“Udah nunggu dari tadi ya?”
Jaehyun terkekeh saat Taeyong menyambutnya di ambang pintu. Menunjukkan ekspresi kesal seraya melipat lengan di depan dada.
“Masih nanya juga.”
“Maaf. Tadi aku abis bantu Bunda.”
Taeyong mengangguk paham, “Iya, gak apa-apa.”
“Lagian, aku suruh sarapan duluan malah gak mau.”
“Kan pengennya bareng kamu, Je.”
“Haha! Ada apa sih? Sikap kamu rada aneh deh pagi ini.”
“Perasaan kamu aja tuh,” ucap Taeyong lalu menarik lengan Jaehyun. Menyeret kekasihnya itu menuju ruang makan.
Namun sebelum sampai ke tempat tujuan, langkah keduanya seketika terhenti. Sebab Jaehyun justru menyempatkan diri untuk mengapa orang tua Taeyong di ruang keluarga yang sedang menonton televisi.
“Eh, Jaehyun. Akhirnya dateng juga,” kata si wanita paruh baya. “Taeyong udah nunggu dari tadi.”
“Iya, Bu. Tadi abis bantuin Bunda dulu. Jadi rada telat.”
“Kok masih panggil Ibu?” celetuk Papa Taeyong. “Panggil Tante aja, kan kamu temen deketnya Taeyong.”
Jaehyun tersenyum, “Iya, Om.”
“Ya udah, yuk.”
Taeyong kembali menarik lengan Jaehyun hingga mereka meninggalkan ruang keluarga.
***
“Aku kalau lagi pengen sendiri dan nenangin pikiran, suka ke sini.”
Jaehyun mengangguk. Saat ini mereka sedang berada di rooftop. Di mana tempat itu telah disulap menjadi area yang pas untuk bersantai.
Ada sofa angin, ada meja lesehan, ada ayunan, lantainya pun telah ditutupi dengan rumput sintetis berwarna hijau.
“Kemarin revisi kamu gak banyak kan?”
“Mhm, enggak kok.” kata Jaehyun seraya mencari file skripsi di laptopnya.
“Pinter ya kamu.”
“Enggak juga,” Jaehyun tertawa. “Rejeki anak soleh ini mah.”
Lelaki berlesung pipi itu pun mulai mengerjakan revisinya. Sementara Taeyong sibuk memandangi wajah Jaehyun dari samping seraya memeluk lutut.
“Aku makin ganteng ya? Sampai diliatin mulu.”
“Iya. Kamu makin ganteng, Je.”
Mendengar jawaban kekasihnya membuat Jaehyun refleks mengalihkan pandangan ke arah Taeyong.
Keduanya pun saling menyelami netra satu sama lain. Hingga tanpa sadar jarak antara wajah mereka semakin terkikis.
Mata Taeyong kemudian terpejam saat bibirnya dikecup oleh Jaehyun. Namun saat lelaki berlesung pipi itu hendak menyudahi aktivitas intim mereka, ia seketika menahan tengkuk kekasihnya.
Jaehyun terkejut bukan main. Terlebih saat Taeyong membuka mulutnya lalu memagut bibir bawahnya dengan lembut. Ia benar-benar tidak berekspektasi jika ciuman mereka akan se-intens ini.
Suara decak lidah pun menjadi pengiring dalam atmosfer yang mendadak panas di rooftop. Bahkan Taeyong seakan enggan melepas pagutannya dengan Jaehyun. Namun lelaki yang lebih muda darinya itu justru beralih membingkai wajahnya.
“Kak...” Jaehyun memandangi wajah kekasihnya, “Kamu kenapa?”
“Aku kenapa?”
“Kamu nangis!”
Taeyong mengulum bibir. Ia nyaris tidak sadar jika air mata telah jatuh dan membasahi pipinya.
“Oh, kayaknya kelilipan.”
“Taeyong... Kasih tau aku, kamu kenapa?”
Taeyong memaksakan senyumnya. Jemarinya kemudian beralih mengusap tangan Jaehyun yang masih membingkai wajahnya.
“Je, kita...”
“...Putus hari ini aja ya?”
Ada keheningan yang menjadi jeda dalam percakapan keduanya. Sebab Jaehyun terlihat masih mencerna ucapan Taeyong.
“Kenapa?”
“Aku ngerasa gak bakal sanggup kalau harus putus sama kamu tepat sebelum aku pergi,” kata Taeyong.
“Kalau gitu jangan putusin aku sampai kamu pergi. Aku gak masalah kalau harus LDR-an.”
“Aku gak bisa.” Taeyong menunduk, “Aku takut kamu bakal ngelakuin hal yang sama kayak Kai dulu.”
“Emang dia ngapain kamu?”
“Dia gak bisa setia. Dia macarin orang lain pas aku udah jauh di sana.”
“Dan kamu pikir aku juga bakal kayak gitu?”
Taeyong menggeleng, “Aku gak tau, Je.”
“Kamu gak percaya sama aku?”
Taeyong mengangguk, “Aku gak bisa terlalu percaya lagi sama orang lain.”
“Karena aku pernah menaruh kepercayaan yang besar sama seseorang, tapi pada akhirnya aku justru dikecewakan.”
“Enggak semua orang sama, Taeyong.” Jaehyun beralih mengusap wajahnya sendiri dengan raut frustasi.
“Maafin aku,” Taeyong meraih jemari Jaehyun. Menggenggamnya erat.
“Kemarin kamu bilang kalau kamu cuma pengen ngerasain jadi orang spesial buat aku kan?” ia tertawa hambar.
“Kamu gak perlu jadi pacar aku untuk jadi orang spesial, Jaehyun.” katanya.
“Karena sejak kamu berhasil mencuri perhatian aku, tempat spesial itu udah ada untuk kamu.”
Jaehyun tidak mampu lagi berkata-kata. Meski kemarin ia memberitahu Taeyong bahwa sehari atau dua hari menjadi pacarnya pun tidak masalah. Namun tetap saja. Rasa sakit mendera hatinya.
“Terima kasih ya untuk waktu yang udah kamu luangin buat aku. Aku bahagia banget.”
“Oke.”
Jaehyun memaksakan senyum lalu menutup laptopnya. Membuat Taeyong yang melihatnya terbelalak. Terlebih saat ia beranjak dari posisinya.
“Je, kamu mau ke mana?”
“Kamu nyuruh aku ke sini cuma buat bilang putus kan?”
“Enggak, Jaehyun.”
“Aku balik sekarang ya, Kak.”
“Jaehyun,” Taeyong ikut berdiri lalu menahan lengan lelaki yang lebih muda.
“Mana ada sih orang yang abis putus terus masih berduaan?” Jaehyun tertawa hambar lalu mengusap puncak kepala Taeyong.
“Aku cuma pengen sendiri dulu. Mau nguatin hati biar bisa relain kamu pergi,” katanya lalu mencubit pipi Taeyong.
“Kamu gak marah kan?”
“Ngapain?” Jaehyun mendengus, “Kan aku yang minta kemaren.”
Taeyong mengangguk. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya dari lengan Jaehyun.
“Kak Taeyong.”
“Ya?”
“Kabarin aku kalau kamu udah mau berangkat nanti ya.”
“Oke.”
“Aku pulang dulu.”
“Kabarin aku kalau kamu udah nyampe.”
“Dih, ngapain? Kamu kan bukan pacar aku lagi.”
“Jaehyun...”
“Iya, iya. Canda,” kata Jaehyun sebelum berbalik. Melenggang pergi meninggalkan Taeyong yang tak henti-henti memandangi punggungnya.