Sean mengacak-acak rambutnya kasar. Kepalanya udah pening karena sedari tadi ngeliat contoh soal olimpiade fisika di depannya.

Bahkan Sean yang tadinya duduk sambil ngerjain soal di meja belajar kini udah berpindah ke tempat tidur dengan posisi tengkurap.

Remaja jompo kalau kata orang-orang. Baru duduk sejam aja udah sakit pinggang.

Sampai gak lama berselang ketukan dari luar pintu kamar menggema. Bikin Sean mengalihkan pandangan.

“Iyaaa!”

Sean menyahut. Setelah itu pintu kamarnya lantas terbuka. Menampilkan Daffa yang lagi memegang kantongan berisi Chatime.

“Ganggu gak?”

“Enggak,” jawab Sean seadanya sebelum kembali memusatkan atensi ke buku.

Daffa lalu nyamperin sahabatnya. Dia berdiri di samping ranjang sembari menyodorkan minuman yang dia bawa ke hadapan Sean.

Tapi bukannya menerima, Sean justru mendongak lalu bersuara.

“Kenapa pake beliin gue minum segala sih?” tanyanya, “Yang musti lu jajanin itu Maya.”

“Kok Maya?”

“Ya karena lu udah bikin dia marah kemarin,” balas Sean.

“Masalah gue sama dia udah clear, Yan. Nama gue juga udah dimasukin kok ke kelompoknya,” kata Daffa. Sementara Sean diam aja sambil natap soal Fisika.

“Jadi lu gak mau nih?” timpal Daffa sambil menggoyangkan kantongan Chatime.

“Kalo gak mau gue—”

Sebelum ucapan Daffa tuntas, Sean dengan sigap meraih minuman kesukaannya itu. Bikin Daffa terkekeh pelan sebelum ikut naik ke atas tempat tidur sahabatnya.

Sean pun cuma diem aja ngeliatin Daffa langsung rebahan di sampingnya. Pasalnya dia udah sibuk menyeruput Chatime.

“Lu kenapa sih seharian ini, Yan?” tanya Daffa to the poin.

“Emang gue kenapa?”

“Lu cemberut mulu sejak pagi tadi. Ketahuan banget ada yang bikin gak mood.”

“Gue gak kenapa-kenapa. Lagi males aja.”

“Males sama siapa? Gue?”

Sean nyaris terbatuk. Beruntung gak ada boba yang nyangkut di tenggorokannya.

“Ngapain juga gue males sama lu,” dia mengelak, “Ga tau deh. Males aja pokoknya.”

“Udah kek cewek yang lagi PMS aja lu,” ejek Daffa.

Sean yang mendengar itu pun seketika nonjok bahu sahabatnya. Tapi bukannya meringis, Daffa justru ketawa.

“Elu juga pas abis istirahat sampe jam pulang tadi diem mulu kek orang pundung,” balas Sean, “Kenapa lu?”

Daffa mengangkat pundak, “Gak tau. Lagi males aja.”

“Dih? Ikut-ikutan.”

Keduanya kemudian berbagi senyum—setelah seharian tadi gak banyak berinteraksi karena konflik dengan batinnya masing-masing.

“Lu ada buku baru ga, Yan?”

“Ada,” kata Sean, “Novel tapi.”

“Gue mau baca,” kata Daffa.

“Ambil aja di meja belajar.”

Daffa mengangguk. Dia kemudian bangkit sejenak buat ngambil novel yang dimaksud Sean. Setelahnya dia kembali ke tempat tidur Sean. Duduk di sana sambil bersandar di kepala ranjang.

“Wets!” seru Daffa ketika membuka novel di tangannya, “Original ternyata. Kirain lu beli yang udah di-translate ke bahasa Indonesia, Yan.”

“Iya, ori. Gue belinya di Amazon. Nitip sama Papa.”

“Papa lu abis ke Amazon? Ketemu Piranha gak?”

Sean menatap datar wajah Daffa, sementara si tersangka justru kembali ketawa ngeliat raut kesal Sean.

“Canda, Yan.”

Daffa cengengesan, “Tapi tumben banget lu beli yang original. Katanya puyeng kalo baca tulisan bahasa inggris.”

“Lu gimana sih, Daf? Dulu pas gue gak punya, disuruh beli. Katanya buat latihan terus biar basing gue jadi lancar.”

“Sekarang giliran gue udah beli lu malah heran,” jelas Sean.

Daffa ketawa ringan. Dia lalu ngacak-ngacak rambut Sean pelan sambil berucap.

“Iya, iya. Gue seneng kok liat lu beli buku yang isinya bahasa inggris,” tutur Daffa.

“Lanjut belajar gih.”

Sean cuma bergumam paham dan kembali menyeruput minuman di tangannya. Dia lalu naroh Chatime itu di atas nakas sebelum melanjutkan kegiatannya yang tertunda; menyelesaikan berbagai contoh soal olimpiade fisika.

Sementara itu, Daffa pun udah mulai membaca—salah satu kebiasannya ketika datang ke rumah Sean yang notabennya juga gemar membaca, sama sepertinya.

Tapi bukannya fokus mengikuti alur yang ada di dalam novel, atensi Daffa justru terpecah. Pasalnya, dia sesekali ngelirik ke arah Sean. Mengamati bagaimana sahabatnya itu serius belajar.

Di waktu yang hampir bersamaan, Sean pun melakukan hal serupa. Ketika Daffa sibuk membaca novel, dia justru asik mencuri-curi pandang ke arah sahabatnya.

Begitu seterusnya sampai akhirnya pandangan mereka bertemu pada satu poros. Membuat Daffa maupun Sean lantas terkejut dalam diam.

“Kenapa?” Daffa bertanya.

“Gue... Mau ke bawah, ngambil air putih. Lu mau?”

“Biar gue yang ngambil,” kata Daffa, “Lu tunggu di sini aja.”

“Mm, Makasih.”

Sean bergumam. Sementara Daffa udah bangkit dari ranjang lalu melangkah ke luar dari kamar.

Setelah sahabatnya itu hilang dari pandangan, Sean lantas menghela napas panjang. Dia kemudian menunduk lalu menenggelamkan wajah pada bantal yang menjadi penyanggah dadanya.