Rings

Jeva celingukan di setiap sudut ruangan yang dia lewati. Kedua matanya tak henti-henti mencari sang pujaan hati yang sedari tadi justru seolah mengisolasi diri.

Di saat Dokter Muda yang lain sedang asik bercengkrama di ruang Koas, Biru memilih pergi. Namun, Jeva sangat paham akan hal itu. Bukan tanpa sebab Biru menyendiri seperti saat ini.

Jeva tau bahwa pacarnya itu masih memikirkan seorang pasien yang harus kehilangan anaknya tepat setelah bayi itu lahir ke dunia pagi tadi. Biru selaku Koas yang memantau pasien itu pun lantas tak bisa membendung rasa sedihnya.

Biru bahkan menangis di pelukan Jeva saat bercerita padanya tadi. Biru mengaku tidak tega melihat si Ibu yang telah lama menanti seorang anak justru harus rela kehilangan buah penantiannya.

Sampai saat Jeva melewati poli dimana Mama Biru biasanya bertugas, langkahnya seketika berhenti. Dari luar pintu ruang poliklinik itu, Jeva bisa melihat bagaimana Biru duduk di atas ranjang pemeriksaan. Pacarnya itu nampak sedang melamun.

Perlahan, Jeva mengetuk-ngetuk pintu. Aksinya itu pun sukses mencuri atensi Biru yang kini telah menatap lurus ke arahnya.

“Aku boleh masuk?” tanya Jeva sesaat setelah membuka pintu.

Biru tersenyum tipis diikuti anggukan, sedang Jeva dengan sigap menghampiri pacarnya. Dia ikut duduk di atas ranjang.

“Kamu kok gak nge-chat aku kalau udah kelar bimbingan?”

“Tadi kamu bilang kalau energi kamu udah kekuras abis, jadi aku nggak mau gangguin kamu dulu.” sahut Jeva, “Tapi karena aku liat kamu nggak ada di mana-mana, aku khawatir. Jadi aku nyariin.”

“Terus siapa yang ngasih tau kamu kalau aku lagi ada di sini?”

“Gak ada,” kekeh Jeva. “Aku dari tadi keliling nyariin kamu tau.”

Biru mendengus lalu menoyor pelan kepala Jeva, “Whipped.”

I am. Ngomong-ngomong, Mama kamu ke mana, Bi?”

“Lagi ke RS Mitra Abadi,” sahut Biru. “Mama ada pasien di sana.”

Jeva mengangguk, “Tapi entar Mama kamu balik lagi ke sini?”

“Iya, kan masih harus visite juga.”

“Tapi polinya tumben sep—”

Jeva tak meneruskan ucapannya, sebab Biru sudah lebih dahulu meletakkan telunjuk di depan bibir Jeva. Paham akan maksud Biru, Jeva lantas cengengesan.

“Aku hampir lupa.”

“Kalau pasien di poli tiba-tiba rame, kamu ya yang bakal aku laporin ke Mama.” kekeh Biru.

“Kan ada kamu yang ngingetin.”

Jeva memasang tampang tengil, sedang Biru hanya geleng-geleng kepala. Setelahnya, Biru lantas menyandarkan kepala dengan nyaman di bahu kanan Jeva.

“Kamu masih mikirin pasien yang tadi ya, Bi?” tanya Jeva sambil merangkul dan mengusap bahu Biru. “Kamu keliatan murung.”

“Mhm,” Biru mendongak guna menatap Jeva. “Tapi kamu gak usah khawatir. I’m okay, Jev.”

“Aku cuma lagi agak sensitif aja, makanya gampang feeling blue, mungkin karena stress mikirin tugas sama gimana kita Minggu depan pas Koas di Puskesmas.”

Jeva mengangguk paham. Benar adanya jika Minggu ini adalah Minggu terakhir mereka jaga di RSCM. Pasalnya, mulai Minggu depan, para Dokter Muda akan disebar ke berbagai Puskesmas untuk melanjutkan stase Obgyn. Tugas dari Dosen pun semakin menggunung meski mereka akan dikirim ke tempat lain. Wajar jika setiap Koas seketika sakit kepala.

“Oh iya,” Biru mengingat sesuatu. “Tadi kan kamu bilang pengen ngomongin sesuatu sama aku.”

“Ngomongin apa, Jev?” tanyanya.

Jeva menelan ludah. Dia terlihat berpikir sejenak sebelum tertawa hambar. Biru pun memicingkan mata melihat tingkah anehnya.

“Itu, Bi… Aku… Cuma mau… Ini… Ngomongin soal kita yang bakal sekamar pas nge-kos di Bogor.”

Jeva jelas mengucapkan kalimat terbata-bata itu sambil berpikir.

“Kamu gak ada bakat buat jadi orang yang bisa boongin aku,” kata Biru lalu kembali duduk tegak, dia melipat lengannya.

“Pengen ngomongin apa?”

“Waktunya gak tepat, Bi.” desis Jeva, “Entar aja deh pas energi kamu udah balik, terus mood kamu juga udah agak enakan. Biar kita juga enak ngobrolnya.”

“Ya tapi mau bahas apa?”

Biru menuntut jawaban, namun Jeva hanya diam sambil meremas pelan saku celana kain yang kini tengah dia kenakan. Alhasil, hal itu pun mencuri perhatian Biru.

“Di saku kamu ada apa?”

“Aku gak bawa apa-apa kok.”

Biru memicing, “Berarti emang ada apa-apa. Coba sini aku liat.”

“Gak adaaa.”

Jeva buru-buru berdiri, namun Biru lantas mengikuti. Sampai saat Biru menahan tubuh Jeva lalu menggelitik pinggangnya, Jeva seketika tertawa terbahak.

“Bi, aku bakal ngasih tau kamu. Tapi nggak sekarang. Waktunya gak pas,” katanya lalu memelas.

“Waktu yang pas tuh gimana? Hah?” balas Biru, jarinya yang masih menggelitiki pinggang Jeva. “Aku mau tau sekarang.”

Jeva kian terbahak namun juga panik ketika satu tangan Biru berhasil menyusup ke dalam saku celananya. Pacarnya itu kemudian meraih benda yang sedari tadi dia sembunyikan.

Sementara itu, Biru yang telah berhasil meraih sepasang cincin dari saku celana Jeva lantas memandangi perhiasan dengan warna silver itu. Dia menahan senyum melihat Jeva memelas sambil mengacak rambutnya.

“Ini cincin buat siapa?”

Jeva berdecak, “Menurut kamu?”

“Kamu mau ngelamar aku?” Biru terkekeh, sedang Jeva mencebik.

“Aku udah mikirin kata-kata yang pas buat ngomong ke kamu sejak Minggu lalu tau, biar suasananya jadi romantis, manis,” tutur Jeva. “Sekarang malah jadi kayak gini.”

“Udah ah, aku mau ngambek aja.” timpalnya lalu balik badan hingga membelakangi Biru dengan dua lengannya dilipat di depan dada.

Namun, tanpa Jeva prediksi, Biru tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang. Pacarnya itu kemudian menyandarkan kepalanya di punggung Jeva sebelum berkata.

“Kayak kamu bisa ngambek lama sama aku aja, Jev.” kekeh Biru.

“Coba kamu ngomong sama aku kayak yang udah kamu siapin,” katanya. “Sekarang suasananya kurang romantis apa lagi deh?Cuma ada kita berdua di sini, nggak bakal ada yang ganggu.”

Menghela napasnya pelan, Jeva akhirnya menuntun lengan Biru agar terlepas dari pinggangnya. Jeva kemudian berbalik ke arah Biru hingga mereka kini berdiri saling berhadapan. Jeva lantas mencengkeram pergelangan tangan Biru sambil memandangi dua cincin yang berada di dalam genggaman tangan pacarnya itu.

“Cincin yang lagi kamu pegang itu promise ring,” Jeva tersenyum tipis. “Aku mau ngasih cincin itu ke kamu sebagai simbol janji dan komitmen aku buat serius sama kamu ke jenjang pernikahan, Bi.”

“Aku paham, ngambil keputusan buat menikah, apalagi, sama aku bukan perkara sepele yang bisa kita omongin sehari dua hari.”

“Butuh banyak pertimbangan dan kesiapan mental yang tinggi mengingat hubungan kayak gini masih belum diakui di sini,” ucap Jeva. “Jadi, aku bakalan nunggu sampai kamu siap untuk itu, Bi.”

“Ketika nanti kamu udah siap buat nikah sama aku, promise ring itu bakal aku ganti sama cincin tunangan dan cincin pernikahan kita,” jelas Jeva.

“Gak peduli dengan apa yang bakal kita berdua lewatin ke depannya, aku bakalan selalu nunggu kamu dan mencintai kamu.” Jeva mengulum bibirnya sejenak. “I’ll wait till forever.”

Biru lantas ikut tersenyum tipis, terlebih saat Jeva mengambil alih salah satu promise ring yang dari tadi ada di dalam genggamannya.

“Aku boleh gak masangin cincin ini di jari manis kamu?” tanyanya.

Biru mengangguk. Hal itu pun sukses membuat Jeva menahan senyum sebelum memasangkan promise ring ke jari manis Biru.

Looks so good on you,” puji Jeva.

Si pemilik lesung pipi kemudian menyodorkan satu tangannya ke hadapan Biru sebelum berkata.

“Sekarang giliran kamu.”

Paham akan ucapan pacarnya, Biru yang tak henti-hentinya mengulas senyum pun meraih jemari Jeva. Dia memasangkan cincin yang tersisa ke jari manis Jeva hingga empunya itu tersipu.

Sejenak keduanya terdiam. Baik itu Biru maupun Jeva sama-sama saling berbagi tatapan lamat dan senyum yang tak pernah pudar.

“Biasanya kalo abis tukar cincin, minimal ciuman nggak sih, Bi?”

Tersenyum mengejek, Biru lalu menarik tirai yang berada di sisi kirinya dan Jeva; dimana tirai itu menjadi penghalang antara ranjang pemeriksaan dan meja konsultasi Mamanya. Dengan tirai itu pula orang lain yang berlalu lalang di luar poliklinik tidak akan melihat keduanya.

Biru kemudian mengalungkan kedua lengannya di tengkuk Jeva. Pada saat yang bersamaan, Jeva pun melingkarkan lengannya di pinggang ramping si pujaan hati.

“Jev.”

“Mhm?”

“Aku gak bakalan pernah capek bilang kalau aku tuh beruntung punya kamu,” tutur Biru lembut.

“Aku gak pernah ngerasa dicintai sedalam ini sebelumnya,” timpal Biru. “Dan sejak jatuh cinta sama kamu, hidup aku tuh rasanya jadi lebih berarti. Kamu selalu aja ada cara buat bikin aku senyum dan bangkit lagi ketika aku terpuruk.”

“Sama kayak yang kamu bilang tadi, gak peduli dengan apapun yang bakal kita lewati nanti, aku akan selalu mencintai kamu, Jev.”

“Bahkan kalau suatu saat kita ada di kehidupan yang baru lagi, aku selalu berharap dipertemukan dan jatuh cinta untuk kesekian kalinya sama kamu.” lanjut Biru.

“Meskipun kita harus ketemu sebagai anak Koas lagi, aku rela.” Biru tertawa kecil, “Walau kata orang-orang, kisah pas Koas katanya indah untuk dikenang tapi tidak untuk diulang, tapi aku mau kok ngulang kisah Koas asal dipertemukan lagi sama kamu.”

“Tapi aku gak mau,” sela Jeva.

Biru mengangkat alis. “Kenapa?”

“Aku gak mau ngulang kehidupan Koas lagi, Bi. Berat.” sahut Jeva.

“Aku mau ketemu kamu dalam kondisi yang bisa bikin aku gak harus ke ruang Koas dulu buat meluk kamu pas kamu butuh, aku juga mau kita bisa bebas nge-date di hari libur bukan malah tidur karena abis jaga.”

Jeva tersenyum tipis, “Meskipun aku bahagia karena bisa pacaran sama kamu kayak sekarang pas lagi jadi Koas, tapi di kehidupan selanjutnya, aku mau pacaran sama kamu dengan tenang. Gak sambil jaga. Gak sambil stress.”

“Biarin kisah kita selama Koas jadi kenangan indah aja, karena kisah kita indah untuk dikenang, tapi tidak untuk diulang. Capek.”

Biru tertawa ringan mendengar alasan Jeva lalu mengangguk.

“Bi.”

“Apa, Sayang?”

“Aku masih suka nggak nyangka kalau kamu nge-bales perasaan aku.” mata Jeva berkaca-kaca.

Biru terkekeh. “Aku malah lebih gak nyangka kalau ternyata aku cinta sama temen aku sendiri.”

“Temen yang awalnya aku kira cuma bakal jadi my coass buddy for two years tapi malah bakalan jadi temen hidup for many years.”

Jeva dan Biru lantas sama-sama terkekeh sebelum Jeva memberi satu kecupan sayang di pipi Biru. Tidak ingin kalah, Biru kemudian melakukan hal serupa sebelum mereka kembali berbagi tatapan cinta tanpa sepatah kata terucap.

Hanyut dalam atmosfer yang tiba-tiba menjadi intim, kedua anak manusia itu pun perlahan mengikis jarak antara wajah mereka hingga berakhir saling menempelkan bibir. Biru dan Jeva terbuai dalam pagutan yang amat lembut nan manis itu hingga mata mereka terpejam.

Sesekali keduanya memiringkan kepala guna mencari titik intens yang lain dalam ciuman itu. Baik Jeva maupun Biru pun tak bisa membendung senyum di sela-sela ciuman mesra mereka.

Suara decak lidah lantas menjadi perantara pagutan keduanya. Lumatan demi lumatan yang tercipta pun semakin panas kala Jeva tiba-tiba mengangkat tubuh Biru. Kini pacarnya itu seperti bayi koala yang berada dalam gendongannya. Sementara itu, Biru yang tadi sempat terkejut karena aksi Jeva kini semakin mengeratkan pelukannya di tengkuk sang pujaan hati.

Tanpa melepas tautan bibirnya dengan Biru, Jeva kemudian membawa pacarnya itu untuk duduk di atas ranjang. Bukan tanpa alasan, Jeva khawatir jika Biru akan pegal jika mereka terus berciuman dengan posisi berdiri mengingat tinggi Biru terpaut beberapa senti lebih rendah darinya. Alhasil, kini mereka berciuman dengan posisi Biru yang duduk, sedang Jeva berdiri tepat di hadapan pacarnya itu.

Tak lama berselang, Jeva tiba-tiba menghentikan lumatannya. Dia beralih memandangi wajah Biru yang seketika memasang raut heran sekaligus tak terima.

“Kenapa?” tanya Biru.

“Mama kamu balik ke sini jam berapa?” Jeva balik bertanya.

Biru memutar bola mata, “Masih lama. Paling baliknya jam tiga.”

“Ayo,” rengek Biru.

Jeva tersenyum meledek.

“Ayo apa?”

“Lanjutin yang tadi,” kata Biru.

“Kamu kenapa kok tiba-tiba jadi clingy gini? Hm?” Jeva mencubit pelan pipi Biru. “Gak biasanya.”

“Ya udah kalau gak mau.”

Jeva refleks tertawa kecil sambil membingkai wajah Biru. Dia lalu mengecup bibir Biru bertubi-tubi hingga Biru terkekeh geli.

Di tengah aksi keduanya, gawai yang berada di saku jas sneli Jeva dan Biru tiba-tiba berdenting. Keduanya kemudian kompak meraih benda persegi itu hingga mendapati pesan dari grup 4L.

Usai membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh sang ketua kelompok, Jeva dan Biru seketika menghela napas pasrah sebelum kembali bertukar tatap diikuti tawa. Ya, bukan hal yang asing lagi jika mereka harus merelakan waktu pacaran untuk segera lari ke ruangan dimana pasien telah berdatangan; menanti mereka.

Meski suatu hari nanti, kejadian yang mereka alami akan menjadi cerita yang menyenangkan ’tuk dibagikan, tapi untuk sampai ke titik akhir banyak halang rintang yang amat sulit dan melelahkan.

Pun meski Koas mengajarkan Jeva dan Biru arti dari kesabaran dan keikhlasan, namun untuk melewati halang rintang yang sama lagi bukanlah sebuah opsi, melainkan berdiri di titik henti.

Karena kisah mereka indah ’tuk dikenang, tapi tak untuk diulang.