Toilet
“Gimana ujian lo tadi?” kepo Jeva.
“Gak tau deh,” jawab Julian. “Gue nge-jawab tapi kayak orang nge-fly. Ditanyain meningeal sign, eh gue jawabnya soal low back pain.”
“Gak apa-apa, Jul. Lo kalau remedial ada temennya kok.” Salsa lantas menimpali sambil menunjuk ke dirinya sendiri.
“Doa lo jelek banget aslian, Sal. Ogah, lo remedial aja sendiri.”
Gelak tawa kembali menggema di ruang Koas, dimana kelompok 4L sedang beristirahat sambil bercengkrama usai menjalani ujian akhir stase. Meski pening dan mental yang terguncang sehabis berhadapan dengan pasien juga penguji masih belum reda, namun kini mereka sudah bisa bernapas sedikit lebih lega. Sebab, satu lagi stase minor rasa mayor akan terlewati esok hari.
“Gue ke toilet bentar ya,” pamit Biru kepada teman-temannya.
“Aku juga mau ke toilet, Bi.” Jeva menimpali dan sukses membuat Ray, Julian dan Salsa memicing.
“Hati-hati, gengs. Kalian masih di rumah sakit. Inget,” ledek Salsa.
“Toilet gak aman buat ciuman, Jev. Entar ada yang mergokin.”
Julian ikut buka suara hingga Salsa bertepuk tangan diikuti dengan tawanya yang lantang. Ray sendiri pun ikut tertawa.
Biru hanya memutar bola mata lalu geleng-geleng kepala pelan, sedang Jeva seketika menoyor keras kepala Julian juga Salsa.
“Diem deh lo berdua,” kata Jeva lalu kembali melirik ke arah Biru.
“Ayo, Bi.” ajaknya.
Biru hanya mengangguk sebelum melenggang keluar dari ruang Koas. Pun Jeva yang mengekor di belakang sang pacar. Keduanya kemudian melangkah beriringan ke arah toilet yang tak jauh dari tempat beristirahat mereka tadi.
“Gara-gara si Julian bahas soal ciuman, aku jadi inget kalau ada yang janji bakal ngasih aku kiss di bibir pas akhir stase.” bisik Jeva.
Senyum tertahan di sudut bibir Biru. Jeva, jelas, menyindirnya.
“Kapan ya kira-kira aku bakal dapetin kiss aku?” timpal Jeva. “Mana udah akhir stase lagi.”
“Besok masih ada jadwal jaga terakhir, berarti hari ini belum akhir stase dong?” balas Biru, bersamaan dengan sampainya mereka di dalam toilet pria itu.
Baik itu Jeva maupun Biru lantas berdiri masing-masing di depan satu urinoir. Mereka buang air kecil di sana tanpa sedikit pun saling menoleh, namun Jeva dan Biru masih lanjut berbincang.
“Oh, jadi besok ya?” kata Jeva.
Biru mengangkat pundaknya, bersamaan dengan selesainya aktivitas buang airnya. Dia lalu berjalan ke arah wastafel guna mencuci tangan, pun Jeva yang menyusul ke sisinya setelahnya.
“Tergantung sikap kamu ke aku gimana,” sahut Biru. “Kalau kamu gak nge-bawel mulu, nggak bikin kesel, you’ll get the kiss asap tho.”
“Perasaan, kesepakatan awalnya gak kayak gini deh?” cebik Jeva yang membuat Biru terkekeh.
Saat Jeva dan Biru masih sibuk mencuci tangan mereka di depan wastafel, Biru diam-diam melirik ke arah cermin. Pantulan wajah Jeva yang kini tengah menipiskan bibir hingga dua lesung pipinya nampak pun mencuri atensinya.
Semakin dia menatap Jeva, Biru semakin sadar bahwa dirinya benar-benar telah jatuh begitu dalam. Tapi, di saat yang sama, Biru juga kembali teringat akan guyonan Jeva subuh tadi tentang pernikahan. Entah kenapa Biru memikirkan hal itu begitu serius.
“Jev?”
“Mm?”
Jeva ikut memandangi pantulan wajah Biru di cermin lalu refleks menyunggingkan senyum manis. Namun, Biru justru buru-buru memandangi kedua tangannya yang masih ia basuh dengan air.
“Menurut kamu… Suatu saat… Mungkin gak sih kita bisa nikah?”
Pertanyaan tiba-tiba Biru sontak membuat Jeva terdiam sejenak. Nampak raut terkejut sekaligus tersipu malu di wajah si pemilik lesung pipi. Biru yang menyadari itu pun lantas berdeham pelan.
“Sorry, aku tiba-tiba mikirnya random banget.” Biru tertawa hambar, “Jangan dianggap serius. Gak dijawab juga nggak apa-apa.”
Jeva tersenyum tipis. Dia sudah sangat paham dengan watak Biru yang suka berpikir jauh ke depan.
“Bisa. Kenapa enggak mungkin?” jawab Jeva. “Aku udah bilang kan kalau aku mau nikahin kamu, Bi?”
“And I mean it,” tegasnya. Aku gak pernah bercanda soal itu.”
“Kenapa? Kamu kepikiran ya kalau pernikahan buat orang kayak kita nggak diakui sama negara?” Jeva menebak. “Bi, aku bisa kok bawa kamu ke tempat dimana status kita bisa diakui.”
“Kita bisa nikah di luar negeri kayak Papa kandung kamu terus balik lagi ke sini kalau kamu mau. I’ll do anything to make you mine. Gak peduli gimana pun caranya.”
“Aku gak mikir sejauh itu,” elak Biru. “Aku cuma penasaran aja gimana pandangan kamu soal hubungan kita ke depannya.”
“I mean…” Biru melirik pantulan Jeva di cermin sesaat sebelum kembali menghindari tatapan sang pacar. “Jalan tanpa tujuan yang jelas itu melelahkan, Jev.”
“Orang yang punya tujuan aja kadang capek di tengah jalan, apalagi yang gak punya tujuan sama sekali? Gak ada yang tau kapan kamu atau aku bakalan ada di fase itu,” Biru menimpali.
“Atau bisa aja di tengah jalan kita yang tanpa tujuan itu, perasaan kamu ke aku udah berubah, atau justru sebaliknya. Who knows?”
Usai mengeringkan tangannya, Jeva kemudian menarik pelan lengan Biru menuju salah satu bilik toilet. Biru yang terkejut sekaligus heran pun hanya mengikuti langkah pacarnya.
Sampai saat mereka telah masuk ke dalan bilik toilet, Biru dibuat menahan napas. Pasalnya, Jeva tiba-tiba menutup lalu mengunci pintu sebelum mengurungnya di tengah-tengah tubuh Jeva dan daun pintu itu. Kedua lengan Jeva berada di sisi kepala Biru.
“Aku boleh gak minta kiss di bibir aku sekarang?” tanya Jeva pelan dengan suara rendah nan berat.
Biru melirik bibir Jeva sesaat sebelum menyeringai tipis. Dia lalu kembali menatap mata Jeva.
“If I say no, what will you do?”
“Same question. Menurut kamu, dalam kondisi bibir kamu udah ada di hadapan bibir aku kayak sekarang, dan di tempat yang cuma ada kita berdua. What will I do, Biru?” Jeva balik bertanya.
Biru refleks menelan ludah kala Jeva kian mengikis jarak antara wajah mereka. Sampai saat Biru telah bisa merasakan deru napas Jeva yang hangat, dia seketika memejamkan mata. Seakan Biru sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa harus ia jawab.
“Kamu mungkin mikir kalau aku bakalan nyium kamu,” bisik Jeva tiba-tiba hingga membuat Biru membuka mata. “Tapi gak gini kesepakatan awal kita. The one who should give the kiss is you.”
“Aku bakal tetep nunggu sampai kamu mau,” timpalnya. “Aku gak bakal mengingkari kesepakatan itu, Bi. Karena gitu juga cara aku menghargai kamu sebagai pacar aku. Dan apa yang udah menjadi komitmen kita, gak seharusnya aku ubah sepihak gitu aja kan?”
“Sama halnya dengan hubungan kita, Bi. Ketika aku udah punya komitmen buat serius sama kamu, aku bakal berusaha buat nge-wujudin itu. Gimana pun caranya dan apa aja kendalanya.”
“Perasaan manusia emang bisa berubah, aku tau itu. Aku pun gak bakalan ngasih kamu janji kalau perasaan aku ke kamu bakal sama terus kayak hari ini.”
“Tapi aku berani janji, kalau aku akan selalu mencintai kamu, Bi. Gimana pun caranya. Kalau pun suatu saat perasaan aku mulai memudar, aku bakalan kembali memupuk perasaan aku supaya kembali tumbuh ke kamu bukan ke orang lain. Kamu paham kan?”
Biru tersenyum lembut sebelum satu tangannya membelai pelan pipi Jeva. Dia lalu mengangguk.
“Kenapa jadi serius gini sih, hm?” Biru terkekeh sambil mencubit gemas pipi pacarnya, “Kita masih harus mengabdi di Rumah Sakit satu tahun lebih ya, Dek Koas.”
“Fokus sama masa sekarang aja dulu. Lagian, masa depan aku udah aman kan sama kamu?”
Ucapan Biru sontak membuat Jeva tersenyum haru. Pacarnya itu jelas memberitahu secara tersirat bahwa dia percaya pada apa yang telah Jeva katakan tadi.
“Ngomong-ngomong, sampai kapan ya kita bakalan di sini?” tanya Biru. “Kalau ada yang ngeliat kita keluar bareng dari sini, bakal jadi gosip lagi tau.”
Jeva terkekeh, “Ya udah, ayo. Kita keluar sekarang, mumpung sepi.”
Biru mengangguk. Jeva yang tadi mengurung tubuh Biru pun kini telah bersiap membiarkan Biru untuk keluar terlebih dahulu. Namun, belum sempat jemari Biru memutar kenop bilik itu, dia lantas kembali berbalik ke arah Jeva yang berdiri di hadapannya.
Bukan tanpa sebab. Biru dan Jeva bisa mendengar suara gaduh dari luar. Jelas bahwa ada beberapa pria yang masuk ke dalam toilet.
“Here we go again, Bi.” bisik Jeva yang kembali mengungkung Biru di antara tubuhnya dan pintu.
Biru pun mengulum bibirnya lalu mencubit pelan pinggang Jeva, sedang pacarnya menahan tawa.
Selagi menunggu orang-orang di luar sana keluar dari toilet, Jeva juga Biru lantas tidak sengaja mendengar obrolan mereka. Dari obrolan itu pula Jeva dan Biru bisa menebak bahwa pria di luar sana juga Koas seperti mereka.
“Bagus deh bentar lagi kita bakal pindah stase, gue udah muak di sini. Homo kok dijunjung tinggi.”
“Gimana gak dijunjung tinggi? Jabatan bokap orang yang homo aja tinggi,” timpal satu pria lagi.
Jeva dan Biru yang mendengar hal itu hanya bungkam sambil berbagi pandangan. Sedang di luar sana gelak tawa menggema.
“Eh, Gi. Waktu itu lo nge-DM si Jeva pake akun kosongan lo gak sih?” tanya satu orang pria lain. “Masih lo gangguin anaknya?”
“Gangguin apaan? Kan yang gue bilang ke dia fakta,” jawab Koas yang disapa ‘Gi’ itu. “Dia udah gue block pas abis gue DM. Udah puas juga gue bilang gitu ke dia.”
“Kalau dipikir-pikir kasian juga ya si Jeva. Padahal dia gak minta ditolongin sama Dokter pas abis digebukin suami pasiennya, tapi malah dia yang elo katain, Gi.” ucap orang tadi lalu cekikikan.
“Emang si Gio nih kebangetan. Gue yang baca Instagram stroy Prof Herry aja kasian sama Jeva.”
“Tapi ya emang gitu kan resiko jadi anak orang yang punya power? Sama aja kayak public figure, musti jaga sikap biar gak dikatain ama netizen. Lah si Jeva malah gopub kalau dia itu homo.”
Mendengar nama Gio disebut di luar sana serta bagaimana suara sosok itu membuat Jeva lantas bisa tahu bagaimana tampang orang yang pernah mengirimi DM padanya, Biru dan Julian. Masih teringat jelas di kepala Jeva bagaimana Gio dan dua orang temannya pergi begitu saja dari ruang Koas saat dia dan Biru masuk ke ruangan itu tepat pada hari dimana statusnya sebagai anak Prof Harry telah diketahui oleh orang-orang RS.
Sementara itu, Biru yang melihat Jeva mengeraskan rahang sambil mengepalkan kedua tangan di samping paha lantas mengusap lembut bahu pujaan hatinya itu.
“Jev, kamu baik-baik aja?” Bisik Biru dengan raut khawatirnya.
“Mm,” Jeva tersenyum tipis guna meyakinkan Biru. “Tapi kayaknya aku harus ketemu sama dia, Bi.”
“No, you don’t have to.” kata Biru. “Kamu udah tau orangnya siapa, kamu juga udah tau kenapa dia ngirim DM itu. Itu pure karena dia gak suka sama orang kek kita dan dia salah menyangka kalau kamu yang minta bantuan itu.”
“Menurut kamu, apa yang bisa kamu ubah? Mereka jadi suka sama orang kayak kita? Nggak akan, Jev. It’s just wasting your time, your energy, dan bakalan jadi gosip baru lagi. So, please?”
“Gak usah, Sayang.” timpal Biru dengan suara yang amat rendah.
“Aku emang nggak bakalan bisa ngubah atau maksa mereka buat suka sama kita atau nerima kita, tapi aku pengen dia tau kalo aku gak suka dia gangguin kamu, Bi.”
Jeva menghela napasnya pelan saat melihat Biru menggeleng.
“Aku gak bakalan berantem. Aku juga gak bakalan mukulin dia. I promise you. Ya, Bi?” pinta Jeva.
Jeva pun hendak menuntun Biru agar menghindar dari pintu bilik toilet, sebab dia ingin keluar lalu menemui Koas bernama Gio itu. Namun, sebelum Jeva mampu menggeser tubuh Biru, pacarnya itu sudah lebih dulu memeluk tengkuknya. Tanpa aba-aba, Biru kemudian membungkam bibir Jeva dengan celah ranumnya.
Biru melumat bibir bawah Jeva sambil memejamkan matanya, sedang Jeva yang masih kaget akan ciuman tiba-tiba Biru itu pun tidak merespon lumatan pacarnya untuk beberapa saat. Sampai ketika Biru menggigit pelan bibir Jeva, si pemilik lesung pipi dengan sigap melingkarkan erat lengannya di pinggang Biru.
Tidak ada lagi jarak antara tubuh keduanya. Biru dan Jeva pun kian memperdalam ciuman mereka hingga keduanya nyaris lupa jika ada orang lain di luar bilik toilet.
Beruntung Biru segera sadar jika suara air mengalir dari wastafel telah berhenti. Itu artinya Gio, juga teman-temannya tadi telah pergi. Alhasil, kini Biru menarik diri dari tautannya dengan Jeva sekaligus mengakhiri ciumannya.
“Curang,” Jeva mencebik. “Kamu nge-larangnya pake cara yang nyerang titik lemah aku banget.”
Biru menahan senyum. Dia lalu mendaratkan satu kecupan di bibir Jeva hingga pacarnya itu mengulum rapat bibirnya sambil membuang pandang ke arah lain.
Jeva tersipu dan salah tingkah.
“Curang, tapi kamu suka kan?” ledek Biru. “Lagian kalau aku bilangin juga kamu bakal batu.”
Jeva akhirnya berani melirik wajah Biru dengan bibir yang kembali mencebik tak terima.
“Tapi kan aku mau ketemu sama dia buat kamu, Bi. Mana tau dia besok-besok ganggu kamu lagi.”
“Gak bakal. Udah, kamu percaya sama aku. Ya?” Biru meyakinkan.
“Ayo, mending kita keluar dari sini sekarang. Takut entar ada orang lagi,” timpal Biru mengajak.
Namun, baru saja Biru hendak berbalik guna membuka pintu, Jeva justru kembali menuntun tubuhnya untuk berada dalam kurungan lengan sang pacar. Biru pun hanya menghela napas pasrah saat melihat Jeva cengar-cengir dengan tampang tengil.
“Apa?”
“Kan kiss di bibir yang tadi buat nge-larang aku, kalau kiss buat akhir stase mana?” tanya Jeva.
“Gak ada,” kata Biru. “Yang tadi itu udah sekalian. Siapa suruh kamu gak bisa dibilangin tadi.”
“Kok gitu sih, Bi?” rengek Jeva.
“Udah, minggir. Aku mau keluar.”
“Bi, masa segitu doang?” Jeva masih merengek dengan kedua tangan yang menggenggam erat jemari Biru sambil digoyangkan.
Menghela napasnya pasrah, Biru kemudian menatap wajah Jeva.
“Entar, pas kita pulang. Jangan di sini, entar ketahuan orang RS.”
“Beneran ya?”
“Iyaaa.”
“Kiss pipi dulu kalau gitu,” pinta Jeva lalu memalingkan wajahnya. “Buat jaminan sebelum kiss bibir.”
Biru geleng-geleng kepala sambil menahan tawanya. Pada akhirnya dia kembali pasrah lalu mencium lembut pipi kanan dan kiri Jeva.
“Udah?”
Jeva pun tersenyum sumringah seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru, “Mhm.”
“Ya udah, minggir. Aku keluar duluan, kamu nyusul entaran.”
“Oke, Sayang.”