Show
Abil nahan senyum sambil liatin Dito yang sekarang udah siap-siap buat naik ke atas panggung. Dito masang in ear monitornya sambil sesekali ngelirik ke Abil. Alhasil, mereka berakhir sama-sama tersipu dan salah tingkah.
“Udah ready ya semua?”
Dito ngacungin jempolnya ke panitia yang nanyain kesiapan dia. Setelahnya, Dito kemudian nyamperin Abil yang sedari tadi setia dampingin dia di backstage.
“Aku perform dulu ya.”
Abil ngangguk, “Semangat!”
Dito senyum. Dia lalu nangkup wajah Abil dengan dua tangannya sebelum ngecup lembut kening si pujaan hati sambil nutup mata. Abil pun melakukan hal serupa, dia nutup mata sambil senyum.
“See you, Bil.”
“Mm,” Abil cuma bergumam lalu ngeliatin Dito yang kini bergegas ke atas panggung buat perform.
Dari backstage, Abil bisa denger suara merdu Dito yang nyanyiin dua lagu miliknya sebelum jeda. Di waktu jeda itu pula Dito mulai berinteraksi sama penggemar.
Sampai ketika Dito tiba-tiba aja nyebut namanya, Abil tersentak. Orang-orang yang masih ada di backstage pun mulai nyorakin dia sambil nyuruh naik ke panggung.
Manager Dito yang notabenenya adalah teman mereka—Abil dan Dito—sendiri pun narik lengan Abil. Dia nuntun Abil buat naik ke atas panggung dan ketemu Dito.
“Dit, ini apa-apaan sih?” bisik Abil sambil ngelirik takut-takut ke arah penonton yang bersorak.
“Gue malu,” cicit Abil.
Dito ngasih usapan lembut di punggung Abil sejenak—supaya pujaan hatinya itu sedikit lebih tenang—sebelum kembali natap ke arah audience di hadapannya.
“Di antara kalian mungkin udah ada yang kenal sama Abil,” kata Dito. “Ada yang pernah ngeliat menfess review mie Aceh yang ketuker sama nasi goreng gak?”
“Pernaaahh!” sorak penonton.
“Nah, itu review gue sama Abil.” kekeh Dito, “Waktu itu gue sama Abil sempet lost contact, terus dipertemuin lagi dari menfess.”
“Ini bakalan kedengeran klise sih, tapi bagi gue, Abil itu segalanya.”
“Sejak deketin dia terus macarin dia lima tahun lalu… Abil selalu bawa kebahagiaan ke hidup gue.”
“Abil juga selalu menjadi bagian dari lagu-lagu yang gue ciptain.”
“Abil itu… Sumber inspirasi gue.”
Abil ngulum bibirnya sejenak. Dia gak henti-henti natap mata Dito.
“Bohong kalau gue sama Abil gak pernah berantem, buktinya kita putus kok.” ucapan Dito seketika bikin penonton ketawa, “Tapi itu hal yang lumrah dalam sebuah hubungan, tinggal gimana kita bisa nyikapin aja biar gak putus.”
“Waktu itu, gue sama Abil masih bertahan sama ego kita masing-masing.” timpalnya, “Kita berdua masih gak dewasa nyikapinnya.”
“Tapi dari kejadian itu, gue sama Abil mulai sama-sama belajar lagi buat saling lebih mengerti satu sama lain dan paham sama arti penantian dan ikhlas. Supaya kalau kita ada ikatan takdir buat saling mengisi satu sama lain, kita bakal ketemu dengan versi yang lebih baik dari diri kita.”
“Sekarang, gue pengen kalian semua jadi saksi gimana gue bakalan menjemput takdir gue.”
“Seperti Abil yang selalu menjadi bagian dari lagu-lagu yang gue ciptain, gue juga pengen Abil jadi bagian dari hidup gue seutuhnya dan selamanya sampai gue mati.”
Paham kalau Abil semakin panas dingin, Dito kemudian ngeraih sesuatu dari saku jaket denim yang dia pakai. Setelahnya, Dito lantas bersimpuh di depan kaki Abil sambil nyodorin kotak kecil berwarna merah berisi cincin.
“Bil, gue gak sempurna, tapi lo itu jadi bagian yang melengkapi gue dan bisa bikin gue ngerasa sempurna.” tutur Dito lembut.
“Hati gue selalu untuk lo sedari awal, tapi melalui cincin ini, gue pengen lo tau kalau gue nyerahin hati gue seutuhnya.” timpalnya.
“Dan mulai detik ini juga, gue berjanji buat gak ninggalin lo lagi, apalagi dengan ketidakjelasan...”
“Izinin hati gue buat jadi tempat berlindung lo, Bil. Izinin lengan gue buat jadi tempat lo pulang.”
“Dan izinin tangan gue megang lo selamanya,” Dito narik napas.
“Bil, will you marry me?”
Abil yang sedari tadi udah nahan tangisnya akhirnya runtuh juga. Dia netesin air mata, tapi sambil ngulas senyum haru di bibirnya.
“I’m yours, Dit.”
Sorakan riuh juga tepuk tangan dari penonton pun menggema. Bersamaan dengan itu, Dito lalu memasangkan cincin tepat di jari manis Abil. Setelahnya, Dito pun berdiri lalu memeluk Abil erat.
“Aku sayang kamu, Bil.”
“Aku cinta kamu.”
Dito terus membisikkan kata-kata cinta di samping telinga Abil, sedang mantan pacarnya itu masih menangis di pundaknya.
“Jangan tinggalin aku lagi ya, Bil?” lirih Dito. “Aku gak akan bilang kalau aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku bisa kok, Bil.”
“But my life will never be the same without you,” timpalnya.
“Kamu itu bagian dari hidup aku yang nggak boleh hilang, kecuali kita dipisahkan oleh kematian.”
“Please, stay by my side.”
Abil ngangguk. Dia kemudian narik dirinya dari pelukan Dito sebelum nyium bibir lelaki yang kini berstatus calon suaminya. Abil udah kehabisan kata buat sekedar ngungkapin rasa bahagia dan bersyukurnya karena akan bersanding sama si pujaan hati.
Satu-satunya kalimat yang keluar dari celah ranum Abil selepas mencium Dito hanya.
“I do love you, Dit. I really do.”