Semua panitia untuk event Communication Village udah ngumpul di satu ruang kelas yang lagi kosong. Dikta sama Bila sebagai ketua dan wakil pun udah ngebuka rapat—atau lebih tepatnya musyawarah sebelum nentuin gimana kelanjutan kerangka proposal yang udah ada.

“Gue denger-denger, kemarin ada yang protes soal guest star.”

Dikta buka suara. Tapi tatapan matanya udah tertuju ke arah Mahesa yang justru duduk di pojokan; paling belakang.

“Kalo emang ada saran atau kritik, boleh disampaikan sekarang. Soalnya waktu kita udah ga banyak.”

Hening sejenak.

Tapi gak lama berselang, Mahesa tiba-tiba angkat tangan. Bila pun mempersilahkan supaya dia menyampaikan aspirasinya.

“Gue, sebenarnya kurang setuju sama guest star nya.”

“Bisa dijelasin kenapa?” tanya Dikta.

“Guest star yang kalian pilih itu ga worth it dan ga cocok sama tema acara kita yang sasaran utamanya anak muda,” jelas Mahesa.

“Kalo kata gue sih mending diganti aja jadi artis baru yang baru-baru ini menang di acara kompetisi pencarian bakat.”

“Alasannya?” tanya Dikta lagi dengan nada tenang.

“Alasannya ya karena dia masih muda, banyak yang suka juga, terus fee buat mereka ga sebanyak guest star yang ada di proposal kalian.”

Dikta senyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Sesaat setelahnya dia langsung berdiri dari kursi.

“Oke, makasih masukannya, Esa.” kata Dikta.

“Sebelumnya gue mau jelasin kembali ya, alasan kenapa kemarin kita semua—baik itu koordinator inti sampai panitia berbagai seksi acara sepakat milih guest star yang sekarang...”

“Itu ga asal milih atau koordinator inti yang suka sama artisnya, tapi karena kita udah ngelakuin pertimbangan dan survey pasar...”

“Banyak yang suka guest star utama kita, terbukti dari banyaknya tiket yang kejual waktu mereka konser beberapa waktu lalu.”

“Sedangkan artis jebolan pencarian bakat itu kita belum tau massanya kayak gimana. Mereka belum pernah konser solo.”

“Iya, tapi orang-orang pasti bosen dong kalau nontonnya itu-itu mulu?”

“Esa, dengerin Dikta dulu. Dia belum selesai ngomong. Lo udah belajar cara berkomunikasi yang baik kan?”

Ravi yang berdiri sambil nyender di samping white board angkat bicara. Sementara Bila yang duduk di kursi dosen langsung noleh dan ngasih dia tatapan berisi kalimat tersirat, “Sabar, jangan kepancing emosi.”

“Gue lanjut ya,” kata Dikta.

“Jujur, gue ga terlalu nangkep maksud lo yang bilang kalau guest star sekarang ini ga sesuai sama tema youth acara kita,”

“Padahal mereka masih muda, dikenal, inspiratif pula. Kalo lo nganggap usia muda cuma di angka belasan tahun, ya susah.” Dikta ketawa kecil.

“Dan masalah fee atau duit 800 ribu yang mau kita kumpulin, gue udah bilang ini berkali-kali...”

“Uang itu ga akan kepake sepenuhnya kalau kita bisa dapetin sponsor gede,” kata Dikta.

“Kalian juga ga perlu takut duit kalian ditilep sama Ravi atau Nada, karena mereka udah bikin catatan pemasukan dan pengeluaran yang bakal terus di-update.”

“Terus lo yakin gitu kita bisa dapet sponsor gede?” sela Mahesa lagi, “Emang benefit apa yang bisa kita kasih sampai perusahaan di list mau ngasih duit banyak?”

“Sa, kita ga bakal tau sebelum mencoba.”

Dikta ngehela napas pelan, “Dengan lo bilang gini, sama aja kalau lo underestimate temen-temen kita yang gerak di bagian sponsorship.”

“Ya gue kan bilang gini supaya kita nyadar diri sedari awal, ga ngimpi ketinggian.”

“Lo harusnya mikir, Dikta. Jangan sampe lo panas di awal doang, tapi hasil akhirnya malah kek tai ayam.”

Mahesa natap lurus ke arah Dikta yang diam-diam lagi ngepalin tangan.

“Senior kita yang bikin comvil vol.7 kemarin bayarnya cuma 700 ribu, tapi acaranya rame.” Mahesa nambahin.

“Iya, tapi lo tau ga mereka dapet suntikan dana dari sponsornya berapa banyak?” tanya Dikta,

“Delapan puluh juta. Dan guest starnya juga Hivi, banyak yang suka.”

“Makanya gue bilang, kalau kita bisa dapet sponsor gede, duit 800 ribu ini ga bakal kepake semuanya dan bakal dibalikin lagi ke kalian.”

“Ya tapi kita merasa diberatkan dengan duit sebanyak itu,” kata Mahesa, “Iya kan, guys?”

Ada dua orang yang nyahut, “Iya.” tapi mereka pun temen satu tongkrongan Mahesa. Sisanya masih merhatiin Dikta sambil diam, salah satunya Dipta yang duduk di samping Bila.

“Sumpah ya, lo protes gara-gara kita bayar 800 ribu sedangkan senior tahun lalu bayar 700 ribu?” Ravi nyisir rambutnya dengan tampang ga percaya.

“Beda seratus ribu doang anjing?! Berapa uang rokok lo sebulan gue tanya?”

“Lo gak usah ngegas, Rav!”

“Ravi, Esa, udah!”

Bila berdiri sebelum menengahi. Sementara Dikta masih diam di tempat semula.

Dipta yang ga pernah ngalihin pandangannya dari cowok yang disukainya itu pun bisa ngeliat kalau Dikta lagi nahan emosinya.

“Oke, sekarang gue mau nanya. Siapa di sini yang merasa diberatkan sama uang kas 800 ribu itu?” tanya Dikta.

Mahesa sama teman tongkrongannya langsung acung tangan. Sedangkan yang lain ga bereaksi apa-apa.

“Berarti tiga orang ya,” kata Dikta, “Karena ga adil kalau yang uangnya dibalikin cuma tiga orang, ya udah. Mending kita balikin aja uang kalian 100 ribu.”

“Gue ga mau kalau sampai ada lagi omongan buruk di belakang atau masalah lain hanya karena dana.”

“Lo ga usah balikin duit gue, Ta.” sahut Dipta, “Gue ga merasa diberatkan kok...”

“Lagian ini juga buat nilai gue. Masa gue pelit ke diri sendiri padahal pengen nilai yang bagus?”

“Gue juga ga usah,” Tama ikutan.

“Kita juga, Ta.”

Mahasiswa lain saling sahut-sahutan. Menolak usulan Dikta barusan. Bikin Mahesa dan kawanannya langsung bungkam.

“Jadi gimana? Kalian bertiga mau ngambil uang kalian ga?” Ravi natap Mahesa.

“Ga. Gue kan cuma ngasih saran tadi.”

“Lo ga ngasih saran, lo julid doang.”

“Rav, udah!” Bila nyubit lengan Ravi.

“Ya udah, kalo gitu gue anggap masalah guest star udah beres.”

Dikta noleh ke Bila, “Bil, lo paparin dulu soal gambaran umum sama perencanaan acaranya ke mereka. Gue mau ke toilet bentar.”

“Oke, Ta.”