“Sa.”
“Mm.”
Aksa yang lagi ngaduk adonan cair buat kulit pisang ijonya langsung ngelirik Dikara. Suaminya itu ada di meja makan—gak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, bukain kulit pisang yang udah dia kukus tadi sampe matang.
“Gaji aku udah masuk loh pagi tadi,” kata Dikara.
“Terus?”
“Loh, kok malah bilang terus?”
Dikara yang udah selesai dengan tugasnya pun ngelap tangan pake tisu. Setelahnya dia seketika musatin atensi ke Aksa.
“Bulan kemaren kan kita udah sepakat, Sa. Keuangan kamu yang ngatur.”
Aksa mendesis, “Mending kamu yang nyimpen sendiri aja dulu deh, Ka.”
“Entar kalau ada apa-apa, atau kita ada kebutuhan mendadak, baru deh aku minta sama kamu.”
“Tuhkan, kamu gini lagi.”
Dikara geleng-geleng kepala, “Kalau gak mau belajar, kapan bisanya, Sa?”
“Lagian apa bedanya sih, Ka?” balas Aksa.
“Aku juga nyimpen sebagian gaji aku buat keperluan kita, udah termasuk uang belanja.”
“Entar ganti-gantian aja, mau pake uang kamu atau uang aku.” jelasnya.
Dikara ngehela napas, “Sa, bukan itu poinnya.”
“Oke deh, sekarang kita masih baik-baik aja. Pendapatan lancar. Kebutuhan juga belum yang kayak gimana-gimana,” katanya.
“Tapi kedepannya kita gak tau gimana kan, Sa? Banyak loh di luar sana pasangan yang berantem karena masalah keuangan.”
Dikara ngelirik ke arah lain sejenak, “Belum lagi kalau kamu pengen punya anak nanti kan. Pasti kebutuhan kita juga nambah.”
“Ck! Kenapa bahas anak lagi sih? Aku kan udah bilang—”
“Aku bilang kalau, Sa. Kalau.”
Dikara buru-buru motong ucapan Aksa. Takut kalau suaminya itu badmood lagi karena dia ngebahas hal yang sebenarnya udah pernah mereka bicarain sebelum-sebelumnya.
“Jadi gimana? Mau ya?”
“Ya udah deh. Terserah.”
“Kok terserah sih, Sa. Yang ikhlas dong.”
“Iya, aku bakal belajar. Riweuh pisan ih.”
“Hahaha, ya udah. Aku transfer sekarang ya?”
Aksa ngangguk, “Eh tapi kamu transfernya jangan ke nomor rekening yang biasa.”
“Emang kamu ada nomor rekening luar biasa?”
Aksa natap suaminya datar. Sedangkan yang ditatap demikian kembali ketawa.
“Enggak. Aku ada rekening khusus buat nyimpen gaji, kamu transfer ke situ aja.”
“Nomornya?”
“Aku gak hapal,” Aksa cengengesan, “Liat di handphone aku, ada mbanking nya di situ.”
Dikara pun langsung ngeraih handphone Aksa yang tergeletak di hadapannya.
“Sa, Bu Regina siapa sih?”
“Itu, penggantinya Mas Arya. Kenapa?”
“Ini ada chat dari dia nih.”
“Ha?” Aksa ngangkat alisnya, “Serius?”
“Iya.”
Dikara pun bangkit dari duduknya. Dia kemudian jalan ke arah Aksa yang berdiri di belakang pantri sambil bawain handphonenya.
“Kamu deket sama dia?”
“Enggak,” jawab Aksa sebelum ngeliat pesan atasannya itu.
“Padahal ini hari libur loh, masa ngomongin kerjaan?”
“Ga usah cemburu.”
Dikara senyum. Dia noyor pelan kepala Aksa sebelum bilang, “Ngapain juga aku cemburu sama ibu-ibu.”
“Ya terus kamu kenapa ngomong gitu?”
“Aku kan gak pengen kamu stress, Sa. Sampai hari libur pun diganggu sama orang kantor.”
“Gak. Ini Ibu Regina gak ngasih tugas. Tapi aku disuruh buat mantau anaknya yang masuk jadi karyawan kontrak besok.”
“Masih kuliah anaknya?”
“Gak, udah lulus. Tapi dia tuh kontrak, soalnya lowongan karyawan tetap belum ada.”
“Oh, gitu. Berarti di divisi kamu juga?”
“Iya. Dia se-divisi sama Ibunya. Keren ya.”
“Iya, keren kalau punya privilege.” komentar Dikara.
Aksa pun langsung ketawa.
“Tau gak sih, Ka. Orang-orang di divisi aku tuh sampe ngegibahin Bu Regina,”
“Gara-gara ada kabar kalau dia minta ke orang direksi supaya anaknya yang masuk jadi karyawan kontrak.”
“Gak kaget. Kantor kamu sistem kekeluargaannya emang gitu.”
“Kekeluargaan apanya, jir? Nepotisme iya.”
“Kekeluargaan lah,” kata Dikara, “Ibaratnya tuh ya, di kantor kamu ada silsilahnya. Kalo bapaknya jadi direksi, tunggu aja anaknya jadi kepala departemen atau divisi.”
“Kalau emaknya kepala divisi, tunggu aja ada anaknya yang jadi karyawan di situ sampe nanti jabatannya makin tinggi.”
“Kekeluargaannya kental kan?” jelasnya diikuti tawa.
“Suka-suka lu aja dah, Ka.”
“Btw...”
“Apa?” Aksa natap suaminya.
“Anaknya Bu Regina itu cewek apa cowok?”
“Cewek.”
“Cantik gak?”
“Mana aku tau, orang belum pernah ketemu. Emang kenapa kalau dia cantik?”
“Mau nitip salam.”
“Dih, gatel.”
“Hahaha! Dosa banget lu ngatain suami sendiri gatel, Saaa.”
“Emang gatel.”
“Ga usah cemburu.”
“Ngapain juga gue cemburu sama orang yang bahkan gak kenal sama lu.”
“Ya udah. Kenalin gue sama dia atuh, Sa.”
“Iya, entar gue kenalin. Gue comblangin juga sekalian sampe jadian.”
Dikara gak bisa nahan tawanya. Dia pun gemes sampai nyubit kedua pipi Aksa.
“Dika! Lepasin! Sakit, bego.”
Dikara ngelepas tautan jemarinya dengan pipi Aksa. Setelahnya dia langsung ngecup pipi suaminya yang udah memerah itu bergantian.
“Lu lagi puasa anjir. Jangan cium-cium,” kata Aksa sambil micingin mata.
“Berarti kalau udah buka puasa boleh kan?”
“Boleh apa?”
“Cium-cium lah. Apa kamu pengen yang lebih, Sa?”
“Anjing lu, Ka. Udah gak berkah puasa lu.”
Dikara senyum tipis sebelum meluk pinggang Aksa dari belakang. Sesekali ngecup pundak suaminya itu.
“Ka, lepasin. Aku mau bikin kulit pisang ijo.”
“Jangan dilepasin lagi ya cincinnya,” bisik Dikara.
Aksa ngulum bibir. Dikara akhirnya ngungkit lagi soal cincin pernikahan mereka.
“Mhm. Kamu juga, jangan ceroboh lagi.”
“Iya, Aksaku.”