jaesweats

“Udah nunggu dari tadi ya?”

Jaehyun terkekeh saat Taeyong menyambutnya di ambang pintu. Menunjukkan ekspresi kesal seraya melipat lengan di depan dada.

“Masih nanya juga.”

“Maaf. Tadi aku abis bantu Bunda.”

Taeyong mengangguk paham, “Iya, gak apa-apa.”

“Lagian, aku suruh sarapan duluan malah gak mau.”

“Kan pengennya bareng kamu, Je.”

“Haha! Ada apa sih? Sikap kamu rada aneh deh pagi ini.”

“Perasaan kamu aja tuh,” ucap Taeyong lalu menarik lengan Jaehyun. Menyeret kekasihnya itu menuju ruang makan.

Namun sebelum sampai ke tempat tujuan, langkah keduanya seketika terhenti. Sebab Jaehyun justru menyempatkan diri untuk mengapa orang tua Taeyong di ruang keluarga yang sedang menonton televisi.

“Eh, Jaehyun. Akhirnya dateng juga,” kata si wanita paruh baya. “Taeyong udah nunggu dari tadi.”

“Iya, Bu. Tadi abis bantuin Bunda dulu. Jadi rada telat.”

“Kok masih panggil Ibu?” celetuk Papa Taeyong. “Panggil Tante aja, kan kamu temen deketnya Taeyong.”

Jaehyun tersenyum, “Iya, Om.”

“Ya udah, yuk.”

Taeyong kembali menarik lengan Jaehyun hingga mereka meninggalkan ruang keluarga.

***

“Aku kalau lagi pengen sendiri dan nenangin pikiran, suka ke sini.”

Jaehyun mengangguk. Saat ini mereka sedang berada di rooftop. Di mana tempat itu telah disulap menjadi area yang pas untuk bersantai.

Ada sofa angin, ada meja lesehan, ada ayunan, lantainya pun telah ditutupi dengan rumput sintetis berwarna hijau.

“Kemarin revisi kamu gak banyak kan?”

“Mhm, enggak kok.” kata Jaehyun seraya mencari file skripsi di laptopnya.

“Pinter ya kamu.”

“Enggak juga,” Jaehyun tertawa. “Rejeki anak soleh ini mah.”

Lelaki berlesung pipi itu pun mulai mengerjakan revisinya. Sementara Taeyong sibuk memandangi wajah Jaehyun dari samping seraya memeluk lutut.

“Aku makin ganteng ya? Sampai diliatin mulu.”

“Iya. Kamu makin ganteng, Je.”

Mendengar jawaban kekasihnya membuat Jaehyun refleks mengalihkan pandangan ke arah Taeyong.

Keduanya pun saling menyelami netra satu sama lain. Hingga tanpa sadar jarak antara wajah mereka semakin terkikis.

Mata Taeyong kemudian terpejam saat bibirnya dikecup oleh Jaehyun. Namun saat lelaki berlesung pipi itu hendak menyudahi aktivitas intim mereka, ia seketika menahan tengkuk kekasihnya.

Jaehyun terkejut bukan main. Terlebih saat Taeyong membuka mulutnya lalu memagut bibir bawahnya dengan lembut. Ia benar-benar tidak berekspektasi jika ciuman mereka akan se-intens ini.

Suara decak lidah pun menjadi pengiring dalam atmosfer yang mendadak panas di rooftop. Bahkan Taeyong seakan enggan melepas pagutannya dengan Jaehyun. Namun lelaki yang lebih muda darinya itu justru beralih membingkai wajahnya.

“Kak...” Jaehyun memandangi wajah kekasihnya, “Kamu kenapa?”

“Aku kenapa?”

“Kamu nangis!”

Taeyong mengulum bibir. Ia nyaris tidak sadar jika air mata telah jatuh dan membasahi pipinya.

“Oh, kayaknya kelilipan.”

“Taeyong... Kasih tau aku, kamu kenapa?”

Taeyong memaksakan senyumnya. Jemarinya kemudian beralih mengusap tangan Jaehyun yang masih membingkai wajahnya.

“Je, kita...”

“...Putus hari ini aja ya?”

Ada keheningan yang menjadi jeda dalam percakapan keduanya. Sebab Jaehyun terlihat masih mencerna ucapan Taeyong.

“Kenapa?”

“Aku ngerasa gak bakal sanggup kalau harus putus sama kamu tepat sebelum aku pergi,” kata Taeyong.

“Kalau gitu jangan putusin aku sampai kamu pergi. Aku gak masalah kalau harus LDR-an.”

“Aku gak bisa.” Taeyong menunduk, “Aku takut kamu bakal ngelakuin hal yang sama kayak Kai dulu.”

“Emang dia ngapain kamu?”

“Dia gak bisa setia. Dia macarin orang lain pas aku udah jauh di sana.”

“Dan kamu pikir aku juga bakal kayak gitu?”

Taeyong menggeleng, “Aku gak tau, Je.”

“Kamu gak percaya sama aku?”

Taeyong mengangguk, “Aku gak bisa terlalu percaya lagi sama orang lain.”

“Karena aku pernah menaruh kepercayaan yang besar sama seseorang, tapi pada akhirnya aku justru dikecewakan.”

“Enggak semua orang sama, Taeyong.” Jaehyun beralih mengusap wajahnya sendiri dengan raut frustasi.

“Maafin aku,” Taeyong meraih jemari Jaehyun. Menggenggamnya erat.

“Kemarin kamu bilang kalau kamu cuma pengen ngerasain jadi orang spesial buat aku kan?” ia tertawa hambar.

“Kamu gak perlu jadi pacar aku untuk jadi orang spesial, Jaehyun.” katanya.

“Karena sejak kamu berhasil mencuri perhatian aku, tempat spesial itu udah ada untuk kamu.”

Jaehyun tidak mampu lagi berkata-kata. Meski kemarin ia memberitahu Taeyong bahwa sehari atau dua hari menjadi pacarnya pun tidak masalah. Namun tetap saja. Rasa sakit mendera hatinya.

“Terima kasih ya untuk waktu yang udah kamu luangin buat aku. Aku bahagia banget.”

“Oke.”

Jaehyun memaksakan senyum lalu menutup laptopnya. Membuat Taeyong yang melihatnya terbelalak. Terlebih saat ia beranjak dari posisinya.

“Je, kamu mau ke mana?”

“Kamu nyuruh aku ke sini cuma buat bilang putus kan?”

“Enggak, Jaehyun.”

“Aku balik sekarang ya, Kak.”

“Jaehyun,” Taeyong ikut berdiri lalu menahan lengan lelaki yang lebih muda.

“Mana ada sih orang yang abis putus terus masih berduaan?” Jaehyun tertawa hambar lalu mengusap puncak kepala Taeyong.

“Aku cuma pengen sendiri dulu. Mau nguatin hati biar bisa relain kamu pergi,” katanya lalu mencubit pipi Taeyong.

“Kamu gak marah kan?”

“Ngapain?” Jaehyun mendengus, “Kan aku yang minta kemaren.”

Taeyong mengangguk. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya dari lengan Jaehyun.

“Kak Taeyong.”

“Ya?”

“Kabarin aku kalau kamu udah mau berangkat nanti ya.”

“Oke.”

“Aku pulang dulu.”

“Kabarin aku kalau kamu udah nyampe.”

“Dih, ngapain? Kamu kan bukan pacar aku lagi.”

“Jaehyun...”

“Iya, iya. Canda,” kata Jaehyun sebelum berbalik. Melenggang pergi meninggalkan Taeyong yang tak henti-henti memandangi punggungnya.

“Dek, ke cafe Bang Jo yuk!”

“Males.”

“Haechan manis.”

“Gak mau.”

Jaehyun hampir menyerah untuk membujuk adik kesayangannya. Haechan masih saja bersikap ketus padanya akibat insiden dimana kemarin ia langsung pulang ke rumah. Bersama Taeyong tentunya.

Beruntung Johnny tidak memberitahu Haechan bahwa ia pulang dengan sang dosen.

“Gue bilangin Bunda loh kalau masih ngambek.”

“Bilangin aja.”

“Ayo dong, dek. Pacar kakak udah nunggu di depan nih.”

“Hah?” akhirnya Haechan terlihat tertarik untuk merespon ucapan kakaknya.

“Pacar kak Jeje siapa?” tanyanya.

“Makanya buruan, biar kalian bisa ketemu terus kenalan.” kata Jaehyun lalu menarik lengan adiknya.

Sesampainya di halaman depan rumah, Haechan lantas terbelalak. Pasalnya ia mendapati sebuah mobil yang menurutnya sangat tidak asing.

Dan saat orang di dalam kendaraan roda empat itu menurunkan kaca jendela, Haechan tidak mampu lagi berkata-kata.

“Biar aku yang nyetir,” ucap Jaehyun seraya sedikit membungkuk. Membuat wajahnya sejajar dengan kekasihnya.

“Adik kamu?” tanya Taeyong.

“Iya,” Jaehyun tersenyum.

Taeyong mengangguk paham lalu menyunggingkan senyum ke arah Haechan. Ia kemudian keluar dari mobil, menghampiri adik dari kekasihnya itu.

“Kita duduk bareng di belakang ya?” ajak Taeyong pada Haechan.

“Ih, jangan. Masa aku sendiri di depan.” protes Jaehyun.

“Terus adik kamu gak ada temen ngobrol di belakang gitu?”

“E-enggak apa-apa, kak.” Haechan melirik Taeyong dengan raut gugup, “Aku udah biasa sendiri kok.”

“Maklum jomblo,” celetuk Jaehyun dan dihadiahi delikan tajam oleh adiknya.

Taeyong pun hanya bisa menghela napas pasrah saat Jaehyun menuntunnya untuk segera masuk dan duduk pada bangku penumpang di samping kemudi.

“Eh, kita belum kenalan ya.” Taeyong menoleh ke belakang saat mobil perlahan melaju. “Nama kamu siapa?”

“Haechan, kak.” jawabnya lalu tersenyum kikuk, “Kak Taeyong kan?”

“Kok tau?”

“Tau, soalnya anak Pak Rektor. Sama dosbingnya kak Jeje.”

“Dia pernah bilang, katanya kamu galak.”

Jaehyun melirik kaca spion tengah lalu tertawa. Terlebih saat ia melihat Haechan melebarkan mata.

“Ih, enggak! Bukan aku,” Haechan mengelak. “Temen aku yang bilang gitu.”

“Enggak apa-apa, aku emang galak kok kalau kata orang-orang,” Taeyong terkekeh.

“Galak darimana nya,” Jaehyun mencibir. “Sok tau banget mereka.”

“Uhm...”

Haechan hendak berucap, membuat Taeyong dan Jaehyun lantas memusatkan atensi padanya.

“Kak Jeje sama Kak Taeyong pacaran?”

“Iya, dek.”

Jaehyun sedikit terkejut saat Taeyong dengan sigap menjawab pertanyaan Haechan. Bahkan diikuti dengan senyuman.

“Kok bisa?”

“Kok bisa, kok bisa. Ya karena kita saling suka lah,” jawab Jaehyun.

“Tapi bukannya dulu kalian berantem mulu?”

“Times change, people change, Chan.” Jaehyun terkekeh.

“Karena kakak kamu baik,” jawaban Taeyong, membuat Jaehyun mengulum senyum.

Jika seperti ini ia mungkin tidak akan sanggup berpisah dengan Taeyong dalam beberapa hari lagi.

“Kalau dia cowok jadi-jadian mah, gak bakal aku terima jadi pacar.” sambungnya.

“Dikira apaan, jadi-jadian.”

Tak lama berselang mobil yang ditumpangi ketiganya sampai di cafe Johnny. Mereka kemudian masuk dan disambut oleh sang pemilik.

“Eh, Taeyong. Apa kabar?” tanya Johnny.

“Baik,” jawabnya.

“Duduk dulu, di sana ada meja buat kalian.”

“Bang Jo perhatian banget deh.”

“Baru nyadar lu?”

“Hehe. Kaga, Bang.”

Jaehyun, Taeyong dan Haechan pun duduk pada meja yang telah disediakan Johnny untuk mereka.

“Kenapa?”

Jaehyun berbisik di samping telinga kekasihnya saat melihat raut tak nyaman di wajah Taeyong.

“Liat aja ada siapa di meja sebelah.”

“Oh, mantan kamu?”

“Enggak usah diungkit.”

“Emang kenapa sih kalau ada dia?” Jaehyun tersenyum, “Takut CLBK?”

“Kamu ngomong apaan sih?”

“Ekhemm! Aku masih hidup,” sindir Haechan.

Taeyong tertawa kecil melihat raut wajah Haechan.

“Nih,” Johnny datang dan membawa buku menu. “Pesen aja. Gue yang traktir.”

“Asik,” Jaehyun cengar-cengir.

“Seneng lu?” Johnny berdecak, “Tau gak, Yong. Kemarin kita nyiapin kejutan buat dia di sini. Tapi si Jaehyun malah pulang sama lu.”

“Hah?” Haechan menautkan alis, “Jadi kemarin Kak Jeje enggak ke sini karena jalan sama Kak Taeyong?”

“Bukan jalan,” jawab Jaehyun malas. “Tapi nunggu jawaban dia supaya kita jadian.”

Johnny tertawa lantang, “Jadi gimana nih sekarang? Udah official?”

“Udah lah.”

Jaehyun tersenyum bangga lalu melirik ke arah meja di sebelahnya.

Saat itu pula pandangannya bertemu dengan Kai yang entah sejak kapan telah memerhatikan mereka.

“Yong, kok lu bisa sih pacaran sama anak petakilan kayak gini?” canda Johnny lalu menoyor kepala sahabat yang sudah seperti adiknya.

“Enggak tau, gue juga bingung.” gumam Taeyong lalu tersenyum.

“Tadi kamu bilang ke Haechan kalo aku baik, kok sekarang malah gak tau?”

“Jiah! Aku-kamu nih sekarang, bukan tukang fitnah lagi.” Johnny kembali tergelak.

“Bang Jo ke belakang sana, ganggu aja.” Jaehyun berdecak.

“Yong, jangan bikin adek gue patah hati ya.” Johnny menepuk pundak Taeyong, “Cuma lu yang bisa bikin dia jatuh cinta terus pacaran lagi kayak sekarang.”

“Emang sebelumnya kenapa?” Taeyong melirik Jaehyun sejenak.

“Sebelumnya dia betah nge-jomblo.”

“Bang Jo, ini pesanannya. Ambilin sana,” Jaehyun tak ingin Johnny banyak bercerita.

“Eh, tapi kan aku belum bilang mau pesen apa.” Taeyong menautkan alisnya.

“Aku tau kamu suka apa.”

“Suka apa coba?”

“Suka aku lah.”

“Chan, jangan duduk di situ. Entar lu pingsan liat mereka uwu-uwuan,” kata Johnny sebelum meninggalkan meja mereka.

“Dek, ke cafe Bang Jo yuk!”

“Males.”

“Haechan manis.”

“Gak mau.”

Jaehyun hampir menyerah untuk membujuk adik kesayangannya. Haechan masih saja bersikap ketus padanya akibat insiden dimana kemarin ia langsung pulang ke rumah. Bersama Taeyong tentunya.

Beruntung Johnny tidak memberitahu Haechan bahwa ia pulang dengan sang dosen.

“Gue bilangin Bunda loh kalau masih ngambek.”

“Bilangin aja.”

“Ayo dong, dek. Pacar kakak udah nunggu di depan nih.”

“Hah?” akhirnya Haechan terlihat tertarik untuk merespon ucapan kakaknya.

“Pacar kak Jeje siapa?” tanyanya.

“Makanya buruan, biar kalian bisa ketemu terus kenalan.” kata Jaehyun lalu menarik lengan adiknya.

Sesampainya di halaman depan rumah, Haechan lantas terbelalak. Pasalnya ia mendapati sebuah mobil yang menurutnya sangat tidak asing.

Dan saat orang di dalam kendaraan roda empat itu menurunkan kaca jendela, Haechan tidak mampu lagi berkata-kata.

“Biar aku yang nyetir,” ucap Jaehyun seraya sedikit membungkuk. Membuat wajahnya sejajar dengan kekasihnya.

“Adik kamu?” tanya Taeyong.

“Iya,” Jaehyun tersenyum.

Taeyong mengangguk paham lalu menyunggingkan senyum ke arah Haechan. Ia kemudian keluar dari mobil, menghampiri adik dari kekasihnya itu.

“Kita duduk bareng di belakang ya?” ajak Taeyong pada Haechan.

“Ih, jangan. Masa aku sendiri di depan.” protes Jaehyun.

“Terus adik kamu gak ada temen ngobrol di belakang gitu?”

“E-enggak apa-apa, kak.” Haechan melirik Taeyong dengan raut gugup, “Aku udah biasa sendiri kok.”

“Maklum jomblo,” celetuk Jaehyun dan dihadiahi delikan tajam oleh adiknya.

Taeyong pun hanya bisa menghela napas pasrah saat Jaehyun menuntunnya untuk segera masuk dan duduk pada bangku penumpang di samping kemudi.

“Eh, kita belum kenalan ya.” Taeyong menoleh ke belakang saat mobil perlahan melaju. “Nama kamu siapa?”

“Haechan, kak.” jawabnya lalu tersenyum kikuk, “Kak Taeyong kan?”

“Kok tau?”

“Tau, soalnya anak Pak Rektor. Sama dosbingnya kak Jeje.”

“Dia pernah bilang, katanya kamu galak.”

Jaehyun melirik kaca spion tengah lalu tertawa. Terlebih saat ia melihat Haechan melebarkan mata.

“Ih, enggak! Bukan aku,” Haechan mengelak. “Temen aku yang bilang gitu.”

“Enggak apa-apa, aku emang galak kok kalau kata orang-orang,” Taeyong terkekeh.

“Galak darimana nya,” Jaehyun mencibir. “Sok tau banget mereka.”

“Uhm...”

Haechan hendak berucap, membuat Taeyong dan Jaehyun lantas memusatkan atensi padanya.

“Kak Jeje sama Kak Taeyong pacaran?”

“Iya, dek.”

Jaehyun sedikit terkejut saat Taeyong dengan sigap menjawab pertanyaan Haechan. Bahkan diikuti dengan senyuman.

“Kok bisa?”

“Kok bisa, kok bisa. Ya karena kita saling suka lah,” jawab Jaehyun.

“Tapi bukannya dulu kalian berantem mulu?”

“Times change, people change, Chan.” Jaehyun terkekeh.

“Karena kakak kamu baik,” jawaban Taeyong, membuat Jaehyun mengulum senyum.

Jika seperti ini ia mungkin tidak akan sanggup berpisah dengan Taeyong dalam beberapa hari lagi.

“Kalau dia cowok jadi-jadian mah, gak bakal aku terima jadi pacar.” sambungnya.

“Dikira apaan, jadi-jadian.”

Tak lama berselang mobil yang ditumpangi ketiganya sampai di cafe Johnny. Mereka kemudian masuk dan disambut oleh sang pemilik.

“Eh, Taeyong. Apa kabar?” tanya Johnny.

“Baik,” jawabnya.

“Duduk dulu, di sana ada meja buat kalian.”

“Bang Jo perhatian banget deh.”

“Baru nyadar lu?”

“Hehe. Kaga, Bang.”

Jaehyun, Taeyong dan Haechan pun duduk pada meja yang telah disediakan Johnny untuk mereka.

“Kenapa?”

Jaehyun berbisik di samping telinga kekasihnya saat melihat raut tak nyaman di wajah Taeyong.

“Liat aja ada siapa di meja sebelah.”

“Oh, mantan kamu?”

“Enggak usah diungkit.”

“Emang kenapa sih kalau ada dia?” Jaehyun tersenyum, “Takut CLBK?”

“Kamu ngomong apaan sih?”

“Ekhemm! Aku masih hidup,” sindir Haechan.

Taeyong tertawa kecil melihat raut wajah Haechan.

“Nih,” Johnny datang dan membawa buku menu. “Pesen aja. Gue yang traktir.”

“Asik,” Jaehyun cengar-cengir.

“Seneng lu?” Johnny berdecak, “Tau gak, Yong. Kemarin kita nyiapin kejutan buat dia di sini. Tapi si Jaehyun malah pulang sama lu.”

“Hah?” Haechan menautkan alis, “Jadi kemarin Kak Jeje enggak ke sini karena jalan sama Kak Taeyong?”

“Bukan jalan,” jawab Jaehyun malas. “Tapi nunggu jawaban dia supaya kita jadian.”

Johnny tertawa lantang, “Jadi gimana nih sekarang? Udah official?”

“Udah lah.”

Jaehyun tersenyum bangga lalu melirik ke arah meja di sebelahnya.

Saat itu pula pandangannya bertemu dengan Kai yang entah sejak kapan telah memerhatikan mereka.

“Yong, kok lu bisa sih pacaran sama anak petakilan kayak gini?” canda Johnny lalu menoyor kepala sahabat yang sudah seperti adiknya.

“Enggak tau, gue juga bingung.” gumam Taeyong lalu tersenyum.

“Tadi kamu bilang ke Haechan kalo aku baik, kok sekarang malah gak tau?”

“Jiah! Aku-kamu nih sekarang, bukan tukang fitnah lagi.” Johnny kembali tergelak.

“Bang Jo ke belakang sana, ganggu aja.” Jaehyun berdecak.

“Yong, jangan bikin adek gue patah hati ya.” Johnny menepuk pundak Taeyong, “Cuma lu yang bisa bikin dia jatuh cinta terus pacaran lagi kayak sekarang.”

“Emang sebelumnya kenapa?” Taeyong melirik Jaehyun sejenak.

“Sebelumnya dia betah nge-jomblo.”

“Bang Jo, ini pesanannya. Ambilin sana,” Jaehyun tak ingin Johnny banyak bercerita.

“Eh, tapi kan aku belum bilang mau pesen apa.” Taeyong menautkan alisnya.

“Aku tau kamu suka apa.”

“Suka apa coba?”

“Suka aku lah.”

“Chan, jangan duduk di situ. Entar lu pingsan liat mereka uwu-uwuan,” kata Johnny sebelum meninggalkan meja mereka.

Jantung Jaehyun berdetak kian cepat saat ia telah memasuki ruang keluarga rumah Taeyong; dengan si manis berjalan di sampingnya. Ia kemudian menelan ludah kasar kala matanya menangkap keberadaan sang rektor. Pria paruh baya itu sedang duduk di sofa seraya memusatkan atensi pada televisi yang menyala.

“Pa, Jaehyun udah datang.” ucap Taeyong lalu menginstruksikan Jaehyun agar duduk di sofa yang berseberangan dengan si pria paruh baya.

“Je, aku tinggal ke dapur dulu ya.”

Mau tidak mau Jaehyun lantas mengangguk. Meski sebenarnya ia amat takut.

Ditinggal berdua sama rektor yang mergokin dia narik-narik tangan anaknya, bayangin aja gimana seremnya. Jaehyun yakin dalam hitungan detik dia bakal ditatar.

“Kamu mahasiswa bimbingan Taeyong ya?”

“Iya, Pak.” jawab Jaehyun.

“Deket sama Taeyong?”

“I-iya, Pak.”

“Mhm,” si pria paruh baya memandangi wajah Jaehyun sejenak.

“Kamu yang dulu pernah ngewakilin kampus ikut program magang ke Australia ya kalau gak salah?”

“Benar, Pak.”

“Jangan tegang, Jaehyun. Saya enggak mau ngapa-ngapain kamu.” katanya lalu tertawa pelan.

Sementara Jaehyun masih panas dingin.

“Taeyong bilang apa pas ngajak kamu ke rumah?”

Jaehyun berdeham, “Kak Taeyong ngirim screenshot-an pesan Bapak. Katanya bapak ngeliat saya...”

“Ngeliat saya narik-narik kak Taeyong,” ia lantas menunduk.

“Oh iya. Kemarin kenapa kamu narik-narik Taeyong di kampus?”

“Maaf, Pak.” tutur Jaehyun. Masih tak berani menatap sang rektor.

“Loh, saya kan nanya, Jaehyun. Kok malah minta maaf?”

“Karena saya udah enggak sopan sama kak Taeyong,” jawabnya.

“Terus kenapa minta maafnya ke saya?” pria paruh baya itu kembali tertawa. “Jadi ada apa sama kamu dan Taeyong kemarin?”

Jaehyun semakin tegang. Keringat dinginnya seketika bercucuran.

“I-itu, Pak. Saya...” ia menarik napas dalam-dalam.

“Kemarin saya baru tau kalau kak Taeyong mau ke luar negeri Minggu depan,” Jaehyun menatap lurus ke dalam mata sang rektor.

“Kak Taeyong enggak pernah ngasih tau saya. Padahal saya sama Kak Taeyong cukup dekat, jadi saya kaget.”

“Karena itu kemarin saya narik-narik tangan Kak Taeyong ke mobilnya. Saya mau ngobrol, mau minta penjelasannya.” ia mengakhiri penuturannya.

Si pria paruh baya seketika mengangguk paham.

“Kamu kok bisa deket sama anak saya?”

“Uhm... Karena kak Taeyong dosen pembimbing saya, Pak.”

“Tapi Taeyong kan jutek anaknya,” kata si pria paruh baya, “Judes pula. Enggak gitu ya?”

“Gitu kok, Pak.” celetuk Jaehyun sebelum menepuk bibirnya sendiri.

“M-maksudnya, Kak Taeyong emang keliatan jutek dan judes. Tapi dia perhatian banget, Pak.” ia meluruskan.

“Oh, Taeyong perhatian sama kamu?”

“Iya, Pak. Apalagi waktu saya masih nyusun skripsi.”

Pria paruh baya di hadapan Taeyong tersenyum, “Kamu bener-bener deket sama anak saya ya.”

Jaehyun cengar-cengir.

“Taeyong pernah cerita masalah pribadinya ke kamu enggak?”

Jaehyun mengernyit, “Masalah pribadi kayak apa, Pak?”

“Misalnya tentang orang yang dia suka, atau dia lagi deket sama siapa, bahkan tentang pacarnya mungkin?”

Waduh...

“Ehm, jarang sih, Pak.” Jaehyun cengengesan. “Soalnya saya kalau chat-an sama Kak Taeyong kerjaannya berantem mulu.” ia blak-blakan.

“Hahaha! Berantem kayak gimana?”

“Saya suka godain kak Taeyong, Pak. Gara-gara pas hari pertama dia datang ke kampus, dia fitnah saya.” Jaehyun mulai bercerita.

“Kak Taeyong ngira kalau saya ngelecehin dia di lift, padahal bukan saya orangnya.” ia mengerutkan hidungnya sejenak.

“Jadi saya balas deh, saya ledekin Kak Taeyong. Saya bilang kalau dia caper dan suka sama saya,” jelasnya.

Pria paruh baya di seberang Jaehyun kembali tertawa.

“Jadi respon Taeyong gimana abis kamu ledekin kayak gitu? Ngamuk gak?”

“Ngamuk parah, Pak.”

Jaehyun mulai merasa nyaman bercerita dengan sang rektor.

“Tapi berawal dari situ kita jadi deket terus bisa pacaran kayak sekarang.”

“Apa?”

Jaehyun melebarkan mata.

Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Ia keceplosan.

“Mati gue,” ia membatin lalu menepuk kening.

Taeyong yang semula sedang bercakap-cakap dengan Wendy; salah satu dosen muda sama sepertinya lantas mengalihkan pandangan saat pintu ruang dosen terbuka. Jaehyun pun telah berdiri di sana masih dengan setelan kemeja putih dan jas yang dipakainya saat sidang tadi.

Lelaki berlesung pipi itu kemudian menghampiri Taeyong. Berdiri di samping mejanya lalu bersuara dengan nada setengah berbisik.

“Kamu udah mau pulang?” tanyanya.

Taeyong lantas melirik sekilas ke arah Wendy di seberang mejanya. Sedikit takut jika rekan kerjanya itu mendengar Jaehyun berbicara informal dengannya.

“Mhm,” jawabnya dengan gumaman. “Kenapa?”

“Kunci mobil kamu mana?”

“Itu,” Taeyong menunjuk kunci di atas mejanya dengan dagu. “Ada apa, Jaehyun?”

Tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang lebih tua, Jaehyun dengan sigap meraih kunci mobil juga tas Taeyong. Ia kemudian mencengkeram pergelangan tangan dosen muda itu sebelum menyeretnya ke luar dari ruang dosen hingga sampai di parkiran.

“Jaehyun, kamu kenapa sih? Orang-orang ngeliatin kita.” protes Taeyong saat telah sampai di samping mobilnya.

“Masuk,” ucap Jaehyun setelah membuka pintu untuk Taeyong pada bangku penumpang di samping kemudi.

“Yang sopan, Jaehyun. Saya ini masih dosen kamu.”

“Tapi Minggu depan udah enggak kan?”

“Maksud kamu?”

“Kak Taeyong,” Jaehyun menghela napas. “Masuk sekarang.”

Pada akhirnya Taeyong hanya bisa pasrah. Ia masuk ke dalam mobilnya disusul Jaehyun yang menyetir. Membawa kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan area kampus.

“Kita mau ke mana?” tanya Taeyong saat Jaehyun masih juga enggan bersuara.

“Ke rumah aku.”

“Hah? Ngapain?”

“Nganterin aku pulang.”

Taeyong mendengus, “Terus kenapa pake tarik-tarik segala tadi?”

“...”

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Je?”

Jaehyun masih bungkam. Hingga saat ia akhirnya menghentikan laju mobil Taeyong tepat di depan rumahnya, lelaki berlesung pipi itu lantas menghela napas panjang.

“Kamu mau ngapain di luar negeri?”

Taeyong melebarkan mata. Terkejut mendengar pertanyaan lelaki yang lebih muda.

“Kamu tau dari mana?”

“Jawab aku dulu.”

“Mau ngelanjutin S3.”

Jaehyun tersenyum kecut, “Aku tahu, aku ini bukan siapa-siapa kamu,” katanya.

“Tapi kamu tahu sendiri kan gimana perasaan aku ke kamu? Kenapa gak pernah bilang?”

“Dari awal aku enggak pernah kasih kamu harapan kan?” balas Taeyong, “Kenapa sekarang kamu justru keberatan?”

“Bukan masalah dikasih harapan atau apa, tapi aku enggak bisa ditinggal tiba-tiba kayak gini Taeyong.” suara Jaehyun lirih.

“Apalagi perasaan aku sama kamu masih sama. Aku sayang kamu. Aku belum bisa lupain kamu.”

“Bisa-bisanya kamu bilang sayang sama aku sedangkan kamu sendiri udah punya pacar.”

“Aku enggak punya pacar!”

“Tapi di cafeㅡ”

“Aku bohong,” Jaehyun memotong ucapan Taeyong.

“Hah?”

“Aku bilang aku bohong,” Jaehyun tersenyum kecut. “Aku cuma enggak pengen kamu ngerasa bersalah karena aku menjauh.”

Taeyong membuang muka, “Terus mau kamu apa sekarang?”

“Aku mau kamu jadi pacar aku.”

Taeyong terbelalak.

“Enggak apa-apa walaupun cuma seminggu. Pas mau ke luar negeri, kamu boleh putusin aku.” katanya

“Tapi selama kamu masih di sini, aku pengen jadi orang spesial bagi kamu.”

“Jaehyun...”

“Kak Taeyong, kamu mau kan jadi pacar aku?”

“Aku enggak bisa.” kata Taeyong.

“Kenapa?” raut wajah Jaehyun semakin sedu, “Kamu mau bilang kalau perasaan kamu ke aku cuma sebatas mahasiswa danㅡ”

“Aku juga sayang sama kamu,” kini giliran Taeyong yang memotong ucapan Jaehyun.

“Tiap kali kita chat-an dulu, kamu selalu bikin aku ketawa dan ngelupain masalah aku.” sambungnya.

“Tapi aku enggak bisa jadi pacar kamu, Jaehyun. Aku enggak mau nyakitin kamu.” katanya.

“Enggak apa-apa,” Jaehyun memaksakan senyum. “Aku rela kok sakit hati. Itu udah jadi resiko dan tanggungan aku.”

“Aku cuma pengen ngerasain jadi orang spesial di hati kamu. Meskipun cuma sehari atau bahkan dua hari,” tuturnya.

“Aku pengen tau gimana rasanya jadi sandaran kamu dan tempat kamu berkeluh kesah...”

Jaehyun menelan ludah, “Jadi tolong, sekali ini aja. Biarin aku masuk ke dalam kehidupan kamu sebagai pacar. Bukan mahasiswa, apalagi orang yang pernah kamu fitnah.”

Taeyong refleks tersenyum miring. Matanya memanas melihat raut sedu dan memohon di wajah Jaehyun.

“Aku bakal ngasih jawaban entar malem,” katanya. “Kamu masuk ke rumah kamu sana. Aku juga mau pulang.”

“Jawab sekarang aja.”

“Enggak.”

“Please?”

“Entar malem.”

Jaehyun berdecak, “Ya udah. Aku tagih loh ya?”

“Hm, bawel.”

Taeyong mengedarkan pandangan ke arah cafe. Hingga saat matanya tertuju pada sosok yang diam-diam ia rindukan beberapa waktu terakhir, ia lantas mengulas senyum tipis. Setelahnya Taeyong lantas menghampiri mahasiswa bimbingannya itu.

“Maaf, Jaehyun. Saya rada telat,” katanya lalu duduk di hadapan si lelaki berlesung pipi. “Tadi ada acara di kampus.”

“Enggak apa-apa, kak.”

Dari sorot mata hingga cara berbicara Jaehyun padanya, Taeyong seketika tahu suasana hati lelaki yang lebih muda darinya itu. Bahkan Jaehyun terlihat enggan menatapnya berlama-lama.

Padahal Taeyong sendiri justru amat merindukan sang mahasiswa. Ia ingin menghabiskan waktu meski sedikit saja dengan Jaehyun. Sebab tak lama lagi, ia akan segera meninggalkan Indonesia. Tepat setelah sidang akhir Jaehyun usai.

“Gimana kabar kamu?” tanya Taeyong seraya memeriksa skripsi lelaki di hadapannya.

“Baik, kak.”

Hening. Taeyong tiba-tiba kehabisan akal. Ia mendadak bingung bagaimana cara melanjutkan percakapan mereka. Namun ia tetap mencoba mencairkan suasana sembari memusatkan pandangan pada tumpukan kertas di hadapannya.

“Kamu ke sini sendiri?”

“Berdua, kak. Tadi sama pacar saya,” jawab Jaehyun. “Cuman dia pulang duluan. Takut ganggu katanya.”

Mulut Taeyong seketika terasa pahit. Tungkai dan lengannya pun lantas melemas setelah mendengar penuturan lelaki yang lebih muda.

Tiga Minggu terakhir sejak ia dan Jaehyun tidak pernah lagi berkomunikasi, selama itu pula Taeyong tak henti-henti memikirkan si pemilik lesung pipi. Terlebih saat mengembalikan hoodie yang sebenarnya ia beli untuk Jaehyun, mahasiswanya itu hanya mengucap terima kasih lalu pergi.

Tapi kini, Taeyong harus menerima sebuah kenyataan bahwa Jaehyun akhirnya bisa menemukan seseorang yang kemudian dijadikannya sebagai kekasih. Maka itu artinya ia tidak perlu lagi larut dalam rasa khawatir akan rasa kecewa dan sakit hati dari si pemilik lesung pipi.

Meskipun sebenarnya, saat ini Taeyong diam-diam merasa terluka.

Bukan salah Jaehyun. Bukan pula salahnya. Keadaan lah yang membuat mereka berakhir seperti sekarang.

“Hasil sama pembahasan kamu udah bagus, Jaehyun. Hanya ada beberapa typo yang harus kamu perbaiki,” kata Taeyong seraya mengembalikan mentahan skripsi sang mahasiswa.

“Minggu depan kamu udah bisa ikut sidang kok ini,” ia melanjutkan.

“Baik, kak. Terima kasih banyak,” ucap Jaehyun.

“Ada yang mau kamu tanyakan?” maksud Taeyong tidak hanya tentang skripsi, namun juga interaksi mereka saat ini.

“Enggak ada, kak.”

“Mhm, oke. Good luck ya, Jaehyun.”

“Kalau begitu saya permisi, kak.”

Taeyong mengangguk paham. Ketika Jaehyun kemudian beranjak dari kursi dan bersiap-siap meninggalkannya seorang diri, ia lantas berkata.

“Saya senang bisa kenal sama kamu, Jaehyun.”

HARI INI Jaehyun menyempatkan diri untuk datang ke kampus. Meski sebenarnya ia sangat malas untuk menginjakkan kaki di tempatnya menimba ilmu selama kurang lebih empat tahun itu.

Maklum, penyakit mahasiswa tingkat akhir. Bawaannya males melulu. Kalau enggak menunda-nunda waktu, ya gini. Lihat wajah dosen pembimbing skripsi aja seakan enggak mampu.

Begitu lah kira-kira perasaan Jaehyun saat ini. Tapi seenggaknya dia bukan mahasiswa kurang kerjaan yang hobinya goleran.

Jaehyun itu sibuk. Sangat sibuk.

Bekerja sebagai barista di cafe milik tetangga sekaligus temannya sejak masih kanak-kanak; Johnny membuatnya kadang sulit membagi waktu. Tapi ia juga tidak ingin menyerah untuk meraih mimpinya. Ia ingin membuat Bunda merasa bangga jika anak sulungnya mendapat gelar sarjana.

Dan kembali lagi, Alasan Jaehyun bekerja keras hingga rela banting tulang sambil kuliah selama ini adalah Bunda.

Sepeninggal Ayah karena penyakit kanker yang dideritanya, Jaehyun seketika merasa memiliki tanggung jawab untuk membiayai dirinya sendiri. Meski Bunda kerap kali melarang dan menyuruhnya untuk tetap fokus pada studi, tapi Jaehyun jelas tidak tega.

Bunda hanya bekerja sebagai Manager Operasional bank yang memiliki dua anak. Ia dan Haechan pun sama-sama telah berkuliah, yang mana artinya kebutuhan serta pengeluaran mereka juga semakin banyak.

Jaehyun sangat tidak ingin melihat Bunda bekerja terlalu keras hingga berujung sakit nantinya.

Sesampainya di depan lift lobi fakultas, Jaehyun seketika menghela napas. Orang-orang yang mengantri untuk masuk sangat banyak. Sudah pasti di dalam nanti ia akan merasa sesak.

Tapi apa boleh buat. Jaehyun harus menemui dosen pembimbing barunya hari ini. Meski ia bahkan belum mengetik proposal sama sekali, tapi Jaehyun merasa bahwa ia perlu mengenal dan menanyakan kontak dosen pembimbing barunya nanti.

Saat memasuki lift, apa yang Jaehyun duga sebelumnya benar-benar terjadi. Ia terhimpit diantara mahasiswa lain yang mungkin adalah juniornya sendiri. Sebab ia nyaris mengenali hampir setiap wajah teman angkatannya. Namun tidak dengan juniornya.

Hanya wajah Haechan dan Mark lah yang akrab baginya. Itu pun karena mereka berada di komplek bahkan RT yang sama.

Sembari menunggu pintu lift terbuka, Jaehyun mengedarkan pandangannya sejenak. Namun ia hampir saja berteriak kala kedua iris kecokelatan nya bertemu pandang dengan seseorang. Pasalnya sosok lelaki manis bermata besar itu menatapnya dengan ekspresi yang bisa dibilang kurang mengenakkan. Seolah Jaehyun baru saja melakukan hal yang tidak semestinya ia lakukan.

Beruntung dentingan pintu lift seketika menggema. Membuat Jaehyun buru-buru berdeham lalu beranjak dari tempatnya.

Namun, baru beberapa langkah sejak ia keluar dari lift, langkah Jaehyun lantas terhenti ketika merasakan lengannya dijegal oleh seseorang. Saat menolehkan kepala, pundaknya refleks terangkat kala mendapati bahwa orang itu adalah sosok lelaki bermata besar yang memandanginya dengan raut tak suka di dalam lift tadi.

“Kamu kenal saya?” Jaehyun menoleh ke sekitarnya sejenak, “Ada apa ya?”

“Saya enggak kenal kamu, tapi saya harus ngomong sebentar dengan kamu.”

“Ngomong apa ya?” Jaehyun melirik arloji pada pergelangan tangannya, “Saya lagi buru-buru sih. Tapi kalau emang penting, silahkan. Ngomong aja.”

“Jelas ini sangat penting. Bukan cuma buat saya, tapi juga buat kamu.”

Jaehyun seketika merasa semakin bingung. Lelaki dihadapannya seakan membawa ia masuk ke dalam sebuah labirin. Membuatnya tersesat dan merasa pusing.

“Bisa lebih jelas enggak ngomongnya? Saya enggak paham.” kata Jaehyun heran.

“Kamu enggak paham?” lelaki dihadapan Jaehyun tertawa hambar, “Di dalam lift tadi kamu melecehkan saya.”

“HAH?!”

Andai Jaehyun bisa melompat dari lantai delapan hingga tubuhnya mendarat di lobi dan tidak berakhir merenggang nyawa atau dibawa ke rumah sakit, ia ingin melakukannya saat ini.

“Maaf, tapi di lift tadi saya cuma berdiri di belakang kamu. Kok saya dibilang melecehkan?” sela Jaehyun.

“Iya, kamu berdiri di belakang saya tapi kamu juga menyentuh bokong saya.”

Jaehyun melebarkan mulutnya. Ia kehabisan kata.

Bagaimana bisa ia dituding menyentuh bokong orang lain?

“Saya masih berbaik hati karena enggak bikin kamu malu di dalam lift tadi.” ucap lelaki bermata besar itu, “Jadi tolong, jangan pernah ngulangin perbuatan kamu lagi. Apalagi ke orang lain.”

“Kamu salah paham. Saya enggak nyentuh kamu sedikitpun.”

“Saya enggak butuh pembelaan kamu. Saya cuma mau kamu menyadari kesalahan kamu. Perbuatan kamu tadi benar-benar enggak baik. Kamu bisa dilaporkan ke polisi atas tuduhan pelecehan.”

Jaehyun semakin menganga. Tak percaya dengan apa yang baru saja dengarkan.

“Saya juga bisa lapor polisi loh atas dugaan pencemaran nama baik. Kamu menuduh saya tanpa bukti. Kamu jelas-jelas fitnah saya,” Jaehyun membela diri.

“Saya enggak mau memperpanjang masalah dan bikin kamu berada di posisi sulit. Jadi tolong, sadari kesalahan kamu.” balas lelaki dihadapan Jaehyun sebelum melenggang pergi. Meninggalkan si pemilik lesung pipit yang hanya mampu mengacak rambut frustasi.