Photoshoot

Seperti yang disarankan Chandra jauh-jauh hari, photoshoot untuk katalog design pakaian buatan Angkasa pun berlangsung selama dua hari; yang dilakukan pagi hingga petang. Dan hari ini jadi hari terakhir pemotretan itu.

Namun, sebelum photoshoot dimulai, salah satu model tiba-tiba memberi kabar bahwa dia dilarikan ke rumah sakit karena badannya tidak fit. Angkasa pun dibuat panik dan kebingungan untuk mencari model pengganti dalam waktu singkat. Sagara, yang sedari kemarin ikut dan memantau langsung photoshoot itu, lantas mulai berpikir untuk menawarkan diri walaupun dia sebenarnya malu karena sudah cukup lama tak berpose layaknya model di depan kamera. Meski begitu, Sagara justru lebih tidak tega lagi jika harus melihat sang suami resah seperti sekarang. Alhasil, Sagara lantas bertanya.

“Kalau aku yang gantiin gimana?”

Tidak hanya Angkasa yang terkejut ketika Sagara tiba-tiba menawarkan diri, namun juga Surya, serta Chandra yang juga berada dalam studio di butik itu.

“Kamu serius, Mas?”

“Mm,” Sagara berdeham, “Tapi kalau menurut kamu aku gak cocok, biar aku bantu cari m—”

“Cocok!” sahut Chandra lebih dulu daripada Angkasa lalu cengar-cengir, “Daritadi aku tuh sebenernya ngeliatin Mas Sagara pas mikirin model pengganti, tapi aku agak takut ngasih tau.”

“Kalau gitu Mas ganti baju sekarang ya?” kata Angkasa sebelum menuntun sang suami ke ruang ganti diikuti Chandra sebagai fashion stylist-nya.

Setelah berganti pakaian dan diberikan sedikit polesan make up di wajahnya, Sagara lantas diintruksikan untuk bergabung dengan model lain. Angkasa yang diam-diam memerhatikan sang suami mengenakan baju design-nya yang berwarna dark navy pun tanpa sadar memuji Sagara dalam hati. Pasalnya, Sagara nampak cocok dengan baju itu. Angkasa pun berpikir ingin membuat jas berwarna serupa untuk Sagara kenakan saat peresmian jabatannya nanti.

Pemotretan itu pun dimulai dan berlangsung lancar. Sagara yang bersanding dengan para model profesional dapat mengimbangi hingga Chandra beberapa kali memberikan pujian, pun Surya yang menjadi fotografer. Namun, Angkasa justru sibuk mengamati bagaimana Surya berinteraksi dengan sang suami. Angkasa tidak bisa berbohong bahwa sejak melihat sepatu milik Surya kemarin, dia tidak bisa melihat Surya seperti sebelumnya lagi.

Waktu terus berjalan hingga hari perlahan berganti menjadi malam. Pemotretan pun berhasil diselesaikan tanpa sedikitpun kekurangan. Satu persatu model kemudian berpamitan untuk pulang, begitupula dengan Chandra yang sudah ditunggu oleh klien lain. Surya menjadi kru photoshoot terakhir yang meninggalkan butik usai mengemasi alat-alat fotografi yang dia gunakan sejak kemarin.

Kini, hanya Angkasa dan Sagara yang belum meninggalkan butik. Sebab, Angkasa masih perlu memeriksa beberapa hal di ruang kerja pribadinya, pun Sagara yang menemaninya. Selagi Angkasa tengah sibuk mengamati pekerjaan dan hasil pemotretan di MacBook-nya, Sagara lantas membersihkan make up-nya. Sesekali Angkasa melirik sang suami diikuti senyum tipis, terlebih saat mendapati Sagara menggosok wajahnya dengan kapas begitu kasar seolah tak ada hari esok.

“Mas, pelan-pelan. Wajah kamu bisa iritasi loh,” tegur Angkasa.

Angkasa yang gemas sendiri akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri Sagara di sofa dalam ruang kerjanya itu. Dia duduk di sebelah kanan Sagara dan mengintruksikan sang suami agar mengubah posisi duduknya sedikit agar mereka bisa saling berhadapan. Sagara pun hanya menurut, terlebih ketika Angkasa mulai meraih kapas lain dan membantunya membersihkan make up yang ada di wajahnya.

Angkasa yang semula sibuk menggeser pelan kapas yang telah dia basahi dengan micellar water itu pada wajah Sagara pun tiba-tiba teringat suatu hal. Dia amat penasaran hingga bertanya.

“Kamu sama Mas Surya pernah berantem gak sih, Mas? Maksud aku… berantem yang gede gitu.”

Sagara menggeleng pelan, “Gak. pernah. Kenapa emangnya, Sa?”

“Aku cuma penasaran aja sama pertemanan kalian,” Angkasa memaksakan senyum. “Kalian kelihatan deket banget soalnya.”

“Kalau dibilang deket sama dia, ya deket sih. Tapi aku tuh gak seterbuka itu ke Surya tau, Sa.”

Angkasa memicing, “Kenapa?”

Just some sort of boundary, I guess?” kata Sagara. “Bisa dibilang aku gak punya temen yang bener-bener tahu aku gimana. Surya aja pernah bilang kalau aku tuh private banget.”

“Tapi kamu kok suka cerita sama aku, Mas?” Angkasa berdecak, “Kamu naksir aku kan? Ngaku.”

Sagara tersenyum lembut, “Aku ngerasa lebih nyaman ngobrol sama kamu, Sa. Mungkin... Karena kamu orangnya apa adanya. Jadi aku gak takut di-judge sama kamu. Yaa walaupun kamu kadang gak bisa dipercaya, tapi aku justru yakin kalau kamu bisa menyimpan apa yang gak seharusnya dibagikan ke publik.”

“Jujur aja, pas aku booking resto buat kamu sama Chandra, aku udah siap kalau aja kamu nge-share di sosmed soal aku yang bayarin dan bikin media nyorot kamu. Tapi, ternyata gak ada. Kamu juga private. Kayaknya itu deh yang bikin aku relate dan ngerasa nyaman sama kamu.”

“Jadi Mas tau sosmed aku?”

“Tau lah, aku harus rajin mantau kamu, biar kamu gak aneh-aneh.”

“Followers IG aku banyak kan?”

“Hm.”

“Aku ini terkenal tau, Mas.”

“Kita ke psikiater abis ini.”

Angkasa terkekeh pelan lalu kembali fokus mengusap lembut wajah Sagara dengan kapas. Sagara sendiri lantas terpaku dan sibuk memandangi Angkasa lekat-lekat. Sampai tidak lama berselang, tatapan mereka lantas berjumpa dan terkunci beberapa detik. Respon mereka pun sama. Baik itu Sagara maupun Angkasa refleks tersenyum tipis, seolah tak ada lagi kecanggungan dan rasa tidak nyaman di antara mereka seperti sebelumnya.

“Aku gak ngerusak photoshoot tadi kan, Sa?” tanya Sagara.

“Gak lah, Mas.” Angkasa menepuk-nepuk pipi kanan Sagara dengan kapas—tepat di lesung pipi sang suami, “You did so well. Makasih banyak ya, Mas.”

“Mm, no worries.”

“Udah selesai nih, Mas.” Angkasa menghela napas. “Pulang yuk.”

“Kerjaan kamu udah selesai?”

“Belum, tapi kerjaan yang belum aku kelarin itu bisa aku cek di rumah kok, Mas.” kata Angkasa. “Udah malem nih. Di luar juga bakalan hujan gede kayaknya.”

Sagara mengangguk, sebab sedari tadi kilat memang mewarnai langit yang gelap di luar sana diikuti gemuruh petir. Keduanya kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan ruang kerja Angkasa, tapi saat mereka baru saja hendak melewati pintu, listrik tiba-tiba saja padam. Sontak Angkasa memekik keras sebelum memeluk erat Sagara yang berdiri di sisi kanannya.

“Kamu modus ya?” ledek Sagara.

“Sembarangan.” Angkasa buru-buru melepas pelukannya. “Aku... Kaget tadi. Makanya aku refleks.”

Sagara pun tersenyum meledek meski saat ini Angkasa tidak bisa melihat wajahnya. Sagara lalu merogoh saku celananya dan meraih gawai guna menyalakan flashlight. Satu tangannya yang terbebas kemudian merangkul pinggang ramping Angkasa.

“Ayo, jalannya pelan-pelan aja.” Kata Sagara, “Tunjukkin arah tangga butik musti ke mana.”

“Sekarang siapa yang modus sih.”

“Aku gak modus, aku pegangin kamu biar kamu gak jatuh, Sa.”

“Perhatian banget, naksir ya?”

“Ya udah deh kamu jalan sendiri aja,” Sagara hendak melepaskan tautan lengannya di pinggang Angkasa, namun sang suami sudah lebih dulu memeluknya dari samping diikuti kekehan.

“Aku bercanda, Mas.” Angkasa memelas, “Jangan tinggalin aku. Katanya kalau lagi hujan sambil mati lampu di tempat yang gede kayak butik aku ini, biasanya ada hantu. Mana bunyi geledek di luar suaranya gede banget lagi.”

“Ngawur,” kata Sagara sambil mengikuti langkah Angkasa yang kini menuntunnya ke tangga butik, sebab lift tak bisa dipakai. “Kamu gak bayar listrik kali, Sa. Makanya lampu butiknya mati.”

“Mas Sagara tuh yang ngawur. Dikira butik aku bangkrut apa?”

Sagara hanya tersenyum tipis bersamaan dengan sampainya mereka di tangga. Mereka pun menuruni satu persatu anak tangga itu dengan satu lengan Sagara yang masih melingkari pinggang Angkasa. Namun, di tengah-tengah perjalanan mereka menuju lantai dasar, suara petir kembali bergemuruh dengan keras. Alhasil, Angkasa yang amat terkejut nyaris tidak menginjak satu anak tangga dan membuatnya sedikit oleng.

Beruntung ada Sagara yang sigap menahannya. Angkasa kemudian refleks memeluk tengkuk Sagara hingga Angkasa bisa merasakan hembusan napas suaminya itu. Meski Angkasa tak bisa melihat jelas wajah Sagara, namun dia dapat merasakan bagaimana posisi mereka sangat dekat.

Persekian detik kemudian, listrik lantas kembali menyala. Saat itu pula Angkasa dan Sagara saling memandangi wajah satu sama lain dari jarak yang begitu tipis.

“Ini kenapa kayak adegan-adegan yang ada di cerita fiksi sih?” batin Angkasa, “Lah, tapi kan sekarang gue emang lagi ada di cerita fiksi.”

“Kamu ngebayangin apa, hm?”

“Hah?” Angkasa kaget lalu buru-buru melepaskan tautannya dengan Sagara. “Kamu ngomong apaan sih, Mas. Ayo, kita pulang.”

Angkasa melanjutkan langkahnya menuruni tangga lebih dahulu, sedang Sagara hanya tersenyum lembut geleng-geleng kepala.


Angkasa benar-benar memeriksa pekerjaannya di rumah, bahkan ketika dia telah berada di atas tempat tidurnya dan Sagara. Sang suami yang sedari tadi memerhatikan bagaimana mata Angkasa terfokus pada layar MacBook-nya pun mendengus pelan sambil mencoba untuk menutup layar MacBook itu.

“Mas Gara,” decak Angkasa kesal. Sebab, sudah beberapa kali sang suami berusaha mengganggunya. “Kamu ngapain sih? Tidur gih.”

“Seharusnya aku yang bilang gitu ke kamu, Sa.” Sagara menunjuk jam pada layar MacBook sang suami. “Tuh, liat. Udah malem banget. Dilanjutin besok aja ya?”

“Ini musti aku kelarin malam ini, Mas. Kalau udah aku revisi gini kan, aku bisa ke Jerman dengan tenang. Gak mikirin kerjaan aku. Anak-anak kantor juga gak bakal kelimpungan pas aku tinggalin.”

Sagara menatap wajah Angkasa lekat-lekat meski suaminya itu sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari layar MacBook. “Kamu kayaknya cinta banget ya sama kerjaan kamu, Sa. That’s good. Tapi kamu juga musti tau waktu istirahat, jangan sampai kamu jadi orang yang gila kerja, tapi kamu lupa kesehatan kamu.”

Angkasa akhirnya menoleh dan memandangi Sagara dengan segaris senyum meledek di bibirnya, “Lihat deh siapa yang lagi ngomong. Kamu juga sama, Mas. Kalau kamu gak gila kerja, kamu gak bakal jadi CEO kan? Kamu juga sering tuh ke kantor di luar jam kerja. Padahal nih ya, tanpa jadi CEO pun kamu bakal tetep kaya raya. But see? Kamu punya ambisi untuk kamu raih.”

“Jadi kamu juga mikir kalau aku ini serakah karena pengen jadi CEO ya?” Cebik Sagara sebelum memilih untuk berbaring dengan posisi tengkurap di samping Angkasa. Wajahnya mengarah ke Angkasa hingga dia bisa melihat suaminya itu dengan amat jelas.

“Aku gak bilang kamu serakah,” Angkasa melembutkan suaranya. “Tapi kita sama-sama gila kerja karena kita punya ambisi, Mas. Kamu pengen jadi CEO, dan aku mau brand aku makin terkenal.”

“Aku… Sebenarnya gak pengen ada di posisi ini, Sa.” kata Sagara, “Kerja di head office kantor Opa dan jadi CEO itu bukan impian aku. Aku punya mimpi lain yang pengen aku raih, tapi keadaan seolah maksa aku berambisi jadi CEO. Karena dengan masuk ke kantor Opa dan jadi salah satu petinggi di sana, aku bisa nyari tau hal-hal yang pengen aku tau. Termasuk musuh keluarga Opa yang mungkin aja jadi penyebab kematian Mama dan pacar aku. Aku pengen nyari tau semua itu.”

Angkasa menipiskan bibirnya. Sagara tak hanya melalui banyak hal berat dengan kehilangan orang-orang terkasihnya hingga menyisakan trauma mendalam, namun dia pun harus rela ‘tuk mengorbankan mimpinya demi mencari tahu sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabnya dan bukan pula kesalahannya.

Satu tangan Angkasa perlahan mengusap lembut rambut sang suami. Membuat Sagara yang diperlakukan demikian semakin tak bisa melepaskan pandangan dari wajah Angkasa. “Kalau boleh tau, mimpi kamu apa sih, Mas?”

“Aku pengen jalanin bisnisku sendiri, sama kayak Papi yang gak berharap dari harta dan perusahaan Opa terus jalanin bisnisnya sendiri.” kata Sagara, “Terus sebagian penghasilan dari bisnis aku itu pengen aku pakai buat nge-bentuk yayasan yang menampung anak-anak tanpa orang tua atau orang tuanya ada, tapi mereka gak berkecukupan sampai harus putus sekolah, Sa.”

“Semacam panti asuhan, Mas?”

“Mm, bener.”

“Kamu masih bisa kok ngeraih mimpi kamu itu meskipun kamu jadi CEO di kantor punya Opa, Mas.” kata Angkasa yang jemari lentiknya masih setia memainkan rambut lembut dan sehat Sagara. “Aku bakalan daftar jadi donatur.”

Sagara tersenyum. “Nanti ya, Sa. Kalau semua masalah aku udah selesai, kamu harus lihat mimpi aku itu jadi kenyataan. Aku janji.”

Angkasa mengangguk, meski ada keraguan dalam hatinya. Sebab, Angkasa tidak tahu, apakah dia masih tetap ada di dunia fiksi ini pada saat semua masalah Sagara telah usai atau justru dia telah kembali ke dunianya yang asli.

“Sa.”

“Mhm?”

“Aku suka.”

“Hah?”

Angkasa terkejut mendengar apa yang baru saja Sagara katakan. Terlebih saat suaminya itu tiba-tiba menggenggam tangannya yang masih di kepala Sagara.

“Aku suka kamu mainin rambut aku kayak gini,” kata Sagara. “Sekarang aku jadi ngantuk.”

Angkasa tersenyum lalu geleng-geleng kepala. “Ya udah, tidur.”

“Mainin rambut aku sampai aku tidur ya,” gumam Sagara sebelum perlahan memejamkan matanya.

Sejenak Angkasa memandangi wajah damai Sagara—masih sambil memainkan rambut suaminya itu. Melihat Sagara lebih banyak tersenyum dan bercerita padanya membuat Angkasa diam-diam merasa lega sekaligus bahagia, terlebih setelah Angkasa tahu bahwa sang suami menyimpan luka yang sangat besar seorang diri.

Entah magis apa yang Sagara miliki hingga Angkasa merasa kedekatan emosional mereka tumbuh begitu cepat. Sosok Sagara yang dulunya sangat Angkasa benci kini justru telah menjadi seseorang yang amat ingin dia lindungi. Sagara yang dulu selalu ingin Angkasa hindari agar dia bisa segera kembali ke dunianya yang asli, kini justru menjadi alasan Angkasa berpikir untuk tetap tinggal di dunia fiksi. Entah karena simpati atau justru dia telah perlahan jatuh hati, tapi satu yang Angkasa yakini, Sagara dan dirinya—are not meant to be.