Taeyong yang semula sedang bercakap-cakap dengan Wendy; salah satu dosen muda sama sepertinya lantas mengalihkan pandangan saat pintu ruang dosen terbuka. Jaehyun pun telah berdiri di sana masih dengan setelan kemeja putih dan jas yang dipakainya saat sidang tadi.

Lelaki berlesung pipi itu kemudian menghampiri Taeyong. Berdiri di samping mejanya lalu bersuara dengan nada setengah berbisik.

“Kamu udah mau pulang?” tanyanya.

Taeyong lantas melirik sekilas ke arah Wendy di seberang mejanya. Sedikit takut jika rekan kerjanya itu mendengar Jaehyun berbicara informal dengannya.

“Mhm,” jawabnya dengan gumaman. “Kenapa?”

“Kunci mobil kamu mana?”

“Itu,” Taeyong menunjuk kunci di atas mejanya dengan dagu. “Ada apa, Jaehyun?”

Tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang lebih tua, Jaehyun dengan sigap meraih kunci mobil juga tas Taeyong. Ia kemudian mencengkeram pergelangan tangan dosen muda itu sebelum menyeretnya ke luar dari ruang dosen hingga sampai di parkiran.

“Jaehyun, kamu kenapa sih? Orang-orang ngeliatin kita.” protes Taeyong saat telah sampai di samping mobilnya.

“Masuk,” ucap Jaehyun setelah membuka pintu untuk Taeyong pada bangku penumpang di samping kemudi.

“Yang sopan, Jaehyun. Saya ini masih dosen kamu.”

“Tapi Minggu depan udah enggak kan?”

“Maksud kamu?”

“Kak Taeyong,” Jaehyun menghela napas. “Masuk sekarang.”

Pada akhirnya Taeyong hanya bisa pasrah. Ia masuk ke dalam mobilnya disusul Jaehyun yang menyetir. Membawa kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan area kampus.

“Kita mau ke mana?” tanya Taeyong saat Jaehyun masih juga enggan bersuara.

“Ke rumah aku.”

“Hah? Ngapain?”

“Nganterin aku pulang.”

Taeyong mendengus, “Terus kenapa pake tarik-tarik segala tadi?”

“...”

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Je?”

Jaehyun masih bungkam. Hingga saat ia akhirnya menghentikan laju mobil Taeyong tepat di depan rumahnya, lelaki berlesung pipi itu lantas menghela napas panjang.

“Kamu mau ngapain di luar negeri?”

Taeyong melebarkan mata. Terkejut mendengar pertanyaan lelaki yang lebih muda.

“Kamu tau dari mana?”

“Jawab aku dulu.”

“Mau ngelanjutin S3.”

Jaehyun tersenyum kecut, “Aku tahu, aku ini bukan siapa-siapa kamu,” katanya.

“Tapi kamu tahu sendiri kan gimana perasaan aku ke kamu? Kenapa gak pernah bilang?”

“Dari awal aku enggak pernah kasih kamu harapan kan?” balas Taeyong, “Kenapa sekarang kamu justru keberatan?”

“Bukan masalah dikasih harapan atau apa, tapi aku enggak bisa ditinggal tiba-tiba kayak gini Taeyong.” suara Jaehyun lirih.

“Apalagi perasaan aku sama kamu masih sama. Aku sayang kamu. Aku belum bisa lupain kamu.”

“Bisa-bisanya kamu bilang sayang sama aku sedangkan kamu sendiri udah punya pacar.”

“Aku enggak punya pacar!”

“Tapi di cafeㅡ”

“Aku bohong,” Jaehyun memotong ucapan Taeyong.

“Hah?”

“Aku bilang aku bohong,” Jaehyun tersenyum kecut. “Aku cuma enggak pengen kamu ngerasa bersalah karena aku menjauh.”

Taeyong membuang muka, “Terus mau kamu apa sekarang?”

“Aku mau kamu jadi pacar aku.”

Taeyong terbelalak.

“Enggak apa-apa walaupun cuma seminggu. Pas mau ke luar negeri, kamu boleh putusin aku.” katanya

“Tapi selama kamu masih di sini, aku pengen jadi orang spesial bagi kamu.”

“Jaehyun...”

“Kak Taeyong, kamu mau kan jadi pacar aku?”

“Aku enggak bisa.” kata Taeyong.

“Kenapa?” raut wajah Jaehyun semakin sedu, “Kamu mau bilang kalau perasaan kamu ke aku cuma sebatas mahasiswa danㅡ”

“Aku juga sayang sama kamu,” kini giliran Taeyong yang memotong ucapan Jaehyun.

“Tiap kali kita chat-an dulu, kamu selalu bikin aku ketawa dan ngelupain masalah aku.” sambungnya.

“Tapi aku enggak bisa jadi pacar kamu, Jaehyun. Aku enggak mau nyakitin kamu.” katanya.

“Enggak apa-apa,” Jaehyun memaksakan senyum. “Aku rela kok sakit hati. Itu udah jadi resiko dan tanggungan aku.”

“Aku cuma pengen ngerasain jadi orang spesial di hati kamu. Meskipun cuma sehari atau bahkan dua hari,” tuturnya.

“Aku pengen tau gimana rasanya jadi sandaran kamu dan tempat kamu berkeluh kesah...”

Jaehyun menelan ludah, “Jadi tolong, sekali ini aja. Biarin aku masuk ke dalam kehidupan kamu sebagai pacar. Bukan mahasiswa, apalagi orang yang pernah kamu fitnah.”

Taeyong refleks tersenyum miring. Matanya memanas melihat raut sedu dan memohon di wajah Jaehyun.

“Aku bakal ngasih jawaban entar malem,” katanya. “Kamu masuk ke rumah kamu sana. Aku juga mau pulang.”

“Jawab sekarang aja.”

“Enggak.”

“Please?”

“Entar malem.”

Jaehyun berdecak, “Ya udah. Aku tagih loh ya?”

“Hm, bawel.”