan lain-lain di Bali sama Singapore itu buat kamu aja nanti. Kamu cukup ngelola bisnis properti, sedangkan Sagara ngelola head office perusahaan kita. Semua itu udah ada di surat wasiat yang harusnya kalian tahu pas Ayah udah gak ada. Karena Ayah mau lihat gimana keseriusan kalian dan usaha kalian, biar pas Ayah pergi semuanya baik-baik aja.”
“Ayah juga bikin syarat biar cucu Ayah yang nikah duluan yang jadi pengganti CEO pun karena Ayah tau, Sagara sama Bintang sama-sama pantas buat jadi pemimpin dan gantiin kamu.” Jelas Opa.
“Ayah bilang kayak gini bukan karena Ayah gak percaya sama kemampuan kamu,” timpalnya. “Kamu hebat udah mau belajar, dan Ayah bangga sama kamu, tapi apa selama ini kamu enjoy dan bahagia ngejalaninnya?”
Mendengar pertanyaan sang Ayah, Papa Bintang pun sadar bahwa selama ini dia memang hanya butuh pengakuan dari si paruh baya. Dia ingin diapresiasi, dia ingin mendengar kalimat bahwa usahanya bisa membuat Ayahnya bangga meski prestasi yang dia torehkan tak sebesar dan sementereng sang adik; Papi Sagara. Bahkan, hal yang telah dia lakukan ke warga Kampung Mawar pun semata-mata supaya Ayahnya itu bisa tau kalau dia mampu membangun proyek masa depan itu tanpa kendala.
“Ayah tau gak gimana marahnya aku karena Ayah tiba-tiba ngasih aku jabatan cuma karena Papinya Sagara nolak?” air mata Papa Bintang akhirnya mengalir di pipinya. “Ayah seolah pasrah dan gak ada pilihan lain, seakan-akan aku gak bisa ngelakuin apa-apa. Jadi aku berusaha keras sampai menghalalkan segala cara supaya Ayah gak mandang aku sebelah mata lagi, supaya Ayah bangga sama aku, gak cuma ke adik aku.”
Opa ikut meneteskan air mata sebelum memeluk anaknya itu, “Ayah minta maaf. Ayah salah. Ayah udah bikin kamu terluka.”
Melihat Opa juga Omnya itu saling berpelukan, Sagara tiba-tiba memikirkan perasaan sang sahabat; Surya. Dia pun melirik Surya hingga mendapati bahwa lelaki itu hanya diam sambil menunduk lesu. Sagara diam-diam berharap Opa melihatnya dan mulai mengungkapkan kebenaran tentang masa lalunya bersama Oma Surya dahulu.
Usai berbagi dekap hangat yang tidak hanya mencairkan kutub es di antara mereka, namun juga mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit yang ada di dada, baik itu Opa dan Papa Bintang lantas kembali duduk tegak di bangku tunggu rumah sakit. Sampai saat Opa tak sengaja bertemu tatap dengan Surya, si paruh baya seketika melambaikan tangan ke arah Surya, sebuah isyarat yang meminta Surya untuk datang dan duduk di samping kirinya. Sebab, kondisi tubuhnya yang sudah semakin lemah membuat Opa tidak mampu berdiri lagi sesuka hati. Sendi-sendinya bahkan sudah sakit sedari tadi meskipun dia masuk ke rumah sakit sambil memakai kursi roda.
Alhasil, setelah Surya duduk di sebelahnya, Opa lantas meraih satu tangan Surya sebelum menggenggamnya erat. “Opa juga minta maaf sama kamu ya. Meskipun udah terlambat, tapi Opa tahu apa yang Opa lakukan ke Oma dan Ibu kamu itu dosa besar yang bikin kalian sengsara.”
Opa kemudian menoleh ke Papa Bintang, juga Papi Sagara yang jelas bertanya-tanya sekaligus heran mendengar ucapan Opa.
“Ayah mau jujur ke kalian semua, karena Ayah ngerasa umur Ayah tinggal menghitung hari.” Tutur si paruh baya. “Surya ini ponakan kalian, sepupunya Sagara sama Bintang dari pernikahan kedua Opa sama Omanya Surya. Maaf Ayah baru berani cerita hari ini.”
Papa Bintang juga Papi Sagara sontak diam dalam keterkejutan. Tak ada kata yang bisa mereka ucapkan, sebab pengakuan Opa yang begitu tiba-tiba. Apalagi selama ini sosok Opa dikenal sangat mencintai sang istri.
Sementara itu, Surya yang tak kuasa menahan gejolak amarah di dadanya melepaskan tautan jemarinya dengan Opa. Sorot mata Surya datar, namun penuh luka. “Ibu sama Oma saya nggak akan bisa hidup lagi dengan kata maaf Opa, apalagi ngobatin rasa sakit dan penderitaan mereka.”
“Kalau emang Opa benar-benar nyesel, buktiin.” Timpal Surya. “Bilang ke semua orang kalau Oma wanita yang pernah Opa buang, gitu juga Ibu saya. Bilang juga ke semua orang kalau anak Opa ini kriminal.” kata Surya lalu menatap datar Papa Bintang.
“Surya!” Sagara akhirnya angkat bicara dan menegur Surya, “Aku tau kamu terluka, tapi saat ini Bintang lagi berjuang antara hidup dan mati di dalam sana. Kalau kamu gak bisa ngehargain Papanya, hargain Bintang, Ya.”
“Apa maksud kamu kalau Papa Bintang kriminal?” Tanya Opa heran, sebab dia belum tahu menahu tentang dalang di balik permasalahan Atmodjo Group dengan warga Kampung Mawar.
Surya pun heran, sebab dia pikir si paruh baya sudah mengetahui semuanya, namun tak kunjung mengambil tindakan. Alhasil, karena Surya tak kunjung buka suara dan menjelaskannya, Papa Bintang tiba-tiba mengakuinya.
“Aku yang udah ngide malsuin surat perjanjian sama Kampung Mawar, Yah.” jujurnya. Sontak hal itu memicu sesak di dada Opa.
Si paruh baya tiba-tiba lemas, wajahnya yang telah pucat kini semakin memutih seperti kapas. Dipijatnya dahi juga pelipisnya saat rasa pusing mendera dan hampir membuat Opa pingsan. Opa bahkan tidak mampu lagi berkata-kata. Papi Sagara pun buru-buru menghampiri si paruh baya bersama kursi rodanya lalu membawa Opa pergi dari sana untuk mendapat perawatan di IGD. Surya yang melihat kondisi Opa diam-diam bergelut dengan isi kepalanya. Surya menunduk lesu sambil memikirkan apa yang telah dia lakukan. Tujuan awal Surya jelas untuk membalaskan rasa sakit hatinya kepada anak dan cucu Atmodjo. Dia selalu berpikir, dengan melihat Opa beserta anak cucunya menderita akan memuaskannya. Nyatanya, melihat keluarga Atmodjo berada di ambang kehancuran tetap tak bisa membuatnya lega. Dia justru tiba-tiba merasa bersalah.
“Maaf, Om.” Ucap Surya kepada Papa Bintang yang kembali duduk di bangku yang sama dengannya usai membantu Papi Sagara membopong Opa ke kursi roda sebelum membawanya ke IGD tadi. Sagara pun telah pergi dari sana, sebab dia membantu Papi juga Maminya membawa si paruh baya yang nyaris pingsan.
Kini, di depan ruang operasi itu hanya tersisa Surya, Papa dan Mama Bintang juga Angkasa yang sedari tadi mengamati sekaligus mendengar percakapan mereka.
“Jadi kamu orangnya?” Tanya Papa Bintang sambil menatap Surya lamat-lamat “Kamu yang udah meneror anak cucu Opa?”
“Maksud Om saya meneror itu apa ya?” Surya heran, “Saya akui selama ini mata-matain Om dan ngumpulin bukti pemalsuan surat itu, tapi saya gak neror.”
Angkasa mengernyit, begitu pula Papa Bintang. “Anak cucu Opa dapet surat teror dan isinya bilang kalau seharusnya Opa mati sejak lama dan semua anak cucu Opa bakalan menderita.”
“Aku nggak pernah ngirim surat gitu, Om. Aku berani sumpah.”
Angkasa menahan napasnya.
Kalau bukan Surya, terus siapa?