Your Scent

Bara dan Senja kini tengah sibuk mencuci piring di wastafel. Usai tadi berbincang hingga makan malam bersama Tante Tari dan Langit, keduanya membiarkan Ibu untuk beristirahat saja. Bara dan Senja mengambil alih setiap pekerjaan yang tersisa setelah kedatangan tamu di rumah—sekaligus diam-diam mengambil kesempatan untuk bisa berduaan guna melepaskan kerinduan.

“Kamu lihat sendiri kan? Ibu itu punya pikirannya sendiri soal kamu, Nja.” Bara kembali angkat bicara. “Ibu cuma gak mau kalau sampai kamu terjebak di dalam harapan yang bisa nyakitin kamu. Apalagi si Ibu punya pengalaman gak baik ditinggalin Ayah kamu.”

“Makanya waktu itu aku bilang supaya kamu juga ngertiin Ibu,” timpalnya. “Ibu tuh gak pengen misahin kita, bahkan dia ngatur perkenalan kamu sama Langit pun, ya, supaya kamu mulai bisa terbiasa buat nerima orang lain.”

“Niat Ibu baik,” katanya. “Ibu itu cuma pengen yang terbaik buat kamu. Gak pengen kamu sakit.”

“Mm,” gumam Senja. “Aku paham kok ketakutan Ibu, tapi aku tuh gak bisa bayangin gimana jadinya aku kalau enggak berakhir sama kamu deh, Bang. Ibu takut aku gak bisa buka hati lagi kayak dia kalau aja kamu gak balik ke aku.”

“Tapi ketakutan Ibu itu malah terjadi bahkan sebelum aku tau kamu bakal balik lagi atau gak.”

Bara tersenyum, “Makasih ya.”

“Buat apa?”

“Makasih karena udah jadi lebih kuat buat aku, Nja. Padahal, ada di posisi kamu itu nggak mudah. Tapi kamu setia nungguin aku.”

Senja berdecih. Pipinya bersemu.

“Pokoknya Abang harus ngebayar mahal ya karena udah bikin aku nunggu lama,” candanya. “Udah seminggu juga aku dibikin galau sampai nangis karena kamu tau.”

Bara mencuci tangannya sesaat sebelum membingkai wajah sang pujaan hati. Namun hal itu justru membuat Senja merengek sebal. Pasalnya, tangan Bara masih lah basah. Membuat pipi Senja juga ikut basah dan dingin karenanya.

“Ih, Abaaang! Keringin tangan kamu dulu kek!” cebik Senja.

Bukannya melepas tautan jemari basahnya dengan pipi Senja, Bara justru tertawa. Ia lalu mencubit gemas pipi Senja dan berkata.

“Abisnya pipi kamu merah, Nja. Kayak orang yang lagi demam, makanya aku kompres dingin.”

“Abang ngeledekin aku?”

Bara terkekeh, “Gak kok.”

Menipiskan bibirnya, Senja yang bermain dengan air dari keran yang masih menyala pun diam-diam mencuci tangan; seperti Bara tadi. Tanpa membiarkan tangannya kering lebih dahulu, Senja kemudian mencipratkan sisa-sisa air di jemarinya itu ke arah wajah Bara. Alhasil, Bara dibuat memejamkan mata sambil menahan senyumnya. Sementara Senja sendiri telah tertawa puas.

“Jadi kamu pengen main air ya? Hm?” tanya Bara dengan suara bariton lembutnya sebelum ikut memercikkan air ke wajah Senja.

Keduanya sama-sama tertawa lepas. Seolah dari hal sederhana itu saja Bara dan Senjanya sudah dibuat bahagia, asalkan mereka melakukannya bersama-sama.

“Kalian lagi ngapain sih di situ?”

Baik itu Bara maupun Senja lantas menoleh ke sumber suara, dimana Ibu sedang berjalan dan hendak menghampiri mereka.

“Katanya pengen cuci piring, kok malah ribut-ribut gini?” omel si wanita paruh baya, “Udah malem banget. Ganggu tetangga nanti.”

“Maaf ya, Bu.” Bara dengan sigap meminta maaf. “Piringnya udah saya sama Senja cuci semua kok, Bu. Ruang tamu juga udah saya sama Senja pel sampai bersih.”

“Ya udah,” Ibu melipat lengan lalu berdeham. “Bar, malam ini kamu nginep aja ya? Di luar gledeknya lagi gede. Bentar lagi bakal ujan. Kamu juga gak bawa mobil kan tadi? Ojol jarang ada yang mau ambil orderan kalau udah hujan, apalagi daerah sini. Malam pula.”

Bara mengangguk. “Makasih, Bu.”

Ibu kemudian beralih menatap Senja, “Nja, kamu sekarang ke kamar tamu gih. Bersihin buat Bara, biar anaknya bisa istirahat.”

“Bang Bara tidur di kamar aku aja deh, Bu.” jawab Senja yang sontak membuat Bara juga Ibu melotot.

Senja berdeham, “Eh, Ibu jangan mikir yang aneh-aneh. Maksud aku, biar Bang Bara bisa langsung bobo abis ini. Gak usah nunggu aku beresin kamar tamu dulu.”

Ibu memicingkan mata curiga. Ia skeptis dengan alasan anaknya.

“Gak apa-apa, Bu. Nanti biar saya aja yang bersihin kamar tamu.” Bara menengahi kecanggungan di antara mereka, “Ibu istirahat gih. Senja juga. Udah malem nih.”

“Abang,” Senja memanggil Bara hanya dengan kode mulut, tidak ada suara yang keluar dari sana. Namun Bara bisa memahaminya.

Bara pun mati-matian menahan senyum melihat wajah kesal sang pacar. Kedua alis Senja bertautan sedang bibir tipis Senja kembali bergerak tanpa adanya suara.

“Aku mau bobo sama kamu!”

“Kamu tidur di kamar Senja aja,” Ibu menatap wajah Bara lekat-lekat lalu menoleh ke anaknya.

“Tapi langsung tidur, nggak usah yang aneh-aneh. Tunggu sampai kalian udah nikah,” tegasnya.

“Siapa juga yang mau aneh-aneh sih, Bu? Dibilang enggak,” cebik Senja, Ibu geleng-geleng kepala.

“Kan enggak ada yang tau sama hawa nafsu,” kata Ibu. “Udah, Ibu juga udah ngantuk banget. Kalian ke kamar sekarang. Jangan ribut.”

“Tidur yang nyenyak ya, Bu.” kata Bara yang dibalas anggukan serta senyum tipis dari si paruh baya.

“Kamu juga,” Ibu menepuk pelan pundak Bara. “Maafin saya yang udah terlalu keras sama kamu ya, Bar? Sekarang... Udah waktunya buat kamu istirahat tanpa harus takut besok kamu masih hidup atau mati. Gitu juga sama Senja.”

“Sekarang udah waktunya buat anak saya istirahat tanpa harus dihantui ketidakjelasan tentang nasib kamu di sana,” jelasnya.

“Ibu gak perlu minta maaf,” sahut Bara. “Saya ngerti perasaan Ibu.”

“Saya senang kamu kembali dan nunjukin keseriusan kamu, Bar.”

Ibu membelai pipi Bara sejenak.

“Makasih udah pulang dengan selamat untuk Senja,” katanya.

“Iya, Bu.”

“Saya ke kamar duluan ya,” pamit Ibu lagi lalu beralih mengusap lembut puncak kepala anaknya. Senja seketika tersenyum manis.

“Selamat istirahat, Bu.”

“Kamu juga, Nja.”

Setelah Ibu meninggalkan area dapur—dimana Bara dan Senja mencuci piring tadi—keduanya lantas saling berbagi pandangan diikuti senyum. Senja kemudian memeluk erat leher Bara lalu mendaratkan kecupan-kecupan ringan di wajah pujaan hatinya.

“Nja…” Bara terkekeh, “Inget kata Ibu tadi. Gak boleh aneh-aneh.”

“Aneh-aneh apanya coba? Aku kan cuma nyium kamu, Bang.”

Tersenyum lembut, Bara lantas mengecup kilat bibir tipis Senja.

“Aku bercanda,” katanya. “Kita ke kamar sekarang yuk. Kamu pasti capek banget abis bersih-bersih.”

“Gendooong,” rengek Senja.

Gemas akan tingkah pacarnya, Bara pun tidak tahan untuk tak mencubit kedua pipi Senjanya.

“Calon suami cantik aku manja banget ya abis ditinggal,” kekeh Bara. “Udah kangen banget ya?”

“Aku masih perlu jawab?”

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Bara dengan sigap menggendong Senja seperti koala. Ia kemudian membawa pacarnya itu menuju kamar dimana mereka akan tidur bersama nantinya. Sesekali Bara celingukan, takut kalau saja Ibu masih berada di luar kamarnya lalu melihat mereka dengan posisi seperti sekarang. Bisa-bisa Ibu kembali berpikir aneh-aneh.

Sementara itu, Senja yang telah berhasil mendapatkan apa yang ia mau seketika terkekeh. Meski begitu, Senja pun tetap merasa kasihan karena mengingat Bara kini mungkin sedang kelelahan.

“Abang, turunin aku di sini aja.” Senja berbisik, “Kasian kamu lagi capek. Mana aku berat banget.”

“Berat apanya?” decak Bara. “Aku pas gendongin kamu di kos-an dulu enggak kayak gini loh, Nja.”

“Kamu males makan ya?” cecar Bara, “Bekalnya jarang diabisin?”

Senja hanya tersenyum sebelum mengecup kilat bibir pacarnya.

“Abang bawel,” bisiknya.

Sesampainya di depan kamar, Bara membuka pintu dengan satu tangannya. Bara lalu menggunakan kakinya untuk kembali menutup pintu kamar.

Setelahnya, Bara pun membawa Senja masuk lalu merebahkan tubuh sang pujaan hati di atas ranjang dengan posisi terlentang. Bara sendiri berada di atas tubuh Senja; mengungkung pacarnya.

“Abang.”

“Mm?”

“Kamu curang.”

Sontak Bara mengangkat alisnya bingung. Terlebih Senja tiba-tiba mengangkat kepala lalu perlahan mengendus lehernya. Setelahnya Senja lalu kembali merebahkan kepalanya di atas ranjang sambil mencebikkan bibir ranumnya.

“Tuh kan bener, kamu pasti abis pakai parfum untitled bikinan kamu sendiri kan?” kata Senja.

“Iya,” Bara membenarkan. “Tapi kok kamu bilang aku curang?”

“Ya abisnya kamu masih punya parfum itu, sedangkan punya aku udah abis.” Senja mencebik. “Aku gak pakai parfum apa-apa sejak kemarin tau gak? Aku nepatin janji aku buat gak ganti parfum.”

“Sekarang mana parfum buat aku?” decaknya, “Gak adil ya kalau cuma kamu yang wangi.”

Bara tersenyum. Satu tangannya kemudian membelai pipi Senja.

“Maafin aku ya karena gak bisa pulang sebelum parfum kamu abis, Sayang.” kata Bara, “Tapi, malam ini aku bakal bikin kamu wangi parfum untitled lagi kok.”

“Parfum yang ada di badan aku ini bakal berpindah ke kamu,” lanjut Bara. “Karena aku bakal meluk kamu sampai besok pagi.”

My scent is yours, Senjaku.”

Senja tersenyum. Satu tangannya ikut membelai pipi kanan Bara.

“Abang, rasanya kayak mimpi ngeliat kamu udah ada di sini.”

“Ini bukan mimpi, Sayang.”

“Coba buktiin,” kekeh Senja.

Kedua ujung bibir Bara saling tarik menarik hingga akhirnya membentuk senyum lembut. Ia lalu menurunkan pandangannya ke bibir Senja sebelum perlahan menghapus jarak antara mereka.

Mata Senja pun refleks terpejam saat bibir Bara menyapu dengan lembut celah ranumnya. Kedua lengan Senja kemudian bergerak, memeluk tengkuk Bara kala sang pacar semakin memperdalam ciuman mereka. Rasanya masih sama. Sensasi menggelitik dalam perutnya pun tetap sama. Senja masih sangat hapal setiap gerak dan sentuhan dari pacarnya itu.

Decak saliva mengalun di dalam kamar Senja, bersahut-sahutan. Kedua anak manusia itu semakin larut dalam pagutan yang seolah menjadi ajang ‘tuk menyalurkan kerinduan yang lama terpendam.

Bibir digigit, lidah saling melilit. Baik itu Bara maupun Senjanya lantas melenguh di sela-sela pagutan mereka. Sesekali Bara menyapu habis jejak air liur yang entah milik siapa di sudut bibir Senja. Membuat Senja merasa mabuk karena sentuhannya itu.

Sampai saat Bara merasa bahwa Senjanya mulai kehabisan napas, ia pun menyudahi ciuman manis itu dengan kecupan ringan. Bara lalu kembali memandangi wajah Senja yang kini telah memerah. Napas pacarnya pun tersengal.

“Gimana? Hm?” Bara tersenyum, “Ini bukan mimpi kan, Sayang?”

Senja terkekeh, “Iya.”

Jemari Senja pun bergerak pelan. Meraih helaian rambut Bara yang jauh lebih panjang daripada saat terakhir kali mereka bertemu. Tepatnya satu tahun yang lalu.

“Rambut kamu udah panjang banget, Bang. Kamu gak pernah potong rambut selama di sana?”

“Mm, aku sengaja manjangin.”

Senja mengernyit. “Biar apa?”

“Karena aku mikirnya, biar pas aku pulang, aku pengen kamu yang motong rambut aku, Nja.”

“Ih, aku kan nggak jago motong rambut. Gak kayak Abang yang pernah nyamar jadi staff salon.”

“Gak apa-apa,” kekeh Bara. “Aku tuh percaya, kalo potong rambut itu buang sial. Jadi, aku pengen orang yang bikin aku ngerasa beruntung karena punya dia yang nge-buang kesialan aku.”

“Supaya pas kita nikah nanti jalan kita bakal lebih mulus, nggak ada kesialan yang datang.” timpalnya.

“Kalau aku bikin Abang botak gimana?” Senja tertawa kecil.

“Aku sih gak masalah,” Bara lalu menggesek-gesekkan hidungnya dengan milik Senja. “Tapi kamu siap gak kalau nanti jalan sama suami kamu yang botak, Nja?”

“Siap kok,” Senja membingkai wajah Bara. “Biar orang-orang tau kalau aku mencintai kamu tulus dan apa adanya, Bang.”

“Mau kamu botak kek, ompong kek, aku gak masalah. Asal orang itu kamu,” katanya. “Aku jatuh cinta sama karakter kamu, Bang.”

Bara tersenyum haru, “Makasih ya, Sayang? Makasih karena udah cinta sama aku dan nerima aku.”

“Makasih juga ya, Abang.” balas Senja diikuti senyum. “Makasih karena udah hadir di hidup aku.”

“Abang Refill yang awalnya bikin aku penasaran sampai aku nge-crush diam-diam malah ngajarin banyak hal ke aku.” timpal Senja.

“Kamu ngajarin aku arti saling mengerti, sabar dan dicintai sampai sedalam ini. Aku selalu merasa beruntung punya kamu.”

“Aku juga beruntung bisa punya kamu, Senjaku.” balas Bara. “Aku beruntung bisa jadi orang yang akan menikahi kamu lalu hidup dengan kamu di sisa hidup aku.”

Mata Senja berkaca-kaca.

“Aku sayang banget sama Abang.”

“Aku juga sayaaaang banget sama kamu, Senjaku.” balas Bara lalu menciumi kening Senja sejenak.

Bara kemudian kembali menatap wajah Senja diikuti senyum tipis.

“Sekarang kita tidur ya?”

Senja mengangguk, “Peluk aku ya, Bang? Yang kenceng banget.”

“Iya, Sayang.”

Bara merebahkan tubuhnya di samping Senja. Ditariknya tubuh Senja agar tenggelam di dalam dekapannya. Satu lengan Bara pun menjadi bantal Senja, sedang lengannya yang lain memeluk erat pingang ramping pacarnya.

“Good night, Abang.”

“Good night, Senjaku.”